Oleh: Ayatullah Jakfar Subhani
Dengan memperhatikan secara seksama sejarah aliran Maturidiyah, secara jelas akan terbukti bahwa pemikiran-pemikiran teologis aliran ini bersumber dari Abu Hanifah. Karena sebelum masuk ke dalam pembahasan-pembahasan fikih, Abu Hanifah pernah memiliki halaqah kajian teologi. Sejak awal ketika masalah-masalah teologi secara sederhana muncul di tengah-tengah Islam, pada waktu itu sudah terbentuk dua kelompok di tengah-tengah kaum muslimin.
1. Kelompok Ahlul Hadis yang dikenal dengan Hasywiah, Salafiah dan Hanabilah. Kelompok ini, seluruh keyakinannya disandarkan kepada makna-makna lahir dari ayat-ayat Qur’an dan sebagian besar dari keyakinan tersebut bersumber dari hadis. Mereka tidak menganggap akal sebagai sesuatu yang bernilai, dan jika di dalam kelompok ini ditemukan keyakinan-keyakinan seperti menyerupakan Tuhan dengan makhluk (tasybih) dan menganggap Tuhan adalah benda (tajsim), keterpaksaan atau determinisme (jabr), berkuasanya qadha dan qadar atas perilaku-perilaku bebas manusia, dan atau bersikeras atas keyakinan berkenaan dengan bahwa Tuhan dapat dilihat di hari kebangkitan, semuanya adalah akibat-akibat dari hadis-hadis yang tersebar di antara mereka, dan biasanya jejak tangan ulama-ulama Yahudi dan pendeta-pendeta Nasrani terlihat di dalam hadis-hadis tersebut. Mereka meyakini bahwa kalam Ilahi (Qur’an) adalah sesuatu yang sudah ada sebelum diciptakannya semesta ini (qadim). Seperti halnya kebanyakan orang Yahudi menganggap Taurat sebagai sesuatu yang ada tanpa didahului oleh sesuatu apapun (azali) dan begitu juga orang-orang Nasrani yang menganggap Al Masih azali, mereka juga menganggap Al Qur’an sebagai qadim dan azali.
2. Kelompok Mu’tazilah yang menganggap akal sebagai sesuatu yang berharga dan bernilai, mereka menolak hadis dan riwayat yang bertentangan dengan hukum akal, dan sumber keyakinan-keyakinan mereka diambil dari teks-teks ayat Qur’an dan hadis Nabi Saw yang pasti dan juga dari hukum akal. Sesuatu yang perlu dikritisi dari mereka adalah sikap mereka yang memberikan penilaian terlalu tinggi terhadap akal melebihi kapasitasnya dan begitu banyak teks-teks Qur’an yang pasti yang ada di syariat suci Islam dikesampingkan, karena dianggap muatannya mengandung pemikiran yang bertentangan dengan akal.
Bertahun-tahun lamanya berlangsung peperangan pemikiran yang tiada hentinya di antara kedua kelompok ini, dan kemenangan salah satu kelompok atas kelompok yang lainnya bergantung kepada bantuan-bantuan para penguasa di masa lalu; penguasa-penguasa tersebut berpihak kepada salah satu kelompok dan berusaha melemahkan kelompok yang lain.
Pertarungan ini berlanjut dengan intensitas yang semakin tinggi sampai permulaan abad 300 Hijriah, akan tetapi pada permulaan abad keempat, dua orang yang berasal dari dua wilayah yang berbeda menunjukkan dirinya dan melahirkan sebuah aliran yang pada hakikatnya adalah sebuah aliran yang moderat dan tidak berpihak kepada dua aliran sebelumnya, baik itu Ahli Hadis ataupun Mu’tazilah. Salah satu dari dua orang ini adalah Abul Hasan Asy’ari (260-324 Hijriah) di Irak yang keluar dari aliran Mu’tazilah dan bertobat karena telah meyakininya, dan mengumumkan dirinya sebagai kawan dan pendukung Ahmad bin Hanbal, dan saat ini terdapat campur tangan dalam aliran Ahmad bin Hanbal dan secara perlahan aliran ini menjadi aliran resmi Ahlu Sunnah. Dan orang yang kedua adalah Abu Mansur Maturidi Samarqandi (250-333 Hijriah) di belahan timur dunia Islam, seorang pendukung aliran Ahli Hadis yang melakukan persis apa yang dilakukan oleh koleganya Asy’ari, dan yang luarbiasa adalah walaupun kedua orang pendiri ini hidup pada satu masa yang sama dan melangkah pada satu jalan yang sama, akan tetapi mereka tidak saling mengenal satu dengan lainnya.
Wilayah timur dunia Islam saat itu adalah pusat pembahasan masalah-masalah teologi, seperti juga halnya Basrah yang merupakan tempat lahirnya Asy’ari adalah titik pertemuan pandangan-pandangan keyakinan yang berbeda-beda, dan begitu juga pemikiran-pemikiran asing yang masuk ke dalam Islam dari Negara-negara yang berbeda pada saat kemenangan-kemenangan yang diraih Islam sebagai pemikiran-pemikiran impor yang berpindah ke dunia Islam.
Dari sisi fikih, aliran Hanafi menyebar di daerah Khurasan secara sempurna, pada saat yang sama kebanyakan penduduk Basrah bermazhab Syafi’i, dari sudut pandang ini para pengikut mazhab Hanafi memiliki kecenderungan yang tinggi kepada aliran Maturidiyah, sedangkan para pengikut mazhab Syafi’i lebih dari yang lainnya memilih aliran Asy’ari. Sebagian dari pemikiran aliran Maturidiyah diperoleh dari Abu Hanifah dan terpengaruh oleh bukunya yang berjudul Fiqhul Akbar yang membahas permasalahan keyakinan. Oleh karena itu kebanyakan pengikut aliran Maturidiyah hidup di Khurasan dan dalam masalah fikih mereka adalah pengikut mazhab Hanafi, seperti:
1. Fakhrul Islam Muhammad bin Abdul Karim Bazwadi (493 Hijriah).
2. Abu Hafs Umar bin Muhammad Nasafi (573 Hijriah).
3. Sa’adudin Taftazani (791 Hijriah).
4. Kamaludin Ahmad Bayadzi (abad 11).
5. Kamaludin Muhammad bin Himamudin (861 Hijriah).
Dengan memperhatikan dengan seksama sejarah aliran Maturidiyah, secara jelas terbukti bahwa ia dan pemikiran-pemikiran teologisnya bersumber dari Abu Hanifah, karena sebelum terjun ke dalam pembahasan fikih, Abu Hanifah memiliki lingkaran pengkajian teologi, dan ketika ia berhubungan dengan Hamad bin Abi Sulaiman ia meninggalkan kajian teologinya dan masuk ke dalam pembahasan fikih.
Bukan hanya Maturidi saja yang keyakinan-keyakinan teologinya bersumber dari Abu Hanifah, akan tetapi orang yang sezaman dengannya, Abu Ja’far Thahawi (321 hirjiah) penulis buku Keyakinan-keyakinan Thahawiah, pemikiran-pemikiran teologinya juga bersumber dari Abu Hanifah, sampai-sampai di pendahuluan bukunya ia mengatakan: "risalah ini adalah keyakinan para ahli fikih umat Islam, selepas itu ia mengutip nama Abu Hanifah dan dua murid terkenalnya Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Syaibani."[1] Abdul Qahir Baghdadi penulis buku Al Farqu baina Al Firaq dalam bukunya yang lain yang bertema Ushuludin mengingatkan bahwa Abu Hanifah memiliki sebuah buku berjudul Al Fiqhul Akbar yang di dalamnya ditulis sanggahan bagi aliran Qadariah, dan dalam karyanya yang lain membenarkan kayakinan Ahlu Sunnah dalam sebuah permasalahan.[2] Akan tetapi karya-karya yang diwariskan Abu Hanifah bukan hanya dua buku ini saja.
Dikarenakan permasalahan-permasalahan teologi di dalam buku Abu Hanifah tidak tersusun dengan tertib, Kamaludin Bayadzi di abad kesebelas Hijriah menertibkan masalah-masalah tersebut dan menulis buku bertajuk Isyaratul Maram min Ibaratil Imam, dan dalam buku tersebut dikatakan: "saya menyusun dan menertibkan masalah-masalah ini dengan bersandar kepada buku-buku: 1. Al Fiqhul Akbar 2. Ar Risalah 3. Al Fiqhul Absath 4. Kitabul Alim wal Mutaalim 5. Al Wasiat, yang kesemuanya itu dikutip dari Abu Hanifah dengan perantara Masyaikh."[3]
Dari semua yang telah kita saksikan, jelas bahwa akar dan pondasi aliran Maturidiyah secara khusus kembali kepada aliran ini sendiri dan dengan cara tertentu kembali kepada Abu Hanifah; dan seperti yang akan kita saksikan, aliran ini adalah aliran yang moderat yang tidak memihak Ahli Hadis maupun Mu’tazilah. Lebih dari itu, bahkan akan kita saksikan bahwa aliran ini dalam metode berpikir lebih dekat kepada Mu’tazilah ketimbang aliran Ahli Hadis.
Riwayat hidup Maturidi
Hasil penelaahan kitab-kitab Tarajim membawa kita kepada sebuah keyakinan bahwa pendiri aliran ini tidak memiliki popularitas yang sempurna di masa hidupnya dan di kemudian haripun para ahli Tarajim tidak banyak yang merekam kehidupannya, padahal semua penulis biografi menulis riwayat hidup Asy’ari dan mengingatnya dengan cara tertentu. Mungkin masalahnya adalah bahwa Maturidi tinggal jauh dari ibu kota Islam pada waktu itu yaitu Irak, sedangkan Asy’ari lahir di ibu kota Islam dan meniggal juga di tempat yang sama, dan teman-teman serta musuh-musuhnya mengingatnya dengan cara tertentu.
Ibnu Nadim (388 M) di dalam bukunya Al Fihrist tidak mengutip tentang Maturidi, sedangkan ia membawakan riwayat berkenaan dengan Asy’ari walaupun secara singkat. Buku Syeikh Thahawi pemimpin para pengikut mazhab Hanafi di Mesir banyak diminati dan banyak ditulis syarah untuknya, akan tetapi hal tersebut tidak terjadi pada buku-buku Maturidi, dari sudut pandang ini kita melihat bahwa para penerjemah seperti:
1. Ibnu Khalkan (681) penulis buku Wafayatul A’yan.
2. Sholahudin Shafdi (764) penulis buku Al Wafi bil Wafayat.
3. Taqiudin Islami (774) penulis buku Al Wafayat.
4. Ibnu Khaldun (808) penulis buku Muqadimah wa Tarikh.
5. Jalaludin Suyuthi (911) penulis buku Thabaqatul Mufasirin.
Demikian pula para penulis yang lain, tidak mengutip tentang Maturidi, padahal mereka mengutip orang-orang yang secara keilmuan lebih rendah darinya. Bahkan orang yang menerjemahkan masalah yang berkenaan dengannya, tidak mengutipnya secara terperinci, dan apa yang penulis bisa peroleh dari buku-buku yang berkenaan dengan kehidupannya adalah apa yang tertulis di sini.
Kelahiran
Para penulis riwayat hidup Maturidi mengatakan bahwa ia meninggal dunia pada tahun 333, sedangkan berkenaan dengan tahun kelahirannya mereka tidak menulis apapun. Akan tetapi dapat dikatakan bahwa ia lahir kira-kira pada tahun 248 atau 250, karena ia menukil hadis dari Nasir bin Yahya Balkhi dan ia meninggal pada tahun 268. Jika Maturidi pada waktu itu berumur 20 tahun, dapat dipastikan bahwa tahun kelahirannya adalah apa yang telah disebutkan.
Tempat kelahiran
Ia dilahirkan di sebuah tempat yang bernama Maturid yang merupakan salah satu bagian dari Samarqand di Mawara Al Nahr (wilayah yang termasuk Asia Tengah, yang sekarang kira-kira adalah wilayah Uzbekistan, sebagian dari Turkmenistan dan Kazakhstan), dan setelah itu ia dikenal dengan nama-nama seperti Maturidi Samarqandi atau Alamul Huda, dan secara nasab ada kemungkinan bersambung ke Abu Ayub Anshari, orang yang rumahnya menjadi tempat persinggahan Rasulullah Saw.[4]
Pendidikan
Dalam aqidah, teologi dan fikih ia mengikuti imam mazhabnya sendiri yaitu Abu Hanifah, dan belajar dari orang-orang seperti:
1. Abu Bakr Ahmad bin Ishaq Juzjani
2. Abu Nasr Ahmad bin Al Ayadz
3. Nasir bin Yahya muridnya Hafs bin Salim bapaknya Maqatil
4. Muhammad bin Maqatil[5]
Teologi Ahlu Sunnah adalah hasil rancangan dan bangunan dua orang, yang pertama bermazhab Hanafi dan yang kedua bermazhab Syafi’i, yang bermazhab Hanafi yaitu Abu Mansur Maturidi dan yang Syafi’i Abu Al Hasan Asy’ari.[6]
Muslihudin Qastilani mengatakan orang yang paling terkenal dalam masalah ilmu teologi di tanah Khurasan, Irak, Syam dan sebagian besar wilayah yang lain adalah Abu Al Hasan Asy’ari dan di Mawara Al Nahr adalah Abu Mansur Maturidi.[7]
Zubaidi mengatakan setiap kali kata Ahlu Sunnah diucapkan, yang dimaksud adalah Asy’ariah dan Maturidiyah.[8]
Murid-murid
Sekelompok teolog pernah mengecap pelajaran darinya, di antaranya adalah nama-nama ini:
1. Abu Al Qasim, Ishaq bin Muhammad dikenal dengan Hakim Samarqandi (340).
2. Imam Abu Al Laits Bukhari.
3. Abu Muhammad Abdul Karim bin Musa Bazdawi. Ia adalah kakek dari jalur bapak Muhammad bin Muhammad bin Al Husein bin Abdul Karim Bazdawi penulis buku Ushuludin, dalam buku ini ia berkata: aku telah membaca buku Tauhid Abu Mansur Maturidi Samarqandi dan itu sesuai dengan mazhab Ahlu Sunnah. Ayahku dari kakeknya Abdul Karim bin Musa menukil tentang keajaiban yang dimiliki Abu Mansur Maturidi, dan kakek kami belajar tentang maksud-maksud dari buku-buku Masyaikh, buku Tauhid dan buku Ta’wilat[9] dari Abu Mansur Maturidi. Apa yang ada adalah bahwa buku Tauhid Maturidi bukannya kosong dari ketertutupan, dan jika ia jauh dari ketertutupan, kita sudah mencukupkan diri dengan buku tersebut.
Karya-karya Maturidi
Abu Mansur mewariskan banyak karya dan yang ada sekarang tidak lebih dari tiga buku saja, dua di antaranya sudah dicetak dan yang lainnya masih berupa tulisan tangan.
1. Buku Tauhid, buku ini adalah buku sumber terbesar keyakinan dan aqidah aliran Maturidiyah. Dalam buku ini untuk membuktikan kebenaran pendapatnya, ia menggunakan Al Qur’an, hadis dan akal, dan terkadang memberikan keutamaan yang lebih besar kepada akal.
Buku ini pernah dicetak dengan tebal 412 halaman di Beirut dan Dr. Fathullah Khalif adalah orang yang meneliti keabsahan ayat dan riwayatnya. Dan begitu juga yang dikatakan Bazdawi penulis buku Ushuludin berkenaan dengan kosongnya buku ini dari ketertutupan.
2. Ta’wilat Ahli Sunnah, buku ini berkenaan dengan tafsir Al Qur’an dan di dalamnya dijelaskan tentang keyakinan-keyakinan Ahlu Sunnah dan pandangan-pandangan fikih imam mazhabnya yaitu Abu Hanifah, pada hakikatnya ini adalah buku aqidah dan fikih. Buku ini juga merupakan satu paket tafsir Al Qur’an dan buku tersebut mencakup juz terakhir Qur’an dari surat Munafiqin sampai akhir Qur’an. Dan buku tersebut diterbitkan oleh Dr. Ibrahim Iwadzain dengan bantuan yang lainnya di Kairo. Ketika dibandingkan, jelas terlihat bahwa kedua buku ini satu sama lain betul-betul memiliki kesamaan dalam hal pembahasan masalah-masalah aqidah dan keyakinan.
3. Al Maqalat, peneliti buku At Tauhid berkata bahwa naskah buku ini ada di beberapa perpustakaan Eropa. Akan tetapi karya-karya lainnya dan nama-namanya tercantum di buku-buku terjemahan di antaranya adalah:
4. Akhdzu Al Syara’i
5. Al Jadal fi Ushul Al Fiqh
6. Bayan wa Hum Al Mu’tazilah
7. Rad Kitab Al Ushul Al Khomsah lil Bahili
8. Rad Al Imamah li ba’dzi Al Rawafidz
9. Al Rad ala Ushu Al Qaramathah
10. Rad Tahdzib Al Jadal lil Ka’bi
11. Rad wa Aid Al Fisaq lil Ka’bi
12. Rad Awa’il Al Adilah lil Ka’bi
Hingga sekarang buku-buku ini tidak dapat diperoleh. (www.taghrib.ir)
Catatan Kaki:
[1] Ruh Al Aqidah Al Thahawiah, hlmn. 25, karya Syeikh Abdul Ghani Meidani Dimisyqi, wafat tahun 1298.
[2] Maksudnya adalah bersamaannya kekuatan dan perbuatan, atau kekuatan yang lebih dulu ketimbang perbuatan dan Abu Hanifah dan kebanyakan Ahlu Sunnah mengatakan bahwa kekuatan bersamaan dengan perbuatan.
[3] Isyaratul Maram, hlmn. 21-22, buku ini adalah salah satu buku sumber aliran teologi Maturidi, dan sebelum ini semua buku-buku Maturidi sendiri seperti At Tauhid dan At Tafsir, dan setelah kedua buku ini buku Ushuludin Bazdawi.
[4] Bayadzi, Isyaratul Maram, hlmn. 23.
[5] Isyaratul Maram, hlmn. 23.
[6] Miftahu Saadah wa Misbahu Siyadah, jilid 2, hlmn. 22-23.
[7] Hasyiah Kasteli untuks syarah Al Aqa’id Al Nasafiah yang telah diterbitkan bersama dengan syarahnya, hlmn. 17.
[8] Itihafu Saadah Al Mutaqin bi syarhi Asrar Ihya Ulumudin, jilid 2, hlmn. 8, Kairo.
[9] Buku At Tauhid dan Ta’wilat Ahli Sunat adalah karya Abu Mansur yang merupakan kakek dari ayah Bazdawi, kedua buku tersebut dibacakan di hadapannya. Silahkan merujuk kepada buku Ushuludin Bazdawi.
(Alhasanain/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email