Pesan Rahbar

Home » » Bai'at Masa Terhadap Ali as

Bai'at Masa Terhadap Ali as

Written By Unknown on Sunday 9 October 2016 | 23:54:00

Ilustrasi

Tanpa diragukan lagi bahwa semasa kepemimpinan tiga khalifah, Amirul Mukminin as tidak berperan aktif di kancah politik yang sedang berjalan saat itu. Beliau hanya menyempatkan diri untuk menyelesaikan konsultasi yudikatif yang sampai kepada beliau. Dengan kata lain, beliau tidak menjadi anggota di formasi pemerintahan khalifah-khalifah sebelumnya. Sampai batas-batas tertentu bisa dikatakan bahwa kemenangan Ali as setelah periode Utsman berakhir berarti kemenangan lawan-lawan Quraisy dan garis anti Umawi. Lawan-lawan ini dilindungi oleh suku-suku Irak dan para pendatang dari Mesir, didukung juga oleh kebersamaan Anshar dan pribumi Madinah. Tapi ada juga kelompok Muhajirin yang tergolong di dalam kelompok mereka, kelompok yang salah satu pembesarnya adalah Ammar Bin Yasir. Semua ini baru sebagian dari orang-orang yang menentang Utsman. Ada juga kelompok Quraisy yang ikut serta melawan Utsman, karena mereka merasa diabaikan oleh Utsman dan dia hanya memperhatikan keturunan Umayyah. Para pembesar kelompok oposisi Quraisy ini adalah Thalhah, Zubair dan 'Aisyah. Amr Bin 'Ash juga aktif melawan Utsman lantaran dia disingkirkan dari pemerintahan Mesir. Yang jelas, dakwaan mereka semua sama, yaitu Utsman telah mengambil jarak dari sunnah Rasulullah saw. Oleh karenanya, arah global dari demonstrasi anti Utsman tadi adalah kembali pada sunnah Rasulullah saw, yaitu keadilan dan kebijakan serta membumihanguskan kezaliman yang telah menimpa masyarakat.

Sejak awal arus perlawanan massa terhadap Utsman ini dimulai, Amirul Mukminin as memainkan peran sebagai mediator dan juru bicara dua kelompok di atas yang menyampaikan kritik masyarakat kepada Utsman. Dalam peran ini, beliau juga menjaga keseimbangan dan keadilan kedua belah pihak. Kendatipun beliau menentang beberapa perlakuan Utsman yang tidak pantas,[1] akan tetapi selaku mediator dan penengah kedua belah pihak massa dan Utsman, di samping menjaga hak penentang dan juga hak Utsman, beliau meminta Utsman berjanji untuk memperhatikan (menjaga) situasi para penentang. Dengan demikian, beliau juga telah menjaga mereka tetap tenang dan tidak berbuat kegaduhan. Akan tetapi, ketika Utsman terbunuh dan Ali as memimpin, secara otomatis Bani Umayyah dan sebagian dari sayap Quraisy menuduh beliau sebagai pelaku pembunuhan khalifah Utsman, padahal beliau sama sekali tidak punya peran dalam tragedi ini. Banyak pula dari sahabat dekat Amirul Mukminin as yang turut menentang Utsman, dan mereka juga tertuduh sebagai orang yang berperan dalam pembunuhan khalifah secara langsung. Semua orang yang mengutamakan Ali as adalah anti Utsman, dan sebagaimana telah diisyaratkan sebelumnya, ini adalah awal mula kematangan gerakan tasyayyu' (pengikut setia Ali as) di tengah masyarakat Kufah. Aktifitas politik mereka yang utama bermula dari perlawanan terhadap Utsman sebagai pemimpin kala itu. Tapi umumnya mereka masih menerima Abu Bakar dan Umar.

Kekuatan pendukung Amirul Mukminin as sangat kuat dan tersusun dari kalangan Anshar, mayoritas sahabat Rasulullah saw dan para qari' dari kota Kufah. Begitu solidnya kekuatan ini sehingga sama sekali ia tidak memberikan kesempatan kepada Thalhah dan Zubair untuk muncul ke permukaan. Begitu juga dengan Sa'd bin Abi Waqqash yang sama sekali tidak disebut oleh massa. [2]

Lanjutan riwayat panjang Sa'id Bin Musayyib tentang pembunuhan Utsman tadi menyatakan, setelah terbunuhnya Utsman, Ali as pulang ke rumah dan kerumunan massa berbondong-bondong mendatangi rumah beliau. Mereka berunjuk rasa demi manyatakan Ali sebagai khalifah, dan meminta Ali as untuk mengulurkan tangan demi menyambut bai'at mereka. Amirul Mukminin as menjawab permintaan mereka, "Bai'at tidak ada hubungannya dengan kalian. Bai'at adalah hak para sahabat yang telah ikut dalam perang Badar. Siapapun yang mereka yakini sebagai khalifah, ia akan menjadi khalifah." Tak lama kemudian, semua sahabat yang pernah ikut dalam perang Badar yang masih hidup mendatangi Amirul Mukminin as dan berharap untuk membai'at beliau. [3]

Amirul Mukminin as menghindari dorongan para sahabat Rasulullah saw itu dan menolak untuk menjadi khalifah. Ath-Thabari meriwayatkan dari Muhammad bin Hanafiyah, "Setelah Utsman terbunuh, sekelompok sahabat mendatangi ayahku (Ali as) dan berkata kepadanya, 'Kami tidak melihat satu orang pun yang lebih layak darimu untuk menduduki kursi kekhalifahan ini.' Beliau as menjawab, 'Aku menjadi wazir (mentri) kalian adalah lebih baik daripada aku menjadi amir (pemimpin).' Mereka kembali berkata, 'Kami tidak menerima sesuatu selain berbai'at kepadamu.'[4] Amirul Mukminin as berkata, 'Bai'at kepadaku tidak boleh berlangsung secara tersembunyi. Bai'at ini harus berlangsung di masjid.' Ibn Abbas berkata, 'Aku takut jangan-jangan akan terjadi sesuatu (masalah) di masjid.'[5] Ketika beliau pergi ke masjid, maka Muhajirin dan Anshar berdatangan ke masjid dan membai'at beliau as."

Diriwayatkan juga dari Abu Basyir, "Berkali-kali massa mendatangi Ali as setelah terbunuhnya Utsman, sampai akhirnya mereka berhasil mendesaknya untuk menjadi khalifah. Beliau naik ke mimbar dan berkata, 'Aku tidak butuh pada khilafah, dan terpaksa aku menerimanya. Aku akan sudi memerintah umat apabila mereka berjanji untuk sejalan denganku sepenuhnya.'"

Riwayat-riwayat ini mencatat bahwa Thalhah dan Zubair ikut bersama masyarakat yang lain. Di saat semua orang berkumpul di masjid, Thalhah adalah orang pertama yang berbai'at kepada Amirul Mukminin as. Adapun Sa'd Bin Abi Waqqash enggan untuk berbai'at seraya berkata, "Aku tidak akan berbai'at sampai semua orang berbai'at terlebih dahulu." Abdullah Bin Umar juga tidak mau berbai'at.

Ada satu riwayat di buku Tarikh ath-Thabari yang tidak sesuai dengan riwayat-riwayat lain. Riwayat ini menyebutkan bahwa Thalhah dan Zubair berbai'at karena takut kepada pedangnya Malik. Amirul Mukminin as meminta mereka agar menjadi khalifah, namun mereka sendiri sadar diri tidak pantas untuk menerimanya. Mereka rela membai'at Amirul Mukminin as agar dengan demikian mereka bisa meraih posisi tertentu. Kata-kata Thalhah dan Zubair setelah itu menunjukkan bahwa maksud dari membai'at secara terpaksa di atas bukan terpaksa karena kekerasan dan pedang, melainkan mereka tidak melihat seorangpun di Madinah yang bisa mereka bai'at. Sedangkan Ali as memiliki banyak pendukung. Maka, dengan demikian, mereka terpaksa membai'at beliau.

Sebelum ini juga pernah kami singgung dalam pembahasan bai'at bahwa pada dasarnya, Amirul Mukminin as bukan tipe orang yang mau memaksa seseorang untuk berbai'at kepadanya dengan kekerasan. Jauh setelah ini terjadi di tragedi perang Jamal. Beliau tidak meminta bai'at dari Marwan yang berkata kepada beliau, "Kalau dipaksa, maka aku akan berbai'at." [6]

Segera setelah berlangsungnya bai'at, mereka meminta Amirul Mukminin as menyerahkan kota Bashrah dan Kufah kepada mereka. Tapi, beliau tidak mengabulkan permintaan itu. Muhammad Bin Hanafiah berkata, "Semua kaum Anshar mebai'at Ali as kecuali berapa gelintir orang. Mereka yang menentang adalah Hassan bin Tsabit, Ka'b bin Malik, Maslamah bin Mukhallad, Muhammad bin Maslamah dan satu dua orang lagi yang semuanya tergolong Utsmaniah (kelompok Utsman). Adapun para penentang dari selain Anshar adalah Abdullah bin Umar, Zaid bin Tsabit, dan Usamah bin Zaid yang mana mereka semua terhitung orang-orang yang telah dianugerahi kenikmatan khilafah Utsman."

Ath-Thabari berkata, "Sebatas yang kutahu, tak seorangpun dari Anshar yang keluar dari bai'at kepada Ali as." [7]

Dari sini bisa dimengerti bahwa kemungkinan besar sebagian orang yang dicatat sebagai orang yang tidak membai'at Ali as, maksudnya adalah orang yang nantinya tidak ikut serta dalam perang Jamal, Shiffin dan Nahrawan, bukan berarti orang yang pada dasarnya tidak berbai'at kepada Ali as dalam urusan khilafah. [8] Dayyari Bakri meriwayatkan bahwa semua sahabat Nabi saw yang ikut bersama beliau di perang Badr dan masih hidup pada masa itu—tanpa terkecuali—berbai'at kepada Ali as. [9] Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abzi, ia berkata, "Kami berjumlah delapan ratus orang yang hadir di bai'at Ridhwan, ikut di perang Shiffin dan enam puluh tiga orang dari kami termasuk juga Ammar Bin Yasir terbunuh di perang tersebut." [10]

Diriwayatkan dari Ibn A'tsam bahwa pada mulanya Amirul Mukminin as menolak bai'at itu dan berkata, "Kulihat urusan ini begitu terpecah-belah sehingga hati dan akal setiap orang tidak akan merasa tenang." Ketika itu beliau mendatangi Thalhah dan memintanya untuk menjadi khalifah dan dibai'at. Akan tetapi, Thalhah berkata, "Tidak ada orang lain yang lebih layak darimu untuk urusan khilafah." Ucapan yang sama juga tercatat dari Zubair. Akhirnya, kedua orang itu berjanji untuk tidak melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan kehendak Amirul Mukminin as. [11]

Ibn A'tsam menceritakan peran Anshar dalam pembai'atan Ali as dan bagaimana pemuka-pemuka Anshar berbicara di masjid kepada masyarakat yang di antara mereka terdapat pendatang Irak dan Mesir. Masyarakat berteriak, "Kalian adalah Ansharullah (penolong Allah). Maka apapun yang kalian katakan, pasti akan kita terima." Anshar memperkenalkan Ali as sebagai khalifah. Dan tanpa menunggu lagi, masyarakat segera mengapresiasi hal itu dengan teriakan-teriakan pertanda sepakat. Hari itu mereka meninggalkan masjid. Dan keesokan harinya Amirul Mukminin as datang ke masjid seraya berkata, "Pilihlah khalifah untuk kalian sendiri dan aku akan sejalan dengan kalian." Tapi, mereka menjawab, "Kami tetap konsisten dengan keputusan kemarin." Thalhah dengan tangannya yang cacat menjadi orang pertama yang berbai'at pada Amirul Mukminin as. Hal itu dikatakan sebagai pertanda yang buruk! Kemudian dilanjutkan dengan Zubair berbai'at kepada beliau. Begitu pula selanjutnya dengan Muhajirin, Anshar dan setiap orang Arab, 'ajam dan mawali yang hadir di Madinah. [12]

Mengenai kenapa sejak awal Amirul Mukminin as tidak menerima bai'at masyarakat, jawaban terbaik adalah ucapan beliau sendiri. Pertama, Amirul Mukminin as memandang masyarakat pada waktu itu sudah sampai batas kerusakan (fasâd) yang tidak bisa lagi dipimpin, sehingga beliau tidak akan mampu menerapkan tolok ukur dan kehendak yang semestinya[13].

Di tengah semua fitnah yang terjadi, Amirul Mukminin as merasa tidak mungkin untuk memimpin masyarakat kala itu secara utuh. Namun, setelah menyaksikan bahwa mereka tidak melepasnya begitu saja, di samping mengungkapkan keengganannya, beliau minta mereka untuk berjanji menuruti beliau secara utuh dan pasrah terhadap apapun yang beliau kehendaki. [14]

Fenomena-fenomena yang terjadi setelah itu menjadi saksi pandangan Amirul Mukminin as akan sulitnya bekerja di tengah fitnah besar. Sampai pernah diriwayatkan beliau berkata, "Kalaupun aku tahu problem ini meningkat begitu tinggi, niscaya sejak awal aku tidak akan masuk ke dalamnya." [15]

Suatu saat Amirul Mukminin as melihat seorang bernama Abu Maryam di kota Kufah. Beliau menanyakan alasan kedatangannya ke Kufah. Abu Maryam menjawab, "Aku datang karena janjiku padamu. Sebagaimana kau katakan sebelumnya apabila aku yang menjadi pemimpin, maka aku akan lakukan hal ini dan itu." Amirul Mukminin as menjawab, "Aku tetap pada janjiku, hanya saja aku dihadapkan dengan masyarakat terburuk di muka bumi yang mana mereka sama sekali tidak pernah mendengarkan kata-kataku." [16]

Sumber: Balaghah


Referensi:
1. Sa'id bin Musayyab bercerita, "Aku menyaksikan pertikaian mulut antara Ali as dan Utsman. Pertikaian itu berlanjut sampai akhirnya Utsman sempat mengangkat cambuk, dan kemudian aku melerai mereka." Lihat Ansâb al-Asyrâf, jilid 4, hal. 132 no. 112.
2. Saat tragedi Hakamiyah (penunjukan penengah untuk melerai kedua belah pihak yang bertikai saat itu) tengah berkecamuk, Sa'd mengaku dirinya paling layak menduduki khilafah daripada siapapun. Hal itu karena dia tidak turut campur tangan dalam pembunuhan Utsman dan fitnah yang sedang berkembang. Lihat Ansâb al-Asyrâf, jilid 2, hal 344.
3. Ansâb al-Asyrâf, juz 4, hal 559-560.
4. Tarikh ath-Thabari, jilid 4, hal. 429; Ansâb al-Asyrâf, jilid 2, hal. 219.
5. Diriwayatkan dari Iskafi bahwa Ibn Abbas berkata, "Aku khawatir sebagian orang-orang bodoh (safih) mengatakan sesuatu di masjid, atau orang-orang yang ayah atau pamannya terbunuh di peperangan Rasulullah saw melakukan aksi protes. (Al-Mi'yâr wa al-Muwâzanah, hal. 50).
6. Ansâb al-Asyrâf, jilid 2, hal. 263.
7. Tarikh ath-Thabari, jilid 4, hal. 427-431. Mengenai ucapan Amirul Mukminin as kepada Thalhah, Anda bisa merujuk ke di ibid, hal. 434. Mengenai permintaan Thalhah dan Zubair untuk memimpin kota Bashrah dan Kufah itu, Anda bisa merujuk ke Ansâb al-Asyrâf, jilid 2, hal, 218.
8. Di pembahasan-pembahasan selanjutnya akan jelas bukti-bukti lain akan hal ini. Ya'qubi menulis, "Semua orang berbaiat kepada Ali as kecuali tiga orang dari Quraisy. Satu dari mereka hanya awalnya saja menolak berbaiat kepada beliau, tapi pada akhirnya dia juga mau membaiat beliau." Tarikh al-Ya'qubi, jilid 2, hal. 178-179.
9. Tarikh al-Khamîs, jilid 2, hal. 261. Tentang bai'at Muhajirin dan Anshar Anda bisa merujuk ke al-Jamâl, hal. 102-110.
10. Tarikh Khalifah bin Khayyath, hal. 196.
11. Jelas, kedua orang ini menyimpan hawa nafsu terhadap khilafah, apalagi orang seperti Thalahah yang juga mendapatkan perlindungan 'Aisyah. Baladzuri berkata, "Ketika Utsman terbunuh, 'Aisyah berada di Makkah dan segera datang ke Madinah. Di tengah perjalanan, dia mendengar masyarakat telah berbai'at kepada Thalhah, dan 'Aisyah pun gembira mendengar berita itu. Akan tetapi, ketika dia mendengar bahwa Ali as yang dibaiat masyarakat, segera 'Aisyah kembali ke Makkah dan meneriakkan syi'ar menuntut balas atas darah Utsman. (Ansâb al-Asyrâf, jilid 2, hal. 218).
12. Al-Futûh, jilid 2, hal. 243-245.
13. Nahjul Balaghah, pidato ke-92.
14. Tarikh ath-Thabari, jilid 4, hal. 428.
15. Ansâb al-Asyrâf, jilid 2, hal 213; al-Ghârât, hal. 112.
16. Akhbâr al-Buldân, Ibn Faqih al-Hamadani, hal. 4-5.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: