Nama dan Sifat
DALAM proses mengetahui setiap realitas objektif, manusia memperoleh sejumlah kesan atau konsepsi mental yang jelas dan khusus, yang dengan sorotan darinya, ia bisa membedakannya dari fakta-fakta lain. Kadang-kadang, manusia mengasumsikan sesuatu di dunia ini, dan di saat yang sama, mengetahui bahwa sesuatu tersebut tidaklah nyata melainkan semata-mata objek imajiner. Ambil contoh, suatu desain arsitek yang telah ia siapkan untuk mengkonstruksi bangunan yang belum terwujud sampai sekarang. Ia baru menciptakan suatu bangunan yang bisa dikonstruksi sejalan dengan rancangannya. Dalam hal ini, manusia pun harus mempunyai ide yang jelas dan bening mengenai objek-objek imajiner dalam benaknya sehingga objek tersebut bisa dibedakan dari objek imajiner lainnya atau objek nyata yang telah ia ketahui.
Konsepsi atau kesan atas objek-objek semacam itu, baik yang imajiner maupun yang nyata, bisa diungkapkan melalui nama-nama alamiah atau inheren mereka. Perlu diperhatikan bahwasanya “nama-nama” ini bukanlah kata-kata ataupun istilah-istilah melainkan hanya citra atau gambaran, jelas atau samar, dari objek-objek dimana pikiran manusia telah membentuknya secara mental untuk mengidentifikasi sesuatu. Nama atau citra, ini memainkan peran yang sama sebagaimana yang dimainkan oleh kata dan istilah untuk menjadikan segala sesuatu logis adanya.
Ketika manusia hanya berkomunikasi dengan dirinya sendiri dan berpantang dari bertukar pendapat dengan orang lain, ia bisa menggunakan nama dan citra mentalnya yang pribadi dan tidak konvensional. Namun ketika ia melakukan kontak dengan pihak lain dan bertukar pandangan dengan mereka, ia terikat untuk menggunakan nama atau tanda umum untuk bangunan mentalnya mengenai objek-objek faktual atau imajiner dengan membiarkan orang lain memahami apa yang ada dalam pikirannya. lni merupakan kata dan istilah yang diciptakan manusia secara bertahap dengan sorotan mana mereka mendapatkan denotasi mereka. Rentang konotasi dari kata-kata yang diterima tersebut bergantung pada konvensi mereka. Simbol-simbol ini, [80] yakni kata-kata kenyataannya secara umum nama yang diterima, menunjukkan masalah-masalah riil atau hipotetis.
Dalam pengertian yang luas, semua kata termasuk kata benda, kata sifat, kata tambahan, kata penghubung, preposisi dan lain-lain adalah nama-nama (ism). [81] Dalam makna luasnya, nama berarti simbol. Penggunaan kata benda ini dibedakan dari kata kerja, artikel, kalta sifat dan lain-lain yang sebagian besar terkait dengan klasifikasi terakhir kata dalam rangkaian perkembangan tatabahasa. Dari sana, ia terus mengalir dalam bidang-bidang lain seperti mistisisme, teologi (kalâm), dan lain-lain. Selanjutnya, ia mempengaruhi idiom bahasa percakapan. Dalam klasifikasi ini, setiap kata yang digunakan merujuk pada sesuatu, seseorang, tindakan, atau pernyataan yang disebut “kata benda” (noun). Dan setiap kata yang digunakan untuk menguraikan kualitas tertentu dari suatu maujud (existent) disebut “kata sifat” (adjective). Dengan demikian, Faraidun adalah ”kata benda”, lantaran kata ini digunakan untuk memikat perhatian seorang pendengar terhadap suatu wujud aktual dan objektif tanpa mempertimbangkan kualitas spesifiknya. Namun kata “berani” adalah kata sifat, karena ia menunjukkan kualitas khusus yakni keberanian dari seseorang (atau kekokohan sesuatu).
Nama dan Sifat Allah
Kita menjumpai berbagai Nama dan Sifat Allah dalam pembahasan teologi. Namun, sebelum melangkah lebih jauh memasuki rincian tema ini, akan lebih baik bagi kita untuk pertama-tama membahas isu-isu yang menyangkut konsep pembatalan (ta’thil) antropomorfisme (tajassum).
Tema diskusi ini adalah: apakah pengetahuan kita tentang Allah dapat sampai ke suatu tingkat yang di alas basisnya kita bisa menyandarkan kepada-Nya suatu nama tertentu atau nama-nama dan suatu sifat atau sifat-sifat, ataukah pengetahuan kita tentang Allah sampai ke tingkat ini dimana kita hanya bisa mengatakan bahwa “Dia adalah Dia”.
Pembatalan (Ta’thil)
Sekelompok pemikir menekankan pandangan bahwa manusia dalam upayanya untuk mengetahui asal-usul wujud bisa mencapai banyak pengetahuan ini hanya dengan mengatakan bahwa ada sumber dunia dan suatu sumber eksistensi, tanpa mempunyai pengetahuan yang pasti akan sumber tersebut dan sumber wujud. [82] Dalam bahasa yang berbeda, pelbagai nama telah diberikan kepada “relitas yang tidak diketahui” ini, namun semua kata ini adalah nama- nama dari suatu wujud dan “kata benda”, yakni semua ini semata-mata indikator dan beberapa konsepsi Realitas-Nya, yaitu sumber wujud. Sumber yang kita ketahui hanyalah Wujud-Nya. Kita tanu siapa “Dia” dan Dia bukan wujud imajiner. Tetapi, kita tidak punya pengetahuan minimal ihwal Hakikat-Nya. Semua nama ini memperlihatkan Wujud-Nya semata. Tidak lebih. Itulah mengapa ekspresi atau nama terbaik untuk sumber wujud adalah istilah “Dia” dan padanan katanya dalam bahasa lain seperti Huwa, Aw, dan seterusnya, yang tidak hanya menunjukkan Wujud-Nya, namun juga mengimplikasikan “ketidakterjangkauan“-Nya. Bagaimanapun, harus dicamkan bahwa bahkan istilah-istilah yang diketahui seperti Khuda, Allah, God, Brahma, Ahura Mazda dan lain-lain tidak lebih eksplisit ketimbang istilah “Dia” dan istilah padanannya.
Menurut para pemikir ini, setiap nama atau sifat yang diciptakan merujuk pada sumber keberadaan, dengan suatu pandangan untuk memaparkan-Nya dengan lebih baik, tidak hanya akan terasing bagi-Nya namun juga akan berakibat pada konsepsi-konsepsi keliru tentang sumber wujud. Menurut pandangan ini, aras tertinggi dan pengetahuan Sumber adalah mengakui bahwa “Dialah Sumber wujud itu” dan “Dia mendahului dan di balik semua konsepsi yang manusia benarkan”
Engkaulah di balik pencapaian semua imajinasi analogi dan khayalan, mendahului semua yang telah diucapkan dan apa yang telah didengar dan tertulis tentang-Mu.
Menurut pandangan ini, “pengetahuan sumber”, setelah membenarkan keimanan pada eksistensi sumber, membentang dalam satu arab yang sublim dan kesucian Tuhan di dalamnya mendahului dan melintasi semua konsep yang dihasilkan oleh pikiran manusia. Para filosof dan teolog (mutakallimun) menyebut doktrin ini “doktrin pembatalan” (ta’thil) karena ia berpendapat bahwa pemahaman dan intelek insan tidak bisa mencapai pengetahuan terkecil tentang-Nya oleh sebab itu dibatalkan.
Akan tetapi istilah pembatalan dalam tradisi Syi’i digunakan dalam makna lain. Dalam tradisi mereka, mereka menganggap pembatalan sebagai keyakinan bahwa dunia kosong dari Pencipta yang cerdas dan istilah “Tuhan” sama sekali kosong dari sifat apapun.
Al-Kulaini dalam kitabnya al-Kâfi meriwayatkan dari Hasan bin Sa’id:
Abu Ja’far Kedua [yakni Imam Kesepuluh, ‘Ali al-Hadi] ditanya: “Mungkinkah mengatakan bahwa Allah adalah ‘sesuatu’? Beliau menjawab, “Ya. Karena konsepsi (Tuhan) ini menempatkan-Nya di balik dua ekstrem: Ekstrem pembatalan dan ekstrem antropomorfisme.” [83]
Dalam hadis lain, kata-kata berikut diriwayatkan dari Imam al-Shadiq as:
...Karena penafian (semua sifat) mengarah kepada absurditas yang sama, yakni penafian eksistensi sejati Tuhan; dan petunjuk kedua mengarah kepada antropomorfzsme. [84]
Syaikh al-Shaduq dalam kitabnya Asrâr al-Tawhid menukil hadis berikut:
‘Abdurrahim al-Qasir berkata, “Di depan ‘Abdul Malik bin A’yan, aku mengirim sejumlah pertanyaan kepada Abu ‘Abdullah sebagai berikut: “...mengenai eksistensi Tuhan Yang Mahasuci, apakah Dia memiliki bentuk khusus dan ciri-ciri tertentu? Karena itu, sudilah kiranya Anda, semoga Allah menjadikan diri sara sebagai pembela Tuan, menuliskan pandangan Anda tentang keyakinan yang benar mengenai masalah tauhid? Kemudian, ia [Imam ash-Shadiq] membalas suratku melalui ‘Abdul Malik bin A’yan sebagai berikut: “Semoga Allah merahmatimu. Engkau bertanya tentang keyakinan yang benar mengenai tauhid dan kepercayaan agama-agama sebelumnya kepada Tuhan. Tiada sesuatupun yang menyerupai-Nya. Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Dia Mahatinggi dari segala sesuatu yang dikatakan tentang-Nya oleh para pengikut doktrin antropomorfisme. Mereka menjadikan-Nya seperti makhluk-Nya dan sifat-sifat palsu kepada Allah.
“Semoga Allah merahmatimu. Ketahuilah, keyakinan yang benar mengenai tauhid sama halnya dengan apa yang dijelaskan dalam al-Quran saat menguraikan Sifat-sifat Allah. Oleh sebab itu, menjauhlah dari kepercayaan pada absurditas dan kesia-siaan serta antropomorfisme. Tiada penafian ataupun perbandingan. Dialah Tuhan Yang Mahaabadi dan Wujud. Mahatinggi Allah dari segala sifat yang disandarkan orang kepada-Nya. Janganlah menentang al-Quran, sehingga engkau tersesat sesudah mendapat penjelasan.” [85]
Bisa dikatakan bahwa pembatalan dalam arti pertamanya secara alamiah dan logis mengarah kepada arti kedua juga. Kini pertanyaan yang akan muncul dengan sendirinya: siapa dan apakah rujukan kata ganti “Dia”. Kita bisa menggunakan kata ganti “Dia” untuk menunjukkan sebagian orang atau sesuatu yang telah kita ketahui dan bisa dibedakan dari wujud-wujud lain. Oleh sebab itu, jika kita mengatakan kita tidak mengetahui apapun tentang sumber wujud selain “Dia”, kita sedang menggunakan sebuah kata ganti yang tidak punya acuan atau dalam hal itu mempunyai rujukan yakni hipotetis imajiner. Jenis kritikan ini dilakukan oleh banyak pemikir materialis kontemporer terhadap teologi. Dengan demikian, jika benar Tuhan ada, setidaknya kita harus mempunyai sejurnlah ide tentang Realitas- Nya untuk membedakan Dia dengan realitas-realitas lain yang kita ketahui agar kita tidak memusingkan-Nya dengan wujud-wujud lain.
Kritik terhadap Doktrin Ta’thil (Pembatalan)
Kritik mendasar alas doktrin ini adalah sebagai berikut:
Apabila ketakmampuan manusia menyangkut pengetahuan Tuhan sampai ke taraf ini dimana ia tidak bisa mengetahui apapun tentang Tuhan dan hanya bisa mengingat-Nya dengan kata “Dia” yang berarti “ambiguitas mutlak“, maka pertanyaannya adalah: bagaimana bisa orang mempercayai realitas-Nya. Ini berarti bahwa para pemikir besar tersebut yang telah menerima doktrin pembatalan telah jatuh kepada sejenis salah tafsir. Mereka disibukkan dengan pengetahuan esensi (ma’rifat be kunh) dan pengetahuan tanda-tanda (ma’rifat be vajh) atau aspek-aspek. Sesuatu bisa memiliki banyak tanda spesifik atau yang melaluinya kita bisa membedakannya dari objek-objek lain. Dalam hal ini, apabila kita menjadi akrab dengan salah satu dari tanda-tanda tertentu atau aspek sesuatu, kita akan berada dalam posisi untuk mengenalinya di tengah-tengah objek lain tanpa menunggu diberitahu semua aspek yang membedakannya dari wujud lain. Hal ini tidak hanya benar tentang Tuhan, namun juga untuk wujud-wujud lain.
Misalnya, Anda mempunyai dua anak dan Anda bisa secara mudah membedakan kedua-duanya. Namun apakah Anda dalam posisi mendakwa bahwa Anda diberitahu perihal semua ciri fisik dan psikologis mereka?
Oleh sebab itu, menyangkut kementakan (possibility) pengetahuan utuh tentang Tuhan yang serba-mencakup, bisa diakui bahwa kesanggupan manusia meraih pengetahuan semacam itu tidaklah mungkin dan pikirannya harus membebaskan semua ikhtiar untuk mengenal Allah secara komprehensif. Sebuah syair menyatakan:
Intelek bisa mengetahui Esensi-Nya
Jika jerami sampai di dasar samudra
Akan tetapi, sepanjang pemahaman tanda-tanda, Tuhan diperhatikan dalam sejumlah cara yakni jenis pengetahuan yang membedakan Wujud-Nya dengan selain Dia, maka siapapun harus memiliki jenis pengetahuan Tuhan ini. Sebagai suatu masalah prinsip, tanpa mengetahui jenis pengetahuan ini, adalah absurd membicarakan hal-ilwal Tuhan.
Oleh sebab itu, ketidakmentakan pengetahuan yang utuh mengenai Zat Tuhan tidak berarti kita tak mampu meraih jenis pengetahuan apapun tentang Allah. Akan tetapi, ada satu posisi tengah-tengah antara pengetahuan Tuhan yang utuh dan mutlak dan hal yang tak dapat dimengerti dari pengetahuan semacam itu. Agaknya, ada banyak posisi tengah semacam itu yang terbentang dari pengetahuan relatif hingga pengetahuan satu atau lebih dimensi Wujud Absolut.
Apabila kita menyelidiki masalah mengenal Tuhan secara lebih jeluk, nilai dan batasannya, ia mengarahkan kita kepada realisasi bahwa pengetahuan manusia akan alam korporeal ini pun tidaklah absolut, yakni kita tidak bisa mengetahui hakikat suatu objek. Pengetahuan ilmiah kontemporer juga membahas fenomena kontemporer semata dan bukan esensi maupun substansi dari suatu objek.
Sedemikian jauh pengetahuan akan sumber segala sesuatu diperhatikan, kita menjumpai batasan pengetahuan yang sama, dengan perbedaan bahwa kita menyadari bahwa tiap-tiap objek alam memiliki esensi yakni pemilik dan wadah penampakan. Namun pengetahuan kita akan Tuhan dan pantulan-Nya berikut fenomena membawa kita pada kesimpulan berikut bahwa Dialah Pelaku semuanya dan Pencipta segenap objek dan bukan sebagai pemilik ataupun wadah segenap objek.
Oleh sebab itu, seorang manusia yang berakal saat merenungkan Zat Tuhan, bisa mengakui ketakmarnpuannya secara tulus dengan mengatakan: “Aku tidak mengetahui apakah Engkau; Segala sesuatu adalah Wujud-Mu.”
Namun bilamana orang yang sama melihat cermin (alam) yang memantulkan citra dan tanda Tuhan, lantas menyadari tanda-tanda khusus Tuhan, secara alami ia berada dalam posisi memiliki sekian jenis pengetahuan. ihwal Tuhan. Nah, jenis pengetahuan ini jauh lebih baik ketimbang kesombongan mutlak tentang Tuhan. Kementakan ini memudahkannya untuk membincangkan tentang Wujud-Nya secara meyakinkan.
Oleh sebab itu, harus disimpulkan bahwa barangsiapa yang meyakini akan eksistensi Tuhan, dengan sendirinya memahaminya melalui, setidaknya, salah satu sifat-Nya yang senapas dengan cara tersebut melalui mana ia mencari Tuhan. Pengetahuan akan Tuhan ini bisa diasosiasikan dengan sifat-sifat Tuhan seperti Sumber, Pencipta, Pemberi rezeki, Pengendali, Wujud Wajib dan lain-lain.
Antropomorfisme (Tasybih)
Antropomorfisme adalah sebuah pendekatan yang berlawanan langsung dengan doktrin pembatalan (ta’thil). Dalam teori ini, Tuhan digambarkan seperti wujud lain yang terdiri dari bagian-bagian dan bentuk-bentuk, dan perbedaah antara Tuhan dengan wujud-wujud lain dianggap sebagai wujud dari tipe tersebut di level mana satu wujud mempunyai wujud lain.
Dalam pelbagai teks agama, kita menjumpai berbagai penafsiran yang menunjukkan pendekatan antropomorfistik. [86]
Kritik atas Doktrin Antropomorfisme
Kritik paling asasi atas antropomorfisme adalah bahwa paham itu menyesatkan karena dalam pendekatan ini sifat-sifat tersebut dibincangkan menyangkut Tuhan yang tidak setara dengan Wujud-Nya sebagai sumber keberadaan semua maujud dan Wujud Wajib. Umpamanya, dikatakan:
Dia adalah ruh agung dalam tubuh dunia ini [87]
Jika “Dia” adalah ruh dalam tubuh, di dunia ini, bagaimana mungkin Dia sumber eksistensi qunia ini yang merupakan tubuh-Nya?
Apakah jiwa tubuh ini atau apakah sebagian tubuh lain sebelumnya telah menciptakan tubuh (dunia) ini?
Pabila jiwa ini tidak beraga (bodyless), maka seharusnya ia tidak membutuhkan tubuh apapun. Dalam hal ini, dunia yang telah Dia wujudkan adalah makhluk-Nya dan bukan tubuh atau forma-Nya. Pabila Dia berada dalam forma lain, lantas apakah Dia sumber forma itu ataukah tidak, dan seterusnya.
Galibnya, sekiranya sumber dunia ini adalah sama dengan Eksistensi Tak Terbatas, maka kiranya keliru menganggap-Nya membentuk forma, dan sebagainya, karena hal-hal ini merupakan indikasi batasan-batasan, sementara Yang Tak Terbatas tidak punya batasan apapun.
Tidak Pembatalan Tidak Antropomorfisme Melainkan Pengetahuan Relatif
Dengan demikian, posisi benar yang bisa kita nyatakan adalah: tidak pembatalan ataupun antropomorfisme. Manusia tidak punya pengetahuan yang lengkap dan serba-mencakup perihal sumber wujud. Tetapi melalui ayat-ayat khusus-Nya yang manusia temui dalam penciptaan-Nya, ia bisa meraih sebagian pengetahuan berharga, meski relatif, ihwal Tuhan. Bagaimanapun, contoh apapun ihwal pengetahuan semacam itu bukanlah pengetahuan yang utuh ataupun mutlak adanya.
Tentu saja Dia punya semua aspek positif yang terpantul dalam pengetahuan semacam itu. Akan tetapi, di saat yang sama, Dia bebas dari semua aspek negatif yang terbatas ihwal pengetahuan relatif yang menyertai aspek positif.
Dengan demikian, nama-nama dan sifat-sifat terbaik tidak memadai untuk mengekspresikan karakter tak terbatas dari Wujud-Nya. Maka, kita bisa menggunakan nama-nama dan sifat-sifat terbaik hanya dengan syarat bahwa kita telah menyucikannya dari aspek-aspek negatif dan terbatasnya. Sebaliknya, ia akan memberi kita suatu gambaran salah dan terbatas mengenai Tuhan yang tidak senapas dengan “realitas-Nya”. Dari itu kita bisa katakan bahwa: Tuhan lebih tinggi dari nama atau sifat apapun. Ia tidak diuraikan dan taraf tertinggi pengetahuan tentang-Nya adalah dengan menganggap-Nya lebih tinggi dari pengetahuan apapun.
...kesempurnaan dalam hal mengimani keesaan-Nya adalah dengan menyucikan-Nya dan kesempurnaan kesucian-Nya adalah dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sifat-sifat... [88]
Dari itu, menurut ungkapan “Kepunyaan-Nya adalah nama-nama paling indah”, maka kita harus menyadari untuk tidak menjadi seorang penyimpang:
Hanya milik Allah-lah al-asma al-husna, maka itu bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut al-asma al-husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (QS al-A’râf [7]:180)
Di sini, ia merupakan nama-nama terbaik; nama ini atau itu. Maka sia-sialah memperdebatkan masalah itu:
Katakanlah, “SerulahAllah atau serulah ar-Rahman atau serulah ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al-asma al-husna. (QS al-Isra [17]:110).
Dengan demikian poin utamanya adalah hindarilah nama atau sifat apapun kepada Tuhan yang mempunyai kesan negatif. Sebab, hal itu tidak selaras dengan kesempurnaan mutlak dan ketakterbatasan-Nya. Karena alasan ini, siapapun semestinya hati-hati dalam menggunakan kata-kata ketika memerikan perbuatan- perbuatan dan sifat-sifat-Nya. Jangan sampai keagungan-Nya dipengaruhi oleh bentuk ambiguitas manapun dan awan-awan kemutlakan dan ketakterbatasan-Nya.
Ketika kita mengatakan bahwa Tuhan melihat dan Dia menyaksikan perbuatan-perbuatan kita, kita gunakan kata “melihat” dengan pengertiannya yang sama tetapi dalam konotasi yang lebih luas ketimbang yang kita maksudkan dalam pengertian biasa.
Ketika kita katakan: Ahmad melihat perbuatan Anda, Anda artikan bahwa ia melihat sekilas kepada perbuatan Anda. Yakni, suatu gambaran dari tindakan Anda terpotret dalam matanya. Gambaran ini dialihkan ke pusat daya penglihatan melalui saraf-saraf, dan Ahmad dengan cara ini memperoleh gambaran dari perbuatan Anda dan beroleh pemahaman.
Sekarang, anggaplah Ahmad itu buta. Anda mungkin langsung bertanya: Andaikan Ahmad buta, bagaimana dia melihat perbuatan Anda? Di sini Anda bisa mengubah kata-kata Anda dan mengatakan: Saya salah. Namun jika upaya-upaya medis membuahkan hasil dengan menciptakan mata listrik bagi orang-orang buta untuk memudahkan mereka menerima gelombang-gelombang penglihatan dan mengirimkannya kepada pusat daya penglihatan tanpa melewati mata, maka mungkinkah masih tersimpan keraguan perihal jawaban dari pertanyaan berikut: “Ahmad buta. Bagaimana dia melihat perbuatan Anda?"
Akankah Anda menyerahkan tuntutan Anda dan mengatakan bahwa saya berada dalam kesalahan? Tentu tidak. Karena Anda bisa menjawab kepada penanya bahwa keberatan Anda adalah benar namun sebelum adanya temuan mata listrik, dan tidak sekarang. Selain itu, “melihat” tidak hanya terbatas pada mata alamiah. Apabila seseorang buta, pada dasarnya ia tidak buta lantaran ia sanggup melihat melalui mata listrik.
Dengan demikian, berkat temuan mata listrik salah satu keterbatasan kita, yakni tentang “melihat”, terhapus. Yakni, keterbatasan karena mata alamiah. Dengan temuan mata listrik tersebut, siapapun yang tidak punya mata atau menutup matanya masih bisa melihat sekitarnya.
Jika wawasan analitis ini diperluas, kita akan mulai menyaksikan bahwa banyak batasan tersebut yang muncul di benak kita dengan kata “melihat”, mereka tidak tercampur dalam mekanisme “melihat”, atau dalam hal mereka tercampur, mereka tidak memperhatikan isu mendasar dari melihat yang justru kita tekankan.
Butir pokok tentang konsep “melihat” adalah bahwa ia bisa memberi kita pengetahuan langsung dan handal yang tidak bisa diraih melalui kanallain. Itulah mengapa kadang-kadang kata “melihat” dan derivasinya digunakan dalam arti “pengetahuan”. Misalnya, kita katakan: “Apa yang dilihat seorang pemuda di depan cermin, bisa dilihat juga oleh seorang tua di dalam air berlumpur.”
Seorang pemuda bisa melihat di dalam cermin dengan bantuan matanya. Namun dengan sarana apa, seorang tua bisa melihat dalam air berlumpur? Jawabannya adalah ia bisa melihat dengan pandangan kearifan yang dalam dan pengalaman dan bukan dengan pandangan mata lahiriah. Ini bisa berlaku pula dalam hal “mendengar”, “mencium aroma”, “menyentuh’. Butir utama dalam semua kasus ini adalah bahwa kita meraih “pengetahuan bening”. Namun, bisakah saya melihat suara seekor singa di dalam hutan? Jawabnya, tidak. Di sini saya harus mengatakan bahwa saya mendengar suara singa. Mengapa? Karena mendapatkan suara hanya mungkin melalui arti mendengar dan bukan melihat. Dengan demikian, arti mendengar dan dan melihat terkait pada gagasan cara mendapatkannya, apakah melalui cara mendengar ataukah melihat.
Hal itu kian jelas bahwa ada satu asas yang lebih luas untuk konsep “melihat”. Pertama-tama, kita menampilkan berbagai istilah untuk gagasan akuisisi guna mendapatkan bahwa berbagai jenisnya terkait pada jenis organ fisik yakni berbagai indra. Belakangan kita memperluasnya guna mendapatkan substitusi artifisial dan kita terapkan kata-kata yang sama. Namun perluasan ini mendapatkan ekstensinya lebih jauh, yaitu pengetahuan pasti, bening, dan langsung akan fakta-fakta rnelalui nata yang disebut “melihat” dan pemahaman yang pasti, jelas, dan faktual melalui telinga yang disebut “mendengar”. Semua ini disebut sedemikian secara independen perihal fakta-fakta apakah mereka diperoleh melalui organ-organ terkait ataukah sarana-sarana lainnya.
Dengan sinaran pengertian semacam itu, kita katakan: Tuhan melihat, Tuhan sedang melihat, Tuhan mendengar, Tuhan sedang mendengar dan seterusnya.
Oleh sebab itu, Tuhan melihat dalam arti Ia rnengetahui apa yang kita lihat melalui indra penglihatan. Tuhan mendengar dalam arti Ia mengetahui apa yang kita peroleh melalui indra pendengaran. Sebagaimana dalam kata-kata ini: Tuhan Mahabaik, Tuhan nencintai, Tuhan tidak menyukai, Tuhan marah, Tuhan menginginkan, Tuhan membenci dan seterusnya merupakan kata-kata yang digunakan dalam makna yang tepat namun mengabaikan batasan-batasan tersebut yang biasanya rnuncul dalam benak kita ketika menggunakan istilah-istilah tersebut. Itulah mengapa pembatalan ataupun antropornorfisme tidak diterima dalam teologi dari perspektif Islam dan al-Quran.
Nama-nama dan Sifat-sifat Allah dalam al-Quran
Dialah Allah yang tiada tuhan selain Dia, yang mengetahui yang gaib dan yang nyata. Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dialah Allah yang tiada tuhan selain Dia, Raja, Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang memiliki segala keagungan. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dialah Allah Yang menciptakan, Yang mengadakan, yang membentuk rupa, yang mempunyai nama-nama yang paling baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (QS al-Hasyr [59]:22-24).
Kepunyaan-Nya adalah Nama-nama Terindah
Nama-nama utama dan sifat-sifat Allah di dalam al-Quran adalah sama dengan nama yang muncul dalam frase ini “kepunyaan-Nya adalah nama-nama paling indah”. Maka itu, apabila Anda renungkan setiap kebaikan dan manifestasi sempurna, tingkatan yang paling tinggi dari semuanya itu adalah demi Allah. Ambil contoh, kekuasaan dan efisiensi merupakan kesempurnaan dan Allah adalah Yang Mahakuasa dan Mahaperkasa yang memiliki kekuatan paling tinggi. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu (QS al-Ankabut [29]:20)
Pengetahuan-Nya juga merupakan kesempurnaan-Nya dan Allah Maha Mengetahui di tingkatan yang paling tinggi. Ia mengetahui yang gaib dan yang nyata dan Dia mengetahui atas segala sesuatu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu (QS at-Taubah [9]:115)
Yang mengetahui yang gaib dan yang nyata (QS ar-Ra’du [13]:9)
Kebijaksanaan juga merupakan kesempurnaan. Dalam hal ini, Allah Mahabijaksana. ...dan Allah Maha Mengetahui Mahabijaksana (QS al-Mumtahanah [60]:10).
Kebaikan terhadap yang lain juga merupakan kesempurnaan. Allah Maha Pengasih Maha Penyayang dalam level tertinggi. ...[Dia] yang paling mengasihi dari yang mengasihi (QS Yusuf [12]:64)
Maka engkau bebas untuk menyebut nama Allah dengan nama yang paling indah:
Katakanlah, “Serulah Allah atau serulah ar-Rahman atau serulah ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al-asma al-husna. (QS al-Isra [17]:110).
Hanya milik Allah al-asma al-husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut al-asma al-husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (QS al-A’râf [7]:180)
Keindahan dan Kesucian Allah
Allah memiliki setiap kesempurnaan pada arasnya paling tinggi. Maka itu, Dia terbebas dari segala jenis kebutuhan atau kekurangan. Sejumlah ayat al-Quran yang menyiratkan pujian kepada Allah menekankan kesucian dan kesempurnaan-Nya.
Allah Tidak Membutuhkan Apapun
Al-Quran menyatakan bahwa Allah bebas dari segala macam kelemahan dan kebutuhan, dan menekankan pada aspek ketakbutuhan-Nya sebagai suatu prinsip penting dalam teologi Islam. Dalam sinaran tersebut, siapapun bisa mengenali penyimpangan intelektual dan ideologis menyangkut gagasan Tuhan.
Allah Tidak Membutuhkan Seorang Anak
Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata, “Allah mempunyai anak”. Mahasuci Allah. Dialah Yang Mahakaya. Kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan yang di bumi. Kamu tidak mempunyai hujah tentang ini. Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa, yang tidak kamu ketahui (QS Yunus [10]:68)
Para pengikut agama-agama seperti Yahudi, Kristen, Zoroaster, Hindu, politeis dan lain-lain mengatakan bahwa Dia memiliki anak. Al-Quran mengangkat masalah ini dalam dua bentuk dan membantah kedua-duanya. Bentuk pertama adalah anak alamiah dan bentuk kedua adalah anak adopsi.
Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, padahal Allah-lah yang menciptakan jin-jin itu, dan mereka membohong (dengan mengatakan), “bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan”, tanpa (berdasar) ilmu pengetahuan. Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari sifat-sifat yang mereka berikan. Dia pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala sesuatu dan Dia mengetahui segala sesuatu. (QS al-An’am [6]:100-101)
Ayat-ayat ini dan sejumlah ayat al-Quran lainnya menafikan hubungan ayah-anak seperti itu dalam makna lazimnya, yakni hubungan dari seorang anak yang dilahirkan oleh Allah tidak selaras dengan kedudukan luhur Allah yang mengatakan bahwa kemunculan semua wujud berasal dari Allah dinilai sebagai memiliki hubungan antara Pencipta dan makhluk dan bukan dalam bentuk kelahiran.
Dalam keyakinan keagamaan purba, munculnya dunia dari sumber wujud dihitung sebagai dalam hakikat kelahiran atau pemisahan dari tubuh sang pencipta.
Penulis buku The Hindu Conception of the Diety berkata:
Tampaknya teori teologi yang paling tua tentang Tuhan bersumber dari usaha untuk menemukan jawaban atas pertanyaan berikut: Darimanakah dunia ini berasal?
Itulah mengapa kitab Upanishad penuh dengan teori-teori perihal penciptaan seperti itu dimana setiap teori percaya bahwa sebab pertama adalah pencipta dunia ini dan kemudian berupaya membuktikan dan bagaimana itu tercipta:
Ada suatu teori kuno dalam Brhdaran Yaka yang mengatakan bahwa:
“Dunia pada awalnya hanyalah suatu Diri individual (Atman) dalam bentuk satu pribadi (purusha); ketika ia memandang ke sekelilingnya, tidak ada sesuatupun selain dirinya sendiri...ia ingin punya pasangan. Sesungguhnya, ia sebesar lelaki dan perempuan yang ada dalam pelukan mereka. Ia membagi dirinya pada dua bagian: pertama, suami (pati) dan, kedua, istri (patni). Keduanya melahirkan seorang manusia.
“Analogi ketat seperti itu dimana Tuhan telah dianggap seperti manusia dan penciptaan dalam bentuk kelahiran, yakni seperti reproduksi makhluk hidup, tampaknya merupakan salah satu doktrin tertua tentang penciptaan yang telah ditinggalkan untuk kita melalui Upanishad.” [89]
Kristen Katolik menganggap konsep kelahiran sebagai sesuatu yang lebih tinggi. ketimbang konsep “penciptaan” dan mereka mengutuk orang-orang yang percaya bahwa putra Tuhan ditiadakan:
...Kita beriman kepada Tuhan Bapak, Pencipta Mahakuasa semua yang gaib dan yang nyata, dan pada Tuhan Yesus, putra Tuhan, lahir dari seorang Bapak, putra istimewa yang dilahirkan dari esensi Bapak, Tuhan dari Tuhan, Cahaya dari Cahaya, Tuhan Nyata dari Tuhan yang nyata, yang dilahirkan, tidak diciptakan, dari esensi yang identik dengan esensi Bapak, dengan-Nya segala sesuatu mewujud yakni segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi. Ia turun dan memanifestasikan diri untuk menyelamatkan kita, umat manusia. Ia menjadi manusia, ia menderita dan, pada hari ketiga, ia bangkit dan naik ke langit. Ia akan kembali untuk memberi putusan kepada yang hidup dan yang mati. Dan kita beriman kepada Ruh Kudus dan gereja-gereja Katolik serta melaknat orang- orang yang mengatakan, “Suatu saat Yesus tidak ada” atawa percaya bahwa Dia bukanlah sesuatu sebelum Dia mewujud, atau bahwa Dia mewujud dari ketiadaan, serta melaknat mereka yang berpendapat bahwa Dia dari esensi lain atau putra Tuhan diciptakan sehingga Dia bisa berubah... (Suatu bagian dari surat resmi agama Kristen yang disepakati dalam Dewan Nicean kedua, Juni 325). [90]
Dalam agama Hindu, bukan saja “kelahiran dunia dari Tuhan” diciptakan, tetapi “kelahiran Tuhan itu sendiri” telah disebutkan. “Tuhan meliputi semua diameter surga.
Dia lahir dari keabadian. Dia ada di dalam rahim. Dia telah dilahirkan dan akan dilahirkan"...[91]
Penafsiran semacam itu bisa dibenarkan berdasarkan latar filosofis dan pandangan dunia Hindu, yang kadang-kadang merentang sampai ke monisme. Namun penerimaan interpretasi dan justifikasi semacam itu, jika memang benar adanya, bukan pada tataran masyarakat awam, yakni melampaui kapasitas intelektual bukan saja massa melainkan juga masyarakat golongan atas. Oleh sebab itu, ketika teologi pada umumnya mengajak orang-orang kepada-Nya, al-Quran menyeru dalam suatu pernyataan yang lengkap dan umum sebagai berikut:
Katakanlah: “Dialah Allah Yang Mahaesa. Allah tempat meminta segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia. (QS al-Ikhlash [112]:1-5).
Dengan merujuk pada apa yang kami sampaikan dari Upanishad, siapapun bisa memahami dengan mudah mengapa, dalam ayat ini, al-Quran mengatakan bahwasanya Allah “tidak beranak” ataupun “tidak diperanakkan”.
Al-Quran menilai semua gagasan ini sebagai tak beralasan dan tidak jujur dan mengatakan bahwa orang-orang yang menganggap hamba-hamba Allah yang merupakan makhluk-Nya sebagai suatu bagian dari Allah yang terpisah dari-Nya, secara terang-terangan mengikuti jalan hujatan.
Dan mereka menjadikan sebagian dari hamba-hamba-Nya sebagai bagian daripada-Nya. Sesungguhnya manusia itu benar-benar pengingkar yang nyata (terhadap rahmat Allah). (QS az-Zukhruf [43]:15)
Allah: Tidak Butuh Keimanan, Ibadah, dan Ketaatan Kita
Dan Musa berkata, “Jika kamu dan orang-orang yang ada di muka bumi semuanya mengingkari (nikmat Allah), maka sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji. (QS Ibrahim [14]:8)
Berkaitan dengan asas ketakbutuhan Allah, manusia harus mengetahui bahwa Dia tidak memerlukan keimanan kita atau ibadah atau ketaatan kita. Pabila Dia meminta keimanan, ibadah, dan ketaatan kita, maka sesungguhnya itu untuk kepentingan kita sendiri, bukan untuk-Nya.
Sekiranya seluruh alam semesta menjadi kafir dan tidak beriman, kemuliaan-Nya tidaklah runtuh.
Allah: Tidak Butuh Bantuan
Sejak masa gerakan Islam mencapai suatu tahapan penyempurnaannya, adalah penting bagi kaum Muslim untuk mengorbankan kehidupan mereka sendiri untuk menjaga Islam. Dan setiap kali ia menjadi tak terelakkan, mereka harus menghabiskan simpanan mereka, dan mengorbankan nyawa mereka dijalan Allah. Dalam hal ini, kaum kafir dan munafik mulai bikin rumor bahwasanya Tuhannya Muhammad itu miskin dan membutuhkan bantuan keuangan kita. Sebaliknya, Dia telah mengatakan kepada Nabi-Nya secara langsung:
Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan orang- orang yang menyatakan, “Sesungguhnya Allah miskin dan kami kaya.” Kami akan catat perkataan mereka itu dan perbuatan mereka membunuh nabi-nabi tanpa alasan yang benar; dan Kami akan mengatakan (kepada mereka), “Rasakanlah olehmu azab yang membakar.” (QS Ali Imrân [3]:181)
Ayat ini secara jelas menyatakan bahwa penilaian ini berasal dari kaum Yahudi, lantaran kejahatan besar berupa membunuh para nabi yang telah dirujukkan dalam ayat lain dalam al-Quran yang juga mengingatkan masa lalu mereka.
Dalam ayat berikut noktah ini telah diajukan dalam konteks bangsa Yahudi:
Orang-orang Yahudi berkata, “Tangan Allah terbelenggu“, sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua-dua Tangan Allah terbuka. Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki. (QS al-Mâidah [5]:64)
Melalui peracunan semacam itu, mereka berusaha untuk menggoyahkan bantuan keuangan orang-orang kepada gerakan Islam, dan, dengan demikian, menurunkan kecepatan, secara menakjubkan, ekspansi Islam. Al-Quran mengingatkan kaum Muslimin bahwasanya Allah yang mereka sembah tidak butuh kekayaan sedikit pun. Apabila Dia memintamu untuk menafkahkan hartamu di jalan kebenaran, hal itu untuk kemuliaan engkau sendiri dan untuk mencegah bahaya apapun dengan menjatuhkan dan membinasakan dirimu sendiri.
Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS al-Baqarah [2]:195)
Pabila seseorang menolak menaati titah-titah Tuhan dan mencegah dari menafkahkan harta di jalan Allah, siapapun dengan mudah menipu dirinya sendiri karena Allah tidak butuh satu bagian pun dari kekayaan seseorang.
Ingatlah kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) di jalan Allah. Maka di antara kamu ada orang yang kikir; dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah Yang Mahakaya sedangkan kamulah orang-orang yang membutuhkan-(Nya); dan jika kamu berpaling, niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu (ini). (QS Muhammad [47]:38)
Allah: Di Atas Setiap Kebutuhan Pengorbanan Kita
Pandangan umum para penyembah berhala dalam hal pengorbanan berkaitan dengan penawaran mereka akan makanan yang lezat kepada dewa-dewa dan, dengan demikian, memenangkan kesenangan dan selera mereka. Kadang-kadang dengan tujuan yang sama mereka mengorbankan hewan-hewan dan menyerahkan bangkai-bangkainya kepada penjaga kuil, berharap bahwa mereka akan memberi makan mereka kepada para dewa. Namun al-Quran menyeru manusia untuk menyembah satu Tuhan yang tidak membutuhkan apapun, baik sandang inaupun pangan. Maka untuk apakah pengorbanan dalam Islam? Al-Quran menjawab pertanyaan ini sebagai berikut:
Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syi’ar Allah, kamu beroleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta- minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah- mudahan kamu bersyukur;
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya mengagungkan Allah terhadap hidayat-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS al-Hajj [22]:36, 37)
Allah Tidak Membutuhkan Perang Suci Kita
Perintah untuk berjihad dan mengorbankan nyawa bukanlah karena Allah membutuhkan bantuan kita atau tidak bisa menyebarkan Kebenaran dan Keadilan tanpa jihad kita.
Tidaklah demikian. Dia Mahakuasa dan bebas dari setiap jenis kelemahan, ketakmampuan, dan kebutuhan. Jika Dia meminta kita untuk melakukan jihad melawan penindasan, kejahatan, dan segala keburukan lainnya, adalah karena dalam langkah perjuangan semacam itu kita bisa mengembangkan diri kita sendiri dan mencapai kesempurnaan insan paling tinggi.
Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam (QS al-Ankabût [29]:6)
Ketidakbutuhan Mutlak dari Allah
Ringkasnya, adalah kalian yang membutuhkan Allah. Dia tidak membutuhkan sesuatu pun dari kita.
Hai manusia, kalianlah yang membutuhkan Allah; dan Allah Dialah Yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. (QS al-Fâthir [35]:15)
Allah Melampaui Ruang dan Waktu
Arti bebas dari “kemiskinan dan kebutuhan”, Allah pasti melampaui/tidak terperangkap ruang dan waktu. Karena, apapun yang terhampar dalam ruang berarti membutuhkan ruang tersebut; dan apapun yang termuat dalam waktu harus dianggap sebagai wujud yang hanya termuat dalam suatu kondisi tertentu.
Apakah Allah di Dalam Surga?
Ketika kita mengatakan Allah melampaui wujud di dalam ruang dan waktu, ini berimplikasi bahwa ruang—bumi, surga, atau kawasan Empyrean [92] —tidak bermakna bagi-Nya. Dia ada sebelum penciptaan segala sesuatu. Oleh sebab itu, bagaimana mungkin menyebut semua penciptaan ini sebagai ruang dan bagian-Nya? Meskipun dalam pandangan sebagian besar orang terdapat hubungan yang istimewa antara Allah dan surga sehingga mereka mencari-Nya di surga. Pada saat shalat dan munajat, mereka melakukan pandangan mereka dan mengangkat tangan mereka ke arah langit, seolah-olah Allah di langit. Bahkan kaum kafir menganggap tempat-Nya ada di langit.
Al-Quran meriwayatkan kisah Fir’aun yang menantang Nabi Musa as dan berkata:
Dan berkata Fir’aun, “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat, kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta. (QS al-Qashash [28]:38)
Fir’aun mengira Allah ada di langit sehingga untuk mengetahui apakah khutbah Nabi Musa as itu benar ataukah salah dan juga untuk mengetahui apakah Tuhannya Musa ada di sana ataukah tidak, ia harus mencoba sampai ke langit. Tapi, bagaimana caranya pergi ke langit? Satu-satunya jalan keluar ditemukan dalam imajinasi Fir’aun adalah memesan pembangunan tempat yang sangat tinggi sehingga dari atapnya ia bisa melihat langit. Ia berharap bisa membangun jalan menuju langit dari sebuah istana yang lebih tinggi dari piramida dan kuil matahari Mesir.
Dan berkatalah Fir’aun, “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu- pintu. (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta.” Demikianlah dijadikan Fir’aun memandang baik perbuatan yang buruk itu, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar); dan tipu daya Fir’aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian. (QS al-Mu’min [40]:36-37)
Catatan Konsep Ini dalam Kitab-kitab Suci Selain Islam
Dalam Upanishad
Ajaran pokok Hinduisme didasarkan pada panteisme, bahwa langit dan bumi, tinggi dan rendah, serta manusia dan alam, semuanya menunjukkan kesatuan dalam keragaman dan keragaman dalam kesatuan. Hinduisme tidak menerima konsepsi bahwasanya alam terpisah dari Tuhan dalam bentuk Pencipta (Khaliq) dan ciptaan (makhluq). Meskipun demikian, kita menjumpai dalam Upanishad —yang tergolong sebagai salah satu kitab suci :Hinduisme— pasase-pasase tertentu yang memerikan langit sebagai alam Brahma, apartemen emas ketuhanan dan lain-lain, dan dikatakan bahwa jiwa manusia setelah disucikan dari semua ketaksucian dan mencapai kesempurnaan, sampai ke langit dan bersatu dengan Brahma atau malah menjadi Brahma.
3. “Sesungguhnya tempat duduk diri adalah hati...sesungguhnya yang secara bertahap sampai ke realisasi ini naik ke alam langit.”
4. “Kini diri yang bercahaya dan tenang ini meninggalkan lubuk dengan segera dan mencapai kehidupan sublim; dengan demikian tampaknya ini bentuk nyatanya. Inilah apa yang disebut dengan diri. Ia abadi. Ialah Brahma.”
5. “Sesungguhnya ada tiga suku kata: Sat-ti-yam. “Sat” berarti wujud yang abadi; “ti” berarti mati; “yam” menggabungkan dan menyatukan keduanya, yang merupakan alasan ia disebut “yam” hari demi hari, sesungguhnya orang yang menyadari hat ini, sampai pada alam langit.” [93]
2. “...Semua kejahatan dipalingkan dari sana, karena alam Brahma bebas dari kejahatan.” [94]
3. “Akan tetapi hanya orang-orang itu yang akan punya akses ke alam Brahma yang telah menghidupkan kehidupan saleh dari seorang pencari ilmu-ilmu agama; hanya mereka yang akan mencapai alam Brahma. Mereka akan menikmati kebebasan (akan menikmati kebebasan mutlak) tak terbatas di semua alam.” [95]
“Sesungguhnya ada dua penghuni di alam Brahma yang berada di langit ketiga dan mereka itu adalah Aya dan Nya. Ada sebuah danau bernama Airamadya yang darinya terpancar rahmat dan kebahagiaan. Di sini ada pohon ara bernama Samasavana yang menghasilkan buah ara. Di sini ada benteng bernama Aparjitah; dan ada apartemen emas Tuhan.”
“Namun hanya mereka yang hidup dalam kehidupan saleh dari seorang penuntut ilmu-ilmu agama yang bisa menemukan dua orang penghuninya (Aya, Nya). Hanya dua oknum ini yang bisa memiliki alam Brahma. Mereka menikmati kebebasan tak terbatas di semua dunia.” [96]
Dalam Avesta
Dalam Avesta juga terdapat rujukan umum ke alam langit (jahan-e minawi). Kita mendapatkan karakter-karakter tertentu dari alam langit di dalam Avesta yang diuraikan melalui frase-frase seperti alam langit yang merupakan tempat kediaman Tuhan dan para malaikat pilihan-Nya.
Wahai Ahura, aku meminta kepadamu katakanlah kepadaku: Apakah aku yang menyucikan orang-orang bajik dari dosa dan membimbing mereka ke jalan yang lempang akan bisa —dengan izin Tuhan alam langit— memberi orang-orang ini kabar gembira bahwasanya mereka diizinkan untuk menempati rumah dimana wujud sepertimu, wahai Mazda, dengan Urdibehisth dan Bahman ada dalam tidur yang panjang?” [97]
Alam langit adalah alam yang berlawanan dengan alam fisik (the corporeal world).
Wahai Ahura Mazda! Limpahkan kepadaku rahmat Urdibehisth yang membebaskan orang-orang baik dan bijak, kesejahteraan di dunia alam, dunia dan akhirat; aku, bersama karakter baik, mendekatimu. [98]
Alam langit adalah alam Ahura Mazda yang diciptakan untuk mempahalai mereka yang berbuat kebajikan..
