Pesan Rahbar

Home » » Siapakah Rohingya dan Mengapa Mereka Dimusuhi?

Siapakah Rohingya dan Mengapa Mereka Dimusuhi?

Written By Unknown on Saturday 16 September 2017 | 22:59:00


Mengapa lebih dari satu juta Rohingya di Myanmar dianggap sebagai ‘minoritas paling teraniaya di dunia’??


Siapakah Rohingya?

Rohingya sering digambarkan sebagai “kelompok minoritas yang paling teraniaya di dunia”. Mereka adalah kelompok etnis Muslim yang telah tinggal berabad-abad di antara mayoritas Myanmar Buddha. Saat ini, ada sekitar 1,1 juta Muslim Rohingya yang tinggal di negara Asia Tenggara.

Orang Rohingya berbicara dengan bahasa Rohingya atau Ruaingga, sebuah dialek yang berbeda dengan dialek etnis lain yang berada di Negara Bagian Rakhine maupun seluruh Myanmar. Mereka tidak dianggap sebagai salah satu dari 135 kelompok etnis resmi negara tersebut dan telah ditolak kewarganegaraannya di Myanmar sejak tahun 1982, sehingga mereka tidak memiliki kewarganegaraan.

Hampir semua orang Rohingya di Myanmar tinggal di pesisir barat negara bagian Rakhine dan tidak diizinkan pergi tanpa izin dari pemerintah. Rakhine adalah salah satu negara bagian termiskin di Myanmar ini yang mirip kamp-kamp ‘ghetto’ (kamp konsentrasi) dengan kurangnya layanan dan kesempatan hidup normal.

Karena kekerasan dan penganiayaan yang terus berlanjut, ratusan ribu orang Rohingya telah melarikan diri ke negara-negara tetangga selama beberapa dekade baik melalui darat maupun menggunakan kapal.


Darimana Rohingya Berasal?

Menurut banyak sejarawan dan juga pengakuan dari kelompok Rohingya sendiri, penduduk muslim telah tinggal di daerah yang sekarang dikenal sebagai Myanmar sejak awal abad ke-12. Organisasi Nasional Arakan Rohingya mengatakan, “Rohingya telah tinggal di Arakan (sekarang disebut wilayah Rakhine) sejak dahulu kala”.

Selama lebih dari 100 tahun pemerintahan Inggris (1824-1948), ada sejumlah migrasi buruh yang signifikan ke tempat yang sekarang dikenal sebagai Myanmar dari India dan Bangladesh. Karena saat itu Inggris mengelola Myanmar sebagai bagian provinsi India, menurut Human Rights Watch (HRW) migrasi semacam itu dianggap sah secara internal. Namun, migrasi buruh dipandang negatif oleh mayoritas penduduk asli.

Setelah merdeka, pemerintah lokal memandang ilegal terhadap migrasi yang terjadi selama pemerintahan Inggris dan atas dasar ini mereka menolak kewarganegaraan mayoritas orang Rohingya, Hal ini menyebabkan banyak umat Buddha menganggap Rohingya sebagai orang Bengali, mengklaim bahwa istilah Rohingya muncul baru-baru ini karena alasan politik. Hal ini disampaikan HRW dalam sebuah laporan tahun 2000.

September 3, 2017. (Foto: REUTERS)

Bagaimana dan mengapa mereka dianiaya? Dan mengapa mereka tidak diterima?

Tak lama setelah kemerdekaan Myanmar dari Inggris pada tahun 1948, Undang-undang Kewarganegaraan disahkan, menentukan etnis mana yang bisa mendapatkan kewarganegaraan. Menurut laporan tahun 2015 oleh Departemen Hak Asasi Manusia Internasional di Yale Law School, Rohingya tidak disertakan. Namun yang keluarganya telah tinggal di Myanmar setidaknya dua generasi diijinkan untuk mengajukan permohonan kartu identitas kewarganegaraan.

Awalnya etnis Rohingya diberikan kartu identitas atau kewarganegaraan dengan ketentuan generasi. Dan beberapa orang Rohingya juga bisa menjabat di parlemen. Namun, setelah kudeta militer 1962 di Myanmar, keadaan berubah secara dramatis bagi Rohingya. Semua warga negara diminta untuk mendapatkan kartu registrasi nasional. Sedangkan Rohingya hanya diberi kartu identitas asing, yang membatasi pekerjaan dan kesempatan pendidikan yang dapat mereka kejar dan dapatkan.

Pada tahun 1982, sebuah undang-undang kewarganegaraan baru disahkan, yang secara efektif mencabut kewarganegaraan Rohingya. Secara hukum, Rohingya tidak termasuk salah satu dari 135 kelompok etnis di negara ini.

Undang-undang tersebut menetapkan tiga tingkat kewarganegaraan. Untuk mendapatkan tingkat yang paling dasar (naturalisasi kewarganegaraan), harus ada bukti bahwa seseorang tinggal di Myanmar sebelum tahun 1948, serta kelancaran salah satu bahasa nasional.

Banyak orang Rohingya kekurangan dokumen semacam itu karena tidak tersedia atau ditolak oleh pemerintah.

Konsekuensinya, hak mereka untuk belajar, bekerja, bepergian, menikah, menjalankan agama mereka dan mengakses layanan kesehatan pun dibatasi.

Rohingya tidak dapat memberikan suara dan bahkan jika mereka lolos tes kewarganegaraan, mereka harus menyebut diri mereka sebagai salah satu dari etnis yang diakui dan melupakan nama Rohingya, dan dibatasi untuk memasuki profesi tertentu seperti kedokteran, hukum atau jabatan pemerintah.

Sejak tahun 1970an, sejumlah tindakan keras terhadap Rohingya di Negara Bagian Rakhine telah memaksa ratusan ribu orang untuk melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh, Malaysia, Thailand dan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Selama kurun waktu tersebut, pengungsi sering melaporkan pemerkosaan, penyiksaan, pembakaran dan pembunuhan oleh pasukan keamanan Myanmar.

Setelah pembunuhan sembilan polisi perbatasan pada bulan Oktober 2016, militer mulai turun ke desa-desa di Negara Bagian Rakhine. Pemerintah menyalahkan dan menyebut mereka pejuang dari kelompok Rohingya bersenjata. Sebuah tindakan keamanan keras pun dilancarkan terhadap desa-desa di mana Rohingya tinggal.

Selama tindakan keras tersebut, pasukan pemerintah diduga melakukan serangkaian pelanggaran hak asasi manusia, termasuk pembunuhan di luar hukum, pemerkosaan dan pembakaran – namun selalunya tuduhan ini ditolak pemerintah.

Pada bulan November 2016, seorang pejabat PBB menuduh pemerintah Myanmar melakukan “pembersihan etnis” Muslim Rohingya. Ini bukanlah pertama kalinya tuduhan semacam itu dilontarkan. Pada bulan April 2013 misalnya, HRW mengatakan bahwa Myanmar sedang melakukan kampanye pembersihan etnis terhadap Rohingya.

Pemerintah pun secara konsisten membantah tuduhan tersebut. Baru-baru ini, militer Myanmar telah memberlakukan tindakan keras terhadap populasi Rohingya di negara itu setelah pos polisi dan sebuah pangkalan militer diserang pada akhir Agustus.

Para pejabat dan aktivis telah mengungkapkan bahwa para pasukan menembaki orang-orang Rohingya tak bersenjata, wanita dan anak-anak. Adapun Pemerintah Myanmar mengatakan bahwa hampir 100 orang tewas setelah orang-orang bersenjata dari Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) melancarkan serangan ke pos terdepan polisi di wilayah tersebut.

Sejak kekerasan meletus, kelompok hak asasi manusia telah mendokumentasikan kebakaran yang terjadi sedikitnya di 10 daerah di wilayah Negara Bagian Rakhine di Myanmar. Lebih dari 50.000 orang telah melarikan diri dari kekerasan tersebut, dengan ribuan orang terjebak di antara perbatasan negara. Menurut PBB, ratusan warga sipil yang mencoba memasuki Bangladesh telah dipaksa kembali oleh patroli. Banyak juga yang ditahan dan dikembalikan ke Myanmar secara paksa.


Berapa banyak Rohingya yang meninggalkan Myanmar dan ke mana mereka pergi?

Sejak akhir 1970-an, hampir satu juta Muslim Rohingya melarikan diri dari Myanmar karena penganiayaan yang meluas. Menurut data terbaru dari PBB di bulan Mei, lebih dari 168.000 orang Rohingya telah meninggalkan Myanmar sejak tahun 2012.

Setelah kekerasan yang terjadi tahun lalu, lebih dari 87.000 orang Rohingya melarikan diri ke Bangladesh dari bulan Oktober 2016 sampai Juli 2017, menurut Organisasi Internasional untuk urusan Migrasi.

Banyak orang Rohingya juga mempertaruhkan nyawa mereka untuk mencoba pergi ke Malaysia dengan kapal, melintasi Teluk Benggala dan Laut Andaman. Antara tahun 2012 dan 2015, lebih dari 112.000 orang Rohingnya telah melakukan perjalanan yang berbahaya.

PBB memperkirakan bahwa ada sebanyak 420.000 pengungsi Rohingya di Asia Tenggara. Selain itu, ada lagi data yang menyebutkan sekitar 120.000 penduduk Rohingya yang mengungsi.

Kekerasan di barat laut Myanmar yang dimulai pada akhir Agustus telah memaksa sekitar 58.000 orang Rohingya melarikan diri melintasi perbatasan ke Bangladesh, sementara 10.000 lainnya terdampar di antara kedua negara tersebut.


Apa yang Aung San Suu Kyi dan pemerintah Myanmar katakan tentang Rohingya?

Kanselir Myanmar, Aung San Suu Kyi, yang merupakan pemimpin de facto Myanmar, telah menolak untuk membahas keadaan buruk Rohingya. Aung San Suu Kyi dan pemerintahannya tidak mengakui Rohingya sebagai kelompok etnis dan menyalahkan “teroris” sebagai penyebab kekerasan di Rakhine, dan selanjutnya menyetujui tindakan militer terhadap mereka yang disebut “teroris”.

Peraih Nobel Perdamaian ini tidak memiliki kontrol atas militer namun dia dikritik karena kegagalannya untuk mengecam kekuatan yang digunakan oleh pasukan, dan juga kegagalannya membela hak-hak lebih dari satu juta etnis Rohingya di Myanmar. Pemerintah juga telah berulang kali menolak tuduhan pelanggaran.

Pada bulan Februari 2017, PBB menerbitkan sebuah laporan yang menemukan bahwa pasukan pemerintah “sangat mungkin” melakukan kejahatan kemanusiaan sejak tindakan keras militer dimulai pada bulan Oktober 2016.

Saat itu, pemerintah Myanmar tidak langsung menangani temuan laporan tersebut dan mengatakan bahwa yang dilakukan pasukan pemerintah adalah “membela negara dengan cara yang sah” dan pasukan pemerintah melawan “aktivitas teroris yang meningkat”, serta menambahkan bahwa penyelidikan domestik sudah cukup untuk memeriksa laporan PBB itu.

Pada bulan April 2017, Aung San Suu Kyi mengatakan dalam sebuah wawancara khusus dengan BBC bahwa ungkapan “pembersihan etnis” adalah istilah yang berlebihan untuk menggambarkan situasi di Rakhine. “Saya tidak berpikir ada pembersihan etnis yang terjadi, “katanya. “Saya pikir pembersihan etnis terlalu berlebihan untuk menggambarkan apa yang sedang terjadi.”

Pada bulan September 2016, Aung San Suu Kyi memberi mandat kepada mantan kepala PBB Kofi Annan untuk menemukan cara memulihkan pertikaian yang telah berlangsung lama di wilayah tersebut.

Banyak yang menyambut baik pembentukan komisi tersebut dan laporan temuannya yang dirilis bulan Agustus ini. Namun, Azeem Ibrahim, seorang senior di Center for Global Policy, berpendapat bahwa Aung San Suu Kyi hanya sedang “menenangkan opini publik global dan mencoba untuk menunjukkan kepada masyarakat internasional bahwa dia melakukan apa yang dia bisa untuk menyelesaikan masalah Rohingnya”.

Kenyataannya Kofi Annan tidak diberi mandat untuk menyelidiki kasus pelanggaran hak asasi manusia, namun hanya untuk melihat masalah pembangunan ekonomi jangka panjang, pendidikan dan perawatan kesehatan.

Setelah dikeluarkannya laporan bulan Agustus, Komisi tersebut mendesak pemerintah untuk mengakhiri tindakan keras militer terhadap tempat tinggal Rohingya, serta pembatasan perpindahan dan kewarganegaraan. Pemerintah Myanmar mengatakan akan menyambut baik rekomendasi komisi tersebut dan akan mempertimbangkan untuk melaksanakan rekomendasi sampai batas maksimal … sesuai dengan situasi di lapangan”.

Di sisi lain, pemerintah sering membatasi akses menuju Rakhine utara untuk wartawan dan lembaga kemanusiaan. Kantor pemerintah Aung San Suu Kyi juga menuduh lembaga kemanusiaan telah membantu mereka yang dianggap sebagai “teroris”.

Pada bulan Januari, Yanghee Lee, seorang pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia di Myanmar, mengatakan bahwa dia ditolak aksesnya ke bagian-bagian tertentu dari Rakhine dan hanya diizinkan untuk berbicara dengan orang Rohingya yang disetujui oleh pemerintah. Myanmar juga menolak visa anggota penyelidik PBB yang akan menyelidiki kekerasan dan dugaan pelanggaran di Rakhine.

(AP Photo/Bernat Armangue)

Apa yang Bangladesh katakan tentang Rohingya?

Ada hampir setengah juta pengungsi Rohingya yang tinggal di kamp-kamp darurat di Bangladesh. Namun mayoritasnya tidak terdaftar. Bangladesh menganggap bahwa sebagian besar Rohingya yang melintasi perbatasannya dan tinggal di luar kamp telah “menyusup secara ilegal” ke negara tersebut. Bangladesh sering mencegah pengungsi Rohingya menyeberangi perbatasannya.

Pada akhir Januari lalu, negara tersebut telah mengungkapkan rencana untuk memindahkan puluhan ribu pengungsi Rohingya ke sebuah pulau terpencil yang rawan banjir dan oleh kelompok hak asasi manusia dinyatakan “tidak dapat dihuni”. Berdasarkan rencana yang pernah disampaikan pada tahun 2015 tersebut, pihak berwenang akan memindahkan orang-orang Myanmar yang tidak berdokumen ke Thengar Char di Teluk Bengal.

Berbagai kelompok kemanusiaan telah mencela usulan tersebut, dengan mengatakan bahwa pulau itu benar-benar banjir selama musim hujan. PBB juga menyebut relokasi paksa itu “sangat kompleks dan kontroversial”.

Baru-baru ini pemerintah Bangladesh dilaporkan telah mengusulkan sebuah operasi militer gabungan di Rakhine untuk membantu pertempuran Myanmar melawan pejuang bersenjata di daerah tersebut. Kementerian luar negeri menyatakan ketakutannya bahwa kekerasan baru akan menyebabkan masuknya pengungsi baru untuk menyeberangi perbatasan Bangladesh.


Apa pendapat masyarakat internasional tentang Rohingya?

Masyarakat internasional telah memberi julukan kepada Rohingya sebagai “minoritas paling teraniaya di dunia”. PBB serta beberapa kelompok hak asasi manusia seperti Amnesty International dan Human Rights Watch, secara konsisten mencela perlakuan terhadap Rohingya oleh Myanmar dan negara-negara tetangga.

PBB telah mengatakan bahwa “sangat mungkin” militer melakukan kejahatan kemanusiaan. pelanggaran hak asasi manusia di Rakhine yang mungkin berupa kejahatan perang, selalu disangkal pemerintah.

Pada bulan Maret, PBB mengeluarkan resolusi untuk membentuk sebuah misi independen dan internasional untuk menyelidiki dugaan pelanggaran tersebut. Mereka meminta Komisi Penyelidikan, yang merupakan tingkat investigasi tertinggi di PBB.

Penyelidik PBB harus memberikan pembaruan lisan pada bulan September dan sebuah laporan lengkap tahun depan mengenai temuan mereka. Kelompok-kelompok massa telah mengkritik keengganan pemerintah untuk menerima penyidik PBB, Human Rights Watch memperingatkan bahwa pemerintah Myanmar berisiko mendapat stigma yang sama dengan “negara-negara paria” seperti Korea Utara dan Suriah jika tidak mengizinkan PBB untuk menyelidiki dugaan kejahatan.

Baru-baru ini, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan bahwa dia “sangat prihatin” dengan kekerasan yang terus berlanjut di Rakhine. “Rentetan kejadian ini sangat menyedihkan,” kepala hak asasi manusia PBB Zeid Ra’ad al Hussein mengatakan. “Ini pasti bisa dicegah,” Hussain menambahkan bahwa “Pelanggaran hak asasi manusia yang terus-menerus dan sistematis selama beberapa dekade, termasuk sikap pihak keamanan yang sangat keras terhadap serangan di Bulan Oktober 2016, hampir pasti berkontribusi pada pemupukan ekstremisme, dan semua orang akhirnya akan merugi”.

Kedua pejabat PBB ini mengatakan bahwa mereka benar-benar mendukung temuan dari komisi penasehat yang dipimpin oleh Kofi Annan, dan mendesak pemerintah untuk memenuhi rekomendasinya.


Apakah Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA)?

Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), sebelumnya dikenal sebagai al-Yaqeen Faith Movement, merilis sebuah pernyataan dengan nama barunya pada bulan Maret 2017, dengan mengatakan bahwa mereka berkewajiban untuk “membela, menyelamatkan dan melindungi komunitas Rohingya”.

Kelompok tersebut mengatakan bahwa mereka akan melakukan “dengan kapasitas terbaik kami yang memiliki hak yang sah menurut hukum internasional untuk membela diri sesuai dengan prinsip pembelaan diri.”

Meskipun kelompok ini dianggap sebagai organisasi “teroris” oleh pemerintah Myanmar, dalam pernyataannya pada bulan Maret, ARSA menambahkan bahwa pihaknya “tidak berasosiasi dengan kelompok teroris manapun di seluruh dunia” dan “tidak melakukan bentuk terorisme terhadap warga sipil manapun terlepas dari asal agama dan etnis mereka”.

Pernyataan tersebut juga menyatakan : “Kami menyatakan dengan keras dan jelas bahwa serangan defensif kami hanya ditujukan pada rezim Burma yang menindas sesuai dengan norma dan prinsip internasional sampai tuntutan kami terpenuhi.”

Kelompok tersebut mengklaim bertanggung jawab atas serangan terhadap pos polisi dan sebuah pangkalan militer di negara bagian Rakhine. Menurut pemerintah hampir 400 orang terbunuh, yang sebagian besar adalah anggota ARSA.

Kelompok hak asasi manusia mengatakan bahwa ratusan warga sipil telah dibunuh oleh pasukan pemerintah setelah serangan ARSA. Menurut kelompok Krisis Internasional, ARSA memiliki hubungan dengan Rohingya yang tinggal di Arab Saudi. Pemerintah Myanmar secara resmi mengkategorikan kelompok tersebut sebagai organisasi “teroris” pada 25 Agustus.

(Seraa-Media/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: