Pesan Rahbar

Home » » FIQIH TENTANG HUKUM-HUKUM DALAM ISLAM SYIAH DAN AHLUS SUNNAH

FIQIH TENTANG HUKUM-HUKUM DALAM ISLAM SYIAH DAN AHLUS SUNNAH

Written By Unknown on Tuesday 15 July 2014 | 13:11:00


SYARAT-SYARAT DAN PENTINGNYA SHALAT.

SOAL 336:
Apa hukum orang yang meninggalkan shalat secara sengaja atau meremehkannya?
JAWAB:
Lima shalat fardhu harian merupakan salah satu kewajiban yang sangat penting dalam syari’ah Islam bahkan merupakan tiang agama. Meninggalkan dan meremehkannya haram secara syar'i dan menyebabkan siksa.
SOAL 337:
Apakah wajib shalat atas orang yang tidak menemukan sarana bersuci (air atau tanah untuk wudhu atau tayammum)?
JAWAB:
Berdasarkan ihtiyâth hendaklah tetap melaksanakan shalat pada waktunya dan meng-qadha’nya dengan wudhu atau tayammum di luar waktu.
SOAL 338:
Dalam kondisi-kondisi apakah 'udul (berpindah niat) dalam shalat wajib menurut Anda?
JAWAB:
Wajib berpindah niat dalam kondisi-kondisi berikut:
1. Dari shalat Ashar ke shalat Dhuhur ketika sadar saat sedang shalat (Ashar) bahwa ia belum melakukan shalat Dhuhur.
2. Dari shalat Isya’ ke Maghrib ketika sadar saat sedang shalat dan sebelum melewati batas udul bahwa ia belum melakukan shalat maghrib.
3. Apabila mempunyai tanggungan 2 shalat qadha’ secara berurutan dan melakukan shalat (yang) kedua karena lupa sebelum melakukan shalat qadha’ yang pertama.
Dimustahabkan 'udul dalam kondisi sebagai berikut:
1. Dari shalat ada’ kepada shalat qadha’ wajib, jika waktu keutamaan shalat ada’ belum lewat.
2. Dari shalat wajib ke shalat mustahab demi menyusul shalat jamaah.
3. Dari shalat faridhah ke shalat nafilah pada Dhuhur hari Jum’at bagi orang yang lupa membaca surah al-Jumu’ah namun membaca surah lainnya sampai setengah atau lebih. Dalam kondisi demikian dimustahabkan berpindah niat dari shalat faridhah ke shalat nafilah untuk memulai shalat faridhah lagi dengan membaca surah al-Jumu’ah.
SOAL 339:
Apakah pelaku shalat yang ingin menggabungkan shalat Jum’at dan shalat Dhuhur di hari Jum’at berniat qurbah (mendekatkan diri kepada Allah) saja tanpa niat wujub (melakukan shalat wajib) dalam kedua shalat tersebut, ataukah berniat qurbah dan wujub dalam salah satu dari keduanya, sedangkan pada shalat lainnya cukup berniat qurbah saja, atau berniat qurbah dan wujub dalam kedua-duanya?
JAWAB:
Cukup meniatkan qurbah dalam kedua shalat tersebut dan tidak wajib meniatkan wujub dalam keduanya.
SOAL 340:
Jika darah dari mulut atau hidung terus mengalir sejak awal waktu faridhah hingga menjelang batas akhir waktunya, apa hukum shalat?
JAWAB:
Jika tidak mampu mensucikan badan dan khawatir waktu shalat faridhah berakhir, hendaknya melakukan shalat dalam keadaan begitu.
SOAL 341:
Apakah badan diwajibkan tenang dan tidak bergerak (istiqrâr) sama sekali ketika membaca zikir-zikir mustahab dalam shalat ataukah tidak?
JAWAB:
Perihal kewajiban istiqrâr dan tenang ketika sedang shalat, tidak ada perbedaan antara zikir-zikir yang wajib dan yang mustahab. Kecuali jika pembacaan dzikir dilakukan dengan niat dzikir muthlaq walaupun dibaca dalam keadaan bergerak tidak bermasalah.
SOAL 342:
Sebagian pasien di rumah sakit menggunakan selang saluran kencing dimana kencing akan keluar dari pasien tanpa kehendak dalam keadaan tidur atau sadar, atau ketika sedang melakukan shalat. Kami mohon jawaban atas pertanyaan sebagai berikut: Apakah melakukan shalat keadaan begitu sudah cukup ataukah wajib mengulanginya?
JAWAB:
Jika ia melakukan shalat dalam kondisi begitu sesuai tugas syar’i-nya yang benar, maka sahlah hukumnya, dan tidak wajib meng-qadha’ atau mengulangnya.

HUKUM KIBLAT.
SOAL 363:
Kami mohon jawaban atas pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1. Berdasarkan sebagian kitab fiqih, disebutkan bahwa pada hari ke 4 bulan Khudrad (25 Mei) dan hari ke 26 bulan Tir (17 Juli) matahari tepat berada di atas Ka’bah. Bila demikian apakah boleh menentukan arah kiblat dengan cara memasang benda yang ditegakkan (syâkhis) pada saat adzan Mekah dikumandangkan? Manakah yang lebih benar jika arah kiblat di mihrab-mihrab masjid berbeda dengan arah bayangan syâkhis (benda yang ditegakkan)?
2. Apakah boleh berpegangan pada kompas kiblat?
JAWAB:
Berpegangan pada benda yang ditegakkan (syâkhis) atau pada kompas kiblat sah hukumnya, jika mukallaf menjadi mantap dengannya tentang arah kiblat dan ia wajib bertindak sesuai dengannya. Jika tidak, maka tidak ada masalah berpegangan pada arah mihrab-mihrab masjid atau arah kuburan muslimin untuk menentukan arah kiblat.
SOAL 364:
Apakah sah shalat ke arah manapun ketika kecamuk perang menghalang-halangi untuk menentukan arah kiblat?
JAWAB:
Jika ia tidak bisa memberikan kemungkinan pada salah satu arah yang empat dan waktunya leluasa, maka berdasarkan ihtiyâth ia harus (mengulang) shalat dengan menghadap ke empat arah. Jika tidak maka harus mengulangi shalat ke arah-arah yang diduga sebagai arah kiblat secukupnya waktu.
SOAL 365:
Jika titik yang berhadapan dengan Ka’bah diketahui berada di arah lain dari bola bumi sehingga bila ditarik garis lurus dari tengah bumi terus menembus dan melewati pusat bumi niscaya akan keluar dari arah yang lain. Bagaimana semestinya menghadap kiblat dalam kondisi demikian?
JAWAB:
Tolok ukur menghadap kiblat yang diwajibkan adalah menghadap ke arah Ka’bah (al-Bayt al-‘Atiq) dari permukaan bumi, dengan cara menghadap dari atas permukaan bumi ke arah ka’bah yang dibangun di atas bumi kota Mekkah. Karena itulah, jika ia berdiri pada sebuah titik di bumi, dan garis-garis yang ditarik dari tempatnya dan melintasi permukaaan bumi menuju Ka’bah sama dalam jarak, maka ia dapat memilih untuk menghadap kiblat dari arah manapun yang dikehendaki. Namun bila jarak dari salah satu arahnya lebih dekat dan lebih pendek dalam ukuran yang sekiranya arti menghadap ke arahnya berbeda dalam pandangan umum (urf), maka wajib memilih arah yang lebih dekat.
SOAL 366:
Apa yang wajib kami lakukan bila kami berada di suatu tempat dan tidak tahu arah kiblat dan tidak memiliki sarana untuk menentukannya, dan masing-masing dari empat arah diduga sebagai arah kiblat?
JAWAB:
Pada kasus yang ditanyakan, berdasarkan ihtiyâth, maka ia wajib mengulangi shalat pada keempat arah tersebut, dan jika waktu tidak mencukupi untuk melkukan empat shalat, maka ia berkewajiban untuk melakukan shalat sekedar waktu yang memungkinkan.
SOAL 367:
Bagaimana menentukan arah kiblat? Dan bagaimana melakukan shalat di kutub utara dan kutub selatan?
JAWAB:
Tolok ukur penentuan arah kiblat di dua kutub adalah penentuan garis terpendek dari tempat pelaku shalat ke arah Ka’bah, kemudian menghadap garis tersebut setelah menentukannya.

HUKUM TEMPAT SHALAT
SOAL 368:
Apakah boleh duduk, shalat dan berjalan, di atas tempat-tempat yang dirampas oleh negara zalim?
JAWAB:
Jika tahu bahwa tempat itu rampasan, maka hukumnya sama dengan barang rampasan perihal tidak boleh menggunakannya dan (keharusan) menggantinya.
SOAL 369:
Apa hukumnya shalat di atas tanah yang semula wakaf namun kini digunakan oleh pemerintah dan didirikan di atasnya sebuah sekolah?
JAWAB:
Jika diduga secara wajar bahwa penggunaan tersebut diperbolehkan secara syar’i, maka shalat di tempat tersebut tidak ada masalah (la isykâl).
SOAL 370:
Saya mendirikan shalat jamaah di sejumlah sekolah, padahal sebagian tanahnya diambil dari para pemiliknya tanpa kerelaan mereka. Apakah hukum shalat saya dan murid-murid di sekolah-sekolah semacam ini?
JAWAB:
Jika belum diketahui secara pasti tentang perampasan tanah tersebut dari pemiliknya, maka tidak ada masalah (la isykâl).
SOAL 371:
Jika seseorang shalat selama beberapa waktu di atas sajadah, atau dengan pakaian yang terkena (kewajiban) khumus, maka apa hukum shalat-shalat ini?
JAWAB:
Jika ia tidak mengetahui bahwa harta itu terkena khumus atau tidak mengetahui hukum menggunakannya, maka shalat-shalat yang terdahulu dihukumi sah.
SOAL 372:
Apakah benar bahwa orang lelaki wajib berada di depan wanita ketika shalat?
JAWAB:
Berdasarkan ihtiyâth wajib, diharuskan jarak antara pria dan wanita ketika shalat setidaknya seukuran sejengkal, dan dalam keadaan ini sekiranya wanita dan pria sejajar antara satu dengan yang lain atau wanita lebih di depan berdirinya maka shalat keduanya sah.
SOAL 373:
Ada seseorang yang dulu tinggal di rumah dinas, dan kini masa tinggalnya di rumah tersebut telah berakhir dan telah diberitahu agar mengosongkannya. Apa hukum shalat dan puasa sejak waktu yang ditentukan untuk pengosongan?
JAWAB:
Jika ia tidak diizinkan untuk memanfaatkan rumah tersebut oleh pejabat yang terkait setelah berakhirnya masa yang ditentukan, maka semua tindakannya di dalam rumah itu dihukumi sebagai perampasan (ghasb).
SOAL 374:
Apakah dimakruhkan shalat di atas sajadah bergambar atau turbah yang berukir?
JAWAB:
Pada dasarnya hal itu tidak dilarang. Namun sekiranya gambar-gambar dan ukiran memberikan alasan bagi orang-orang yang melemparkan tuduhan-tuduhan terhadap syi’ah, maka tidak boleh memproduksinya dan melaksanakan shalat di atasnya. Begitu juga makruh hukumnya jika hal itu menyebabkan hilangnya konsentrasi dan kehadiran hati pada saat shalat.
SOAL 375:
Apakah sah shalat kami jika tempat shalat tidak suci, namun tempat sujudnya suci?
JAWAB:
Jika najis di tempat shalat tidak berpindah ke pakaian atau tubuh, sedangkan tempat sujud suci, maka shalat di atasnya tidak ada masalah (la isykâl).
SOAL 376:
Gedung kantor tempat kami bekerja dahulu adalah sebuah perkuburan. Sekitar 40 tahun yang lalu kuburan itu terbengkalai dan 30 tahun lalu bangunan ini didirikan di atasnya. Sekarang semua tanah di sekitar kantor telah dibangun dan tidak ada satupun bekas kuburan. Dengan memperhatikan masalah yang kami sebutkan di atas, kami mohon Anda menjelaskan apakah shalat yang dilaksanakan oleh para pegawai di tempat tersebut sah secara syar’i ataukah tidak?
JAWAB:
Berbagai bentuk penggunaan dan pelaksanaan shalat di tempat itu tidak bermasalah, kecuali jika terbukti secara syar’i bahwa tanah yang kini dibangun semula adalah wakaf untuk penguburan mayat dan secara tidak syar'i dilakukan pembangunan dan lain-lain.
SOAL 377:
Sejumlah pemuda Mukmin telah memutuskan -demi melakukan amar-ma’ruf- melaksanakan shalat di tempat-tempat rekreasi satu atau dua hari dalam seminggu. Hanya saja sebagian tokoh dan orang tua mempermasalahkan bahwa kepemilikan tanah-tanah tempat rekreasi tersebut tidak jelas. Apa hukumnya shalat di tempat itu?
JAWAB:
Tidak ada masalah memanfaatkan tempat-tempat rekreasi yang ada sekarang dengan mendirikan shalat dan lainnya. Dan hendaknya tidak perlu memperhatikan adanya sekedar kemungkinan ghashb (perampasan).
SOAL 378:
Di kota kami ada 2 masjid bersebelahan dipisah oleh satu dinding. Beberapa waktu lalu sejumlah orang mukmin merobohkan sebagian besar dinding pemisah itu dengan tujuan menyatukan kedua masjid. Hal ini menjadi penyebab munculnya kebimbangan sebagian orang berkenaan dengan pelaksanaan shalat di kedua masjid tersebut. Hingga kini mereka masih ragu tentang masalah ini. Karenanya saya mohon Anda menjelaskan penyelesaiannya?
JAWAB:
Menghilangkan dinding pemisah dua masjid tersebut tidak menimbulkan masalah dalam hal mendirikan shalat di kedua masjid tersebut.
SOAL 379:
Di jalan-jalan besar terdapat restoran-retoran yang dilengkapi dengan tempat shalat. Jika seorang tidak makan di restoran tersebut, apakah boleh melakukan shalat di tempat tersebut, ataukah ia wajib meminta izin terlebih dahulu?
JAWAB:
Jika diduga bahwa tempat shalat tersebut adalah milik pemilik restoran dan penggunaannnya khusus bagi yang makan di rumah makan tersebut maka ia wajib meminta izin.
SOAL 380:
Seseorang yang shalat di tanah rampasan (ghashb), namun di atas sajadah atau kayu dan lainnya. Apakah shalatnya batal ataukah sah?
JAWAB:
Shalat di tanah ghashb batal meskipun di atas sajadah, ranjang atau lainnya.
SOAL 381:
Sebagian perusahaan dan yayasan yang berada dalam pengelolaan pemerintah sekarang ada orang-orang yang tidak ikut serta dalam shalat jamaah yang diadakan di sana dengan alasan karena tempat-tempat ini diambil-alih oleh pemerintah dari para pemiliknya berdasarkan keputusan mahkamah syar’i (pengadilan agama). Kami mohon penjelasan Anda dalam masalah ini?
JAWAB:
Jika diduga bahwa pejabat yang mengeluarkan keputusan pengambil alihan memiliki kompetensi secara legal dan telah sesuai dengan ukuran-ukuran syari’ah dan undang-undang, maka tindakannya dihukumi secara syar’i sebagai sah. Karenanya boleh menggunakan tempat itu dan hukum tentang ghashb (perampasan) tidak berlaku.
SOAL 382:
Jika ada masjid yang berdampingan dengan husainiyah, apakah sah melaksanakan shalat jamaah di husainiyah, dan apakah pahala shalat di kedua tempat itu sama?
JAWAB:
Tidak diragukan lagi bahwa keutamaan shalat di masjid lebih banyak dari pada shalat ditempat lain, namun tidak ada larangan syar'i melaksanakan shalat di husainiyah atau tempat manapun lainnya.
SOAL 383:
Apakah sah shalat di tempat yang di dalamnya terdengar musik yang haram ataukah tidak?
JAWAB:
Jika hal itu menyebabkan seseorang mendengarkan musik yang diharamkan, maka tidak boleh berdiam di tempat itu, meskipun shalatnya dihukumi sah. Jika suara musik menghilangkan perhatian dan konsentrasi, maka shalat di tempat itu makruh hukumnya.
SOAL 384:
Apa hukum shalat orang-orang yang diutus dalam suatu tugas di atas perahu dan tiba waktu shalat, apabila mereka tidak melakukannya pada waktu itu maka tidak akan bisa menunaikannya di dalam waktu shalat?
JAWAB:
Dalam kasus tersebut mereka wajib shalat di dalam perahu dan dengan cara apapun yang mungkin dilakukan.

"Jangan mengkritik orang bodoh, karena dia akan membencimu. Tapi kritiklah orang berakal, karena dia akan mencintaimu" (Imam Ali As).
HUKUM TEMPAT-TEMPAT KEAGAMAAN LAIN.
SOAL 417:
Apakah boleh secara syar'i memberi nama husainiyah dengan nama orang-orang tertentu, dan jika orang-orang yang turut membangun amal kebaikan ini tidak rela, apa hukumnya?
JAWAB:
Husainiyah yang diwakafkan untuk penyelenggaraan majlis-majlis keagamaan tidak perlu ditulis dengan nama orang-orang tertentu, dan jika ditulis dengan nama sebagian orang, maka wajib dengan izin semua orang yang turut membangunnya.
SOAL 418:
Dalam sejumlah risâlah amaliyah disebutkan bahwa orang yang junub dan wanita yang haid tidak diperbolehkan memasuki haram para Imam (As). Kami mohon penjelasan apakah haram ialah ruangan yang berada di bawah kubah saja, ataukah meliputi semua bangunannya?
JAWAB:
Yang dimaksud dengan haram ialah yang berada di bawah kubah yang diberkati dan yang dianggap oleh pandangan umum masyarakat (urf) sebagai haram dan masy’had. Sedangkan bangunan yang dihubungkan dan beranda (arwiqah), maka tidak diperlakukan secara hukum sebagai haram. Maka tidak ada masalah bagi orang yang sedang junub atau haidh masuk ke dalamnya, kecuali bagian tempat tersebut yang merupakan masjid.
SOAL 419:
Sebuah husainiyah telah didirikan di samping sebuah masjid kuno. Kini masjid tersebut tidak mampu menampung jamaah shalat. Apakah boleh menggabungkan huseiniyah tersebut dengan masjid dan menggunakannya sebagai masjid?
JAWAB:
Shalat di husainiyah tidak dipermasalahkan (la isykâl). Namun huseiniyah yang telah diwakafkan dengan cara yang benar menurut syari’ah sebagai husainiyah tidak boleh dirobah menjadi masjid atau digabungkan dengan masjid yang bersebelahan dengannya sebagai masjid.
SOAL 420:
Apa hukum menggunakan permadani dan benda-benda yang telah dinazarkan untuk makam putra salah satu dari para Imam di masjid-masjid kampung?
JAWAB:
Tidak ada larangan jika barang-barang tersebut telah melebihi keperluan makam putra para imam dan para penziarah.
SEPUTAR PAKAIAN PELAKU SHALAT.
SOAL 421:
Jika saya ragu tentang keternajisan pakaian saya, apakah jika saya shalat dengan pakaian tersebut hukumnya batal ataukah tidak?
JAWAB:
Pakaian yang diragukan terkena najis dihukumi suci, dan shalat dengannya sah.
SOAL 422:
Saya telah membeli ikat pinggang kulit dari Jerman. Apakah shalat dengan menggunakannya bermasalah secara syar'i (isykâl syar'i), jika saya ragu apakah ia kulit asli ataukah kulit buatan, dan apakah ia kulit hewan yang disembelih secara syar'i ataukah tidak? Dan apakah hukum shalat-shalat yang telah saya lakukan dengan menggunakannya?
JAWAB:
Jika ragu apakah ia kulit asli atau buatan, maka shalat dengan memakainya tidak bermasalah (la isykâl). Namun, bila ragu, setelah mendapatkan kepastian bahwa ia memang kulit asli, apakah ia dari hewan yang disembelih secara syar'i ataukah tidak, maka ia seperti bangkai dalam hukum keharaman dan tidak sah shalat dengan menggunakannya, meskipun dihukumi suci. Adapun shalat-shalat yang telah dilakukan dihukumi sah.
SOAL 423:
Jika seorang mushalli mengetahui bahwa tidak ada najis di tubuh dan pakaiannya lalu melakukan shalat, setelah itu terbukti bahwa tubuh atau pakaiannya terkena najis, apakah shalatnya batal ataukah tidak? Jika menyadari hal itu dipertengahan shalat apakah hukumnya?
JAWAB:
Jika tidak mengetahui sama sekali bahwa tubuh atau pakaiannya terkena najis lalu mengetahuinya setelah shalat, maka shalatnya sah, dan ia tidak wajib mengulang atau meng-qadha’nya. Namun, jika ia menyadarinya ketika sedang shalat, maka, jika ia dapat melenyapkan najis tanpa melakukan sesuatu yang bertentangan dengan shalat, maka wajib dilakukannya dan wajib menyempurnakan shalatnya. Namun, bila tidak dapat menghilangkan najis dengan tetap mempertahankan bentuk shalat, dan waktunya leluasa, maka ia wajib menghentikan shalatnya dan memulainya lagi setelah menghilangkan najis.
SOAL 424:
Salah seorang melakukan shalat selama beberapa waktu dengan mengenakan sesuatu dari kulit binatang yang diragukan penyembelihannya secara syar'i yang tidak sah digunakan dalam shalat. Apakah ia wajib mengulang shalatnya? Dan secara umum apakah hukum binatang yang diragukan penyembelihannya?
JAWAB:
Binatang yang diragukan penyembelihannya dihukumi sebagai bangkai berkenaan dengan hukum haramnya dimakan dan tidak sah shalat dengannya, namun ia dihukumi suci.
SOAL 425:
Apakah seorang wanita yang ketika shalat melihat sebagian rambutnya terbuka lalu segera menutupnya wajib mengulangi shalatnya ataukah tidak?
JAWAB:
Dalam kasus yang ditanyakan, tidak wajib mengulang shalat.
SOAL 426:
Seseorang terpaksa menyucikan tempat keluarnya kencing dengan batu atau kayu atau benda lain dan menyucikannya dengan air setelah sampai di rumah. Apakah ia wajib mengganti atau mensucikan pakaian dalamnya ketika hendak shalat?
JAWAB:
Jika pakaiannya tidak terkena najis oleh basah kencing organ, maka ia tidak wajib mensucikan pakaiannya.
SOAL 427:
Menghidupkan sebagian alat-alat industri impor biasanya dengan bantuan para tenaga ahli asing yang, menurut fiqih Islam, kafir dan najis. Karena mengoperasikan alat-alat tersebut dengan meletakkan minyak dan bahan-bahan lain melalui tangan, maka selanjutnya alat-alat tersebut tidak bisa suci. Mengingat bahwa pakaian dan tubuh para pekerja bersentuhan dengan alat-alat ini dan mereka tidak punya waktu untuk menyucikan pakaian dan badan secara sempurna pada waktu-waktu kerja, maka apa taklifnya berkenaan dengan shalat.
JAWAB:
Dengan adanya dugaan bahwa orang kafir yang menghidupkan mesin dan alat-alat tersebut dari kalangan ahlul kitab yang dihukumi suci, atau ketika bekerja ia mengenakan kaos tangan, maka tidak terdapat kepaspastian bahwa mesin dan alat-alat tersebut terkena najis hanya karena yang menghidupkannya orang kafir. Jika ada kepastian bahwa alat, tubuh dan pakaian saat bekerja terkena najis, maka wajib menyucikan tubuh dan menyucikan pakaian atau menggantinya untuk shalat.
SOAL 428:
Batalkah shalat seseorang yang membawa saputangan dan sejenisnya yang terkena najis darah atau meletakkannya dalam saku?
JAWAB:
Tidak ada masalah (la isykâl) jika saputangan itu berukuran kecil sehingga tidak dapat berfungsi sebagai penutup aurat.
SOAL 429:
Apakah sah shalat menggunakan pakaian yang diberi parfum yang mengandung alkohol?
JAWAB:
Tidak ada masalah dengan shalatnya selama tidak mengetahui secara pasti bahwa parfum terebut najis.
SOAL 430:
Apa yang wajib ditutupi oleh wanita ketika sedang melakukan shalat dan apakah ada masalah (isykâl) jika ia hanya mengenakan pakaian dengan lengan pendek dan tidak memakai kaos kaki?
JAWAB:
Tolok ukurnya ialah pakaiannya harus menutupi seluruh anggota tubuh kecuali wajah yang wajib dibasuh dalam wudhu, kedua telapak tangan sampai pergelangan dan kedua telapak kaki sampai pergelangan, meskipun kain penutup yang digunakan seperti cadur (abaya wanita di Iran).
SOAL 431:
Apakah wajib wanita menutupi kedua kaki ketika sedang shalat, ataukah tidak?
JAWAB:
Menutup kedua kaki sampai pergelangan, pada saat tidak ada non muhrim, tidak wajib.
SOAL 432:
Apakah wajib menutupi dagu ketika mengenakan hijab (jilbab) dan ketika sedang shalat secara sempurna, ataukah cukup menutupi bagian bawahnya saja atau wajib menutupi dagu karena ia merupakan awal bagi upaya menutup wajah yang wajib secara syar'i?
JAWAB:
wajib menutup bagian bawah dagu, bukan dagu yang merupakan bagian dari wajah.
SOAL 433:
Apakah hukum tentang benda yang terkena najis (mutanajjis) yang tidak dapat menutup aurat dalam shalat hanya berlaku jika seseorang shalat dalam keadaan lupa atau tidak tahu tentang hukum masalah tersebut atau tentang obyeknya, ataukah hukum tersebut mencakup kedua kondisi; ketidakpastian obyek (syubhah maudhu’iyah) dan ketidakpastian hukum (syubhah hukmiyah)?
JAWAB:
Hukum tersebut tidak khusus dalam keadaan lupa atau tidak tahu, melainkan diperbolehkan shalat dengan benda yang terkena najis yang tidak dapat menutup aurat shalat, meskipun dalam keadaan mengetahui dan menyadarinya.
SOAL 434:
Apakah bulu atau liur kucing pada pakaian pelaku shalat membatalkan shalat?
JAWAB:
Ia membatalkan shalat.
MEMAKAI DAN MENGGUNAKAN EMAS DAN PERAK.
SOAL 435:
Apa hukumnya lelaki memakai cincin emas terutama saat shalat?
JAWAB:
Lelaki tidak diperbolehkan memakai cincin emas dan shalat dengannya berdasarkan ihtiyâth (wajib) batal.
SOAL 436:
Apa hukum lelaki memakai emas putih?
JAWAB:
Jika yang disebut emas putih itu adalah emas kuning itu sendiri yang menjadi putih karena campuran warna, maka hukumnya haram, namun jika terbuat dari unsur emas yang sangat sedikit sehingga menurut pandangan umum ('urf) tidak disebut emas, maka tidak ada masalah. Dan Platina juga tidak bermasalah.
SOAL 437:
Apakah bermasalah (isykâl) secara syar'i menggunakan emas jika tidak untuk berhias dan tidak tampak bagi orang lain?
JAWAB:
Memakai emas bagi lelaki secara mutlak haram hukumnya, meskipun tidak untuk berhias atau tersembunyi dari pandangan orang lain.
SOAL 438:
Apa hukum lelaki memakai emas, karena kita menemukan sebagian orang mengaku bahwa memakai emas dalam waktu yang singkat, seperti detik-detik akad nikah tidak bermasalah?
JAWAB:
Diharamkan lelaki memakai emas, tanpa membedakan ukuran waktu yang pendek atau yang panjang.
SOAL 439:
Dengan menyadari hukum-hukum tentang pakaian orang yang shalat dan bahwa haram bagi lelaki berhias dengan emas, kami mohon jawaban atas dua pertanyaan berikut:
1. Apakah yang dimaksud berhias dengan emas mencakup seluruh bentuk penggunaan emas bagi lelaki meskipun dalam operasi bedah tulang atau gigi pasangan?
2. Mengingat bahwa salah satu tradisi negara kami ialah, bahwa para pemuda yang baru kawin mengenakan cincin tunangan terbuat dari emas kuning dan hal ini oleh masyarakat umum sama sekali tidak dianggap sebagi hiasan bagi lelaki, namun hanyalah sebagai simbul permulaan kehidupan rumah tangga seseorang, maka apa pendapat Anda tentang masalah ini?
JAWAB:
1. Kriteria haramnya lelaki memakai emas bukanlah karena untuk perhiasan, namun penggunaan emas dengan cara dan maksud apapun, maka haram hukumnya meskipun ia berupa cincin, gelang, atau kalung dan sebagainya, sedangkan penggunaan emas bagi lelaki dalam operasi bedah dan dalam gigi pasangan tidaklah dipermasalahkan.
2. Haram secara umum lelaki menggunakan cincin tunangan dari emas kuning.
SOAL 440:
Apa hukum menjual dan membuat perhiasan-perhiasan emas yang khusus bagi kaum lelaki yang tidak digunakan oleh kaum wanita?
JAWAB:
Membuat perhiasan emas jika untuk dipakai kaum lelaki haram hukumnya dan tidak boleh menjual dan membelinya.
SOAL 441:
Ketika bertamu terkadang kami disuguhi manisan dan kue di tempat yang terbuat dari perak. Apakah hal ini sama dengan makan dari bejana terbuat dari perak dan apa hukumnya?
JAWAB:
Diharamkan mengambil makanan dan sejenisnya dari bejana terbuat dari perak jika dengan tujuan untuk dimakan.
SOAL 442:
Apakah ada masalah melapisi gigi dengan emas dan apa hukumnya melapisi gigi dengan platina?
JAWAB:
Tidak ada larangan melapisi gigi dengan emas atau platina, namun melapisi gigi depan dengan emas, jika dengan tujuan berhias tidak bebas dari masalah.
AZAN DAN IQAMAH.
SOAL 443:
Di desa kami juru adzan selalu mengumandangkan adzan subuh pada bulan Ramadhan beberapa menit sebelum memasuki waktu agar orang-orang dapat makan dan minum sampai pertengahan adzan atau usainya. Apakah benar perbuatan demikian?
JAWAB:
Jika adzan tersebut tidak membuat masyarakat salah menduga dan bukan sebagai pengumuman terbitnya fajar, maka tidak dipermasalahkan (la isykâl).
SOAL 444:
Sebagian orang demi melaksanakan tugas amar ma’ruf dan nahi munkar mengumandangkan adzan bersama-sama di jalan-jalan umum, alhamdulillah kegiatan ini memberikan pengaruh yang sangat besar dalam menghalangi kerusakan yang dilakukan secara terbuka di lingkungan daerah dan mengarahkan orang-orang terutama para pemuda untuk melaksanakan shalat pada awal waktu, namun seseorang menyebutkan bahwa perbuatan ini tidak ada dalam syari’ah Islam dan merupakan perbuatan bid’ah. Pendapat ini menimbulkan kebingungan. Apa pendapat Anda tentang hal ini?
JAWAB:
Mengumandangkan adzan sebagai pemberitahuan untuk shalat pada awal waktu-waktu shalat faridhah harian dan mengeraskan suara saat membacanya serta mengikuti bacaan adzan bagi yang mendengarnya tergolong hal-hal yang sangat dianjurkan (al-mustahabbah al-akidah). Mengumandangkan adzan secara bersama-sama di sekitar jalan-jalan diperbolehkan selama tidak menyebabkan pelecehan, menutup jalan dan mengganggu orang.
SOAL 445:
Karena mengumandangkan adzan merupakan perbuatan ritual-politis dan mengandung pahala yang besar, orang-orang Mukmin bertekad mengumandangkan adzan tanpa pengeras suara dari atas loteng rumah-rumah mereka setiap kali tiba waktu shalat fardhu, terutama shalat subuh. Pertanyaannya, apa hukum melakukan hal itu apabila sebagian tetangga menentangnya?
JAWAB:
Mengumandangkan adzan dengan cara yang lazim dari atas loteng tidak ada masalah (la isykâl).
SOAL 446:
Apa hukumnya menyiarkan acara-acara khusus saat sahur bulan Ramadhan, kecuali adzan Subuh, melalui pengeras suara di masjid agar seluruh masyarakat dapat mendengarnya?
JAWAB:
Bila itu dilakukan di tempat-tempat yang sebagian besar warganya tidak tidur di malam hari bulan suci Ramadhan untuk membaca al-Qur’an, doa-doa dan mengikuti upacara-upacara keagamaan dan sebagainya, maka diperbolehkan (la isykâl). Namun, bila mengganggu tetangga, maka hal itu tidak diperbolehkan.
SOAL 447:
Apakah diperbolehkan menyiarkan ayat-ayat al-Qur’an di masjid-masjid dan pusat-pusat keagamaan sebelum tiba waktu subuh dan menyiarkan doa-doa setelah subuh dengan suara yang keras sekali sehingga mencapai jarak beberapa kilometer padahal hal itu terkadang berlangsung lebih dari setengah jam?
JAWAB:
Boleh menyiarkan adzan secara wajar sebagai pengumuman akan masuknya waktu shalat fardhu subuh melalui pengeras suara. Namun, bila penyiaran ayat-ayat Al-Qur’an, doa dan lainnya pada waktu kapan pun melalui pengeras suara di masjid menggangu tetangga, maka hal itu tidak memiliki pembenaran secara syar'i, bahkan bermasalah. (fihi isykâl).
SOAL 448:
Apakah boleh lelaki mencukupkan dirinya dengan adzan wanita untuk shalat?
JAWAB:
Mencukupkan diri dengan adzan wanita bagi orang laki-laki adalah bermasalah (mahallu isykâl).
SOAL 449:
Apa pendapat Anda tentang syahadah (kesaksian) ke tiga atas kepemimpinan dan wilayah sang penghulu para washiy (As) dalam adzan dan iqamah untuk shalat fardhu?
JAWAB:
Mengucapkan "Asyhadu anna 'Aliyyan Waliyyullah" sebagai syiar dan lambang tasyayyu' adalah baik dan penting serta harus dengan niat mendekatkan diri secara mutlak, namun bukan bagian dari adzan dan iqamah.
SOAL 450:
Selama beberapa waktu saya merasa kesulitan dengan sakit pinggang yang menimpa saya, bahkan kadang-kadang saya merasakan sangat sakit, sehingga tidak memungkinkan untuk shalat dengan berdiri. Dengan memperhatikan masalah tersebut apakah boleh saya shalat di awal waktu dengan duduk,padahal kalau saya bersabar sampai akhir waktu mungkin saya dapat melakukannya dengan berdiri, apa tugas saya?
JAWAB:
Jika Anda memberikan kemungkinan, bahwa pada akhir waktu akan dapat melakukan shalat dengan berdiri, maka berdasarkan ihtiyâth Anda wajib bersabar, namun jika pada awal waktu disebabkan alasan tersebut Anda melakukan shalat dengan duduk, kemudian sampai akhir waktu alasan (sakit/uzur) tersebut belum hilang, maka shalat yang telah Anda lakukan dihukumi sah dan tidak perlu diulang. Lain halnya jika Anda dari awal waktu mengira, bahwa uzur Anda akan berlangsung sampai akhir waktu dan Anda lakukan shalat dengan duduk, lalu uzur Anda hilang sebelum akhir waktu, maka Anda harus mengulang shalat dengan berdiri.
ZIKIR.
SOAL 471:
Apakah ada masalah (isykâl) jika mengganti zikir ruku’ dengan zikir sujud dan sebaliknya secara sengaja?
JAWAB:
Jika ia melakukannya dengan dasar sebagai zikirullah (‘azza ismuh) secara umum, maka tidak ada masalah, sedangkan ruku’, sujud, dan shalatnya sah seluruhnya.
SOAL 472:
Jika seorang membaca zikir ruku’ dalam sujudnya karena lupa atau sebaliknya; membaca zikir sujud ketika ruku’, lalu ia segera ingat dan melakukan pembenahan, apakah shalatnya sah?
JAWAB:
Tidak ada masalah, dan shalatnya sah.
SOAL 473:
Jika seseorang, setelah usai shalat atau saat sedang melakukan shalat, ingat bahwa zikir yang ia baca pada sujud atau ruku' nya keliru, apakah hukumnya?
JAWAB:
Jika (ingat) setelah melalui posisi zikir, yakni ruku’ dan sujud, maka ia tidak menanggung suatu apapun.
SOAL 474:
Apakah cukup seseorang membaca tasbihât arba’ah (tasbih yang empat, yakni subhaanallaahi wal hamdulillaahi wa laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar, penj) sekali saja dalam rakaat ketiga dan keempat?
JAWAB:
Cukup, namun dianjurkan berdasarkan ihtiyâth, membacanya tiga kali.
SOAL 475:
Tasbihât arba’ah dalam shalat dibaca tiga kali. Namun, ada seseorang yang karena lupa membacanya empat kali. Apakah shalatnya diterima di sisi Allah Swt?
JAWAB:
Tidak ada masalah (la isykâl).
SOAL 476:
Apakah hukum orang yang tidak tahu bahwa ia telah membaca tasbihât arba’ah sebanyak tiga kali atau lebih atau kurang dalam rakaat ketiga dan keempat shalatnya?
JAWAB:
Membaca satu kali juga sudah cukup dan ia tidak menanggung suatu apapun. Dan selama belum melakukan ruku’, ia dapat menganggap bahwa ia telah membacanya kurang dari tiga kali lalu mengulanginya sampai yakin bahwa ia telah mengucapkannya sebanyak tiga kali.
SOAL 477:
Apakah boleh membaca “bihaulillâhi wa quwwatihi...” ketika tubuh sedang bergerak dalam shalat? Apakah hal itu sah sebagaimana dalam posisi berdiri (qiyâm)?
JAWAB:
Tidak ada masalah (la isykâl). Pada dasarnya zikir tersebut (dibaca) dalam keadaan berdiri untuk memasuki rakaat berikutnya.
SOAL 478:
Apakah yang dimaksud dengan ‘zikir’? Apakah ia mencakup salawat atas Nabi dan keluarganya (Saw)?
JAWAB:
Zikir adalah setiap lafaz yang mengandung sebutan Allah (‘azza ismuh), sedangkan shalawat atas Muhammad dan keluarga Muhammad (Saw) termasuk zikir yang termulia.
SOAL 479:
Apakah ada masalah (isykâl) jika kami pada saat melakukan shalat witir, yang hanya satu rakaat, saat mengangkat tangan dalam qunut dan permohonan hajat, menyebutkan keperluan-keperluan dengan Bahasa Persia?
JAWAB:
Tidak ada malasah (la isykâl) berdo’a dalam qunut dengan Bahasa Persia. Bahkan tidak ada larangan berdoa dalam qunut dengan bahasa apapun selain Bahasa Arab.
SUJUD.
SOAL 480:
Apakah hukum sujud dan tayammum dengan semen atau lantai (ubin)?
JAWAB:
Tidak ada masalah (isykâl) bersujud di atas kedua benda tersebut dan bertayammum dengan keduanya.
SOAL 481:
Apakah ada masalah jika meletakkan kedua tangan saat sedang shalat di atas lantai yang berlubang-lubang kecil?
JAWAB:
Dalam kasus yang anda sebutkan, tidak ada masalah (la isykâl).
SOAL 482:
Apakah ada masalah menggunakan turbah sujud yang telah menghitam dan kotor hingga lapisan kotoran tersebut menjadi penghalang antara dahi dan turbah?
JAWAB:
Jika kotoran pada turbah tersebut sedemikian rupa sehingga menghalangi antara dahi dan turbah, maka batallah sujudnya, demikian pula shalatnya.
SOAL 483:
Seorang wanita yang sujud di atas turbah, sedangkan dahinya tertutup oleh hijab, terutama tempat bersujud. Apakah ia wajib mengulangi shalat-shalatnya?
JAWAB:
Ia tidak wajib mengulang jika saat bersujud tidak menyadari adanya penghalang.
SOAL 484:
Seorang wanita meletakkan kepalanya di atas turbah, lalu merasa bahwa dahinya tidak menyentuh turbah secara sempurna, karena cadur (sejenis abaya wanita di Iran) atau saputangan menghalangi antara keduanya. Karena itulah ia mengangkat kepalanya dan meletakkannya lagi di atas turbah setelah menyingkirkan penghalangnya. Bagaimanakah hukum berkenaan dengan kasus ini? Dan jika tindakan meletakkan kepala kembali dianggap sebagai satu sujud secara terpisah, apa hukum shalat-shalat yang telah dilakukannya?
JAWAB:
Ia wajib menggerakkan dahi hingga mencapai turbah tanpa mengangkatnya dari tanah. Dan jika ia mengangkat dahi dari tanah, demi bersujud di atas turbah karena tidak tahu atau lupa, dan ia melakukannya dalam satu sujud di antara dua sujud pada satu rakaat, maka shalatnya sah dan ia tidak wajib mengulangnya. Namun, jika ia mengangkat dahinya karena ingin bersujud di atas turbah secara sengaja atau melakukan hal itu dalam dua sujud sekaligus dalam satu rakaat, maka shalatnya batal dan ia wajib mengulangnya.
SOAL 485:
Wajib meletakkan tujuh anggota sujud di atas tanah saat sedang sujud. Namun kami tidak mampu melakukan hal ini karena kondisi kesehatan yang tidak mengizinkan karena kami termasuk veteran yang cacat dan menggunakan kursi roda. Untuk melakukan shalat, adakalanya kami megangkat turbah dan kami tempelkan pada dahi, dan adakalanya kami letakkan turbah pada pegangan kursi roda lalu kami bersujud di atasnya. Apakah perbuatan demikian sah?
JAWAB:
Jika anda mampu meletakkan turbah di atas pegangan kursi dan bersujud di atasnya, maka lakukanlah, dan shalat anda sah. Jika tidak, lakukanlah dengan cara apapun yang bisa anda lakukan, meskipun dengan membungkuk atau dengan memberikan isyarat untuk sujud dan ruku’, dan tidak ada masalah. Semoga anda dikaruniai kesuksesan oleh Allah ta’aala.
SOAL 486:
Apa hukum sujud di atas batu marmer yang dijadikan lantai makam-makam mulia?
JAWAB:
Tidak ada masalah (la isykâl) bersujud di atas batu marmer.
SOAL 487:
Apa hukum meletakkan sebagian jari-jari kaki di samping ibu jari di atas tanah saat bersujud?
JAWAB:
Tidak ada masalah (la isykâl).
SOAL 488:
Akhir-akhir ini telah diproduksi sebuah turbah untuk shalat yang diberi nama ‘turbah Al Amin’. Fungsinya ialah untuk menghitung jumlah rakaat dan sujud pelaku shalat dan menghilangkan keraguan dalam batas tertentu. Mengingat bahwa perusahaan yang memproduksinya mengaku bahwa para marja’ taqlid memperbolehkan bersujud di atasnya, kami mohon penjelasan pendapat Anda YM, padahal turbah tesebut bergerak ke bawah karena di bawahnya terdapat pegas besi ketika dahi diletakkan di atasnya. Apakah sah bersujud di atas turbah tersebut?
JAWAB:
Jika ia termasuk benda yang sah dijadikan sebagi tempat sujud dan tidak bergerak saat meletakkan dahi di atasnya dan ditekan, maka sujud di atasnya tidak ada masalah (la isykâl).
SOAL 489:
Kaki sebelah manakah yang kita letakkan di atas kaki lainnya ketika duduk setelah sujud?
JAWAB:
Dimustahabkan duduk pada paha kiri, dan meletakkan bagian luar kaki kanan di atas telapak kaki kiri.
SOAL 490:
Zikir apakah yang lebih utama dibaca setelah zikir wajib dalam sujud dan ruku’?
JAWAB:
Mengulangi zikir wajib itu sendiri dan mengakhirinya pada bilangan ganjil. Sebagaimana dimustahabkan dalam sujud, di samping zikir wajib, untuk memohon hajat (keperluan) dunia dan akhirat.
SOAL 491:
Apakah taklif syar’i kami ketika mendengar ayat-ayat sajdah dari tape recorder atau radio?
JAWAB:
Pada kasus yang ditanyakan sujud hukum wajib.
HAL-HAL YANG MEMBATALKAN SHALAT.
SOAL 492:
Apakah shalat menjadi batal jika membaca syahâdah (kesaksian) atas kepemimpinan (wilâyah) Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib As dalam tasyahhud?
JAWAB:
Shalat termasuk di dalamnya bacaan tasyahhud haruslah dilakukan seperti yang diterangkan oleh para marja agung syiah (semoga Allah memperbanyak jumlah mereka) dalam risâlah amaliyah mereka. Janganlah menambahkan sesuatu atas hal itu, meskipun hal itu haq dan benar pada dirinya.
SOAL 493:
Seseorang kejangkitan riya’ dalam ibadah-ibadahnya. Kini ia berusaha menentang hawa nafsunya. Apakah hal ini juga dianggap sebagai riya’? Dan bagaimana ia dapat menghindarinya?
JAWAB:
Setiap amal perbuatan yang dilakukan karena Tuhan di antaranya memerangi riya', tidak bisa dianggap riya'. Dan untuk melepaskan diri dari riya’, ia harus merenungkan keagungan Allah Swt dan merenungkan kelemahan dan kepapaan dirinya sebagaimana makhluk-makhluk lain kepadaNya serta merenungkan kehambaan dirinya dan seluruh umat manusia kepada Allah Swt.
SOAL 494:
Saat bergabung dalam shalat jamaah saudara-saudara sunni, kata ‘aamiin’ disuarakan secara keras setiap kali imam usai membaca al-Fâtihah. Apa hukumnya hal itu?
JAWAB:
Jika keikutsertaan (dalam shalat jamaah tersebut) mengharuskan ucapan ‘aamiin’ dalam kasus yang disebutkan, maka tidak ada larangan mengucapkannya, jika tidak maka hal itu tidak diperbolehkan.
SOAL 495:
Kadang kala saat sedang shalat wajib, kami melihat anak kecil melakukan perbuatan berbahaya. Apakah boleh membaca sebagian ayat surah al-Fâtihah atau surah lain, atau sebagian zikir dengan suara lantang agar anak kecil itu sadar atau demi menarik perhatian orang di dalam rumah agar mencegah bahaya? Dan apakah hukum shalat sambil menggerakkan tangan atau mengernyitkan dahi demi memahamkan seseorang tentang suatu masalah atau demi menjawab pertanyaannya?
JAWAB:
Jika mengangkat suara ketika membaca ayat-ayat atau zikir-zikir demi mengingatkan orang lain tidak menyebabkan keluar dari bentuk keadaan shalat, maka hal itu tidak dipermasalahkan, selama qira’ah (bacaan Alfatihah dan surah. penj) dan zikir tersebut dilakukan dengan tujuan qira’ah dan zikir. Sedangkan berbicara saat sedang bershalat atau melakukan gerakan yang tidak bertentangan dengan ketenangan dan thuma’ninah atau tidak bertentangan dengan bentuk shalat, maka tidak membatalkan shalat.
SOAL 496:
Jika seseorang tertawa saat sedang shalat karena teringat ucapan yang menggelikan (lucu) atau terjadinya suatu yang memancing tawa, apakah shalatnya batal ataukah tidak?
JAWAB:
Jika tertawa dengan mengeluarkan suara maka shalatnya batal.
SOAL 497:
Apakah mengusap wajah dengan kedua tangan setelah qunut saat sedang shalat membatalkan shalat? Jika menyebabkan batalnya shalat, maka apakah hal itu dianggap maksiat dan dosa?
JAWAB:
Makruh hukumnya, namun tidak membatalkan shalat.
SOAL 498:
Apakah boleh memejamkan kedua mata saat shalat karena membuka keduanya mengalihkan pikiran dari shalat?
JAWAB:
Tidak ada larangan syar’i memejamkan kedua mata saat shalat. Namun makruh hukumnya.
SOAL 499:
Saat sedang shalat saya teringat akan peristiwa-peristiwa keimanan dan kondisi-kondisi spiritual yang dulu saya alami ketika berjuang melawan Rezim Ba’ts yang kafir sehingga dapat membantu saya menambah kekhusukan dalam shalat. Apakah hal ini membatalkan shalat?
JAWAB:
Hal ini tidak merusak keabsahan shalat?
SOAL 500:
Apakah permusuhan dan tidak saling tegur sapa antara dua orang selama tiga (3 hari) membatalkan shalat dan puasa juga?
JAWAB:
Permusuhan dan tidak saling tegur-sapa antar dua orang, walaupun termasuk perbuatan tercela dalam syariat, tidak membatalkan shalat ataupun puasa.
MEMBALAS SALAM.
SOAL 501:
Apakah wajib membalas salam anak-anak?
JAWAB:
Wajib membalas salam dari anak-anak laki dan perempuan mumayyiz (yang mampu membeda-bedakan antara yang baik dan yang buruk. pen), sebagaimana wajib membalas salam dari lelaki dan wanita dewasa.
SOAL 502:
Jika seseorang mendengar salam namun tidak membalasnya karena lalai atau karena sebab lain sehingga terputus dalam jarak waktu singkat, apakah masih wajib membalasnya?
JAWAB:
Jika keterlambatan itu terjadi dalam jarak waktu yang sekiranya tidak lagi disebut sabagai membalas salam, maka membalasnya tidak wajib.
SOAL 503:
Jika seseorang mengucapkan salam kepada sejumlah orang dengan mengucapkan “Assalamualaikum jami’an” artinya ‘salam atas Anda sekalian semua’, sedangkan salah satu dari mereka sedang melakukan shalat, apakah ia wajib membalas, meskipun orang-orang lain (yang tidak shalat) telah membalas salamnya?
JAWAB:
Berdasarkan ahwath hendaknya tidak memulai membalas apabila orang lain telah membalasnya.
SOAL 504:
Apa pendapat Anda tentang membalas penghormatan yang tidak menggunakan kata ‘salam’?
JAWAB:
Tidak diperbolehkan membalasnya ketika sedang shalat. Adapun di luar shalat berdasarkan ahwath, wajib membalasnya jika berupa ucapan dan, menurut pandangan umum (‘urf), tergolong sebagai penghormatan.
SOAL 505:
Jika seseorang mengucapkan salam beberapa kali dalam satu waktu atau beberapa orang mengucapkan salam, apakah cukup membalasnya satu kali untuk semuanya?
JAWAB:
Yang pertama cukup membalas satu kali. Adapun yang kedua cukup sekali dalam bentuk kata yang umum sehingga mencakup semua dengan tujuan membalas salam mereka.
SOAL 506:
Salah seorang mengucapkan penghormatan dengan menggunakan kata ‘salam’, bukan ‘assalamu’alaikum’. Apakah wajib membalas salamnya? Dan jika seorang yang belum baligh mengucapkan ‘salamun alaikum’, apakah wajib membalas penghormatannya?
JAWAB:
Jika menurut pandangan masyarakat umum (‘urf) ucapan tersebut merupakan penghormatan dan salam, maka wajib membalasnya. Dan jika yang mengucapkan salam anak kecil yang mumayyiz, maka wajib membalasnya.
KERAGUAN-KERAGUAN DALAM SHALAT.
SOAL 507:
Apa hukum orang yang berada dalam rakaat ketiga shalat ragu apakah ia telah melakukan qunut ataukah tidak? Apakah ia harus melanjutkan shalat atau menghentikannya sejak keraguan itu muncul?
JAWAB:
Keraguan tersebut tidak perlu dipedulikan. Shalatnya sah dan mukallaf dalam masalah ini tidak menanggung suatu apapun.
SOAL 508:
Apakah keraguan dalam shalat nafilah tentang hal-hal selain rakaat, seperti ragu apakah telah melakukan sekali sujud ataukah dua kali, harus dipedulikan?
JAWAB:
Hukum tentang keraguan dalam bacaan dan perbuatan shalat nafilah sama dengan keraguan dalam shalat fardhu. Artinya, keraguan harus dipedulikan jika muncul saat mushalli belum beranjak dari posisi yang diragukan , dan tidak perlu dipedulikan jika ia telah melewati posisi yang diragukan.
SOAL 509:
Orang yang banyak ragu tidak perlu mempedulikan keraguannya. Namun, apa tugas yang harus dilakukannya jika mengalami keraguan dalam shalat?
JAWAB:
Tugasnya ialah menganggap dirinya telah melakukan apa yang diragukannya. Kecuali jika melakukan hal tersebut membatalakan shalat, maka ia harus menganggap dirinya tidak melakukannya, tanpa membedakan antara keraguan tentang rakaat, perbuatan dan bacaan.
SOAL 510:
Jika seseorang setelah beberapa tahun menyadari bahwa ibadah-ibadahnya adalah batal atau meragukannya, maka apakah tugasnya?
JAWAB:
Keraguan tentang suatu perbuatan yang telah dilakukan tidaklah dipedulikan. Namun, bila mengetahui bahwa perbuatannya batal, maka ia wajib mengqadha bagian-bagian yang masih bisa disusulkan.
SOAL 511:
Jika seseorang melaksanakan bagian-bagian tertentu dalam shalat tidak pada tempatnya karena lupa, atau jika pandangan matanya tertuju pada sebuah tempat, atau jika saat sedang bershalat berbicara karena lupa, apakah shalatnya batal ataukah tidak? Dan apa yang wajib dilakukannya?
JAWAB:
Perbuatan-perbuatan yang dilakukan karena lupasaat sedang shalat tidak membatalkan shalat. Dan dalam sebagian kasus terentu menyebabkan wajibnya sujud sahwi. Kecuali bila menambah atau mengurangi sebuah rukun, maka shalatnya batal.
SOAL 512:
Jika seseorang lupa satu rakaat dalam shalatnya lalu ingat pada rakaat terakhir, seperti menganggap rakaat pertama sebagai rakaat kedua lalu melanjutkan yang ketiga dan keempat, dan pada rakaat terakhir ia sadar itu adalah rakaat ketiga. Apa tugas syar’inya?
JAWAB:
Ia wajib melakukan rakaat yang kurang dalam shalatnya sebelum salam, kemudian membaca salam. Jika ia tidak melakukan tasyahhud wajib pada tempatnya, maka ia wajib meng-qadha’nya juga berdasarkan ahwath. Dan melakukan dua sujuh sahwi.
SOAL 513:
Bagaimana seseorang dapat mengetahui jumlah rakaat shalat ihtiyâth? Apakah satu ataukah dua rakaat?
JAWAB:
Jumlah rakaat shalat ihtiyâth ialah sebanyak kekurangan yang diperkirakan dalam shalat. Jika keraguan berkisar antara dua rakaat dan empat, maka shalatul-ihtiyâth wajib dilakukan dengan dua rakaat. Jika keraguan berkisar antara rakaat ketiga dan rakaat keempat, maka wajib melakukan satu rakaat shalat ihtiyâth.
SOAL 514:
Apakah wajib melakukan sujud sahwi jika seseorang membaca dalam keadaan tidak sadar atau secara keliru sebuah kata-kata dalam zikir shalat, ayat-ayat Al-Qur’an atau doa-doa qunut?
JAWAB:
Tidak wajib.
SHALAT QADHA’
SOAL 515:
Sampai menginjak usia 17 tahun saya tidak tahu tentang ihtilâm (mimpi basah), ghusl (mandi) dan sebagainya dan saya tidak pernah mendengar tentang hal-hal tersebut dari seseorang. Saya semula tidak mengerti arti janâbah dan kewajiban mandi. Karena itulah, shalat dan puasa saya hingga usia itu bermasalah. Kami mohon Anda berkenan menerangkan taklif yang wajib saya laksanakan?
JAWAB:
Seluruh shalat yang telah anda lakukan dalam keadaan janâbah wajib diqadha’. Sedangkan puasa yang anda lakukan dalam keadaan janâbah karena tidak mengetahui (kejadian) janâbah itu sendiri, sah dan cukup, serta tidak wajib diqadha’.
SOAL 516:
Sangat disesalkan saya dulu melakukan onani yang nista karena kebodohan dan lemah dalam mengendalikan keinginan. Karena itulah, terkadang saya tidak shalat, namun saya tidak mengetahui seberapa lama saya tidak melakukan shalat. Saya tidak meninggalkan shalat secara berurutan melainkan saat janâbah dan belum mandi. Perkiraan saya itu berjalan selama enam bulan. Kini saya bertekad untuk meng-qadha’ shalat dalam jangka waktu tersebut. Apakah wajib meng-qadha’ shalat itu ataukah tidak?
JAWAB:
Sejumlah shalat harian yang Anda ketahui belum Anda laksanakan atau telah Anda lakukan dalam keadaan hadats wajib di-qadha’.
SOAL 517:
Seseorang yang tidak tahu bahwa dirinya menanggung kewajiban (dzimmah) shalat qadha’. Apakah shalat mustahab atau nafilah yang ia lakukan dihitung sebagai shalat qadha’ jika akhirnya mengetahui bahwa ia wajib melakukan shalat qadha’?
JAWAB:
Shalat nafilah dan mustahab tidak dihitung sebagai shalat qadha’. Jika ia menanggung kewajiban (dzimmah) shalat qadha’, maka ia wajib melakukan shalat dengan niat qadha’.
SOAL 518:
Sejak sekitar 7 bulan saya mencapai usia takif (akil baligh). Beberapa minggu menjelang usia taklif saya beranggapan bahwa satu-satunya tanda ke-baligh-an adalah dengan mencapai usia 15 th sesuai kalender Hijriyah Qamariah. Hanya saja sekarang saya telah membaca sebuah buku yang membahas tentang tanda-tanda ke-baliqh-an bagi lelaki, dan saya temukan ada tanda-tanda lain bagi ke-baligh-an dan itu ada pada diri saya, hanya saja saya tidak tahu tanggal kejadiannya. Apakah saya menanggung kewajiban (dzimmah) qadha shalat dan puasa, karena kadang kala saya melakukan shalat, pada bulan Ramadhan yang lalu saya melakukan puasa sebulan penuh. Apa hukum masalah ini?
JAWAB:
Anda wajib meng-qadha’ shalat dan puasa yang Anda yakini telah Anda tinggalkan sesudah mencapai usia taklif syar'i.
SOAL 519:
Seseorang pada bulan Ramadhan mandi janâbah tiga kali, umpamanya ia mandi pada hari ke 20, hari ke 25 dan pada hari ke 27. Setelah itu ia yakin bahwa salah satu dari tiga mandi tersebut batal. Apa hukum shalat dan puasanya?
JAWAB:
Puasanya sah. Namun wajib meng-qadha shalat sampai ia yakin bahwa dirinya sudah bebas dari tanggungan.
SOAL 520:
Ada seseorang sejak beberapa waktu lalu tidak memperhatikan urutan dalam mandi karena ketidaktahuan. Apa hukum shalat dan puasa yang telah dikerjakannya dahulu?
JAWAB:
Jika perbuatan tidak memperhatikan urutan dalam mandi sedemikian rupa sehingga menyebabkan mandinya batal, seperti mendahulukan basuhan sisi kanan tubuh sebelum membasuh kepala dan leher, atau membasuh sisi kiri sebelum sisi kanan, maka ia wajib mengqadha’ seluruh shalat yang dikerjakannya dalam keadaan hadats besar. Sedangkan puasanya dihukumi sah jika dulu ia yakin akan keabsahan mandinya.
SOAL 521:
Apa yang wajib dilakukan orang yang hendak mengqadha’ shalat selama satu tahun?
JAWAB:
Ia boleh memulai dengan salah satu shalat kemudian ia lakukan sebagaimana ia melakukan lima shalat harian (fardhu).
SOAL 522:
Jika seseorang mempunyai tanggungan qadha’ sejumlah shalat, apakah ia boleh melakukan qadha’ dengan urutan sebagai berikut:
1. Shalat Subuh 20 kali, misalnya.
2. Shalat Dhuhur dan Ashar masing-masing 20 kali.
3. Shalat Maghrib dan Isya’ masing-masing 20 kali, dan begitulah seterusnya selama satu tahun.
JAWAB:
Boleh melakukan qadha’ shalat dengan cara yang disebutkan.
SOAL 523:
Seseorang mengalami cedera di kepala dan mengenai sebagian otaknya. Akibatnya, tangan, kaki kiri, dan lidahnya mengalami kelumpuhan. Ia juga lupa cara shalat dan tidak mampu mempelajarinya. Namun, ia dapat membedakan bagian-bagian shalat dengan cara membaca buku atau dengan cara mendengarkan kaset. Kini ia menghadapi dua masalah berkaitan dengan shalat. Masalah pertama, ia tidak mampu menyucikan tempat kencing dan tidak dapat berwudhu’. Masalah kedua, berkenaan dengan bacaan dalam shalat. Apa hukumnya? Begitu juga, apa hukumnya dengan shalat yang tidak dilakukannya selama enam bulan?
JAWAB:
Najisnya badan tidak merusak keabsahan shalatnya jika memang tidak bisa untuk membersihkannya. Jika mampu- meski dengan bantuan orang lain- berwudhu’ atau bertayammum, maka wajib shalat dengan cara yang mampu dilakukannya, meskipun dengan bantuan mendengarkan kaset, atau dengan melihat tulisan dan sebagainya. Shalat-shalat yang telah dilewatkan, wajib meng-qadha’nya, kecuali shalat yang tidak dikerjakan akibat dari ketidaksadaran yang menelan semua waktu shalat.
SOAL 524:
Ketika masih muda saya telah mengqadha’ shalat Dhuhur dan Ashar lebih banyak dari pada mengqadha’ shalat Maghrib, Isya’ dan Subuh, namun saya tidak tahu runtut, urutan dan jumlahnya. Apakah dalam kasus demikian shalat daur berlaku? Apakah shalat daur itu? Kami mohon Anda menjelaskan hal itu?
JAWAB:
Pada shalat qadha menunaikan urutan selain shalat Dhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya dalam sehari tidak wajib hukumnya.
SOAL 525:
Setelah kawin, kadang kala keluar dari kemaluan saya cairan. Saya yakin bahwa itu najis. Karenanya, saya mandi dengan niat mandi janâbah. Kemudian saya shalat tanpa wudhu’. Cairan ini dalam risâlah amaliyah disebut ‘madzi’. Kini saya tidak tahu apakah hukum shalat-shalat yang dulu telah saya lakukan dengan mandi janâbah tanpa mengalami janâbah dan tanpa berwudhu?
JAWAB:
Seluruh shalat yang telah Anda lakukan tanpa wudhu’ dengan mandi janâbah setelah keluarnya cairan tersebut wajib di-qadha’.
SOAL 526:
Jika seseorang yang kafir masuk Islam setelah beberapa waktu. Apakah wajib mengqadha’ shalat-shalat dan puasa yang tidak dilaksanakannya ataukah tidak?
JAWAB:
Tidak wajib.
SOAL 527:
Sejumlah orang -akibat informasi yang menyesatkan- meninggalkan shalat dan kewajiban-kewajiban mereka selama beberapa tahun. Namun setelah membaca Risâlah Imam Khomaini (Ra), mereka taubat dan kembali ke (jalan) Allah swt. Namun sekarang mereka tidak mampu meng-qadha’ shalat-shalat yang ditinggalkan. Apa hukumnya?
JAWAB:
Mereka wajib mengqadha’ shalat-shalat yang telah lewat sebatas yang memungkinkan.
SOAL 528:
Ada seorang mati dan ia menanggung qadha’ puasa Ramadhan dan shalat. Ia meninggalkan sejumlah harta, jika uang tersebut digunakan untuk mengqadha’ puasa Ramadhan, maka akan tetap tanggungan qadha’ shalatnya, begitu pula sebaliknya. Dalam situasi demikian manakah yang harus didahulukan?
JAWAB:
Tidak ada yang diutamakan antara shalat dan puasa. Selama masih hidup, maka ia sendiri wajib meng-qadha’ shalat dan puasa. Jika tidak melakukannya sendiri, maka harus berwasiat pada akhir hidupnya untuk menyewa seseorang untuk meng-qadha shalat dan puasanya sejumlah yang dapat dibayar dari sepertiga harta peninggalannya dan (biayanya) diambilkan dari sepertiga harta yang ditinggalkan.
SOAL 529:
Dulu saya sering shalat dan mengqadha’ sebagian shalat yang terlewatkan, karena tidur pada waktu shalat atau karena badan dan pakaian dalam keadaan najis ketika saya malas mensucikannya. Bagaimanakah saya menghitung jumlah tanggungan saya berupa qadha’ shalat-shalat harian, shalat ayat dan shalat qashr?
JAWAB:
Anda cukup mengqadha’ sejumlah shalat yang diyakini telah anda tinggalkan. Dan yang anda yakini dari jumlah tersebut sebagai shalat qashr atau shalat ayat itulah yang harus anda lakukan sesuai keyakinan anda. Sedangkan sisanya anda lakukan sebagai qadha’ shalat-shalat harian secara sempurna (tamam/ bukan qashr). Anda tidak menanggung kewajiban apapun lebih dari itu.
SHALAT QADHA’ PUTRA SULUNG.
SOAL 530:
Ayah saya mengalami stroke otak dan menderita sakit selama dua tahun. Akibatnya, ia tidak mampu membedakan antara baik dan buruk. Artinya, kemampuan berfikir dan bernalarnya telah lenyap. Selama dua tahun ia tidak melakukan shalat dan puasa sedangkan saya adalah putra terbesar dalam keluarga. Apakah saya wajib mengqadha’ shalat dan puasanya. Tentu, saya tahu bahwa jika ia waras, maka saya wajib meng-qadha’nya. Saya mengharap Anda membimbing saya dalam masalah ini?
JAWAB:
Jika kelemahan daya berfikirnya tidak mencapai batas kegilaan, dan ia tidak mengalami ketidaksadaran selama waktu-waktu shalat maka ia wajib mengqadha’ shalat-shalat yang telah dilewatkannya.
SOAL 531:
Jika seseorang mati, siapa yang wajib melunasi kaffarah (denda) puasanya? Apakah putrai-putrinya wajib membayar kaffarah, atau orang lain boleh membayarnya?
JAWAB:
Kaffarah puasa yang tadinya menjadi tanggungan ayah, jika bersifat mukhayyarah (boleh memilih), seperti bila ia mampu berpuasa dan memberi makan, maka jika biaya pembayarannya bisa diambil dari harta peninggalannya maka wajib dilakukan demikian. Jika tidak, maka anak lelaki tertua, berdasarkan ahwath, wajib berpuasa.
SOAL 532:
Ada lelaki lanjut usia yang telah meninggalkan keluarganya karena alasan tertentu dan tidak dapat berhubungan dengan mereka. Sedangkan ia merupakan anak lelaki tertua dalam keluarganya. Ayahnya telah wafat dalam waktu itu. Ia tidak tahu jumlah shalat qadha’ dan lainnya. Ia juga tidak memiliki harta yang cukup untuk menyewa orang melakukan shalat ijarah, dan tidak mampu meng-qadha’ sendiri karena usianya yang sudah lanjut. Apa yang harus dikerjakannya?
JAWAB:
Tidak wajib meng-qadha’ shalat-shalat ayah kecuali yang diketahui telah ditinggalakan. Putra tertua wajib meng-qadha’ shalat-shalat ayahnya dengan cara yang dapat dilakukannya. Jika tidak mampu, maka ia dimaafkan (ma’dzur).
SOAL 533:
Jika anak tertua orang yang mati adalah wanita, sedangkan anak keduanya laki-laki, apakah ia (anak laki) wajib meng-qadha’ shalat-shalat dan puasa-puasa ayah dan ibunya?
JAWAB:
Tolok ukurnya ialah bahwa anak lelaki itu merupakan anak tertua di antara semua anak lelaki, kalau ia memang mempunyai anak-anak lelaki. Dalam kasus yang ditanyakan, qadha’ shalat dan puasa ayah beserta ibu wajib dilakukan oleh anak lelaki yang merupakan anak kedua.
SOAL 534:
Jika putra tertua -baligh atau tidak- mati sebelum ayahnya, apakah kewajiban mengqadha’ shalat ayah gugur dari anak-anak yang lain ataukah tidak?
JAWAB:
Taklif (kewajiban) megqadha’ shalat dan puasa ayahnya berlaku atas putra tertua yang masih hidup saat sang ayah meninggal meskipun ia bukan anak pertama atau putra pertama bagi ayahnya.
SOAL 535:
Saya adalah putra tertua dalam keluarga. Apakah saya wajib demi melakukan qadha’ atas shalat-shalat fardhu ayah, memastikan hal itu ketika ia masih hidup? Atau apakah ia wajib memberi tahu saya tentang jumlah shalat yang dilewatkan? Jika ia tidak memberitahu, apa tugas saya?
JAWAB:
Anda tidak wajib menyelidiki dan menanyakan hal itu namun, dalam konteks ini seorang ayah wajib berwasiat. Yang jelas, putra tertua diantara anak-anak lelaki berkewajiban -setelah wafat ayahnya- mengqadha’ jumlah shalat dan puasa yang diyakini telah ditinggalkan ayahnya.
SOAL 536:
Jika seseorang mati dan harta peninggalannya hanya sebuah rumah yang kini ditempati oleh anak-anaknya. Ia mempunyai tanggungan shalat dan puasa. Sedangkan anak lelaki tertuanya tidak mampu meng-qadha’ dua kewajiban tersebut karena kesibukan harian. Apakah mereka wajib menjual rumah itu dan meng-qadha’ shalat dan puasanya?
JAWAB:
Bagaimanapun anak lelaki tertua berkewajiban mengqadha’ shalat dan puasa yang dilewatkan oleh ayahnya. Kecuali jika ayahnya telah berwasiat menyewa seseorang untuk melakukannya dengan biaya dari sepertiga harta peninggalannya, dan harta tersebut cukup untuk membiayai pelaksanaan semua kewajiban shalat dan puasa, maka wajib menggunakan sepertiga harta peninggalannya untuk hal itu.
SOAL 537:
Apabila putra tertua yang berkewajiban meng-qadha’ shalat ayahnya itu mati, apakah pewaris putra tertua menanggung qadha’nya, ataukah kewajiban meng-qadha’ tersebut berpindah kepada putra ke dua (dari anak-anak) kakek?
JAWAB:
Kewajiban meng-qadha’ shalat dan puasa ayah atas putra lelaki tertua tidak diwajibkan atas anaknya, sebagaimana juga tidak diwajibkan atas saudaranya, jika anak tertua itu mati.
SOAL 538:
Jika ayah tidak pernah shalat sama sekali, apakah semua shalat-shalatnya harus diqadha’ dan wajib dilakukan oleh anak laki tertua?
JAWAB:
Dalam kasus yang demikian pun, berdasarkan ahwath wajib mengqadha’nya.
SOAL 539:
Apakah anak lelaki tertua wajib mengqadha’ seluruh shalat dan puasa ayahnya yang meninggalkan semua amal ibadah selama 50 th dengan sengaja?
JAWAB:
Tidak wajib atas anak lelaki tertua mengqadha’ apa yang dilewatkan oleh ayahnya karena sikap penentangan. Namun, dianjurkan, berdasarkan ihtiyâth mengqadha’nya dalam kasus demikian.
SOAL 540:
Jika seorang saudara laki-laki tertua memiliki tanggungan shalat dan puasa (sendiri) kemudian dia memiliki tanggungan shalat dan puasa ayahnya, mana yang harus didahulukan?
JAWAB:
Dia bebas memilih mana yang akan dilakukan terlebih dahulu. Yang mana saja ia lakukan terlebih dahulu, sah.
SOAL 541:
Ayah saya mempunyai tanggungan sejumlah shalat qadha’, namun ia tidak mampu meng-qadha’nya. Sedangkan saya adalah anak lelaki tertua dalam keluarga. Apakah saya boleh meng-qadha’ shalat-shalat yang dilewatkan ayah saya atau menyewa seseorang untuk meng-qadha’nya, padahal ia masih hidup?
JAWAB:
Tidak sah menggantikan seseorang yang masih hidup untuk melaksanakan qadha’ puasa dan shalat.
SHALAT JAMAAH.
SOAL 542:
Apa niat imam shalat jamaah? Apakah ia berniat berjamaah atau perorangan?
JAWAB:
Jika ingin memperoleh keutamaan jamaah, maka ia wajib niat menjadi imam dan jamaah. Jika melakukan shalat tanpa niat sebagai imam, maka shalatnya dan keikutsertaan orang-orang lain dengannya (iqtida’) tidak bermasalah (la isykâl).
SOAL 543:
Di daerah-daerah militer saat shalat jamaah dilaksanakan -pada jam kerja- terdapat sejumlah orang tidak bergabung dalam shalat jamaah karena kondisi pekerjaan, padahal pekerjaan itu dapat dilakukan setelah jam kerja atau pada hari berikutnya. Apakah perbuatan ini dianggap sebagai ‘meremehkan’ shalat jamaah?
JAWAB:
Ikut-serta dalam shalat jamaah tidak wajib pada dasarnya. Namun pada saat yang sama bergabung dengan jamaah itu lebih utama. Sebagaimana untuk memeperoleh keutamaan shalat pada awal waktu dan shalat jamaah, hendaknya pekerjaan-pekerjaan kantor diatur sedemikian rupa sehingga dapat melaksanakan faridhah ilahiyah ini secara berjamaah dengan waktu yang sesingkat mungkin.
SOAL 544:
Apa pendapat Anda tentang melakukan amalan-amalan mustahab, seperti shalat mustahab atau doa tawashshul, dan doa-doa panjang yang dilakukan sebelum atau sesudah atau saat sedang shalat jamaah di instansi-instansi pemerintah dan diadakan di mushalla kantor yang sampai memperpanjang waktu shalat jamaah?
JAWAB:
Doa-doa dan amalan-amalan mustahab yang melebihi pelakasanaan faridhah ilahiyah dalam bentuk berjamaah yang merupakan salah satu syiar Islam ini, Jika menyebabkan terbuangannya jam kerja dan terlambat melakukan kewajiban-kewajiban, maka hal itu (dianggap) bermasalah.
SOAL 545:
Apakah sah mendirikan shalat jamaah lain di tempat diselenggarakannya shalat jamaah dalam jumlah besar yang berjarak 50 atau 100 meter sehingga suara adzan dan iqamahnya (bisa) terdengar?
JAWAB:
Tidak ada masalah mendirikan shalat jamaah lain. Hanya saja sepantasnya orang-orang mukmin berkumpul satu tempat dan semuanya menghadiri shalat dalam satu jama’ah demi mengagungkan upacara-upacara keagamaan shalat jamaah.
SOAL 546:
Ketika shalat jamaah dilaksanakan di masjid, seseorang atau sejumlah orang melakukan shalat sendiri-sendiri dengan tujuan melemahkan dan dan menganggap fasiq imam jamaah. Apa hukum perbuatan demikian?
JAWAB:
Perbuatan itu bermasalah (isykâl), sebab tidak boleh melemahkan shalat jamaah, menghina dan melecehkan imam jamaah yang diyakini oleh orang-orang sebagai orang yang adil (tidak fasiq).
SOAL 547:
Di sebuah daerah terdapat sejumlah masjid yang seluruhnya dijadikan sebagai tempat pelaksanaan shalat jamaah. Ada sebuah rumah terletak di antara dua masjid dan berjarak dari salah satunya sepuluh rumah dan dari yang lain dua rumah. Di rumah itu didirikan shalat jamaah. Apa hukumnya?
JAWAB:
Mendirikan shalat jamaah sepatutnya menjadi sarana persatuan dan kerukunan, bukan dasar untuk menciptakan iklim perselisihan dan perpecahan. Mendirikan shalat jamaah di rumah yang berdampingan dengan masjid, selama tidak menyebabkan perpecahan dan perselisihan, tidak apa-apa.
SOAL 548:
Apakah boleh seseorang, tanpa memperoleh izin dari imam tetap (ratib) masjid yang direkomendasi oleh Pusat Urusan Masjid, mendirikan shalat jamaah di masjid tersebut?
JAWAB:
Mendirikan shalat jamaah tidak bergantung pada izin dari imam tetap, namun, lebih baik untuk tidak mengganggu imam tetap tersebut ketika berada di masijd pada waktu shalat untuk mendirikan shalat jamaah di situ, bahkan boleh jadi haram mengganggunya jika menyebabkan timbulnya fitnah dan sebagainya.
SOAL 549:
Jika imam jamaah kadang kala berbicara atau bergurau dengan cara yang tidak wajar dan tidak sepatutnya dilakukan oleh seorang ulama. Apakah hal ini menggugurkan sifat adil-nya?
JAWAB:
Masalah ini terserah pada penilaian para mushalli (jamaah shalat). Jika tidak bertentangan dengan syari’ah dan tidak bertolakan kehormatan (muru ah), maka tidak menodai sifat adil.
SOAL 550:
Apakah boleh bermakmum dengan imam jamaah tanpa dasar pengetahuan yang sebenarnya tentang dia?
JAWAB:
Jika makmum dengan suatu cara telah mendapatkan kepastian bahwa orang itu adil, maka boleh bermakmum dengannya, dan shalat jamaah sah hukumnya?
SOAL 551:
Jika seseorang yakin bahwa si fulan adalah seorang yang adil dan bertaqwa, namun juga yakin bahwa ia mendzaliminya dalam kasus-kasus tertentu, apakah boleh menganggapnya adil secara umum?
JAWAB:
Sebelum memastikan bahwa perbuatan orang yang dianggap zalim itu dilakukan atas dasar pengetahuan, keinginan, dan kehendak, dan tanpa alasan pembenaran syar’i, maka ia tidak boleh menghukuminya sebagi fasik.
SOAL 552:
Apakah boleh bermakmum dengan imam jamaah yang dapat melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, namun tidak melakukannya?
JAWAB:
Meninggalkan amar ma’ruf yang dimungkinkan akibat alasan yang dapat diterima dalam pandangan mukallaf, tidak menodai ke-adil-annya, dan tidak ada larangan bermakmumdengannya.
SOAL 553:
Apa arti ‘adâlah’ (ke-adil-an) itu menurut Anda YM!
JAWAB:
Ia adalah kondisi psikologis yang mendorong untuk menetapi ketaqwaan dan mencegah dari keterlibatan dalam perbuatan-perbuatan yang diharamkan secara syar’i. Untuk memastikannya, cukup dengan mengetahui kebaikan lahiriah yang menyingkap dugaan adanya ‘adâlah tersebut.
SOAL 554:
Kami, sejumlah pemuda, duduk bersama di ‘diwaniyah-diwaniyah’ dan ‘husainiyah-husainiyah’ dan ketika tiba waktu shalat, kami meyuruh salah seorang yang adil untuk menjadi imam shalat (jamaah). Namun sebagian teman mempermasalahkan shalat tersebut dan berkata, bahwa Imam Khomaini (Qs) mengharamkan shalat di belakang selain ulama. Apa kewajiban kami?
JAWAB:
Jika saudara-saudara yang mulia dapat melaksanakan dengan mudah shalat faridhah dibelakang ulama (yang terbukti layak dijadikan imam jamaah) hendaknya tidaak bermakmum kepada selain ulama.
SOAL 555:
Apakah dua orang boleh melaksanakan shalat jamaah?
JAWAB:
Jika yang Anda maksud adalah pelaksanaan shalat jamaah yang terdiri atas satu imam dan satu makmum, maka tidak ada masalah (la isykâl).
SOAL 556:
Seorang makmum membaca Al-Fâtihah dan surah dalam shalat Dhuhur dan Ashar ketika melaksanakan shalat jamaah, padahal kewajiban (membaca Al-Fâtihah dan surah) itu gugur dalam shalat jamaah. Namun, ia melakukannnya demi menjaga konsentrasi dan agar pikirannya tidak melayang. Apa hukum shalatnya?
JAWAB:
Makmum dalam shalat ikhfatiyah seperti Dhuhur dan Ashar wajib diam (tidak membaca) ketika imam sedang membaca Al-Fâtihah dan surah. Ia tidak boleh membaca, meskipun dengan tujuan menjaga konsentrasi pikirannya.
SOAL 557:
Jika imam shalat jamaah menggunakan sepeda motor untuk menuju (tempat) shalat jamaah dengan tetap mematuhi peraturan lalu lintas, apa hukumnya?
JAWAB:
Hal itu tidak menggugurkan sifat adil dan tidak mengganggu keabsahan menjadi imam.
SOAL 558:
Jika kami tidak sempat mengikuti shalat jamaah karena sudah memasuki bagian akhir, dan untuk memperoleh pahala berjamaah, kami melakukan ‘takbiratul ihram’ dan duduk dalam posisi berjauhan (kedua lutut tidak menyentuh tanah) dan bertasyahhud bersama imam, dan seusai imam melakukan ‘taslim’ (membaca salam), kami berdiri dan memulai shalat dari rakaat pertama. Yang kami tanyakan, apakah boleh melakukan cara demikian dalam tasyahhud rakaat kedua dari shalat yang berjumlah empat rakaat?
JAWAB:
Cara tersebut hanya (berlaku) pada tasyahhud terakhir shalat imam jamaah dalam rangka meraih pahala berjamaah.
SOAL 559:
Apakah boleh imam jamaah mengambil upah atas shalat yang dilakukannya?
JAWAB:
Tidak boleh, kecuali upah tersebut untuk muqadimah kedatangan dia ke tempat tersebut.
SOAL 560:
Apakah imam jamaah boleh mengimami dua shalat ‘Ied atau dua shalat apapun dalam satu waktu?
JAWAB:
Tidak ada masalah (la isykâl) mengulangi shalat jamaah sekali lagi untuk makmum-makmum lain dalam shalat-shalat wajib harian, bahkan hal itu dianjurkan (mustahab), sedangkan dalam shalat ‘Ied, hal itu bermasalah.
SOAL 561:
Ketika imam jamaah sedang berada pada rakaat ketiga atau keempat shalat isya’, sedangkan makmum berada pada rakaat kedua, apakah makmum wajib membaca Al-Fâtihah dan surah dengan suara luar (jahr)?
JAWAB:
Ia wajib membaca Al-Fâtihah dan surah dengan suara dalam (ikhfat).
SOAL 562:
Apabila seseorang sampai ke masjid ketika jamaah shalat sudah berada pada rakaat kedua, dan karena tidak mengerti hukum tentang masalah yang dialami, ia tidak melakukan tasyahhud dan qunut yang harus dilakukan pada rakaat berikutnya, apakah shalatnya sah?
JAWAB:
Shalatnya sah, meskipun, wajib secara ihtiyâth, ia meng-qadha’ tasyahhud dan melakukan dua sujud sahwi.
SOAL 563:
Apakah kerelaan orang yang diikuti (dijadikan imam) merupakan syarat dalam shalat jamaah? Dan apakah sah menjadikan seorang makmum sebagai imam jamaah?
JAWAB:
Kerelaan imam jamaah bukanlah syarat keabsahan bermakmum (iqtida). Bermakmum dengan makmum saat shalat tidaklah sah.
SOAL 564:
Ada dua orang yang melaksanakan shalat jamaah, salah satu menjadi imam dan lainnya makmum, kemudian orang ketiga datang dan mengira orang kedua (makmum) sebagai imam lalu bermakmum dengannya. Usai shalat, terbukti bahwa orang kedua itu adalah makmum, bukanlah imam. Apa hukum shalat orang ketiga tersebut?
JAWAB:
Bermakmum (iqtida’) degan makmum tidaklah sah. Tetapi apabila ia tidak tahu lalu bermakmum dengannya, maka jika ia melakukan tugas orang yang shalat sendiri (munfarid, tidak berjamaah) dalam ruku’ dan sujudnya, tanpa menambah atau mengurangi rukun secara sengaja atau lupa, maka sahlah shalatnya.
SOAL 565:
Apakah sah bagi orang-orang yang hendak shalat isya’ bermakmum dengan jamaah yang melakukan shalat maghrib?
JAWAB:
Tidak ada larangan.
SOAL 566:
Apakah batal shalat orang-orang yang tidak memperhatikan keharusan imam berada di tempat yang tidak lebih tinggi dari pada makmum?
JAWAB:
Jika tempat berdiri imam lebih tinggi melebihi batas yang ditolerir (ma’fu) dari tempat berdiri makmum, maka hal itu menyebabkan batalnya shalat jamaah.
SOAL 567:
Suatu ketika satu barisan (shaf) dalam jamaah shalat diisi seluruhnya oleh orang-orang yang melakukan shalat secara qhasr (dua rakaat), sedangkan barisan di belakang terdiri dari jamaah yang melakukan shalat secara tamam (sempurna). Jika orang yang berada di barisan depan shalat dua rakaat dan mereka segera bangkit untuk bermakmum lagi pada dua rakaat berikutnya, apakah dua rakaat terakhir shalat orang yang berada di belakang mereka tetap terhitung sebagai shalat jamaah?
JAWAB:
Jika diasumsikan bahwa setiap orang yang berada di barisan depan melakukan shalat secara qashr, maka, dalam kasus yang ditanyakan, keabsahan shalat jamaah mereka yang berada di barisan belakang bermasalah. Berdasarkan ahwath barisan-barisan yang di belakang wajib memisahkan diri dari jamaah setelah jamaah shaf pertama duduk untuk membaca salam.
SOAL 568:
Jika makmum berdiri di pinggir kanan dan kiri shaf pertama shalat, apakah ia dapat memulai shalat sebelum para makmum lain yang menjadi penghubung antara dia dan imam?
JAWAB:
Apabila makmum-makmum yang menjadi penghubung antara dia dan imam telah bersiap-siap memulai shalat setelah imam jamaah terlebih dahulu memulainya, maka ia dapat memasuki shalat dengan niat berjamaah.
SOAL 569:
Seseorang yang bergabung dalam jamaah shalat pada rakaat ketiga dan, karena mengira bahwa imam sedang berada pada rakaat pertama, ia tidak membaca apapun (Al-Fâtihah dan surah). Apakah ia wajib mengulangi shalatnya?
JAWAB:
Jika sadar akan hal itu sebelum memulai ruku’, maka ia wajib melaksanakan qira’ah. Jika sadar setelah melakukan ruku’, maka shalatnya sah dan tidak menanggung kewajiban apapun, meskipun berdasarkan ahawath dianjurkan melakukan dua sujud sahwi karena meninggalkan qira’ah.
SOAL 570:
Demi menyelenggarakan shalat jamaah di instansi-instansi pemerintah dan sekolah-sekolah-sekolah, maka keberadaan seorang imam jamaah sangat dibutuhkan. Karena tidak ada ulama selain saya di daerah dimana saya tinggal, maka saya terpaksa menjadi imam jamaah tiga atau empat kali di beberapa tempat berbeda untuk satu shalat fardhu. Dan karena shalat kedua diperbolehkan oleh para marja’, maka apakah pada selebihnya boleh meniatkan shalat qadha’ untuk kehati-hatian (ihtiyâth)?
JAWAB:
Menjadi imam dengan (melaksanakan) shalat qadha’ ihtiyatihiyah (untuk kehati-hatian) tidaklah sah.
SOAL 571:
Salah satu universitas mendirikan shalat jamaah bagi para pegawainya di salah satu gedung universitas yang bersebelahan dengan salah satu mesjid kota yang juga menjadi tempat pelaksanaan shalat jamaah pada saat yang bersamaan. Apa hukumnya bergabung dalam shalat jamaah di universitas?
JAWAB:
Bergabung dalam shalat jamaah yang -dalam pandangan makmum- memenuhi syarat-syarat syar’i keabsahan bermakmum dan berjamaah tidak ada masalah, meskipun berdekatan dengan masjid yang juga menjadi tempat shalat jamaah pada waktu yang sama.
SOAL 572:
Apakah sah melakukan shalat dibelakang imam yang bekerja sebagai hakim, padahal ia bukanlah seorang mujtahid?
JAWAB:
Jika pekerjaannya dalam mengadili berdasarkan pengangkatan oleh orang yang layak mengangkat, maka tidak ada larangan bermakmum dengannya.
SOAL 573:
Apa hukum muqallid Imam Khomaini (Qs) dalam masalah ‘musafir’ bermakmum kepada imam jamaah yang tidak bertaqlid kepada Imam dalam masalah tersebut, terutama ketika bermakmum dalam shalat Jum’at?
JAWAB:
Perbedaan dalam bertaqlid tidak menjadi kendala bagi keabsahan bermakmum. Namun, tidak sah bermakmum dalam shalat yang menurut fatwa marja’ taqlid makmum dianggap qashr sementara menurut fatwa marja’ taqlid imam jamaah dianggap tamam.
SOAL 574:
Jika imam jamaah melakukan ruku’ setelah takbirotul ihram karena lupa, apakah tugas makmum?
JAWAB:
Jika makmum sadar akan hal itu setelah bergabung dalam shalat jamaah, maka ia wajib infirad (memisahkan diri) dan membaca Al-Fâtihah dan surah.
SOAL 575:
Jika sejumlah siswa sekolah yang belum baligh berdiri di shaf setelah shaf ketiga atau keempat untuk melakukan shalat jamaah, sedangkan pada shaf berikutnya diisi oleh orang-orang mukallaf (akil baligh), maka apakah hukum shalat dalam keadaan demikian?
JAWAB:
Tidak ada masalah dalam kasus yang disebutkan.
SOAL 576:
Apakah tayammum sebagi ganti dari mandi bagi imam jamaah karena berhalangan (ma’dzur) cukup untuk melaksanakan shalat jamaah ataukah tidak?
JAWAB:
Jika ia berhalangan secara syar’i, maka ia dapat menjadi imam dengan bertayammum sebagai ganti mandi janâbah, dan tidak ada masalah bermakmum dengannya.
HUKUM BACAAN IMAM YANG SALAH.
SOAL 577:
Apakah ada perbedaan dalam masalah keabsahan membaca (qira’ah) antara shalat secara perorangan dan shalat makmum atau imam? Ataukah keabsahan qira’ah merupakan masalah yang sama dalam segala keadaan?
JAWAB:
Jika bacaan mukallaf tidak benar dan ia tidak mampu belajar, maka sahlah shalatnya. Namun orang-orang lain tidak sah bermakmum dengannya.
SOAL 578:
Bacaan sebagian imam jamaah tidak betul di dalam cara mengucapkan huruf (dari makhraj-nya). Apakah boleh orang-orang yang dapat mengucapkan huruf-huruf dari makhraj secara benar mengikuti bermakmum dengan mereka? Sebagian orang mengatakan kepada saya, ”Anda shalat berjamaah lalu anda wajib mengulanginya”. Namun saya tidak sempat mengulangnya. Apa tugas saya? Apakah saya boleh bergabung dalam jamaah, namun membaca Al-Fâtihah dan surah dengan suara dalam (ikhfat)?
JAWAB:
Jika bacaan imam tidak benar menurut makmum, maka bermakmum dan berjamaah dengannya batal. Jika tidak dapat mengulangi shalat, maka tidak ada larangan untuk tidak bermakmum. Sedangkan membaca (Al-Fâtihah dan surah) dengan ikhfat dalam shalat jahriyah dengan dalih menampakkan sikap bermakmum (berlagak seperti makmum) dengan imam jamaah tidak sah dan tidak cukup.
SOAL 579:
Sebagian orang beranggapan bahwa bacaan sejumlah imam jum’at salah, karena tidak mengucapkan huruf sebagimana mestinya sehingga keluar dari huruf aslinya, atau karena mengubah nada harakat sehingga keluar dari harakat aslinya. Apakah sah bermakmum dengan mereka tanpa perlu mengulangi shalat lagi?
JAWAB:
Standar keabsahan bacaan (qira’ah) ialah mengucapkan huruf dari makhraj-nya sedemikian rupa, sehingga para pengguna asli bahasa menganggapnya sebagai pengucapan huruf tertentu dan bukan huruf yang lain, dan memperhatikan harakat-harakat dan seluruh yang berkaitan dengan bentuk kalimat sesuai dengan ketentuan para ahli Bahasa Arab. Jika makmum meyakini bahwa pembacaan imam tidak sesuai dengan aturan-aturan dan tidak tepat, maka tidaklah sah bermakmum dengannya. Jika ia bermakmum maka shalatnya tidak sah dan ia wajib mengulanginya.
SOAL 580:
Seorang imam jamaah ragu saat sedang shalat dalam hal pengucapan kata setelah ia meninggalkan posisi (bacaan) tersebut. Namun, seusai shalat, ia tahu bahwa ia salah mengucapkannya. Apa hukum shalatnya dan shalat para makmum?
JAWAB:
Shalat dihukumi sah.
SOAL 581:
Apa tugas syar’i seseorang terutama bagi guru al-Qur’an yang beranggapan bahwa imam jamaah salah dalam tajwid ? Padahal ia menghadapi banyak tuduhan karena tidak ikut serta dalam shalat jamaah?
JAWAB:
Jika bacaan imam jamaah menurut makmum keliru, sehingga menyebabkan shalatnya tidak sah –dalam pandangan makmum-, maka ia tidak dapat bermakmum dengannya. Namun tidak ada larangan bergabung secara simbolik demi tujuan ‘uqalaa’i (yang dapat diterima oleh orang-orang berakal).
IMAM YANG CACAT.
SOAL 582:
Apa hukum bermakmum dengan imam yang cacat, dalam kasus-kasus sebagai berikut:
1. Orang-orang cacat yang tidak kehilangan salah satu anggota tubuh, namun karena lumpuh kaki, tak dapat berdiri tanpa berpegangan pada tongkat atau bersandar pada tembok.
2. Orang-orang cacat yang kehilangan sebagian dari jari atau satu jari tangan atau kaki..
3. Orang-orang cacat yang kehilangan seluruh jari-jati tangan atau kaki atau keduanya.
4. Orang-orang cacat yang kehilangan sebagian dari salah satu tangan atau salah satu kaki, atau kedua-duanya sekaligus.
5. Orang-orang cacat yang kehilangan salah satu anggota tubuh. Karena tangannya cacat, maka mereka mengunakan orang untuk mewakilinya berwudhu’.
JAWAB:
Secara umum jika tenang dalam berdiri dan mampu mempertahankan ketenangan dan kemapanan saat membaca zikir-zikir dan perbuatan-perbuatan shalat, dan jika mampu melakukan ruku’ dan sujud secara sempurna di atas tujuh anggota sujud, dan jika mampu berwudhu’ secara benar, maka tidak ada masalah (isykâl) orang-orang lain bermakmum dengannya dalam shalat setelah memenuhi syarat-syarat memimpin jamaah (imamah). Jika tidak, maka bermasalah (mahalla isykal).
SOAL 583:
Saya adalah pelajar ilmu agama yang kehilangan tangan kanan saya akibat operasi bedah. Akhir-akhir ini saya baru mengetahui bahwa Imam Khomeini Ra tidak memperbolehkan orang cacat menjadi imam bagi makmum yang tidak cacat. Karenanya, saya mohon Anda berkenaan menerangkan hukum shalat orang-orang yang hingga kini menjadi makmum saya?
JAWAB:
Shalat makmum-makmum yang telah berlalu dan orang-orang yang bermakmum dengan anda karena tidak tahu tentang hukum syar'i dihukumi sah dan mereka tidak wajib mengulangi maupun meng-qadha’nya.
SOAL 584:
Saya pelajar ilmu agama yang dalam perang yang dipaksakan atas Republik Islam Iran mengalami luka di jari-jari kaki (tentunya, ibu jari saya masih utuh dan selamat). Kini saya menjadi imam jamaah di salah satu husainiyah. Apakah ada masalah (isykâl) secara syar'i ataukah tidak? Kami mohon Anda sudi memberikan penjelasan.
JAWAB:
Jika ibu jari kaki Anda masih utuh dan masih dapat diletakkan di atas bumi bila bersujud, maka, dari sudut pandang ini, tidak ada masalah bagi Anda untuk menjadi imam jamaah.
KEIKUTSERTAAN WANITA DALAM SHALAT JAMAAH.
SOAL 585:
Apakah syar’iah menekankan keikutsertaan kaum wanita dalam shalat jamaah di masjid dan dalam shalat jum’at sebaimana kaum lelaki? Ataukah para wanita lebih utama melaksanakan shalat di rumah?
JAWAB:
Tidak ada masalah (isykâl) dalam keikutsertaan kaum wanita, jika mereka menghendakinya. Mereka juga mendapatkan pahala shalat berjamaah.
SOAL 586:
Kapan wanita dapat menjadi imam jamaah?
JAWAB:
Wanita boleh menjadi imam dalam shalat jamaah wanita saja.
SOAL 587:
Jika para wanita, sebagaimana kaum pria, bergabung dalam shalat jamaah, apa hukumnya berkenaan dengan kemustahaban dan kemakruhannya? Dan apa hukumnya wanita berdiri (dalam shalat jamaah) di belakang para lelaki? Apakah perlu dipisahkan dengan tirai atau penghalang? Apa hukum wanita melakukan shalat di sebelah para lelaki berkenaan dengan tirainya? Padahal keberadaan para wanita di balik tirai penutup dalam jamaah-jamaah atau saat penyampaian khotbah-khotbah dan dalam upacara-upacara keagamaan dan lainnya berarti merendahkan dan melecehkan derajat mereka?
JAWAB:
Tidak ada masalah (isykâl) jika para wanita hadir untuk ikut serta dalam shalat jamaah. Jika mereka berdiri di belakang lelaki, maka penutup (saatir) dan penghalang (ha’il) tidak diperlukan. Jika para wanita berdiri di samping para lelaki, maka harus ada penghalang demi menghilangkan kemakruhan para wanita bersebelahan dengan lelaki dalam shalat. Anggapan bahwa adanya penghalang antara wanita dan pria ketika shalat nerendahkan martabat dan melecehkan kehormatan mereka tidak lebih dari sekedar khayalan dan tidak berdasar. Di samping itu, tidak dibenarkan memasukkan pendapat pribadi dalam fiqih.
SOAL 588:
Apa tolok ukur "bersambung" dan "tidak bersambung" antar shaf (barisan) para wanita dan shaf para lelaki dalam shalat jamaah tanpa penutup dan penghalang?
JAWAB:
Yaitu, apabila para wanita berdiri di belakang para lelaki tanpa jarak pemisah.
BERMAKMUM DENGAN AHLUS SUNNAH.
SOAL 589:
Apakah boleh shalat jamaah di belakang orang-orang sunni?
JAWAB:
Boleh melakukan shalat jamaah di belakang mereka, jika didasari dengan tujuan memelihara persatuan Islam.
SOAL 590:
Tempat kerja saya terletak di salah satu wilayah Kurdistan. Sebagian besar para imam Jum'at dan jamaah di sana dari kalangan Ahlussunah. Apa hukum bermakmum dengan mereka? Dan apakah boleh menggunjing (ghibah) mereka?
JAWAB:
Boleh bergabung dalam shalat jamaah dan Jum'at bersama mereka. Sedangkan ghibah hendaknya dihindari.
SOAL 591:
Di tempat dimana kita bergaul dan berbaur dengan para penganut mazhab Sunni, ketika bergabung dalam jamaah shalat-shalat harian, kami melakukan hal-hal tertentu seperti mereka, seperti shalat dengan bersedekap, tidak menjaga waktu dan bersujud di atas sajadah. Apakah shalat demikian perlu diulang?
JAWAB:
Jika untuk memelihara persatuan Islam mengharuskan itu semua, maka shalat bersama mereka sah dan cukup, meski dengan bersujud di atas sajadah dan sebagainya. Namun, bersedekap dalam shalat bersama mereka tidak diperbolehkan, kecuali bila keadaan mendesak.
SOAL 592:
Di Mekkah dan Madinah kami melakukan shalat jamaah bersama para penganut mazhab sunni, berdasarkan fatwa Imam Khomaini Qs. Kadang kala dan demi mengejar keutamaan shalat di masjid, seperti melakukan shalat ashar setelah Dhuhur atau melakukan shalat Isya’ setelah shalat Maghrib, kami shalat sendiri-sendiri di masjid-masjid Ahlussunah tanpa turbah lalu bersujud di atas sajadah. Apa hukumnya shalat-shalat demikian?
JAWAB:
Dalam contoh kasus yang Anda sebutkan, jika sejalan dengan kewajiban taqiyyah harus sujud di atas sesuatu yang sah sujud di atasnya.
SOAL 593:
Bagaimanakah keikutsertaan kami, orang-orang Syi’ah, dalam shalat (jamaah) di masjid-masjid mancanegara bersama para penganut mazhab sunni yang melaksanakan shalat sambil bersedekap? Apakah kami wajib mengikuti mereka (dalam) bersedekap seperti mereka, ataukah kami shalat tanpa bersedekap.
JAWAB:
Boleh bermakmum dengan Ahlussunah jika dengan tujuan memelihara persatuan Islam. Shalat bersama mereka sah dan cukup. Namun, tidak wajib dan bahkan tidak diperbolehkan bersedekap kecuali jika situasi mendesak menuntut hal itu juga.
SOAL 594:
Pada saat bergabung dalam shalat jamaah bersama Ahlussunah, apa hukumnya menempelkan jari kelingking kaki pada jari kelingking dua orang di sebelah kanan dan kiri ketika berdiri yang dipegang teguh oleh mereka?
JAWAB:
Hal itu tidak wajib. Jika melakukannya, hal itu tidak mengganggu keabsahan shalat.
SOAL 595:
Para penganut mazhab Sunni melakukan shalat wajib sebelum adzan Maghrib dikumandangkan (karena perbedaan dalam masalah waktu Maghrib). Apakah sah pada musim haji atau lainnya, kami bermakmum dalam shalat jamaah dengan mereka dan menganggap cukup shalat tersebut (tanpa mengulanginya)?
JAWAB:
Tidak dapat dipastikan bahwa mereka shalat sebelum tiba waktunya. Namun, jika seorang mukallaf belum memastikan masuknya waktu, maka tidak boleh memulai shalat. Kecuali jika menjaga persatuan Islam menuntut hal itu juga, maka boleh memulai shalat bersama mereka dan menganggap cukup shalat tersebut.
SHALAT JUM'AT.
SOAL 596:
Apa pendapat Anda mengenai keikutsertaan dalam shalat Jum'at, padahal kita hidup pada masa kegaiban Imam Al-Hujjah As. Dan jika ada orang-orang yang tidak meyakini keadilan (‘adalah) imam Jum'at, apakah taklif mereka untuk bergabung dalam shalat Jum'at gugur atau tidak?
JAWAB:
Shalat Jum'at, meskipun pada zaman ini, bersifat wajib takhyiri dan tidak wajib menghadirinya. Namun, mengingat manfaat-manfaat dan pentingnya kehadiran dalam shalat Jum’at, maka tidak sepantasnya bagi orang-orang Mukmin menjauhkan diri mereka dari berkah-berkah keikutsertaan dalam shalat semacam ini hanya karena meragukan keadilan imam Jum'at, atau alasan-alasan rapuh lainnya.
SOAL 597:
Apa arti "wajib takhyiri" dalam masalah shalat Jum'at?
JAWAB:
Artinya ialah bahwa seorang mukallaf dalam melaksanakan kewajiban (faridhah) pada hari Jum'at boleh memilih antara melakukan shalat Jum'at dan shalat Dhuhur.
SOAL 598:
Apa pendapat Anda tentang (orang yang) tidak bergabung dalam shalat Jum'at karena tidak peduli?
JAWAB:
Tidak hadir dan tidak ikut serta dalam shalat Jum'at yang merupakan aktifitas ritual-politik karena tidak peduli tercela secara syar'i.
SOAL 599:
Sebagian orang tidak bergabung dalam shalat Jum'at karena alasan-alasan yang tidak berdasar, mungkin juga karena perbedaan pandangan. Apa pendapat Anda tentang hal ini?
JAWAB:
Meskipun shalat Jum'at bersifat wajib takhyiri, keengganan bergabung di dalamnya secara terus-menerus tidaklah berdasar secara syar'i.
SOAL 600:
Apakah boleh melaksanakan shalat Dhuhur secara jamaah berbarengan dengan pelaksanaan shalat Jum'at di tempat lain yang berdekatan?
JAWAB:
Pada dasarnya, hal itu tidak dilarang dan menyebabkan mukallaf terbebas dari dzimmah (tanggungan) kewajiban shalat Jum’at, mengingat bahwa kewajiban shalat Jum'at bersifat takhyiri pada masa sekarang. Namun, mengingat bahwa pelaksanaan shalat Dhuhur secara jamaah pada hari Jum'at di tempat yang dekat dengan tempat pelaksanaan shalat Jum'at menyebabkan terpecahnya barisan orang-orang mukmin dan boleh jadi hal tersebut dikategorikan, menurut opini masyarakat, sebagai pelecehan dan penghinaan terhadap imam Jum'at dan menunjukkan ketidakpedulian terhadap shalat Jum'at, maka orang-orang mukmin tidak patut melaksanakannya. Bahkan, jika tindakan tersebut menimbulkan dampak-dampak buruk dan menyebabkan keharaman, maka mereka wajib menghindari, dan tidak melakukannya.
SOAL 601:
Apakah boleh melakukan shalat Dhuhur pada jedah waktu antara shalat Jum'at dan shalat Ashar imam? Jika seseorang, selain imam Jum'at, melakukan shalat Ashar, apakah boleh bermakmum dengannya dalam shalat Ashar?
JAWAB:
Shalat Jum’at cukup mengganti shalat Dhuhur. Namun, tidak ada masalah (isykâl) melakukan shalat Dhuhur untuk kehati-hatian (ihtiyâth) setelah shalat Jum'at. Jika ingin shalat Ashar secara berjamaah, maka ihtiyâth yang sempurna adalah jika ia bermakmum dalam shalat Asharnya dengan orang yang juga melaksanakan shalat Dhuhur untuk kehati-hatian setelah shalat Jum'at.
SOAL 602:
Jika imam jamaah tidak shalat Dhuhur setelah shalat Jum'at, apakah makmum boleh melakukan shalat tersebut untuk kehati-hatian (ihtiyâth) ataukah tidak?
JAWAB:
Boleh melakukannya.
SOAL 603:
Apakah imam shalat Jum’at wajib meminta izin (ijazah) dari hakim syar'i? Siapakah yang dimaksud dengan hakim syar'i? Dan apakah hukum ini berlaku di daerah-daerah yang jauh juga?
JAWAB:
Asal kebolehan menjadi imam untuk mendirikan shalat Jum'at tidak bergantung pada izin dari hakim syar'i. Namun, ketentuan-ketentuan yang berlaku atas imam Jum'at yang diangkat oleh wali amr muslimin hanya berlaku bagi imam Jumat yang diangkat oleh beliau. Hukum ini meliputi setiap negara, atau setiap kota dimana wali amr muslimin menjadi penguasa yang ditaati.
SOAL 604:
Apakah imam Jum'at yang ditunjuk boleh melaksanakan shalat Jum'at di selain tempat yang ditentukan tanpa ada penghalang atau kendala ataukah tidak?
JAWAB:
Pada dasarnya hal itu boleh. Namun, hukum-hukum berkaitan dengan pengangkatan imam Jum'at tidak berlaku atasnya.
SOAL 605:
Apakah memilih imam-imam Jum'at sementara wajib dilakukan oleh wali faqih, ataukah para imam Jum'at sendiri boleh memilih orang-orang sebagai imam-imam Jum'at sementara (cadangan)?
JAWAB:
Imam Jum'at yang ditunjuk boleh memilih wakil sementara bagi dirinya. Namun, hukum-hukum pengangkatan (nashb) oleh wali faqih tidak berlaku atas ke-imam-an wakil tersebut.
SOAL 606:
Jika seorang mukallaf tidak menganggap imam Jum'at yang diangkat sebagai orang yang adil, atau meragukan ke-adil-annya apakah ia boleh bermakmum dengannya demi menjaga persatuan muslimin? Dan apakah orang yang tidak menghadiri shalat Jum'at boleh mendorong orang-orang lain untuk tidak hadir?
JAWAB:
Tidak sah bermakmum dengan orang yang tidak dianggapnya adil atau ia ragukan ke-adil-annya. Shalatnya jika dilakukan dalam jamaah bersamanya tidaklah sah. Namun tidak ada halangan menghadiri dan bergabung dalam jamaah secara simbolis (lahiriah) demi memelihara persatuan. Bagaimanapun, ia tidak boleh mengajak dan mendorong orang lain untuk tidak menghadiri shalat Jum'at.
SOAL 607:
Apa hukum tidak menghadiri shalat Jum'at yang diimami oleh orang yang terbukti kebohongannya, di mata seoarang mukallaf?
JAWAB:
Hanya karena ucapan seorang imam Jum'at terbukti tidak sesuai dengan kenyataan bukanlah bukti akan kebohongannya, karena boleh jadi, ia mengucapkannya karena kehilafan, keliru atau bermaksud lain (tauriyah). Karenanya, ia hendaknya tidak menghalangi dirinya mendapatkan berkah-berkah shalat Jum'at, hanya karena dugaan bahwa imam Jum'at keluar dari sifat adalah (ke-adil-an).
SOAL 608:
Apakah makmum wajib mengidentifikasi dan memastikan ke-adil-an imam Jum'at yang ditunjuk oleh Imam Khomaini (qs) atau wali faqih yang adil ataukah pengangkatannya sebagai imam Jum'at cukup untuk menetapkan ke-adil-annya?
JAWAB:
Jika pengangkatannya sebagai imam Jum'at menimbulkan rasa percaya dan mantap bagi makmum akan sifat adilnya, maka cukuplah hal itu bagi keabsahan bermakmum derngannya.
SOAL 609:
Apakah penunjukan para imam jamaah di masjid-masjid yang dilakukan oleh para ulama yang terpercaya, atau pengangkatan para imam Jum'at oleh wali amr muslimin dianggap sebagai kesaksian (syahadah) akan ke-adil-an mereka ataukah tetap wajib menyelidiki ke-adil-an mereka?
JAWAB:
Jika pengangkatannya sebagai imam Jum'at atau imam jamaah menimbulkan rasa percaya dan mantap bagi makmum akan ke-adil-annya, maka boleh bersandar pada hal tersebut dalam bermakmum dengannya.
SOAL 610:
Jika kami meragukan ke-adil-an imam Jum’at atau yakin bahwa ia tidak adil padahal kami telah shalat di belakangnya, apakah kami harus mengulanginya?
JAWAB:
Jika keraguan akan ke-adil-an, atau terbukti bahwa ia tidak adil seusai shalat, maka shalat yang telah anda lakukan sah dan tidak wajib mengulanginya.
SOAL 611:
Apa hukum shalat Jum'at yang diselenggarakan di negara-negara Eropa dan lainnya oleh mahasiswa-mahasiswa dari negara-negara Islam yang sebagian besar pesertanya, demikian pula imam Jum'at, dari kalangan sunni? Dalam situasi begitu, apakah mereka harus melakukan shalat Dhuhur seusai melaksanakan shalat Jum'at?
JAWAB:
Diperbolehkan ikut serta di dalamnya demi memelihara kesatuan dan persatuan muslimin. Dan tidak wajib melakukan shalat Dhuhur (setelahnya).
SOAL 612:
Di sebuah kota di Pakistan telah dilaksanakan shalat Jum'at sejak 40 tahun lalu. Kini ada seseorang yang menyelenggarakan shalat Jum'at lain tanpa mempedulikan jarak syar'i antara dua shalat Jum'at sehingga menyebabkan adanya perselisihan di kalangan jamaah shalat. Apa hukum syar'i perbuatan demikian?
JAWAB:
Tidak diperbolehkan berbuat sesuatu apapun yang menyebabkan terjadinya perselisihan antara Mukminin dan porak-poranda barisan mereka, apalagi menyebabkan hal tersebut melalui sesuatu seperti shalat Jum'at yang merupakan salah satu syi’ar Islam dan salah satu simbol persatuan barisan-barisan muslimin.
SOAL 613:
Khatib masjid jami’ Al-Ja’fariyah di Rawalpindi telah mengumumkan bahwa shalat Jum'at di masjid tersebut diliburkan karena akan direnovasi dan dibangun. Kini, setelah proses perbaikan masjid telah usai, kami menghadapi problema, yaitu pada jarak empat kilo meter telah diselenggarakan shalat Jum'at di masjid lain. Dengan memperhatikan jarak tersebut, apakah pelaksanaaan shalat Jum'at di masjid tersebut sah ataukah tidak?
JAWAB:
Jika jarak pemisah antara dua (tempat) shalat Jum'at tersebut tidak mencapai satu farsakh syar'i, maka batallah shalat Jum'at yang terakhir. Dan jika dilakukan berbarengan, maka keduanya sama-sama batal.
SOAL 614:
Apakah sah melakukan shalat Jum'at -yang diselenggarakan secara berjamaah- secara perorangan (furada), seperti apabila seseorang melakukan shalat Jum’at sendiri berdampingan dengan orang-orang yang melakukannya secara berjamaah?
JAWAB:
Salah satu syarat keabsahan shalat Jum'at ialah dilaksanakan secara berjamaah. Karenanya, tidaklah sah melakukannya sendirian.
SOAL 615:
Jika seorang yang wajib shalat qashr ingin melaksanakan shalat jamaah, apakah sah jika ia shalat di belakang imam yang sedang shalat Jum'at?
JAWAB:
Shalat Jum'at seorang makmum musafir sah hukumnya dan mencukupkannya dari shalat dhuhur.
SOAL 616:
Apakah wajib menyebut nama Az-Zahra (as) sebagai salah satu imam Muslimin dalam khotbah kedua, ataukah wajib menyebut namanya dengan tujuan istihbab?
JAWAB:
Sebutan para Imam Muslimin tidak mencakup Az-Zahra Al-Mardhiyyah (as). Tidak wajib menyebut nama beliau yang diberkati dalam khotbah Jum'at. Namun tidak ada larangan bertabarruk dengan menyebut nama beliau yang mulia As.
SOAL 617:
Apakah makmum boleh melakukan shalat wajib selain shalat Jum'at dengan bermakmum kepada imam yang sedang malaksanakan shalat Jum'at?
JAWAB:
Keabsahannya masih tergolong bermasalah (mahallu isykâl).
SOAL 618:
Apakah sah melaksanakan dua khotbah dalam shalat Jum'at sebelum tiba waktu syar'i Dhuhur?
JAWAB:
Boleh melaksanakan kedua khutbah sebelum matahari tergelincir (zawal) sedemikian rupa sehingga selesai pada saat matahari tergelincir. Namun, berdasarkan ahwath hendaknya sebagian dari keduanya dilakukan pada waktu Dhuhur.
SOAL 619:
Jika makmum tidak dapat mengikuti dua khotbah sama sekali, melainkan ia hadir saat shalat dilaksanakan lalu bermakmum dengan imam, apakah shalatnya sah dan cukup?
JAWAB:
Shalatnya sah dan cukup apabila sempat mengikuti satu rakaat bersama imam, meskipun ketika imam sedang ruku’ dalam rakaat terakhir shalat Jum'at.
SOAL 620:
Di kota kami shalat Jum'at dilaksanakan setelah satu setengah jam dari adzan Dhuhur. Apakah shalat ini cukup untuk menggantikan shalat Dhuhur, ataukah harus mengulang shalat Dhuhur?
JAWAB:
Waktu shalat Jum’at mulai dari saat tergelincirnya matahari (zawal). Berdasarkan ahwath, hendaknya tidak menundanya dari saat-saat pertama waktu zawal menurut umum (zawal ‘urfi ) lebih dari satu sampai dua jam berikutnya. Jika belum melaksanakan shalat Jum'at sampai batas waktu tersebut, maka, berdasarkan ahwath hendaknya melakukan shalat Dhuhur sebagai gantinya.
SOAL 621:
Ada seseorang yang tidak mampu menghadiri shalat Jum'at. Apa ia dapat melakukan shalat Dhuhur dan Ashar pada awal waktu, ataukah ia wajib menunggu hingga usainya shalat Jum'at lebih dulu sebelum melakukan kedua shalat tersebut?
JAWAB:
Ia tidak wajib menunggu, melainkan boleh melaksanakan shalat Dhuhur dan Ashar pada awal waktu.
SOAL 622:
Jika imam Jum'at yang ditunjuk dalam keadaan sehat dan berada di tempat, apakah ia boleh menugasi imam Jum'at sementara (cadangan) melakukan faridhah shalat Jum'at? Dan apakah ia boleh (sah) bermakmum dengan imam Jum'at sementara?
JAWAB:
Tidak ada larangan mendirikan shalat Jumat yang dipimpin oleh wakil imam yang ditunjuk. Dan tidak ada larangan imam yang diangkat bermakmum dengan wakilnya.

(al-shia/syiahali/yayasan-aljawad/ABNA/ABNS)

Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: