Kisah Karbala merupakan peristiwa terbesar dan paling tragis yang senantiasa hidup dan selalu dikenang dengan air mata tangisan, walau telah berlalu sepanjang empat belas abad.
Majelis ratapan atas kesyahidan Imam Husain as pertama kali diadakan oleh Ahlul Bait pada tanggal sebelas bulan Muharram 61 HQ, di sisi jasad para syahid Karbala.
Ketika konvoi tawanan memasuki kota Kufah, Imam Ali Zainal Abidin, Sayidah Zainab dan Ummu Kulsum menyampaikan pidato di hadapan masyarakat kota tersebut yang datang untuk menyaksikan penderitaan mereka. Di sela-sela pidato tersebut terdengar suara tangisan dan ratapan dari dalam rumah masyarakat, yang tak lain adalah majelis ratapan atas kemazluman para syahid dan kezaliman Bani Umayah.
Setelah konvoi tawanan tersebut memasuki Syam dan mendengar pidato Imam Ali Zainal Abidin di sana, Yazid dengan terpaksa mengizinkan keluarga Nabi untuk mengadakan majelis ratapan. Mereka mengadakan majelis tersebut secara resmi selama tiga hari.[1] Majelis tersebut membuahkan revolusi intelektual besar di Syam. Sehingga banyak masyarakat negeri itu yang berbalik membenci pemerintahan Bani Umayah.
Majelis ratapan selanjutnya diadakan di kota Madinah. Setelah para tawanan dari keluarga Nabi tiba kota itu, mereka mengadakan majlis guna mengenang kesyahidan Imam Husain as dan masyarakat Madinah pun turut menangis dan merintih. Semenjak itu, majelis-majelis ratapan diadakan oleh para tokoh besar, termasuk Sayidah Zainab as. sendiri. Upacara tersebut menggemparkan kota Madinah dan membuahkan sebuah pergerakan masyarakat. Umar bin Sa’ad memberitahukan hal itu kepada Yazid dan mengatakan kepadanya, “Keberadaan Zainab benar-benar memprofokasi masyarakat Madinah, karena dia adalah seorang orator yang pintar dan cerdik. Dia dan orang-orang yang berada di sekitarnya sedang menyusun rencana untuk bangkit.”[2] Hal itu menyebabkan Sayidah Zainab diasingkan di Syam atau Mesir hingga wafat.
Semenjak kesyahidan Imam Husain as, para Imam keturunan al Husain rutin mengadakan majelis ratapan dan mengajak para pengikutnya untuk menghadiri serta menangis di dalamnya.
Majelis ratapan pertama-tama hanya diadakan di hari-hari Muharram dan di saat ziarah ke makam Imam Husain as. di Karbala serta momen lainnya seperti tanggal lima belas bulan Sya’ban, hari Arafah, malam Idul Fitri, hari pertama bulan Rajab.[3] Tetapi, mulai abad III majelis ratapan berubah sebagaimana yang akan kami sampaikan selajutnya.
Pada abad III, IV dan V serta pada masa terbentuknya pemerintahan Dinasti Bawayh (Buyeh) di Irak, pemerintahan Hamdaniyun di Syiria dan pemerintahan Fatimiyah di Mesir, pendukung Ahlul Bayt berkembang luas. Hal itu diikuti oleh bertambah banyaknya majelis ratapan atas Al-Husain as. Di banyak kota hari Asyura dijadikan hari ratapan dan libur umum.
Pada bulan Muharam 252 HQ, Mu’izzu Daulah Dailami memerintahkan untuk meliburkan semua kegiatan termasuk pasar, supaya masyarakat mengadakan majelis ratapan dan turun ke jalan dengan membaca Ma’tam.[4] Seperti inilah awal mula majelis umum ratapan menjadi sebuah budaya dalam mazhab Ahlul Bayt. Pada masa tersebut, syair-syair ramai dibacakan dalam bentuk qosidah[5], di dalamnya berisikan ungkapan akan kezaliman Bani Umayah dan kemuliaan Ahlul Bait as. Masyarakat kala itu lebih tertuju pada wilayah Ahlul Bait dalam setiap majelis ratapan dan syair-syairnya. Pada masa itu pula kitab-kitab Maqtal mulai ditulis.
Pertikaian sengit antara kelompok pecinta Ahlul Bayt dan para pendukung Bani Umayah terjadi pada masa itu. Para penguasa yang sejalan dengan Bani Umayah senantiasa memprofokasi para pengikutnya untuk membunuh para pecinta Ahlul Bayt dan menghentikan majelis-majelis ratapan mereka. Akhirnya pada bulan Muharam 407 HQ, Mu’iz bin Badis di Afrika memerintahkan bala tentaranya untuk membantai mereka dan mengundang halayak umum ikut serta dalam kekejian ini.
Banyak sekali korban mati dan dibakar dalam peristiwa tersebut, rumah-rumah mereka juga ikut dirusak. Sebagian mereka melarikan diri dan berlindung di istana Mansur namun dalam keadaan dikepung, setiap orang yang keluar dari istana tersebut pasti terbunuh. Sebagian lainnya berlindung di Masjid Jami’ walau pada akhirnya mereka pun terbunuh di sana.[6]
Namun tidak sesuai perkiraan dan keinginan para penguasa, di masa itulah majelis ratapan Imam Husain tersebar secara luas.
Bentuk dan muatan pembacaan ratapan pada masa itu adalah:
1. Dibaca pada sepuluh hari pertama Asyura dan musim ziarah.
2. Berisi penegasan bahwa Ahlul Bait adalah Itrah suci nabi dan Bani Umayah adalah perampas khilafah.
3. Meningkatkan semangat syair dalam memuji Imam Husain dan Ahlul Bait as.
4. Mengingat musibah yang menimpa Ahlul Bait.
5. Membeberkan kezaliman-kezaliman Bani Umayah.
6. Menjadikan majelis ratapan sebagai protes terhadap Bani Umayah, Bani Abbas dan para pendukungya.
Hal-hal tersebutlah yang membuat pemerintahan-pemerintahan masa itu melarang keras diadakannya majelis ratapan.
Majelis Ratapan di Masa Bani Abas dan Dinasti Mongol
Semenjak runtuhnya pemerintahan Bani Abbas di Bagdad dan berkuasanya Dinasti Mongol atas sebagian besar negeri Islam, bentuk dan isi pembacaan ratapan mengalami perubahan sedikit demi sedikit. Perubahan tersebut tidak terlepas dari peran penguasa Bani Abbas sebelumnya yang mengaku sebagai khalifah Rasulullah pemimpin kaum Muslimin yang sah dan wajib untuk ditaati. Mereka menjadikan mazhab Muktazilah dan Ahli hadis (pada masa yang berbeda) sebagai Mazhab resmi kerajaan. Mereka pun mendukung kegiatan dan membantu para pengikut mazhab tersebut. Syiah adalah mazhab yang dilarang dalam perundang-undangan dan tidak seorang pun boleh mengikutinya.
Sebaliknya, Syiah menganggap bahwa pemerintahan adalah hak Ilahi yang hanya boleh dipimpin oleh para Imam suci as. Dalam pandangan mereka terdapat syarat-syarat agung yang harus dimiliki pemimpin Islam. Dua pandangan yang berseberangan ini telah memunculkan permusuhan antara Syiah dan pemerintahan abbasiyah. Dalam majelis ratapan, perbedaan pandangan dan sikap politik yang berbeda tersebut sangat terlihat, dan para penguasa kala itu sangat mengkhawatirkan majelis-majelis tersebut. Oleh karenanya, majelis ratapan pada masa itu terkait banyak dengan permasalahan politik.
Semenjak Dinasti Mongol berkuasa dengan cara-cara yang kejam dan para penguasanya hanya mengakui sisi pemerintahan politik (bukan khilafah Islam-red), bentuk majelis ratapan pun mengalami perubahan, dari yang bersifat politis menjadi majelis khusus yang berisfat religius. Majelis ratapan hanya diadakan dengan maksud memperoleh nilai maknawiah dan kecintaan terhadap Ahlul Bait as.
Dalam periode tersebut banyak terjadi tahrif (penyimpangan) dalam peristiwa Asyura. Kisah-kisah berlebihan yang membuat gejolak emosi dinukil supaya para hadirin dapat semakin merintih. Selain itu, permasalahan-permasalahan politik tidak lagi disampaikan agar para penguasa tidak mengusik mereka.
Bentuk dan ciri-ciri pembacaan ratapan pada masa itu adalah:
1. Menyebarluaskan acara ratapan dan mempopularisasikannya pada momen-momen lain.
2. Mengadakan pembacaan ratapan lebih banyak untuk pahala dan syafaat para Imam suci as.
3. Membeberkan kezaliman-kezaliman Bani Umayah dan Bani Abbas.
4. Menyebut kemuliaan-kemuliaan Ahlul Bait as.
5. Menampakkan kezuhudan, tidak ikut campur dalam perkara-perkara pemerintahan dan menjauhkan diri dari dunia serta bertawajjuh kepada perkara akhirat.
6. Memperbanyak Husainiah untuk mengadakan majelis-majelis ratapan.
Dalam periode itu setiap orang membaca syair untuk Imam husain as dengan cita rasa dan khas masing-masing. Banyak dari syair-syair tersebut menjadi abadi karena diwariskan dalam bentuk tulisan maupun lisan. Sebagian syair yang dibaca dalam acara ratapan di desa-desa atau kabilah-kabilah adalah contoh dari syair-syair tersebut. Terkadang syair-syair tersebut dibaca oleh orang yang tidak memiliki wawasan tentang sejarahnya dan membaca hanya dengan tujuan khidmat atau menampakkan kecintaan kepada Ahlul Bait as.
Pada masa-masa itu, pengenalan masyarakat kepada Ahlul Bait as sangat ditekankan, dimana pengenalan tersebut sangat berperan dalam kelanjutan garis Ahlul Bait dan Syiah. Itu adalah perbuatan mulia yang akan diberikan pahala agung di sisi Allah Swt. Karena, menyebut kemuliaan-kemuliaan Ahlul Bait dan mengenalkan masyarakat kepada mereka sama kedudukannya dengan mengabadikan garis wilayah (kepemimpinan), mengajak umat kepada kemuliaan dan menjaga nilai-nilai agung Islam untuk generasi selanjutnya.
Dalam periode tersebut bentuk majelis ratapan sama dengan yang ada sekarang ini. Sebagian mengawalinya dengan memukul kepala dan menepuk dada sebagaimana yang dilakukan pada masa Dinasti Bawayh (Buyeh).[7]
Majelis Ratapan dalam Periode Terakhir
Dalam periode terakhir majelis ratapan memiliki perkembangan secara kuantitas maupun kualitas. Majelis ratapan diadakan pada hari wafat Nabi Muhammad Saw, para Imam as, Sayidah Fatimah as dan yang lainnya.
Bentuk dan ciri-ciri majelis ratapan dalam periode ini adalah:
1. Akurasi Sejarah
Para ulama dan cenikiawan berusaha menyampaikan kisah Asyura dan musibah para Imam berdasarkan referensi sejarah yang akurat. Mereka menghindari kesimpulan-kesimpulan yang tidak rasional sekaitan dengan kedudukan para Imam as.
2. Analisa sejarah
Para penceramah dan penulis menyampaikan sejarah Asyura disertai dengan analisa. Setiap kisah dalam Asyura mereka teliti sumber, sebab kemunculan dan pengaruh sosialnya.
3. Misi-misi Imam Husain as
Dalam setiap majelis ratapan, pergerakan Imam Husain dan sebab-sebab kebangkitannya dipelajari. Misi apa yang beliau miliki dalam pergerakan dan kebangkitannya? Apakah tujuannya hanya untuk meraih syahadah saja, ataukah semata untuk kemaslahatan dan keselamatan Syiah? Apakah tujuan beliau adalah kekuasaan? Apakah beliau terpojokkan dan terpaksa maju ke medan perang sehingga terbunuh? Dan sekian pertanyaan lainnya. Setiap orang mempelajarinya dan menghasilkan sebuah kesimpulan, kemudian mempertahankan pendapatnya dengan mengajukan dalil-dalil historis ataupun sabda Nabi Muhammad dan perkataan Imam Husain sendiri. Walaupun sebagian mereka salah namun usaha mereka dalam hal ini sangatlah terpuji.
4. Isu-isu politik
Sejumlah pengikut Syiah yang membawa misi perjuangan melawan pemerintahan diktator, kerap menjadikan majlis ratapan sebagai sarana dakwah mereka. Di mata mereka, majelis-majelis ini adalah wadah yang tepat untuk melobi massa dan memobilasi mereka untuk turut bangkit menghadapi penguasa zalim. Beberapa contoh sikap politik telah diangkat dalam majelis-majelis tersebut, sebagaimana yang terjadi dalam sejarah politik Iran pada periode konstitusi (Dauroon-e Masyruteh). Majelis-majelis tersebut dipandang sebagai faktor pergerakan masyarakat karena falsafah kebangkitan Imam Husain as disampaikan di dalamnya. Imam husain bangkit karena pemerintahan Islam telah jatuh ke tangan Yazid seorang yang kefasikan dan kezalimannya tidak lagi dapat dipungkiri. Yazid menduduki kursi khilafah memerintah umat dengan mengatasnamakan Islam. Dalam majlis ini, mereka dengan mudah membangkitkan semangat juang para hadirin karena kecintaan mereka terhadap Imam Husain as.
5. Pembentukan Komite
Komite yang dimaksud sekarang ini adalah sebuah kelompok terorganisir, yang mempunyai program khusus untuk mengadakan majelis ratapan pada hari-hari kesedihan.
Komite-komite tersebut dibagi menjadi dua:
1. Komite-komite yang hanya ada pada bulan Muharam, Shafar serta hari-hari berkabung lainnya.
2. Komite-komite yang aktif sepanjang tahun. Mereka berkumpul sesuai dengan kesepakatan masing-masing pada malam Jumat atau Jumat pagi atau malam Rabu.
Peran Majelis Ratapan
Kebangkitan Imam Husain as dan kesyahidannya menjadikan usaha saudara, ayah dan kakeknya sebagai sebuah hal yang sangat bermakna serta dasar kerja keras bagi generasi selanjutnya.
Pada masa itu Muawiyah sangat getol dan berusaha keras menghapus nama Ithrah (keluarga) Nabi dari benak umat Islam. Sebagian besar umat Islam kala itu menjadi asing akan hakikat konsep Itrah. Bahkan, para pecinta Imam Husain pun tidak lagi menganggap beliau sebagai pemimpin yang wajib ditaati. Karena, makna konsep Itrah di benak mereka hanyalah keluarga Nabi yang cukup dihormati dan dicintai saja. Hanya “kecintaan”-lah yang ada dalam benak mereka dan bukan “ketaatan”. Makna konsep tersebut diselewengkan dan penyelewengan tersebut masih dapat dimaklumi.
Tetapi, Imam Husain as dengan kebangkitannya telah memproklamirkan makna konsep Itrah sebagai pemimpin yang wajib untuk ditaati. Hal itu adalah sebuah langkah besar yang tidak lagi dapat diingkari, diselewengkan atau dimaklumi. Beliau telah mengenalkan konsep Itrah kepada umat. Beliau telah mewujudkan revolusi intelektual besar dalam tubuh umat Islam. Islam tidak akan berdiri tegak kecuali dengan pemimpin yang benar dan Al-Qur'an tidak akan bermakna kecuali dengan tafsiran darinya. Maka, Imam Husain pun menyerukan sebuah pemikiran tersebut, bahwa Al-Qur'an akan dapat ditafsirkan dan diamalkan secara sempurna dengan adanya pemimpin yang suci. Kebangkitan beliau telah mewujudkan dasar dan motivasi untuk mengenali konsep ini.
Tradisi ratapan Asyura telah menyiapkan sebuah dasar untuk menjaga ideologi Ahlul Bayt bagi masa depan. Pembacaan ratapan yang di dalamnya terdapat konsep Itrah dan pengesahan tujuan-tujuan Imam Husain, tidak lagi dapat dilarang.
Tradisi ratapan senantiasa direstui oleh para Imam suci as. Mereka selalu mengajak para sahabat dan pecintanya untuk mengadakan majelis ratapan baik dengan ucapan maupun perbuatan.
Di akhir makalah ini kami ingin mengutip perkataan Imam Ali Al-Ridho as, beliau berkata:
“Hai putra Syabib, jika Anda ingin mendapatkan pahala orang yang syahid bersama Al-Husain maka ucapkanlah perkataan ini manakala Anda mengingatnya;
“Seandainya aku bersama kalian (di medan Karbala untuk membela Al-Husain-red) niscaya aku akan meraih kemenangan yang agung.”
Catatan Kaki:
[1] Târîkh Al-Thobari, jld. 4, hlm. 353.
[2] Tsauroh Al-Husain fî Al-Wujdân Al-Sya´biy, hlm. 265.
[3] Ibid.
[4] Kâmil, jld. 8, hlm. 549.
[5] Syair sederhana yang mengisahkan suatu cerita.
[6] Ibid.
[7] Tsauroh Al-Husain fî Al-Wujdân Al-Sya´biy, hlm. 277.
(Al-Hassanain/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email