Oleh: Husein Muhammad Alkaff
Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta adalah ibukota negara Republik selain sebagai pusat pemerintahan, ia juga menjadi kota pusat perdagangan, jasa bisnis maupun non bisnis, pendidikan, organisasi non pemerintah dan lain sebagaimya. Ratusan ribu putra negeri ini mengadu nasib mereka di kota megapolitan ini. Mereka datang dari berbagai pelosok kota dan daerah yang tersebar di seantero kepulauan Indonesia. Karena itu, tak heran jika DKI menjadi kota yang paling sesak dan padat di Indonesia karena jumlah penduduknya yang mencapai belasan juta. Jakarta tak ubahnya sebuah miniatur yang lengkap dari keseluruhan penduduk Indonesai yang majemuk. Berbagai suku, ras , agama dan golongan berkumpul dan berbaur serta menyatu dalam dekapan hangat sang Ibukota Jakarta.
Akhir-akhir ini dan menjelang PILKADA DKI yang akan dilaksanakan pada tahun 2017, kehangatan itu nyaris hilang. Suhu kehidupan sosial yang hangat menjadi panas dan gerah. Hubungan antara penduduknya yang harmonis menjadi tegang dan mencekam. Topik percakapan yang terdengar dari mulut mereka, baik di mesjid, majlis taklim, warung nasi, warung kopi dan tempat publik lainnya bahkan di rumah-rumah sendiri, menguarkan bau SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan). Umpatan-umpatan seperti; kafir, Cina, kacung kolonial, arogan, najis dan lain sebagainya menjadi hiasan mulut mereka.
Perubahan itu terjadi karena seorang tokoh yang bernama Basuki Tjahaja Purmana alias AHOK. Ya Ahok, gubernur DKI yang menggantikan Jokowi pada tahun 2014 sampai tahun 2017. Dia kembali akan bertarung dengan lawan-lawan politiknya untuk menjadi orang pertama di DKI. Sehebat itu kah Ahok sehingga bisa mengubah kota Jakarta yang hangat dan harmonis?
Bagi penulis, yang hebat sebenarnya bukan Ahok, melainkan lawan-lawan politiknya. Mereka telah berhasil menjadikan Ahok sebagai monster yang menakutkan; dia akan merusak agama Islam, menyengsarakan orang-orang kecil dan menjual pulau-pulau kecil di Jakarta kepada para cukong kapitalis. Seakan-akan orang yang paling berkuasa di DKI hanya Ahok, dan orang yang paling berbahaya di ibukota Indonesia adalah dia. Karena dia seorang yang paling berbahaya, maka harus dilawan dan karakternya harus dibunuh. Siapapun boleh jadi gubernur asalkan bukan Ahok. Titik.
Yang menarik, panas dan gerahnya suhu sosial-politik yang melanda penduduk DKI ini dirasakan juga oleh penduduk luar Jakarta.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk mendukung Ahok atau para calon gubernur DKI lainnya. Tulisan ini hanya mencoba untuk mengurai sesuatu yang terjadi di tengah masyarakat Muslim Indonesia. Ada dua fakta yang terjadi dan tengah digeluti oleh masyarakat Muslim di negeri ini; mengamalkan agama dan melakukan demokrasi.
Masyarakat Agamis dan Demokratis
Sebuah fakta yang tidak bisa dipungkiri bahwa mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, tidak terkecuali penduduk Jakarta. Sebagai pemeluk agama Islam, secara umu masyarakat Indonesia, khususnya yang taat, tentu ingin sekali mengamalkan ajaran-ajaran Islam secara utuh (kâffah). Namun, oleh karena dasar konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak mencantumkan dirinya sebagai Negara Islam, maka pengamalan ajaran-ajaran Islam secara formalitas dan substansial tidak mungkin dijalankan.
Indonesia adalah negara yang berasaskan PANCASILA dan UUD 45. Melalui dua asas negara ini, para pendiri bangsa (The Founding Fathers) ingin mengamalkan nilai-nilai Islam, dan pada saat yang sama, mereka juga ingin menghargai penduduk lain yang tidak beragama Islam. Keinginan untuk mengamalkan nilai-nilai agama dan juga menghargai agama lain tersebut diatur dalam UUD 45, seperti pasal 28E, pasal 28I, pasal 28J, dan pasal 29 dan diperkuat dengan sejumlah produk perundang-undangan lainnya.
Berdasarkan UUD 45 itu, maka wajar jika sebagian masyarakat Muslim di Indonensia menginginkan agar orang yang akan memimpin mereka adalah orang Islam juga, dan itu sebuah hak konstitusional.
Sampai batas ini, tidak ada yang mempersoalkan mereka. Tetapi ketika sebagian dari mereka mulai membawa teks agama (Islam), yang intinya sebuah larangan memilih pemimpin non Muslim (baca: kafir), maka munculah sebuab persoalan yang sangat serius. Persoalannya adalah bahwa teks agama, sebagaimana yang dipahami oleh sebagian masyarakat Muslim, tidak hanya menyuruh mereka memilih pemimpin Muslim, tapi mencegah atau melarang mereka untuk memilih non Muslim. Ada sebuah konsekwensi yang berat ketika seorang Muslim melanggar teks agama, yaitu dosa.
Indonesia yang pada dasarnya bukan Negara Islam, melainkan negara yang berasaskan Pancasila dan UUD 45, tidak mengenal istilah ” dosa” dan” kafir “ dalam kamus konstitusinya. Namun akhir-akhir ini, saat masyarakat Muslim DKI hendak melakukan hak konstitusinya, tiba-tiba dua istilah ini muncul dan mencuat. Sebenarnya apa yang sedang mereka lakukan? Mengamalkan ajaran agama atau menjalankan hak bernegara? Di sini lah perlu diperjelas, mana yang menjadi ranah agama, dan mana yang menjadi ranah politik.
Masyarakat Muslim ketika dihadapkan dengan teks Islam, maka mereka harus mentaatinya. Namun, saat bernegara dan berbangsa, mereka harus patuh terhadap undang-undang negara. Menurut asumsi tersebut, agama Islam telah melarang umatnya memilih pemimpin non Muslim, sementara UUD 45 memberikan hak memilih dan dipilih kepada siapapun dari warga Indonesia. Bagi sekelompok orang itu, ini adalah situasi yang paradoks dan dilematis.
Hemat penulis, situasi seperti ini tidak perlu dianggap hal yang paradoks. Ilmu logika menyatakan bahwa dua hal yang berbeda tidak berarti bertentangan. Ajaran agama dan bernegara dengan benar tidak perlu dipertentangkan. Bagi masyarakat Muslim yang memiliki keyakinan adanya larangan untuk memilih pemimpin non-Muslim, mereka bisa menjalankan apa yang diyakininya. Itu adalah hak mereka yang betul-betul dilindungi juga oleh undang-undang. Mereka juga berhak untuk menyampaikan keyakinannya itu kepada orang lain, dan mengajak saudara-saudara Muslim mereka untuk tidak memilih calon non-Muslim. Tak ada undang-undang yang melarang perilaku tersebut. Dengan cara itu, mereka juga terbebas dari pelanggaran atas ajaran agama.
Akan tetapi, menjadi masalah (dan bertentangan dengan undang-undang negara) jika mereka yang punya keyakinan seperti itu kemudian menghalangi masyarakat lain untuk mengambil hak pilihnya sesuai hati nurani dan kecenderungannya. Upaya menghalangi tersebut, selain bertentangan dengan undang-undang, juga melukai masyarakat non Muslim. Melukai orang lain bertentangan dengan nilai dan norma agama Islam.
Kesimpulannya, masyarakat Muslim punya hak untuk memilih calon pemimpin yang Muslim, tapi juga harus menjadi warga yang patuh terhadap undang-undang dengan tidak melarang masyarakat lain untuk memilih pilihannya sendiri.
(Liputan-Islam/satu-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email