Oleh : Muhammad Jawâd Bâfaqih
Pentingnya Sejarah
Sejarah merupakan suatu bukti yang amat berharga dan merupakan landasan bagi ideologi dan hukum-hukum agama. Meski demikian untuk mengetahui kebenaran sejarah diperlukan adanya suatu ketelitian sehingga dapat sampai pada kebenaran. Dengan mempelajari sejarah kehidupan orang-orang terdahulu, maka kita dapat menjadikan semua itu sebagai suatu pelajaran untuk melakukan perbuatan baik mereka dan meninggalkan perbuatan buruk mereka.
Sejarah ibarat potongan gambar teka-teki (puzzle) yang berserakan di mana seorang dituntut untuk mencari, memilih dan menyusun potongan gambar tersebut dan menempatkan pada tempatnya masing-masing sehingga tercipta suatu gambar yang jelas. Meski terdapat tangan-tangan jahat yang berusaha memutar-balikkan fakta sejarah, namun jika seorang melakukan perbandingan dan penelitian secara cermat serta mengesampingkan berbagai taklid buta, maka pasti dia akan menemukan kebenaran.
Kemenangan revolusi Islam Iran yang dipimpin oleh Imam Khomeni–rahmat Allah atasnya–yang merupakan salah seorang putra Imam Husain, telah membangkitkan semangat kaum Muslim dan Muslimat yang ada di seluruh penjuru dunia untuk melakukan kajian dan penelitian secara lebih dalam terhadap kebenaran dan realitas sejarah. Banyak di antara mereka yang merasa terkejut dan kebingungan saat menyaksikan berbagai kenyataan yang belum pernah mereka terima sebelumnya.
Di antara kenyataan sejarah itu adalah berbagai peristiwa yang terjadi sepeninggal Nabi saw. Di mana saat itu umat Islam mulai melakukan pelanggaran terhadap wasiat dan perintah Nabi saw. Mereka merampas hak-hak Ahlulbait Nabi saw dan membuat mereka berada dalam tekanan dan penderitaan. Pelanggaran ini pun terus berlangsung sampai terjadinya pembantaian terhadap Imam Husain beserta keluarga dan para sahabat setianya. Bahkan pada masa ini, kita dapat menyaksikan perbuatan teror yang dilakukan oleh sebagian kaum Muslim terhadap anak keturunan Imam Husain yang hidup di berbagai belahan dunia dengan berbagai macam alasan.
Peristiwa Kelahiran Imam Husain
Setahun setelah kelahiran al-Hasan cucu Rasulullah saw, pada tanggal 3 Sya'ban tahun ke-4 Hijriah Rasulullah saw menerima kabar gembira dengan kelahiran al-Husain. Maka beliau saw pun berkata kepada Asma binti Umais, "Hai Asma, tolong bawa kemari anakku itu."
Asma pun lalu membawa bayi yang terbungkus kain putih itu dan memberikannya kepada Rasulullah saw. Rasululah saw begitu gembira lalu mendekapnya. Dibacakannya azan di telinga kanan bayi itu, dan iqamat di telinga kirinya. Kemudian ditidurkannya bayi itu di pangkuannya, lalu beliau saw menangis tersedu-sedu. Mendengar tangis Rasulullah saw itu, Asma pun bertanya, "Demi ayah dan ibuku, siapa yang Anda tangisi, wahai Rasulullah?" "Anakku ini," jawab beliau saw. Asma berkata, "Dia baru saja dilahirkan." Rasulullah saw berkata, "Wahai Asma, dia kelak akan dibunuh oleh sekelompok pembangkang sesudahku, yang syafaatku tidak akan sampai kepada mereka."
Kemudian Rasulullah saw berkata, "Wahai Asma, jangan engkau sampaikan apa yang aku katakan tadi kepada Fathimah, dia baru saja melahirkan." Kemudian Rasulullah saw berkata kepada Imam Ali, "Engkau namai apa putraku ini?" Imam Ali berkata, "Wahai Rasulullah, saya tidak akan mendahului Anda dalam menamainya dan saya ingin menamainya Harb." Rasulullah saw berkata, "Saya juga tidak akan mendahului Allah Azza wa Jalla dalam menamainya." Lalu Jibril datang menemui Nabi saw dan berkata, "Sang Maha Tinggi menyampaikan salam untuk Anda dan berfirman, 'Namailah dia dengan nama putra Harun.'" Rasulullah saw berkata, "Apa nama putra Harun." Jibril berkata, "Syabir." Rasulullah saw berkata, "Saya berbahasa Arab." Jibril berkata, "Namai dia dengan al-Husain." Maka Rasulullah saw menamainya dengan al-Husain, lalu pada hari ketujuh beliau saw menyembelih dua ekor domba sebagai aqiqah, mencukur rambutnya dan bersedekah seberat timbangan rambutnya dengan perak, melumuri kepalanya dengan minyak za'faran, dan berkata, "Sesungguhnya melumuri kepala bayi dengan darah merupakan tradisi jahiliah." Dan Rasulullah saw memberikan paha domba serta sejumlah uang dinar kepada wanita yang telah membantu kelahiran.
Berbagai Keutamaan Imam Husain
Al-Husain pun tumbuh besar dan melalui masa kanak-kanaknya dengan senantiasa merasakan cinta dan kasih Rasulullah saw. al-Husain memiliki kedudukan yang tinggi dan mulia yang tidak dapat dicapai kecuali oleh ayahnya, ibunya, kakaknya, serta para imam yang merupakan putra-putranya.
Al-Quran al-Karim, firman Allah yang agung, yang tidak mengandung kebatilan di dalamnya, mengungkapkan dalam banyak ayatnya sebagian besar dari derajat tinggi di sisi Allah yang diraih oleh al-Husain. Beberapa di antara ayat-ayat itu adalah:
Ayat Tathhir
Allah Swt berfirman:
"Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian Ahlulbait, dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya."[al-Ahzâb: 33]
Para penyusun kitab-kitab hadis dan ahli tafsir sepakat bahwa ayat ini diturunkan untuk Imam Ali, Imam Hasan, Imam Husain dan Fathimah az-Zahra. Pada suatu hari Nabi saw tengah berselimutkan kain, lalu datanglah Ali, Fathimah, al-Hasan dan al-Husain, kemudian Nabi saw menyelimutkan kain tersebut kepada mereka dan berdoa, "Ya Allah, mereka ini adalah Ahlulbaitku, karena tu hilangkanlah dosa dari mereka."
Ayat Mawaddah
Allah Swt berfirman:
"Katakanlah: 'Aku tidak meminta kepada kalian sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang terhadap keluarga-(ku)."(asy-Syu'ara: 23)
Para ahli tafsir mengatakan bahwa ayat tersebut diturunkan mengenai Imam Ali, Fathimah az-Zahra, Imam Hasan dan Imam Husain. Jabir bin Abdullah berkata, "Ada seorang pria Arab dusun datang menemui Nabi saw dan berkata, 'Wahai Muhammad, jelaskan kepadaku tentang Islam.' Nabi saw berkata, 'Hendaklah engkau bersaksi bahwasanya tiada tuhan selain Allah Yang Maha Esa dan tanpa sekutu, dan bahwasanya Muhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya.' Pria Arab dusun berkata, "Apakah engkau meminta upah untuk ini?' Nabi saw berkata, "Tidak, kecuali kasih sayang terhadap keluarga(ku).' Pria Arab dusun itu berkata, 'Baiklah, mari sekarang aku berbaiat denganmu, dan terhadap orang yang tidak mencintaimu dan keluargamu, semoga kutukan Allah ditimpakan kepadanya.' Nabi saw berkata, 'Amin.'"
Selain dua ayat itu, ada ayat-ayat lain yang berkenaan dengan kedudukan Imam Husain as. seperti ayat Mubahalah. Di samping itu, Nabi saw juga memberikan pernyataan yang berkaitan dengan keutamaan dan kemuliaan Imam Husain dalam berbagai kesempatan sebagai berikut:
Dalam Shahih at-Turmudzi diriwayatkan hadis dari Ya'la bin Murrah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
"Husain bagian dariku dan aku merupakan bagian dari Husain, Allah mencintai siapa yang mencintai Husain."
Diriwayatkan dari Salman al-Farisi bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
"Al-Hasan dan al-Husain adalah dua orang anakku. Barangsiapa yang mencintai mereka berdua, berarti mencintaiku, dan barangsiapa yang mencintaiku, pasti Allah mencintainya, dan barangsiapa yang dicintai Allah, maka Dia memasukannya ke dalam surga. Barangsiapa membenci mereka berdua, berarti membenciku dan barangsiapa yang membenciku, pasti Allah membencinya, dan barangsiapa dibenci Allah, maka Dia akan memasukkannya ke dalam neraka dengan mukanya terlebih dahulu."
Kehidupan Imam Husain as. sebelum Hari Asyura’
Setelah Nabi saw wafat, Fathimah tidak pernah tersenyum kecuali satu kali, dan itu tatkala Asma membuatkan untuknya sebuah keranda khusus dan tertutup, sehingga orang-orang tidak dapat melihat tubuhnya. Beliau berjuang keras untuk menegakkan hak suaminya, Ali bin Abi Thalib as.
Selama empat puluh hari dia pergi bersama Ali ke berbagai rumah kaum Muhajirin dan Anshar dan meminta bantuan dan kerjasama mereka seraya berkata, "Bagaimanakah kalian membiarkan warisan Nabi saw dikeluarkan dari rumahnya dan dibawa ke rumah lain?"
Mereka berkata, "Wahai putri Nabi saw, jika suamimu datang lebih dahulu kepada kami sebelum Abu Bakar, maka kami akan berbaiat kepadanya."
Di sinilah Ali berkata kepada mereka, "Patutkah aku tidak memakamkan Nabi saw dan memperebutkan kekuasaan bersama para pesaingku?"
Demi mendukung pernyataan suaminya, Fathimah berkata, "Ali tidak melakukan perbuatan, melainkan itu adalah tugasnya, sedangkan mereka melakukan perbuatan yang akan membangkitkan murka Allah Swt."
Begitu gigih perjuangan Fathimah sehingga anak-anaknya yang masih kecil juga turut menolong dan membantunya, dengan harapan ibu mereka dapat meraih kemenangan. Mereka juga turut menjelaskan kebenaran ke tengah masyarakat dengan memanfaatkan berbagai kesempatan yang ada.
Tiga bulan setelah wafat Nabi saw, Fathimah terbaring di tempat tidur dan dalam keadaan sakit. Mereka khawatir Fathimah meninggal dunia dalam keadaan tidak rela kepada sebagian sahabat Nabi saw, sehingga hal itu akan memicu terjadinya perseselisihan dan kekacauan di tengah umat Islam. Mereka memutuskan untuk menjenguk Fathimah dan meminta maaf kepadanya.
Dua kali mereka meminta ijin kepada Fathimah untuk dapat bertemu, tetapi dia tidak memberi mengijinkan. Terpaksa mereka meminta tolong kepada Ali agar membujuk Fathimah mengijinkan mereka bertemu dengannya. Tetapi Fathimah juga menggunakan kesempatan ini. Saat kedatangan mereka, dia tidak menjawab salam mereka, dan memalingkan wajah dari mereka.
Dalam pertemuan ini Fathimah tidak menyinggung masalah tanah Fadak, tetapi berusaha membuktikan kesalahan mereka dengan mengatakan, "Demi Allah, apakah kalian tidak mendengar Rasulullah saw bersada, 'Kerelaan Fathimah adalah kerelaanku, dan kemarahan Fathimah adalah kemarahanku. Barangsiapa yang mencintai putriku Fathimah, maka dia mencintaiku, dan barangsiapa yang membahagiakan Fathimah maka dia membahagiakanku, dan barangsiapa yang membuat marah Fathimah maka dia membuat marah diriku?'"
Mereka membenarkan pernyataan Fathimah dan berkata, "Benar, kami mendengarnya, beliau saw berkata semacam itu." Fathimah mengangkat tangan ke langit dan dengan hati hancur berkata, "Allah dan para malaikat sebagai saksi bahwa kalian telah membuat marah diriku dan tidak membahagiakanku…jika aku berjumpa dengan Nabi saw aku akan mengadukan sikap dan perbuatan kalian terhadap diriku."
Bukti atas perkara ini cukup jelas di mana kerelaan Fathimah semata-mata demi kemenangan hak dan kemarahan Fathimah semata-mata karena kemenangan batil. Benar, mereka membiarkan Fathimah tenggelam dalam sederetan penderitaan berat dan kesedihan yang tidak berakhir, dan mereka sibuk membangun dasar-dasar kekuasaannya. Adakalanya Fathimah berziarah ke pusara ayahnya dan dengan menangis penuh sedih berkata, "Berbagai musibah telah turun mendatangiku secara silih berganti yang jika semua itu diturunkan pada siang yang terang benderang maka akan berubah menjadi malam yang gelap gulita. Setelah kepergianmu, kesedihan dan air mata senantiasa menemaniku, sebagai upaya meringankan berbagai penderitaanku."
Tangisan ini merupakan suatu bentuk perjuangan Fathimah dalam usaha menuntut haknya. Masyarakat Madinah yang merasa terganggu mendengar tangisan Fathimah, memerintahkan Ali agar menghentikan tangisannya. Hal ini membuat Fathimah pergi mengasingkan diri di luar kota Madinah untuk meluapkan tangisan dukanya. Setiap hari dia keluar meninggalkan kota Madinah ditemani kedua putranya, al-Hasan dan al-Husain, lalu duduk menangis di bawah sebuah pohon. Pada petang hari menjelang matahari terbenam, Ali pergi menjemput istrinya dengan penuh sedih dan duka dan membawanya pulang ke rumah.
Mereka juga menebang pohon yang biasa digunakan oleh Fathimah untuk berteduh. Fathimah dan kedua putranya tetap keluar meninggalkan kota Madinah dan duduk bersama di bawah terik matahari untuk melanjutkan perjuangannya dengan diam dan menangis. Di sinilah kemudian Imam Ali membangun sebuah rumah yang dinamakan dengan Baitul Ahzan (Rumah Duka). Ini merupakan suatu bentuk perjuangan orang-orang tertindas di saat mereka tidak mampu melakukan perlawanan dengan kekuatan.
Mereka yang memiliki pengetahuan yang luas dan keimanan yang kuat terhadap kebenaran, pasti merasa amat berat menghadapi berbagai penyimpangan agama yang ada di tengah umat manusia.
Pada hari-hari terakhir dari kehidupannya, karena mengetahui bahwa saat-saat kematiannya telah hampir tiba, dia bangkit dari tempat tidur mengambil air dan memandikan anak-anaknya dan menyuruh mereka pergi berziarah ke makam suci Nabi saw. Anak-anak ini merasa heran atas sikap ibunda mereka ini. Mereka saling bertanya apakah ibu hendak pergi seorang diri ke Baitul Ahzan dan menangis? Hal semacam ini tidak pernah terjadi sebelumnya, apakah dia hendak tinggal di rumah seorang diri dan menangis? Hal itu juga telah dilarang oleh khalifah dan kaki tangannya.
Setelah kepergian anak-anak, dia meminta air dan mandi lalu mengenakan pakaian baru. Kemudian berkata kepada Asma binti Umais yang merasa bangga menjadi pelayan dan perawat Fathimah, "Bentangkan tempat tidurku, telah tiba saat-saat kematian."
Asma binti Umais membentangkan tempat tidur dan Fathimah tidur terbujur, tidak lama kemudian pribadi mulia yang merupakan simbol ketakwaan dan kesucian meninggalkan kehidupan yang fana dan tubuhnya yang kurus dan lemah menjadi dingin dan tidak bernyawa.
Anak-anak datang dan menemui ibunya. Asma memberitahu mereka tentang kematian ibu mereka. Dengan berlinang air mata mereka pergi menuju masjid untuk memberitahukan kepada ayah mereka apa yang telah terjadi. Berita kematian Fathimah menyebar ke seluruh penjuru kota Madinah. Dan masyarakat berduyun-duyun datang ke rumah peninggalan Nabi saw ini dengan berlinang air mata untuk turut serta dalam acara pemakaman jenazah. Tetapi Abu Dzar berdiri di depan pintu rumah dan memberitahu mereka bahwa pemakaman jenazah ditunda. Orang-orang pun membubarkan diri.
Pada malam hari, di mana tirai kegelapan menutupi berbagai penjuru, dan masyarakat yang tidak merasakan kesedihan besar dengan cepat melupakan peristiwa yang tengah terjadi dan tidur dengan pulas. Hanya ada beberapa orang yang merasa berduka yakni Ali anak-anaknya dan beberapa orang sahabat setianya yang tetap terjaga. Dan di kegelapan malam itu pula sesuai dengan wasiat putri Nabi saw, pemakaman pun dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi. Para pengantar jenazah pulang sedangkan Ali tetap berada di sisi pusara, dan dengan hati hancur karena kehilangan istri dan pendamping mulianya, dia berkata, "Wahai Rasulullah! Salamku dan putrimu yang datang menemuimu, dan dengan cepat bergabung bersamamu. Wahai Rasulullah, kesabaranku dalam menghadapi kehilangan putri pilihanmu amatlah kecil…kini titipan telah dikembalikan dan gadaian telah ditebus. Kesedihanku untuk selamanya dan malam hariku aku lalui dengan terjaga…"
Imam Husain menyaksikan secara langsung kesabaran dan keteguhan hati Imam Ali yang selama 25 tahun menghadapi orang-orang zalim yang telah merampas haknya. Meski pada mulanya Imam Ali melakukan perlawanan demi meraih kembali haknya, tetapi tatkala beliau menghadapi penentangan dari berbagai berbagai penjuru, maka beliau pun menghentikan perlawanan ini demi menjaga keutuhan umat Islam dan melaksanakan pesan Rasulullah saw.
Pada tahun ke-36 Hijriah, dan sepeninggal khalifah ketiga, masyarakat berduyun-duyun mendatangi Imam Ali untuk menyampaikan baiat kepadanya. tetapi Imam Ali menolak permohonan mereka. Alasan kenapa beliau enggan menerima baiat ini adalah dampak dari suasana yang terjadi setelah wafatnya Nabi saw telah menguasai hati dan pikiran rakyat; egoisme dan hawa nafsu untuk kekuasan telah berakar di hati mereka, pikiran mereka telah dipengaruhi materialisme dan mereka telah terbiasa memperlakukan pemerintah sebagai sarana untuk meraih tujuan mereka.
Tetapi ketika masyarakat terus mendesak beliau agar menerima baiat mereka, maka Imam Ali pun bersedia menerima baiat sebagai khalifah dengan syarat beliau akan menjalankan pemerintahan berdasarkan pada al-Quran dan Sunnah Nabi saw.
Imam Ali menjadi khalifah ketika umat Islam berada di bawah pengaruh Bani Umayah. Meskipun Usman telah terbunuh, tetapi Muawiyah dan orang-orang Bani Umayah yang mengelilinginya masih saja menjadi pengendali Syria. Penduduk Syiria tidak tahu sedikit pun tentang Imam Ali dan tokoh lainnya. Ketika Imam Ali menjadi khalifah, mereka seperti orang sakit, tidak mau mendengar dan tidak patuh. Mereka mengurangi kekuasaan Imam Ali dan marah kepadanya. Mereka diam dalam menghadapi kerusakan yang tidak henti-hentinya mengancam bangunan umat Islam. Kepada masyarakat Imam Ali berkata, "Kalian telah merusak pendapatku dengan menentangnya." Penduduk Syiria senang jika Imam Ali mau mengganti jabatan sahabat-sahabatnya dengan salah seorang dari sahabat Muawiyah.
Pada masa lima tahun kekhalifahan ini Imam Ali menghadapi penentangan mereka yang berusaha menjatuhkannya dari kursi kekhalifahan. Tiga peperangan besar yang terjadi pada masa pemerintahan Imam Ali adalah, perang Shiffin (dengan pasukan yang dipimpin Muawiyah), perang Jamal (dengan pasukan yang dipimpin oleh Aisyah) dan perang Nahrawan (dengan orang-orang Khawarij).
Sebelum meninggal dunia, Imam Ali melaksanakan wasiat Rasulullah saw dan menetapkan Imam Hasan sebagai penggantinya. Dalam hal ini, Imam Ali menjadikan seluruh anaknya yang mulia serta para tokoh Syiah sebagai saksi.
Dengan wasiat itu, maka Imam Hasan menerima tanggungjawab kekhalifahan pada kondisi yang sangat memprihatinkan. Sungguh Imam Hasan adalah orang yang cukup kuat dalam menghadapi persoalan. Keadaan inilah yang menyebabkan ayahnya terbunuh. Setiap orang dapat membayangkan hal itu. Anak para nabi ini mengambil alih kekuasaan tanpa ayahnya.
Ketika berita tentang wafatnya Imam Ali dan pembaiatan Imam Hasan sampai ke telinga Muawiyah, dia menyuruh seorang dari Bani Himyar untuk menyusup ke Kufah dan satu orang dari Bani Qain ke Bashrah, untuk menyampaikan berita kepadanya tentang segala perkembangan dan menjatuhkan kehormatan Imam Hasan.
Imam Hasan mengetahui perbuatan jahat ini. Oleh karena itu beliau memerintahkan agar al-Himyari dipenggal lehernya. Kemudian beliau menulis surat ke Bashrah agar al-Qaini dipenggal lehernya.
Muawiyah terus berusaha melemahkan pasukan Imam Hasan dengan membagi-bagikan hartanya dan melakukan aksi suap. Sehingga banyak dari pasukan Imam Hasan yang membelot dan berpihak pada Muawiyah. Maka tak ada pilihan lain bagi Imam Hasan kecuali menerima damai dengan mengetahui tujuan Bani Umayah, sebagaimana kakeknya menerima damai dari orang-orang musyrik meskipun sebenarnya Rasul mengetahui isi hati mereka. Setelah menerima perjanjian damai ini, Imam Hasan pun kembali ke Madinah.
Imam Husain selalu menyertai saudaranya itu di semua masa-masa sulit yang dihadapinya. Ini lantaran beliau tahu bahwa perdamaian itu demi kebaikan Islam dan kaum Muslim. Oleh karena itu, beliau tidak mengritik sang kakak.
Kekuatan Bani Umayah semakin kuat, dan wilayah Jazirah Arab sudah berada dalam genggamannya. Mereka menakut-nakuti penduduknya dan membunuh tokoh-tokohnya, sampai-sampai tidak ada seorang pun yang mampu menolak dan menghalangi mereka. Muawiyah berusaha untuk membunuh Imam Hasan agar dapat terbebas dari perjanjian. Maka Muawiyah memanggil Ja'dah binti Asy'ats dan menyuapnya dengan uang serta dijanjikan bahwa kelak dia akan dinikahkan dengan putranya, Yazid, serta mendapatkan uang sebesar seratus ribu dirham.
Ternyata Muawiyah mengingkari janjinya untuk menikahkan Ja’dah dengan Yazid dan berkata kepada Ja'dah, "Bagaimana mungkin aku menikahkan putraku dengan seorang wanita yang tega membunuh cucu Nabi."
Imam Husain dan Yazid bin Muawiyah
Penduduk Syria (Syam), khususnya Damaskus, sejak mereka memeluk Islam melalui para tentara khalifah kedua (Umar bin Khathab), mereka berada dalam pengaruh pemerintahan Bani Umayah. Selama setengah abad Syria terbebas dari pengaruh Emperium Romawi dan berada dalam pengaruh kekuasaan para khalifah, kecuali Imam Ali. Dalam masa ini, Bani Umayah dengan kelicikannya telah menyebarkan tradisi dan kebudayaan jahiliah dengan menggunakan kedok Islam serta menjauhkan kaum Muslim dari ajaran Islam sejati. Bani Umayah juga berusaha keras untuk menjatuhkan kedudukan dan derajat Ahlulbait Nabi saw di mata penduduk Syria. Dan bukti nyata atas usaha keji ini adalah perbuatan yang dilakukan oleh penduduk Damaskus terhadap Ahlulbait atas perintah Bani Umayah di antaranya adalah mereka mengutuk Imam Ali di atas mimbar-mimbar mereka.
Sejak tahun ke-14 Hijriah–yakni tahun penyerahan Syria kepada pasukan Islam–sampai tahun ke-18 Hijriah, Yazid bin Abi Sufyan, menjadi gubernur mereka dan karena pada tahun itu dia meninggal akibat wabah kolera, maka saudaranya yang bernama Muawiyah bin Abi Sufyan menggantikan posisinya.
Muawiyah bin Abi Sufyan terus berkuasa dan membangun kerajaanya di Syria dan beberapa kawasan yang ada di sekitarnya sampai tahun ke-40 Hijriah. Pada tahun ini, tahun di mana Imam Ali syahid karena ditikam oleh Abdurahman bin Muljam, dia memasukkan seluruh kawasan Islam berada dalam kekuasaannya. Dan dia terus berkuasa sampai tahun ke-60 Hijriah dan meninggal dunia pada pertengahan bulan Rajab 60 Hijriah. Menjelang kematiannya, dia mengangkat putranya yang bernama Yazid sebagai penerus kerajaannya di Syria.
Yazid adalah seorang yang memiliki kelainan pada sisi pemikiran, tindakan dan perasaan, dan sama sekali tidak memiliki pengetahuan dasar yang benar tentang agama Islam dan tujuan-tujuannya yang luhur. Sejarah mencatat berbagai penyelewengan terhadap Islam yang dilakukan oleh Yazid di depan kaum Muslim di Syiria. Antara lain, melalaikan salat, pesta pora, main judi, minum khamar, mempermainkan gadis-gadis menggelar nyanyian dan tarian seronok dan mengalungi anjing-anjingnya dengan kalung emas.
Bila Yazid memegang kekuasaan atas urusan umat Islam, memprogram masa depan dan menggariskan perjalanan mereka, maka hal itu berarti berakhirnya ajaran Islam secara mutlak, bertentangan dengan prinsip yang diturunkan dari langit, dan kembali ke masa Jahiliah.
Al-Quran menjelaskan kepribadian orang-orang semacam ini sebagai berikut:
"Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan salat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan."(Maryam: 59)
Imam Husain Bangkit Melawan Yazid
Setelah Yazid menguasai pemerintahan Islam dan mengangkat dirinya sendiri sebagai pemimpin kaum Muslim, untuk menguatkan pilar-pilar kekuasaanya yang sewenang-wenang dan batil itu, dia mengirim surat kepada tokoh-tokoh Muslim terkenal, yang isinya mengajak mereka untuk berbaiat. Dia juga menulis surat kepada kaki-tangannya di Madinah, sambil menegaskan di dalamnya agar menarik baiat dari Imam Husain. Apabila menolak, maka dia harus dibunuh. Kaki-tangan Yazid itu menyampaikan seruan Yazid kepada Imam Husain dan meminta jawaban dari beliau. Sebagai jawaban atas surat itu Imam Husain berkata, "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, apabila umat ini dipimpin oleh orang seperti Yazid, maka habislah agama Islam ini."
Ketika menolak untuk mengakui keabsahan pemerintahan Yazid, Imam Husain tahu bahwa keberadaannya di Madinah akan mengakibatkannya terbunuh. Oleh karena itu, atas perintah Allah, beliau keluar dari Madinah pada malam Ahad 28 Rajab 60 Hijriah bersama 78 orang; 18 orang dari Ahlulbaitnya dan 60 orang sahabat setianya dan mereka tiba di Mekah pada malam Jumat 3 Sya'ban. Sebelum meninggalkan Madinah, Imam Husain menulis surat wasiat kepada saudaranya, Muhammad Ibnu Hanafiyah, sebagai berikut:
"Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ini adalah wasiat dari Husain bin Ali bin Abi Thalib kepada saudaranya, Muhammad, yang dikenal dengan panggilan Ibnu Hanafiyah. Bahwasanya al-Husain bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya yang datang membawa kebenaran dari sisi al-Hak, dan bahwa surga dan neraka adalah benar, dan bahwa hari kiamat pasti akan tiba dan tiada keraguan atasnya, dan bahwa Allah akan membangkitkan manusia dari kubur, dan sesungguhnya aku berangkat bukan untuk tujuan menyombongkan diri, melakukan perbuatan sia-sia, berbuat kerusakan dan kezaliman, sesungguhnya aku berangkat guna melakukan pembenahan pada umat kakekku, aku hendak melakukan amar makruf dan nahi mungkar serta mengikuti jalan yang telah dirintis oleh kakekku dan juga ayahku.”
Dari surat wasiat ini dapat diketahui dengan jelas bahwa tujuan utama kebangkitan Imam Husain melawan Yazid adalah demi melaksanakan tugas amar makruf dan nahi mungkar serta menjaga keaslian Islam. Oleh karena itu beliau membawa serta keluarga dan anak-anak beliau. Karena amar makruf dan nahi mungkar merupakan tugas yang diwajibkan oleh Allah atas seluruh manusia; pria dan wanita, tua dan muda, kecil dan besar.
Setibanya di Mekah, beliau bersama rombongan tinggal di sana selama 95 hari dan pada hari ke-8 Dzulhijah, yakni pada hari ketika para jamaah haji akan berangkat menuju Mina, beliau beserta rombongan berangkat menuju Irak. Dengan tindakannya ini, selain menjalankan tugas keagamaan, yaitu melakukan amar makruf dan nahi mungkar, beliau ingin memberitahukan kepada seluruh kaum Muslim dunia bahwa beliau tidak mengakui Yazid sebagai khalifah dan tidak sudi membaiatnya, bahkan menentangnya.
Setelah menempuh perjalanan selama 23 hari, Imam Husain berserta rombongan tiba di padang Karbala pada tanggal 2 Muharam tahun 61 Hijriah. Beliau mengumpulkan putra-putrinya, saudarinya, dan Ahlulbaitnya dan memandang mereka lalu menangis, dan berkata:
"Ya Allah, sesungguhnya kami adalah keluarga Nabi-Mu Muhammad, dan kini kami dikeluarkan dan diusir dari tanah suci kakek kami, dan Bani Umayah melakukan pelanggaran atas diri kami, ya Allah, demi hak kami balaslah mereka dan tolonglah kami dalam menghadapi orang-orang yang zalim."
Pada tanggal 10 Muharam, tentara Umar bin Sa'ad yang diperintahkan oleh Yazid untuk membunuh Imam Husain telah bersiap-siap melakukan penyerangan. Setelah salat Subuh Imam Husain mulai mengatur strategi. Seluruh kemah dijajarkan dan diikat menjadi satu, sebagai benteng. Sedang di belakangnya digali parit memanjang yang ditumpukkan jerami di dalamnya dan dibakar, untuk menghalangi musuh menyerang dari belakang kemah. Jumlah tentara pendukung Imam Husain hanya 72 orang terdiri dari 32 tentara berkuda dan 40 orang pejalan kaki, sangat tidak sebanding dengan pasukan musuh yang berjumlah lebih dari 4000 orang. Imam Husain menempatkan Zuhair bin Qain di sayap kanan, dan Habib bin Madzahir di sayap kiri, sedangkan bendera beliau serahkan kepada adiknya Abbas bin Ali bin Abi Thalib. Imam Husain memandang ke arah musuh yang telah berbaris dan siap untuk melakukan pembunuhan masal atas keluarga Rasulullah dan pecintanya. Kemudian Imam Husain mengangkat kedua tangan, menghadapkan wajah ke langit dan berdoa:
“Ya Allah ya Tuhanku, Engkaulah kepercayaanku di setiap kesedihan, dan harapanku di setiap kesulitan. Engkaulah kepercayaan dan Penolongku dalam setiap masalah yang menimpaku. Betapa banyak penderitaan yang menyebabkan hati menjadi lemah, fikiran menjadi kacau, jalan keluar menjadi buntu, sahabat menjadi terhina, dan musuh merasa gembira, lalu semua ini kuadukan kepada-Mu karena cintaku kepada-Mu dan berpaling dari selain-Mu, maka Engkau memberiku jalan keluar dan menghapus penderitaan itu dariku. Engkau adalah Pemberi setiap kenikmatan, Pemilik setiap kebaikan dan Puncak harapan.”
Gemuruh suara kaki-kaki kuda dan manusia, tentara Umar bin Sa'ad bergerak maju. Wajah-wajah gelap dan sorot mata buas penuh ancaman, dari mata-mata binatang bertubuh manusia itu mengawasi ke arah Imam Husain, seolah mengatakan bahwa kami tidak akan melepaskan kalian dari cengkeraman taring-taring kami. Setelah jarak mereka lebih dekat dengan benteng yang dibangun oleh Imam Husain, terdengar perintah Umar bin Sa'ad untuk berhenti. Maka berhentilah gemuruh suara langkah kaki-kaki kuda dan manusia, berganti dengan keheningan yang mencekam. Terkadang, terdengar suara tangisan lirih wanita dan anak-anak dari kemah Imam Husain. Tiba-tiba terdengar suara tawa parau yang merobek keheningan itu. Syimir bin Dziljausyan, manusia keji itu, ketika melihat api yang dinyalakan oleh Imam Husain di balik kemah, di antara tawanya dia berteriak:
“Wahai Husain! Rupanya engkau tergesa-gesa menuju api neraka di dunia, sebelum neraka di akhirat”.
Imam Husain menjawab: “Engkaulah orang pertama yang akan dibakar dalam api neraka Allah.”
Muslim bin 'Ausajah sangat geram dan meminta izin kepada Imam Husain untuk memanah Syimir: “Izinkan saya memanahnya wahai Imam, sungguh jarak panah ini telah tepat, dan pasti akan mengenainya.”
Tetapi Imam Husain melarangnya karena tidak ingin memulai perang. Kemudian Imam Husain menunggangi kudanya dan menyampaikan khutbah dengan suara keras, sehingga terdengar oleh seluruh yang hadir:
“Wahai manusia! Dengarlah kata-kataku. Janganlah kalian tergesa-gesa menyerang sebelum aku mengingatkan kewajiban kalian atas hak-hakku, sehingga telah sempurna hujahku atas penyerangan yang kalian lakukan pada diriku. Sungguh pelindungku adalah Allah yang menurunkan al-Quran dan Dia melindungi hamba-Nya yang saleh”
Suara tangisan para wanita dari keluarganya menghentikan khutbah Imam Husain, dan segera beliau meminta adiknya, Abbas, dan putranya, Ali Akbar, untuk menenangkan para wanita. Kemudian setelah memuji Allah dan bersalawat kepada Rasul, beliau melanjutkan:
“Amma ba'du, silahkan kalian meneliti nasabku, dan lihatlah siapa diriku! Dan kemudian lihatlah siapa diri kalian. Pertimbangkanlah! Apakah dihalalkan bagi kalian membunuhku dan menghinakan kehormatan keluargaku? Bukankah aku adalah anak dari putri Nabi kalian? Bukankah aku adalah putra al-Washi, pengemban wasiat yang juga sepupu Nabi kalian, juga orang pertama yang beriman kepada Allah dan percaya pada wahyu yang dibawa Rasulullah? Bukankah Hamzah pemuka syuhada adalah paman ayahku? Bukankah Ja'far yang Rasulullah menyebutnya sebagai pemilik dua sayap di surga adalah pamanku? Tidak sampaikah kepada kalian sabda kakekku Rasulullah tentang aku dan kakakku yang menyatakan 'Kedua orang ini adalah pemuka pemuda surga?' Bila kalian membenarkan apa yang aku sampaikan, dan ucapanku adalah benar, itu karena aku termasuk orang yang membenci kebohongan. Atau bila kalian tetap menganggapku berbohong, maka tanyakanlah kepada saksi di antara kalian, Jabir bin Abdullah al-Anshari, Abu Sa'id al-Khudri, Sahl bin Sa'ad as-Sa’idi, Zaid bin Arqam dan Anas bin Malik yang akan membenarkan apa yang mereka telah dengar dari sabda Rasul tentang diriku dan kakakku. Apakah semua ini tidak cukup untuk menghentikan kalian menumpahkan darahku?”
Dengan nada sinis Syimir bin Dziljausyan menjawab khutbah Imam Husain: “Hanya orang yang menyembah Allah tanpa alasan saja yang percaya pada omongannya” Dengan geram Habib bin Madzahir menjawab Syimir: “Demi Allah, engkaulah orang yang menyembah tanpa sedikitpun alasan, benar apa yang engkau katakan tentang kepercayaan terhadap khutbah al-Husain, karena Allah telah membutakan hatimu”
Kemudian dengan suara keras Imam Husain memanggil-manggil nama Syabats bin Rib'i, Hijar bin Abjar, Qais bin Asy'ats dan Zaid bin Harits, dan kemudian beliau berkata:
“Bukankah kalian telah mengundangku dan membaiatku dengan surat kalian untuk memimpin kalian?” Tetapi mereka mengingkari yang Imam Husain katakan. Imam Husain berkata: “Subhanallah, Sungguh kalian telah melakukannya, bila kalian tidak menghendakiku, maka biarkan aku pergi meninggalkan kalian” Qais bin Asy'ats berkata: “Pertama menyerahlah terlebih dahulu pada penguasa Bani Umayyah, baru kami akan melepaskanmu”
Imam Husain menjawab: “Tidak demi Allah, aku tidak akan memberikan baiat sebagaimana kalian, seperti pemberian orang yang hina. Dan aku tidak akan lari dari kalian seperti larinya seorang budak.”
Tiba-tiba dari barisan musuh, seekor kuda melesat cepat menuju ke arah Imam Husain. Begitu sampai, si penunggang kuda meloncat turun, berjalan mendekati Imam Husain dan berkata:
“Allah menjadikan aku sebagai tebusan bagimu wahai putra Rasulullah, akulah orang yang mencegahmu pulang dan menggiringmu hingga ke tempat ini. Demi Allah yang tidak ada lagi Tuhan selain Dia, aku benar-benar tidak menyangka mereka akan berbuat sejauh ini, dan menolak semua yang engkau tawarkan. Aku datang kepadamu sebagai orang yang bertaubat, apakah engkau mengampuni kesalahanku? Izinkan aku berperang demi membelamu wahai putra Rasulullah.” Imam Husain berkata: “Benar wahai al-Hur, Allah menerima taubatmu dan mengampunimu, engkau adalah orang yang merdeka di dunia dan akhirat sebagaimana namamu”
Umar bin Sa'ad memerintah Zuwaid maju ke depan dan mengibarkan bendera. Kemudian dia mengawali dengan melempar panah ke kemah Imam Husain sebagai tanda dimulainya perang, sambil berkata: “Saksikan bahwa aku adalah orang pertama yang melemparkan panah.”
Dan sebagai sebuah kebiasaan peperangan pada masa itu selalu diawali dengan perang tanding satu lawan satu. Maka keluarlah dua orang dari pasukan Umar bin Sa'ad; pembantu Ziyad bin Abi Sufyan yang bernama Yasar dan pembantu Ubaidillah bin Ziyad yang bernama Salim, sambil menantang tanding siapa saja dari pasukan Imam Husain. Maka melompatlah Habib bin Mazhahir dan Burair bin Hudhair. Tetapi Imam Husain menahan keduanya. Kemudian Abdullah bin Umair al-Kalbi meminta izin kepada Imam Husain untuk menghadapi tantangan kedua orang tersebut, dan Imam Husain pun mengizinkan. Terjadilah perang tanding yang sangat seru antara Abdullah bin Umair yang dikeroyok oleh Yasar dan Salim. Dengan gagahnya Abdullah bin Umair bertempur sehingga dia berhasil membunuh Yasar. Dan dengan tiba-tiba Salim menerkamnya dari belakang. Keduanya bergumul dan akhirnya Abdullah bin Umair berhasil menikamnya dan membunuhnya.
Seorang durhaka bernama Abdullah bin Juwairah maju ke depan dan berteriak: “ Hai Husain! Aku datang membawa berita dari neraka untukmu.” Imam Husain mengangkat tangan berdoa: “Ya Allah segera jebloskan dia ke dalam neraka-Mu.” Tiba-tiba kuda yang ditungganginya meloncat dan lari ketakutan. Abdullah bin Juwairah terjatuh sedangkan salah satu kakinya tersangkut di pelana kuda, kepalanya berulangkali terbentur batu, lalu terlempar dari kudanya dan jatuh ke dalam parit yang penuh dengan api, hingga dia pun mati.
Kemudian Yazid bin Ma’qal keluar dari barisan Umar bin Sa'ad dan menantang Burair bin Hudhair, sambil berkata: “Menurutmu apa yang Allah akan lakukan padamu wahai Burair!?” Burair menjawab: “Demi Allah, Dia akan memperlakukanku dengan baik dan memperlakukanmu dengan buruk.”
Terjadilah perang tanding antara Burair—seorang tua yang hidup dengan mengajar al-Quran—dengan Yazid bin Ma’qal. Meskipun tubuhnya bungkuk karena usia, Burair bertempur dengan gagah. Dia memukulkan pedangnya dengan kuat sehingga membelah kepala Yazid, dan pedangnya tersangkut di kepala Yazid. Seorang pengecut bernama Radhi bin Munqadz yang melihat kesempatan itu segera menyerang Burair dari belakang. Dan terjadilah pergumulan antara Burair dan Radhi. Dan ketika terdesak, Radhi menjerit-jerit minta tolong, maka Ka'ab bin Jabir datang dan menombak Burair dari belakang sehingga tembus. Burair terguling, Radhi bangkit mengambil pedang dan menebas kepala Burair yang sudah tidak berdaya itu. Burair merintih dan memanggil Imam Husain, “Salam bagimu wahai Aba Abdillah.”
Satu demi satu keluarga dan sahabat Imam Husain gugur sebagai syahid. Kini Imam Husain sendirian tanpa penolong. Dengan berlinang air mata beliau melihat ke sekeliling. Disaksikannya tubuh para sahabat dan keluarganya bergelimpangan terbunuh dengan sangat menyedihkan. Imam Husain mengenakan serban yang dikenakan Rasulullah, baju besi yang juga dikenakan Rasulullah, dan mengendarai kuda Rasulullah. Dari atas kudanya beliau berteriak,
“Hal min nâsirin yansurunî ; masih adakah orang yang akan menolongku…?”
Kemudian beliau memacu kudanya ke depan. Seolah-olah musuh melihat Rasulullah yang sedang memacu kuda menyerang mereka. Tubuh para manusia durjana pun gemetar. Teringat oleh mereka kegagahan ayah al-Husain dalam berbagai peperangan membela agama Allah. Melihat keraguan pada pasukannya, Syimir bin Dziljausyan berteriak: “Celaka kalian, apa yang kalian tunggu! Cepat kepung dan bunuh dia!” Imam Husain menyerang mereka dengan gagah berani. Banyak sudah musuh yang terbunuh oleh tebasan pedangnya. Sehingga Imam Husain sangat kehausan dan kelelahan. Imam Husain berhasil mendekati sungai Furat, dan berusaha untuk minum. Tetapi Hushoin bin Tamim memanah dan mengenai mulutnya. Imam Husain mengumpulkan darah yang mengucur dari mulutnya, kemudian melemparkannya ke langit seraya berdoa: “Ya Allah, hukumlah mereka seberat-berat hukuman. Dan jangan Engkau sisakan seorang pun dari mereka di muka bumi”
Sejak saat itu Hushoin si manusia terkutuk itu tidak dapat minum sehingga dia mati dalam kehausan. Syimir mengepung dan menyerang Imam Husain dari segala penjuru, dan Imam Husain membalas serangan, sehingga mereka mundur. Dan kembali Syimir melakukan penyerangan dan kembali Imam Husain memukul mundur. Terus menerus terjadi demikian sehingga keadaan Imam Husain sudah sangat lelah. Tiba-tiba Imam Husain melihat putranya Ali Zainal Abidin yang sedang sakit, dengan bertumpukan tongkat berusaha keluar untuk menolongnya. Imam Husain berteriak dengan keras kepada adiknya Zainab. “Tahan dia! Jangan biarkan dia keluar, apabila sampai terbunuh maka bumi ini akan hancur karena tidak ada lagi Hujjah Allah.”
Zainab menahan Imam Ali Zainal Abidin, dan saat itu pula Abdullah putra Imam Hasan al-Mujtaba yang berumur 11 tahun, berlari ke arah Imam Husain sambil berteriak, “Jangan bunuh pamanku!” Bahr bin Ka’ab sedang mengayunkan pedangnya ke arah Imam Husain, dan anak kecil itu menangkis dengan tangannya, sehingga tangannya tergelantung hampir putus. Imam Husain pun segera memeluknya. Tiba-tiba Harmalah melepaskan anak panahnya dan mengenai tubuh putra Imam Hasan yang tengah berada dalam pelukan Imam Husain.
Tiba-tiba Zar'ah bin Syarik at-Tamimi mengayunkan pedangnya ke bahu Imam Husain. Imam Husain terhuyung-huyung menahan sakit, Sinan bin Anas memanfaatkan keadaan itu dengan menombak dada Imam Husain sehingga beliau jatuh terbaring di tanah. Maka mereka segera bergerak maju mengepung Imam Husain yang sudah tidak berdaya sambil berteriak-teriak histeris “Bunuh! Bunuh…”
Imam Husain berkata: “Apakah kalian saling menganjurkan untuk membunuhku? Sungguh Allah murka atas pembunuhan yang kalian lakukan padaku.”
Imam Husain mengumpulkan darah yang mengucur dari kepalanya, kemudian mengusapkan darah itu ke seluruh wajah dan janggutnya, sambil berkata: “Seperti inilah aku akan menemui kakekku Rasulullah, dengan wajah penuh darah inilah aku akan menemui ibuku Fathimah, ayahku Ali dan kakakku al-Hasan.”
Khawali bin Yazid al-Ashbahi meloncat untuk membunuh Imam Husain. Tetapi ketika matanya beradu dengan mata Imam Husain dia melihat sorot mata Rasulullah, sehingga tangannya pun gemetar dan dia pun mundur kembali. Beberapa orang lainnya juga mengalami hal yang sama. Tiba-tiba Syimir datang dan dengan congkaknya berkata: “Semoga ibu kalian menangisi sifat pengecut kalian” Dia mengatakan itu sambil menendang dengan keras perut Imam Husain. Kemudian manusia paling keji ini duduk di atas dada Imam Husain. Dada Imam Husain terasa sesak dan darah berkumpul di mulutnya.
Sambil tertawa keras Syimir berkata: “Apa yang akan engkau katakan sekarang wahai putra Abu Turab?” Imam Husain berkata: “Maukah engkau perlihatkan wajahmu sebelum membunuhku?" Syimir berkata: “Kenapa? Apakah engkau akan merindukan aku setelah kematianmu?” Imam Husain berkata: “Tidak! Aku ingin memastikan apa yang telah digambarkan oleh kakekku tentang wajah buruk pembunuhku.” Syimir melepas sandalnya dan menampar mulut Imam Husain seraya berkata: “Celakalah engkau dan celakalah kakekmu!”
Dengan segera Syimir membalikkan tubuh Imam Husain hingga tertelungkup. Dan mulailah pembunuhan paling sadis terjadi. Manusia terkutuk itu menarik kepala Imam Husain ke belakang, meletakkan pedangnya ke leher Imam Husain, lalu menggerakkan kepala Imam Husain ke kanan dan ke kiri. Imam Husain berteriak: “Duhai Muhammad, duhai Ali, duhai Fathimah, duhai Hamzah.”
Kemudian Syimir berdiri, menginjak punggung Imam Husain, menarik kepala suci Imam Husain dan menggerakkan pedangnya, maka terpenggallah kepala putra Rasulullah.
Syimir si manusia neraka mengangkat kepala suci Imam Husain tinggi-tinggi dan mempertontonkannya kepada keluarga Rasulullah dan pasukan Umar bin Sa'ad. Zainab menjerit, “Duhai Husain,” dan kemudian pingsan.
Adapun pasukan Umar bin Sa'ad bersorak-sorak memperebutkan kepala Imam Husain yang dilemparkan oleh Syimir ke arah mereka. Kemudian mereka berhamburan ke arah tubuh Imam Husain yang tergeletak tanpa kepala. Menginjak-injak tubuh itu, dan memperebutkan segala yang dikenakan oleh Imam Husain. Bahar bin Ka'ab mengambil celana Imam Husain. Nashl bin Darim merampas pedangnya, al-Aswad mengambil sandalnya, sementara seorang dari kabilah yang lain sedang menarik-narik cincin yang dikenakan oleh Imam Husain. Tetapi cincin itu tidak mau terlepas, maka dia mencabut pisaunya dan memotong jari manis Imam Husain as.Innâ lillâhi wa innâ ilayhi râji’ûn.
(Astan-News/Alhassanain/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email