Para penyembah setan akan dihukum. Mintalah kepada Bahman agar dia membuka pintu-pintu alam langit yang abadi bagi mereka yang telah berjuang untuk menghapus kebatilan dan kejahatan serta mencari kejayaan kemenangan dan kebaikan. [99]
Alam langit adalah alam yang sama yang dinamai dalam bahasa Persia setelah Asman, [100] ruh pengawas alam langit.
Aku memuji Asman (langit) cahaya, suatu tempat yang lebih cocok bagi orang-orang bajik (behisth), tempat yang mengalirkan kebahagiaan; aku memuji Asmân. [101]
Perintah Ahura Mazda adalah berwatak Tuhan, yakni mereka diturunkan dari Asmân:
Jika wahai Izad (Tuhan), engkau tidak terhalang dari membantu dan memberi perlindungan kepada kami, dan dengan bantuan Urdibehisth, kami mendapatkan manfaatkan melalui pengaturan dan kekuasaan sfera langit, aku bisa berdiri bersama para pengikutku yang mendengarkan perintah langit dan bisa berperang melawan mereka semua yang kafir dan menghinakan hukummu dan bisa menjadikan usaha mengeliminasi mereka. [102]
Langit memberi rezeki kepada bumi:
Wahai Ahura! Aku meminta kepadamu, katakan kepadaku siapa yang memberi rezeki kepada langit di tempat mereka sehingga siang tidak jatuh. (23, 24). [103]
Rezeki ini melalui bantuan Farvahr, Yang Mahakuasa lagi Mahabaik.
Ahura Mazda berkata yang di alamatkan ke Septiman Zarduhst:
“Wahai Septiman! Sesungguhnya Aku menjadikanmu sadar akan kebesaran, kekuasaan, bantuan, dan dukungan atas kekuasaan, kebijakan, dan kebajikan Farvahrs, dan mengatakan kepadamu bagaimana keberhasilan dan kebaikan Foroheres yang buru-buru membantu dan mendukungku.” [104]
“Wahai Zahrdust! Adalah karena kekuasaan dan kebesaran mereka Aku memberi rezeki-rezeki kepada langit-langit tinggi sehingga dari ketinggian mereka mereka jatuh dan menyelimuti bumi dan semuanya itu menyerahkan diri kepadanya. Langit-langit yang ditegakkan oleh ruh-ruh angkasa dan yang stabil dan tersebar dari horizon ke horizon, laksana logam yang terang dan membentuk yang bisa dilihat di sfera langit ketiga di atas bumi. Langit yang seperti anyaman pabrik dengan bintang-bintang menghiasi di dalamnya Mazda, Mehr; Shan, dan Sepandarmedh. Langit yang awal dan akhirnya tidak bisa dimusnahkan.” [105]
Dalam Taurat (Perjanjian Lama)
Dalam Perjanjian Lama pun kita jumpai penafsiran yang sama mengenai langit yang merupakan singgasana Tuhan sebagai berikut:
Gunung Sinai ditutupi ditutupi seluruhnya dengan asap, karena TUHAN turun ke atasnya dalam api; asapnya membubung seperti asap dari dapur; dan seluruh gunung itu gemetar sangat. Bunyi sangkakala kian lama kian keras. Berbicaralah Musa, lalu Allah menjawabnya dalam guruh. Lalu turunlah TUHAN ke atas gunung Sinai, ke atas puncak gunung itu, maka TUHAN memanggil Musa ke puncak gunung itu, dan naiklah Musa ke atas.
Kemudian TUHAN berfirman kepada Musa: “Turunlah, peringatkanlah kepada bangsa itu, supaya mereka jangan menembus mendapatkan TUHAN hendak melihat-lihat; sebab tentulah banyak dari mereka akan binasa. Juga para imam yang datang mendekat kepada TUHAN haruslah menguduskan dirinya supaya TUHAN jangan melanda mereka.” Lalu berkatalah Musa kepada TUHAN: “Tidak akan mungkin bangsa itu mendekati gunung Sinai ini, sebab Engkau sendiri telah memperingatkan kepada kami, demikian: Pasanglah batas sekeliling gunung itu dan nyatakanlah itu kudus.” Lalu TUHAN berfirman kepadanya: “Pergilah, turunlah, kemudian naiklah pula, engkau beserta Harun; tetapi para imam dan rakyat tidak boleh menembus untuk mendaki menghadap TUHAN, supaya mereka jangan dilanda-Nya.” [106]
Berfirmanlah Ia kepada Musa: “Naiklah menghadap TUHAN, engkau dan Harun, Nadab, dan Abihu dan tujuh puluh orang dari para tua-tua Israel dan sujudlah kamu menyembah dari jauh. Hanya Musa sendirilah yang mendekat kepada TUHAN, tetapi mereka itu tidak boleh mendekat, dan bangsa itu tidak boleh naik bersama-sama dengan dia.” [107]
Dan naiklah Musa dengan Harun, Nadab dan Abihu dan tujuh puluh orang dari para tua-tua Israel. Lalu mereka melihat Allah Israel; kaki-Nya berjejak pada sesuatu yang buatannya seperti lantai dari batu nilam dan yang terangnya seperti langit yang cerah. Tetapi kepada pemuka-pemuka orang Israel itu tidaklah diulurkan-Nya tangan-Nya; mereka memandang Allah, lalu makan dan minum. TUHAN berfirman kepada Musa: “Naiklah menghadap Aku, ke atas gunung, dan tinggallah di sana, maka Aku akan memberikan kepadamu loh batu, yakni hukum dan perintah, yang telah Kutuliskan untuk diajarkan kepada mereka.” [108]
Disebutkan dalam banyak kesempatan setiap kali Tuhan mempunyai beberapa pekerjaan, Dia biasa naik dan turun (langit):
Sesudah itu berfirmanlah TUHAN: “Sesungguhnya banyak keluh kesah orang tentang Sodom dan Gomorah dan sesungguhnya sangat berat dosanya. Baiklah Aku turun untuk melihat, apakah benar-benar mereka telah berkelakuan seperti keluh kesah orang yang telah sampai kepada-Ku atau tidak; aku hendak mengetahuinya.” Lalu berpalinglah orang-orang dari situ dan berjalan ke Sodom, tetapi Abraham masih tetap berdiri di hadapan TUHAN. Abraham datang mendekat dan berkata: “Apakah Engkau akan melenyapkan orang benar bersama-sama dengan orang fasik?” [109]
Setelah melakukan pekerjaan itu Dia pun naik:
Setelah selesai berfirman kepada Abraham, naiklah Allah meninggalkan Abraham. [110]
Lalu naiklah Allah meninggalkan Yakub dari tempat la berfirman kepadanya. [111]
Karena singgasana-Nya ada di dalam surga:
Maka Engkau pun kiranya mendengarkannya di sorga, tempat kediaman-Mu yang tetap, dan Engkau kiranya mengampuni, bertindak, dan membalaskan kepada setiap orang sesuai dengan segala kelakuannya, karena Engkau mengenal hatinya—sebab Engkau sajalah yang mengenal hati semua anak manusia.
Dalam Injil
Tuhan di dalam Injil disebut berkali-kali sebagai “bapakmu yang ada di dalam surga.”
Kamu telah mendengar firman: “Kasihilah sesamamu dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu di sorga....Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.” [112]
“Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat oleh mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga...Karena itu berdoalah demikian: Bapa kami yang di sorga, dikuduskan nama-Mu, datanglah kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga. Berilah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya. Dan ampunilah kami akan kesalahan... [113]
Dalam Injil juga “surga” merupakan kerajaan Tuhan dan tempat akhir yang akan dituju manusia.
Berbahagialah orang yang dianiaya
Oleh sebab kebenaran
Karena merekalah yang empunya
Kerajaan Sorga. [114]
Allah dan Langit dalam al-Quran
Dalam al-Quran Allah telah dimaksudkan sebagai “Zat yang ada di langit.”
Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang? Atau, apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku. (QS al-Mulk [67]:16-17)
Kita menemukan di dalam al-Quran sejumlah isu lain yang mempunyai hubungan yang dekat dengan isu ini.
Turunnya Wahyu dari Langit
Al-Quran mengatakan bahwa Allah “menurunkan wahyu” (dari langit). Jadi wahyu turun dari atas: Dialah yang menurunkan al-Kitab (al-Quran) kepada kamu. (QS Ali Imran [3]:67)
Darimanakah wahyu itu turun? Dari langit. Itulah mengapa jin-jin menyembunyikan diri mereka sendiri untuk mencuri dengar sesuatu dari langit.
Dan sesungguhnya kami telah mencoba mengetahui (rahasia) langit, maka kami mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api. Dan sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengar-dengarkan (berita- beritanya). Tetapi sekarang barangsiapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan seperti itu, tentu akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya). (QS al- Jinn [72]:8-9).
Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang, [115] dan telah memeliharanya (sebenar-benarnya) dari setiap setan yang sangat durhaka, setan-setan itu tidak dapat mendengar- dengarkan (pembicaraan) para malaikat dan mereka dilempari dari segala penjuru. Untuk mengusir mereka dan bagi mereka siksaan yang kekal, akan tetapi barangsiapa (di antara mereka) yang mencuri-curi (pembicaraan); maka ia dikejar oleh suluh api yang cemerlang. (QS ash-Shaffat [37]:6-10)
Mikraj
Para malaikat dan nabi bermikraj kepada Allah.
Seorang peminta telah meminta kedatangan azab yang bakal terjadi, untuk orang-orang kafir; yang tidak ada seorang pun dapat menolaknya, (yang datang) dari Allah, yang mempunyai tempat-tempat naik. Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.(QS al-Ma’ârij [70]:1-4)
Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka apakah kamu (musyrikin) Makkah hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya. Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratul Muntaha. [116] Di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jbril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhan—nya yang paling besar. (QS an-Najm [53]:11-18)
Menurut riwayat, mikrajnya Nabi acap kali disebut sebagai sejenis perjalanan ke langit.
Singgasana
Al-Quran mengingatkan manusia berkali-kali ihwal singgasana Tuhan.
Dia adalah Tuhan yang memiliki Arasy yang agung. (QS at-Taubah [9]:129)
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arasy (berkuasa) untuk mengatur segala urusan. (QS Yunus [10]:3)
Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah Arasy-Nya (Singgasana-Nya) di atas air...(QS Hûd [11]:7)
Katakanlah: “Siapakah yang empunya langit yang tujuh dan yang empunya Arasy yang besar.” (QS al-Mukminûn [23]:86)
Maka Mahatinggi Allah, Raja yang sebenarnya; tidak ada tuhan selain Dia, Tuhan (yang mempunyai) Arasy yang mulia. (QS al-Mukminûn [23]:116)
Allah, tiada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Dia, Tuhan yang mempunyai Arasy yang besar. (QS an-Naml [27]:26)
Ayat al-A’râf [7]:54; Thâhâ [20]:5; as-Sajdah [32]:4; al-Hadîd [57]:4 ada dalam hal ini.
(Malaikat-malaikat) yang memikul ‘Arasy dan malaikat- malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya. (QS al-Mukmin [40]:7)
...Dan pada hari itu delapan malaikat menjunjung Arasy Thanmu di atas (kepala) mereka. (QS al-Haqqah [69]:17)
Dan kamu (Muhammad) akan melihat malaikat-malaikat berlingkar di sekeliling Arasy ...(QS az-Zumar [39]:75)
Apakah Arasy Allah Itu dan Di Manakah Ia?
Selain ayat-ayat di atas yang menyangkut Arasy Allah, istilah “Arasy” telah digunakan dalam ayat-ayat lain juga:
Dan ia menaikkan kedua ibu-bapaknya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya bersujud...(QS Yusuf [12]:110)
Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugrahi segala Sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. (QS an-Naml [27]:23)
Dalam dua ayat ini dan ayat-ayat sejenis lainnya seperti an-Naml: 26, 38, 41, 42, istilah singgasana (arasy) digunakan dalam makna umumnya yakni sebuah kursi di mana para penguasa duduk dan memberi perintah kepada para agen mereka yang mengitarinya atau di bawah singgasana untuk menindaklanjuti perintah-perintah mereka (para penguasa).
Apakah ayat tentang singgasana Allah mengimplikasikan bahwa Allah duduk seperti para raja dunia, dan menurunkan perintah dari tempat duduk-Nya, dengan satu-satunya perbedaan bahwa singgasana-Nya amatlah besar sehingga mampu menampung kebesaran dan keagungan-Nya?
Dalam kitab Injil, “singgasana” telah dirujukkan kepada hal ini:
Tetapi Aku berkata kepadamu: Jangan sekali-kali bersumpah, baik demi langit, karena langit adalah takhta Allah, maupun demi bumi, karena bumi adalah tumpuan kaki-Nya. [117]
Jika kita berusaha menangkap sebuah citra mental Tuhan dari frase yang disebutkan di atas di dalam Injil, kita melihat-Nya dalam sosok raksasa yang luar biasa besarnya yang kakinya, ketika ia duduk di langit, menahan bumi. Namun pertanyaan yang muncul adalah: apabila seorang pembaca Injil membaca ayat yang disebutkan di atas (dari Matius 5), benar-benar berpikir demikian, atau mengambil metafora atau simbol yang mengimplikasikan bahwa otoritas dan kekuasaan Tuhan meliputi semua langit dan bumi sebagaimana telah dilakukan oleh al-Quran: Kursi Allah meliputi langit dan bumi ...(QS al-Baqarah [2]:255). Kursi (Singgasana) merupakan bentuk lain dari ‘Arasy (Singgasana) yang sama.
Jika yang dimaksudkan kursi adalah arasy dan kursi adalah “kursi” yang ditempatkan di atas singgasana untuk penguasa yang duduk di atasnya, dengan para menteri dan punggawanya duduk atau berdiri di lantainya dan para pengunjung membungkuk di dekatnya (Allah akan tampak seperti seorang penguasa dunia yang besar). Tidak demikian. Ayat ini berarti bahwa seluruh alam semesta di bawah kekuasaan Tuhan.
Oleh sebab itu, istilah Arasy merupakan suatu metafor bagi kedaulatan mutlak dan kekuasaan Tuhan. [118] Al-Quran berfirman dalam surah al-A’raf [7]:11 (?): “Singgasana Allah di atas air sebelum penciptaan langit dan bumi.” Sebuah singgasana atau kursi tidak berdiri di atas air kecuali jika ia dalam bentuk sebuah perahu atau rakit. Ayat ini, dengan demikian, berarti bahwa langit dan bumi belumlah diciptakan dan alam semesta semuanya air. Allah memerintah tidak lain hanya di atas air. [119] Akan tetapi, setelah penciptaan langit dan bumi, pusat perintah Allah bergeser ke langit yang darinya Allah menjalankan kekuasaan-Nya pada langit dan bumi.
Dalam kebanyakan ayat al-Quran mengenai ‘Arasy Allah, kita harus —demi kemudahan kita— menerima pengertian ini, untuk istilah tersebut. Namun dalam kasus dua ayat berikut, yakni Muhammad [47]:7 dan al-Haqqah [69]:17, pengertian ini tidak diizinkan secara langsung, karena kita bisa menafsirkan dua ayat tersebut sebagai berikut:
Singgasana Allah ada dalam keadaan yang bisa dilihat dan bisa dipindahkan, karena pada Hari Kebangkitan, ia akan dipikul di atas kepala-kepala pengusung. Dengan demikian, sebagian Muslim menganggap Arasy Allah sebagai sebuah singgasana yang berharga yang ditata pada titik pusat tertinggi dari langit. Singgasana ini tersusun dari bahan-bahan dan permata-permata yang paling berharga, [120] dan pada masing-masing kakinya beberapa teks dilampirkan.
Tak syak lagi, para ulama Muslim dari sejak pagi-pagi telah mempercayai bahwa konsepsi telanjang semacam itu tidak selaras dengan kedudukan mulia Tuhan yang diperkenalkan al-Quran sebagai Wujud yang terbebas dari segenap kebebasan. Akan tetapi, bagaimanapun, menurut dua ayat di atas, singgasana (‘arasy) hanyalah sebuah ungkapan simbolis dari ketakterbatasan. Jadi, pertanyaan ini tetap tak terjawab, yakni apakah ‘arasy Allah itu dan dimanakah ia?
Pusat Perintah di Alam
Sebuah jawaban pasti dan jelas untuk pertanyaan “apakah singgasana Allah itu dan di manakah ia”, bukanlah tugas yang sulit. Jawaban paling jelas dan pasti untuk pertanyaan ini harus dicari dari kata “wahyu” (revelation). Namun sebagaimana telah kami katakan kita tidak bisa mendapatkan sesuatupun di balik butir ini bahwa: “Singgasana Allah adalah fakta yang bisa dilihat yang darinya Allah mengatur dunia, dan bahwa ia dipikul oleh sekelompok malaikat.” [121]
Mengandaikan jawaban jernih dan pasti untuk pertanyaan-pertanyaan semacam itu dari sumber sembarang selain “wahyu” akan sia-sia. Pengetahuan apapun tentang masalah ini: “Apakakah singgasana Allah dan di manakah ia” bukanlah ranah sains empiris ataupun ranah filsafat spekulatif. Sekarang, filsafat empiris dari banyak titik di bidang sains alam meminta kita memahami sesuatu secara imajinatif sebagaimana al-Quran tawarkan kepada kita tanda-tanda untuk visualisasi ‘Arasy.
Di dalam atom, proton diberi peranan penting di inti atom. Dalam sistem tata surya matahari merupakan pusat perintah dan sumber cahaya, panas, gas, dan pelbagai gelombang yang memudahkan wujud-wujud unsur-unsur lain di dalam sistem ini memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka dan seterusnya.
Pusat Perintah Tertinggi di Alam
Jika ada sistem sentral semacam itu dalam semua sistem tata surya yang mengandung galaksi-galaksi dan awan-awan, maka seluruh kosmos secara otomatis berada di bawah satu komando sentral tertinggi dimana semua perintah lain pada akhirnya berujung. [122] Misalnya, otak merupakan pusat perintah tertinggi pada manusia, dan semua perintah sekunder dan tersier yang keluar dari jaringan syaraf tulang belakang atau jantung dan lain-lain semula memancar dari otak.
Pusat perintah tertinggi ini, diasumsikan untuk seluruh alam, merupakan fakta konkret bahwa yang ada di langit pun bisa dipindahkan, memiliki hubungan istimewa antara dia sendiri dan Allah. Semua perintah Allah ke alam semesta mengalir dari pusat itu tanpa perlu mengandaikan ruang apapun bagi Tuhan. Sebagaimana sebagian orang berpendapat bahwa jiwa terpisah dari tubuh dan masih terkait dengan tubuh.
Pusat Perintah Tertinggi di Semua Wujud
Apabila kita menjadikan kosmos lebih besar ketimbang dunia fisik, maka adanya suatu argumen mengenai pusat tertinggi lainnya dengan sendirinya menjadi relevan. Pusat besar ini mengatur alam fisik dengan sendirinya. Dengan kata lain, alam fisik tersubordinasi pada pusat tertinggi tersebut. Dan, sesungguhnya apabila pengertian ‘Arasy dimaknai secara harfiah sebagai singgasana yang diperkaya dengan permata-permata yang di atasnya Allah bersemayam, itu tidak menurunkan pengertian metaforis apapun dari makna ‘Arasy sebagai kekuasaan-Nya. Kita bisa temukan semua sifat ‘Arasy di pusat tertinggi itu sebagaimana ditunjukkan dalam al-Quran. Dalam tradisi mistik Islam pun kita menemukan sejumlah penafsiran tentang ‘Arasy sebagai sebuah fakta yang solid. Dalam kata pengantar untuk Syarh-e Fushûs-e Qaisari, Qaisari mengatakan:
...Arasy merupakan manifestasi dari nama Yang Mahakasih dan Kursi (Singgasana) merupakan manifestasi dari Yang Maha penyayang... [123]
Hadis-hadis Islam pun secara umum menganggap ‘Arasy sebagai suatu fakta samawi yang konkret.
Doa dan Langit
Menyangkut gambaran yang diasumsikan sebelumnya ihwal ‘Arasy dengan menengadahkan tangan ke arah langit ketika berdoa, atau memandang ke arah langit ketika merenungkan Allah, menjadi mudah dipahami. Karena, langit tentunya merupakan lanskap keindahan, penuh rahmat Tuhan, dan tanda-tanda keagungan, kekuatan, kebijaksanaan, dan pengetahuan-Nya.
Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhan-nya yang paling besar (QS an-Najm [53]:11-18)
Ia merupakan tempat yang darinya berbagai rahmat Tuhan seperti air, udara, gas-gas bermanfaat, panas, cahaya, dan ratusan materi bermanfaat lainnya tergantung di atas bumi dan penduduknya.
Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu. (QS adz-Dzâriyat [51]:22)
Oleh sebab itu, memusatkan perhatian kepadanya (langit) dan mengangkat tangan dalam berdoa ke arahnya, bahkan tanpa meyakini bahwa tempat Tuhan terletak di sana membantu dalam pengabulannya (oleh Allah).
Naiknya para malaikat atau nabi terletak dalam bentuk naik ke langit menuju pusat perintah Allah tertinggi, bukan untuk melihat-Nya atau menemui-Nya secara bersimuka. Akan tetapi, sesungguhnya untuk menyaksikan tanda-tanda keagungan-Nya yang memantulkan sifat-sifat ketuhanan.
Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhan-nya yang paling besar (QS an-Najm [53]:11-18)
Dalam penafsiran ayat 12 surat an-Najm, Thabarsi menulis sebagai berikut:
...Dan Abi al-Aliyah mencatat: Nabi Allah saw ditanya mengenai apakah ia melihat Allah di malam mikraj. Nabi saw menjawab, “Aku melihat sebuah sungai, kemudian tabirnya pada belakangnya, di batik tabir adalah sebuah keadaan cemerlang. Aku tidak melihat keadaan apapun lagi.”
Abathar dan Abi Sa’id al-Khudri juga berkata: Nabi saw ditanya mengenai firman Tuhan: “Hati ...melihat”. Dan beliau menjawab, “Aku hanya melihat seberkas cahaya.”
Namun Syabi memjuk ke ‘Abdullah bin Haris dan Ibn ‘Abbas, yang telah berkata, “Muhammad saw benar-benar melihat Tuhannya”. Kemudian ia merujuk ke Masruq yang telah meriwayatkan kepadanya percakapannya dengan ‘A’isyah.
Masruq telah bertanya setara langsung kepada ‘A’isyah menyangkut masalah ini, ‘A’isyah berkata kepadanya bahwa pertanyaannya membuat rambutnya berdiri. Masruq meminta kepadanya untuk menunggu sejenak dan membaca “wa an- najm...(demi bintang), ‘A’isyah kemudian berkata kepadanya untuk berhenti sejenak dan tidak membiarkan pemikiran Masruq mengembara. Nabi saw melihat Malaikat Jibril as dengan rupanya yang asli. Namun barangsiapa mengatakan bahwa Nabi saw telah melihat Allah, ia adalah pendusta. Allah Ta’ala mengatakan bahwa mata tidak mampu meliputi-Nya, namun Dia bisa memasuki mata... [124]
Sesungguhnya wahyu bisa turun dari langit ke bumi, karena penerima wahyu adalah Nabi saw. Pada akhirnya, dia adalah makhluk duniawi yang ditempatkan di bumi. Oleh sebab itu, baik ia mendengar wahyu Ilahi sebagai suara ataupun melihat dan membacanya dalam bentuk teks tertulis, Nabi menerima pesan itu dalam hatinya sebagai gejala spontan. Jadi, wahyu dalam bentuk ini bisa diturunkan dari langit (penurunan). Sementara itu, untuk mencari tahu wahyu diturunkan kepada Nabi, para jin secara diam-diam menyembunyikan diri di langit. Dalam hal ini, ayat-ayat al-Quran mengenai bagian ini bisa dengan mudah dipahami dan diterima tanpa menafsirkan konsep-konsep “penurunan”, “langit” dan kisah jin yang bersembunyi di langit. Sedemikian banyak penafsiran kitab suci yang digunakan sebagai kitab-kitab wahyu ilahi bisa diakui tanpa memerlukan interpretasi mereka.
Apakah Allah Mahahadir?
Dari sejumlah ayat dalam al-Quran dan perdebatan agama, kita menarik konsep tersebut sebagai Allah tidak di mana-mana melainkan di mana-mana. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada... (QS al-Hadid [57]:4)
Sekelompok orang meriwayatkan ayat ini dengan gagasan sebagai berikut: “Allah di mana-mana”. Namun pemahaman yang lebih jeluk tentang al-Quran akan menunjukkan bahwa hal itu tidak demikian. Ada frase-frase tertentu dalam al-Quran yang menunjukkan bahwa Allah bersama orang-orang bajik, Allah bersama orang-orang yang sabar dan seterusnya.
Namun dalam setiap frase ini “Allah bersama...” digunakan untuk pengungkapan makna-makna tertentu. Dalam ayat al-Mâidah [5]:12; al-Anfâl [8]:12; Thâhâ [20]:46; Muhammad [47]:35; an-Nahl [16]:128; at-Taubah [9]:36, 40, ditunjukkan bahwasanya Allah merupakan penolong para pelaku kebaikan, orang yang bertakwa, sabar, dan kaum beriman.
Surah an-Nisâ’ [4]:108; al-Mujâdilah [58]:7 menjelaskan bahwasanya Allah mengetahui segala sesuatu dan tidak sesuatu pun yang luput dari perhatian-Nya.
Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan. (QS an-Nisâ’ [4]:108)
Perhatian yang dalam pada ayat di bawah ini juga menunjukkan bahwa pengertian semacam itu sejalan dengan ayat di atas:
Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; kemudian Dia bersemayam di alas ‘Arasy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS al-Hadid [57]:4)
Akan tetapi dalam sejarah pemikiran Muslim kita menemukan kelompok atau orang tertentu yang menghubungkan ayat ini ke segala sesuatu lainnya. [125] Hadis panteistik dari aliran tasawuf mencoba membenarkan pandangannya dengan mengutip ayat berikut:
Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS al-Hadîd [57]:4)
Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya...(QS al-Anfâl [8]: 24)
Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya (QS Qaf [50]:16)
...maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah (QS al-Baqarah [2]:115)
Mereka mendakwa bahwa al-Quran pun mendukung keyakinan mereka akan imanensi Tuhan, dan dengan cara ini Allah merupakan seluruh alam semesta ini, dan bahwa setiap objek merupakan bagian dari-Nya. [126] Namun sebuah wawasan yang lebih dalam kepada ayat ini, ayat sebelum dan sesudahnya, menunjukkan bahwa sama sekali tidak satu pun dari ayat-ayat ini yang mengacu pada imamensi Tuhan.
Sesungguhnya, Surah al-Hadîd [57]:4 bertujuan untuk menjamin kaum Muslim sebuah kadar lebih penuh dari bantuan Allah dengan mengatakan bahwa: Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.
Surah al-Anfâl [8]:24 dan Qâf [50]:16 mencoba menekankan pada manusia bahwa Allah mengetahui semua yang tersembunyi maupun yang terbuka, terang-terangan ataupun rahasia. Surah al-Baqarah [2]:115 sesungguhnya menjelaskan kepada kaum Muslimin fakta bahwa Allah pemilik Masjid al-Aqsa sama dengan Allah pemilik Masjid al-Haram dan apabila kiblat (qiblah) Muslimin dipindahkan dari Masjid al-Haram, hal itu untuk menegaskan kemandirian penuh agama Islam, Nabi saw dan kitab sucinya, dan untuk membungkam pihak-pihak yang mengatakan bahwa Nabi saw hanya mengulang tradisi agama Yahudi. Oleh sebab itu, tak satu ayat pun dari ayat- ayat ini yang mendukung panteisme.
Bagaimanapun, apapun yang didiskusikan sebelumnya tentang Allah mengarah kepada pengertian bahwasanya Dia lebih tinggi dari segala sesuatu yang terikat dengan ruang dan waktu. Jadi, Dia tidak di langit atau di bumi ataupun di mana-mana. [127]
Masalah Bisa Dilihatnya Allah
Surah al-An’âm [6]:103 dalam konteks ini menyatakan: Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah yang Mahahalus lagi Maha Mengetahui.
‘Allamah Hilli dalam kitab Kasyf al-Murâd-nya mengatakan:
Keniscayaan Wujud Allah juga mengimplikasikan sebuah penolakan akan kemungkinan bahwasanya Wujud-Nya bisa dilihat. [128]
‘Allamah lebih jauh mengatakan:
Ketahuilah, hampir semua filosof berpandangan bahwa Tuhan tidak bisa dilihat. Mereka yang menyandarkan jisim (jasad) kepada Allah, percaya bahwasanya Allah bisa dilihat. Akan tetapi, seandainya orang ini tidak menganggap Allah sebagai sebuah jasad dan menganggap-Nya sebagai Wujud Abstrak, niscaya mereka tidak menganggap mungkinnya untuk melihat Allah.
Tetapi golongan Asy’ariyah berpendapat sebaliknya dengan pendapat filosof tentang kemungkinan bisa melihat Allah. Mereka mendakwa bahwa meskipun Allah bukan sebuah jisim dan abstrak, Dia masih bisa dilihat. [129]
Asy’ari (h.330) dalam Maqâlat-nya mengatakan:
Mazhab-mazhab tertentu telah mengungkapkan keimanan mereka akan kemungkinan melihat Allah dalam ayat ini dengan sendirinya. Mungkin, Allah sendiri menunjukkan Diri-Nya Sendiri seperti salah satu dari orang yang berpapasan dengan kita di jalan. [130]
Sebagian dari mereka percaya akan kemungkinan Allah merasuk ke dalam materi. Acap kali mereka menyaksikan pria tampan yang bajik, mereka mengira bahwa Allah telah merasuk ke kerangkanya. Kebanyakan orang yang mengklaim bahwa siapapun bisa melihat Allah sekarang ini di dunia dan bahkan mengatakan bahwa berjabat tangan dengan Allah, menyenmh-Nya atau melihat- Nya secara sering adalah hal yang mungkin. [131]
Mereka lebih jauh mengatakan bahwa seseorang yang berhati lurus bisa bertemu dengan Allah di dunia ini dan akhirat kelak. Keyakinan ini telah dirujuk ke sebagian pengikut Misr dan Kahmas.
Ia pun dirujukkan ke ‘Abdul Wahidbin Zaid bahwa kemungkinan bisa melihat Allah berada dalam kadar yang sama dengan kebaikan seseorang. Artinya, semakin seseorang berbuat baik, semakin mungkin dia melihat Allah.
Sebagian pihak lain percaya bahwa kita bisa melihat Allah di dunia ini dalam mimpi namun tidak dalam keadaan terjaga.
Raqabah bin Musqalah telah berkata:
Aku melihat Allah dalam mimpi yang menyatakan bahwa Dia akan memberi kedudukan tinggi kepada Sulaiman Tihi karena dia (Sulaiman) telah melakukan shalat Shubuh dengan wudhu yang sama dimana ia melakukan shalat Isya-nya yang telat selama 40 tahun. Artinya, ia tetap terjaga sepanjang malam dan melanjutkan shalat hingga pagi.
Banyak orang yang tidak percaya klaim bahwa Allah bisa dilihat di dunia ini dan menegaskan: “Allah hanya bisa dilihat di akhirat.” [132]
Di bagian akhir dari jilid pertama buku ini, Asy’ari merumuskan gagasan “para pengikut hadis dan sunnah” sebagai berikut:
Para ahli hadis dan kelompok Sunni mengatakan bahwa Allah bisa dilihat pada hari keputusan seterang bulan purnama, namun hanya oleh orang yang beriman dan bukan oleh orang kafir karena akan tergantung sebuah tabir antara Allah dan orang kafir. Allah Mahabesar berfirman, “(Bukan demikian), yang benar; sesungguhnya Tuhannya selalu melihatnya.” (QS al-Muthaffifîn [83]: 115)
Musa s meminta Allah agar Dia bisa dilihat olehnya sekarang ini di dunia. Namun Allah memperlihatkan keagungan-Nya pada gunung dan menghancurkan-nya untuk menunjukkan bahwa Dia tidak bisa dilihat di dunia ini, tetapi hanya bisa dilihat di akhirat.
Ini merupakan pandangan Asy’ari [dan para pendukungnya, tentunya]. Allamah Hilli mengherani ketika Allah tidak punya jisim menurut Asy’ari, namun Dia bisa dilihat entah di sini (dunia) ataupun di sana (akhirat).
Sebab Kemunculan Keyakinan Ini dan Keyakinan Sejenis di Antara Golongan Muslim
Suatu survei ihwal pilihan dan keyakinan orang-orang ini dan perbandingan mereka dengan yang dimiliki aliran-aliran non-Islam, menunjukkan bahwa mereka telah berada di bawah pengaruh keyakinan dan pemikiran non-Islam ketimbang ajaran Islam dan al-Quran. Hal ini menerangkan alasan mereka terlempar dari jalan nan lempang. Oleh sebab itu, pandangan Abu Hasan al-Asy'’ari sendiri mengenai melihat Allah tidak dipengaruhi oleh pandangan yang lain lantaran ia dan dan para pengikutnya senantiasa menekankan prinsip ini dengan merujuk pada “Kitab Suci” dan “Sunnah” dalam semua sains Islam sehingga mereka berhasil mencegah pengaruh intelektual yang menyimpang dari pihak luar. Kini pertanyaan yang muncul adalah: Faktor apakah yang menyebabkan mereka percaya terhadap mampunya manusia melihat Allah di akhirat? Secara mudah itu bisa dikumpulkan dari tulisan-tulisan mereka sendiri yang dimasukkan ke dalam keyakinan seperti itu yang merupakan potongan-potongan tertentu ayat al-Quran itu sendiri.
Berkali-kali al-Quran menyebut Hari Pengadilan sebagai hari pertemuan dengan Allah.
Dialah yang memberimu rahmat dan malaikat (memohonkan ampunan, untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman. Salam penghormatan kepada mereka (orang-orang mukmin itu) pada hari mereka menemui-Nya ialah “Salam”, dan Dia menyediakan pahala yang mulia bagi mereka. (QS al-Ahzab [33]:43-44)
Banyak ayat al-Quran yang menceritakan pertemuan manusia dengan Allah pada Hari Keputusan seperti Surah al-Baqarah [2]:46, 223, 249; al-An’âm [6]:31, 154; at-Taubah [9]:77; Yûnus [10]:7, 11, 45; Hud [11]: 29; ar-Ra’d [13]:2; al-Kahf [18]:105, 110; al-Furqân [25]:21; al-Ankabût [29]:5, 23; ar-Rûm [30]:8; as-Sajdah [32]:10; al-Insyiqâq [84]:6. Cara menafsirkan ayat inilah yang membikin rancu. Akan tetapi, mereka benar-benar membincangkan pertemuan dengan Allah. Misalnya, dalam Surah al-Insyiqaq [84]:6, al-Quran mengatakan:
Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.
Asy’ari dan kelompoknya mengatakan bahwa istilah “pertemuan” tiada lain bermakna saling berhadapan. Dengan kata lain, “melihat”. Dengan demikian, Hari Pengadilan merupakan hari melihat Allah. Dengan memperluas ayat-ayat khusus berikut, mereka yakin bahwa yang dimaksud dengan “pertemuan” adalah penglihatan nyata.
Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat. (QS al-Qiyâmah [75]:22-23)
Tidak ada penolakan fakta bahwa apabila kita terlalu berkonsentrasi hanya pada ayat-ayat ini, kita pun akan mengira bahwa orang-orang beriman akan melihat Allah secara langsung pada Hari Pengadilan. Akan tetapi, al- Quran pun memuat ayat-ayat lain yang membahas perihal “melihat Allah secara langsung” dengan mengajukan kemustahilannya dalam sebuah cara yang jelas dan khas. [133]
Nyatalah, bahwa untuk mempelajari ajaran al-Quran mengenai isu ini, di tempat pertama ayat-ayat ini harus dipertimbangkan. Dalam ayat ini, tuntutan vulgar semacam ini seperti “kami ingin melihat Allah” diusulkan dan dibantah berkali-kali.
Menurut fakta, pemahaman akan fakta-fakta non-empiris dan keyakinan terhadap eksistensi mereka senantiasa sulit bagi kaum skeptis dan orang yang berkeyakinan lemah. Sebagian penentang para nabi telah meminta melihat Allah secara langsung untuk menghilangkan keraguan dan kekafiran (tentang Allah).
Misalnya, bangsa Israel mendesak Musa as:
Dan (ingatlah) ketika kamu berkata, “Wahai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang, karena itu kamu disambar halilintar; sedang kamu menyaksikannya. (QS al-Baqarah [2]:55)
Bangsa Israel begitu kukuh dalam pendirian mereka bahwa Nabi Musa as tidak punya alternatif selain membahas isu Allah. [134]
Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa, “Ya Tuhanku, tampakkanlah (Diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu.” Tuhan berfirman, “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (seperti sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku.” Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikan-Nya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, “Mahasuci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman.” (QS al-A’râf [7]:143).
Bangsa Arab juga mengajukan tuntutan yang sama kepada Nabi Islam saw agar mereka bisa meyakini Allah.
Dan mereka berkata, “Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dari bumi untuk kami, atau kamu mempunyai sebuah kebun kurma dan anggur; lalu kamu alirkan sungai-sungai di celah kebun yang deras alirannya. Atau kamu jatuhkan langit berkeping-keping atas kami, sebagaimana kamu katakan atau kamu datangkan Allah dan malaikat-malaikat berhadapan mukan dengan kami. (QS al-Isrâ’ [17]:90- 92)
Berkatalah orang-orang yang tidak menanti-nanti pertemuan(nya) dengan Kami, “Mengapakah tidak diturunkan kepada kita malaikat atau (mengapa) kita (tidak) melihat Tuhan kita?” Sesungguhnya mereka memandang besar tentang diri mereka dan mereka benar-benar telah melampaui batas (dalam melakukan) kezaliman. Pada hari mereka melihat malaikat di hari itu tidak ada kabar gembira bagi orang-orang yang berdosa dan mereka berkata, “Hijram mahjûrâ.” [135] (QS al-Furqan [25]:21-22)
Membicarakan tuntutan dari mereka yang, pada masa Nabi saw, ingin melihat Allah, ayat-ayat ini menganggapnya sebagai petunjuk kebanggaan dan pemberontakan mereka. Dalam hal ini, Surah al-An’âm [6]:103 mengingatkan, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata.”
Apakah ayat-ayat disebutkan di atas tidak menggiring pemikiran kita untuk meyakini bahwa Allah tidak bisa dilihat dengan mata di dunia ini atau akhirat?
Sekarang, bagaimana pengertian pertemuan dengan Allah pada Hari Pengadilan? Mungkin ini berarti bahwa pada hari itu tak sebutir keraguan yang akan tinggal di benak seseorang ihwal keberadaan Allah, seolah-olah ia melihat Tuhan secara langsung.
Allah Maha Mengetahui (al-‘Alîm)
Allah mengetahui segala sesuatu. Karena kita manusia, seluruh alam dibagi pada dua bagian: alam gaib (ghayb) dan alam kasatmata (syahâdat). Akan. tetapi,Allah mengetahui alam gaib dan alam kasatmata. Tidak ada yang tersembunyi dari Allah. Alam secara keseluruhan terlihat oleh-Nya.
Yang mengetahui semua yang gaib dan yang tampak. Yang Mahabesar lagi Mahatinggi. (QS ar-Ra’d [13]:9)
Sesungguhnya bagi Allah tidak ada satu pun yang tersembunyi di bumi dan tidak (pula) di langit. (QS Ali Imrân [3]:5)
Bahkan Allah mengetahui benda-benda terkecil di alam semesta, termasuk setiap perbuatan yang kita lakukan.
Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui. (QS al- Baqarah [2]:215)
Dan ilmu Allah merupakan ilmu hudhuri (knowledge of presence), sesuatu yang langsung diberikan. Ia merupakan pengetahuan dari seorang saksi yang menyaksikan Satu peristiwa dengan mata kepalanya sendiri untuk menegaskan dirinya sebagai saksi.
Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu? (QS Fushshilat [41]:53)
Sejak lama para filosof dan eksponen Islam telah mengira bahwa pengetahuan akan hal-hal partikular tidak sejalan dengan Zat Allah. Isu kontroversial ini —yakni inâyat Allah— telah menguasai pikiran mereka. Menurut mereka, pengetahuan Allah akan hal-hal partikular hanya dibenarkan melalui pengetahuan-Nya akan hal-hal universal.
Penghampiran ini tidak senapas dengan apa yang dikatakan al-Quran ten tang ilmu Allah. Akhirnya, Mulla Shadra —karena ia menggunakan filsafatnya untuk menguraikan gagasan keniscayaan (necessity), kemungkinan (contingency), unitas, dan multiplisitas— menerapkan penghampiran yang sama untuk memaparkan bahwa pengetahuan sempurna Allah merupakan pengetahuan dengan kehadiran (pengetahuan langsung/al-‘ilm al-hudhûri) yang senapas dengan Zat-Nya. Dengan cara ini, ia telah memecahkan problem inâyat.
Bagaimanapun, al-Quran menekankan pengetahuan Allah dengan kehadiran (pengetahuan langsung) pada semua perkara di dunia dan menganggap Allah sebagai Yang Maha Mengetahui (khabîr), QS al-An’âm [6]:73; Maha Mengetahui (al-‘alîm), QS al-Baqarah [2]:32; Yang Sangat Mengetahui (‘allâm), QS al-Mâidah [5]:109; dan Allah Maha Mengetahui (‘alîman), QS an-Nisâ’ [4]:35; Allah Mahabijaksana (al-hakîm), QS al-Baqarah [2]:32. Dia mengendalikan dunia dengan cara sebaik-baiknya.
Allah Mahakuasa
Allah memiliki kekuasaan atas segala sesuatu dan segala tindakan: Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu (QS al-Baqarah [2]:20).
Dia memiliki kekuasaan dan kemampuan (QS al-Baqarah [2]:20; al-An’âm [6]:37).
Dia Mahakuat lagi Mahaperkasa [al-Qawwiy al-‘Azîz] (QS Hûd [11]:66).
Dia mempunyai kekuasaan tertinggi [al-Qahir/al-Qahhar] (QS al-An’âm [6]:61; Yusuf [12]:39).
Dia mempunyai kekuasaan dan kekuatan. Ketika Dia menginginkan sesuatu untuk terjadi atau setiap kerja dilakukan, cukuplah bagi-Nya mengatakan: “Kun” (Jadilah). Dan sekali itu juga terjadi. Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, “Jadilah”! Maka terjadilah ia. (QS Yâsîn [36]:82)
Kehendak dan Maksud Allah: Ajal dan Takdir
Biasanya wujud-wujud yang mempunyai “kekuasaan” dan “kekuatan” mampu mewujudkan apa yang mereka kehendaki atau sebagian kehendak mereka dan bahkan mereka mampu melakukan upaya untuk memperolehnya. Ketika kita berusaha untuk mewujudkan kehendak kita dengan kesadaran: “Aku berniat melakukan beberapa pekerjaan”, maka “kehendak merupakan sebuah kesadaran dan keinginan kuat yang bisa efektif dalam mencapai tujuan- tujuan kita.”
Di antara wujud-wujud di dunia ini, binatang rasional setidaknya memiliki kemampuan dari kehendak ini, yakni ketika mereka mempunyai dorongan sesuatu dari mana mereka melakukan upaya-upaya sadar untuk mencapainya. Nah, manusia mendapatkan keuntungan ini lebih dari hewan-hewan lain.
Ranah kehendak manusia lebih luas ketimbang hewan-hewan lain. Itulah mengapa peranan pengetahuan dan kesadaran lebih kreatif dalam kehidupan manusia ketimbang yang ada pada hewan-hewan lain. Meskipun banyak aktivitas yang manusia sendiri lakukan tampaknya bukan tindakan kehendak, semisal: sistem peredaran darah, sistem pernapasan, sistem pencernaan, kelenjar besar dan kelenjar kecil (yang menghasilkan zat kimiawi penting di dalam tubuh). Sistem-sistem fungsi ini bergerak secara tak sadar (reflek). [136] Bagaimanapun, cakupan perbuatan dengan kesadaran amat terbatas. Umpamanya, tidak ada perbuatan sengaja dari manusia yang bisa mempengaruhi rotasi sistem tatasurya atau bisa mendampaki ciri-ciri fisik turunan yang dengannyaia lahir. Dengan sendirinya, pengaruh “kehendak” atau “niat” dan manusia terbatas. Itulah mengapa kadang terjadi, siapapun yang memutuskan untuk melakukan sesuatu namun abai akan faktor-faktor yang ada di balik ruang lingkup pengetahuan dan kekuasaannya, mengakibatkan kehendaknya terhalang untuk terwujudkan. Akan tetapi Allah adalah Zat Yang Mahatahu dan Mahakuasa yang bisa melakukan apa yang dikehendaki-Nya.
Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki. (QS Hud [11]:108)
Mahakuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya. (QS al- Burûj [85]:16)
Tiada sesuatu pun yang mencegah-Nya untuk rnelakukan apa yang menjadi kehendak-Nya (QS Hud [11]:33; Fâthir [35]:44 dan seterusnya).
Kehendak-Nya mengatur seluruh alam (qadha) dan sama sekali bukan kehendak selain Dia (QS al-Mu’min [40]:20). Setiap kali sesuatu bertindak atau bergerak, tindakan dan gerakannya berada dalam kerangka yang ditetapkan oleh Allah, lantaran Dia telah menempatkan batasan- batasan tertentu pada segala sesuatu (qadar) (QS al-Furqân [25]:2; Fushshilat [41]:10; ath-Thalâq [65]:3).
Manusia juga diperintah oleh hukum mutlak ini. Peran kemampuannya untuk mengembangkan dan menerima jalan kebenaran terbatas dan ditentukan oleh qadha dan qadar Allah. Dengan sendirinya, Allah menghendaki agar manusia dengan kehendak khusus dan pilihannya sendiri menentukan masa depan baik dan buruknya, keelokan dan keburukannya, kecerahan ataupun kemuramannya.
Bahkan dalam batasan-batasan ini, manusia ataupun maujud-maujud lainnya tidak bisa menganggap dirinya sendiri sebagai penguasa mutlak dan pasti dari yurisdiksi terbatas. Jika Allah menghendaki, Dia sanggup menjadikan manusia tidak berdaya dan tak efektif. sesungguhnya Tuhanmu benar-benar maha mengawasi (QS al-Fajr [89]:14)
Adalah mungkin bahwa perintah-Nya mencabut ikhtiar seorang individu atau kelompok arogan dalarn suatu cara yang diingatkan dan harus memahami hatta dalam ranah kekuasaan dan kemampuan seseorang untuk membentuk dirinya sendiri. Ia harus selalu mencamkan bahwa kehendak dan tujuan Allah meliputi segala sesuatu dan mengatur di mana-mana.
Banyak contoh dalam al-Quran menyangkut perintah Allah semacam itu seperti ayat 17-32 Surah al- Qalam [68].
Sesungguhnya Kami telah menguji mereka (musyrikin Makkah), sebagaimana Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh memetik (hasil)nya di pagi hari. Dan mereka tidak mengucapkan, “Insya Allah”. Lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur. Maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita. Lalu mereka panggil-memanggil di pagi hari. “Pergilah di waktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya.” Maka pergilah mereka saling berbisik-bisikan. “Pada hari ini janganlah ada seorang miskin pun masuk ke dalam kebunmu.” Dan berangkatlah mereka di pagihari dengan niat menghalangi (orang-orang miskin), padahal mereka mampu (menolongnya). Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata, “Sesungguhnya kita benar-benar orang-orang yang sesat (jalan), bahkan kita dihalangi (dari memperoleh hasilnya). Berkatalah seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka, “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu hendaklah kamu bertasbih (kepada Tuhanmu)?” Mereka mengucapkan, “Mahasuci Tuhan kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim.” Lalu sebagian mereka menghadapi sebagian yang lain seraya cela mencela. Mereka berliata, “Aduhai celakalah kita. Sesungguhnya kita ini adalah orang-orang yang melampaui batas. Mudah-mudahan Tuhan kita memberikan ganti kepada kita dengan (kebun) yang lebih baik daripada itu. Sesungguhnya kita mengharapkan ampunan dari Tuhan kita.
Allah Mahahidup (Al-Hayy)
Suatu wujud yang mempunyai kekuasaan berikut kesadaran dan kehendak disebut wujud yang hidup. Dengan cara yang sama, kita menetapkan seseorang atau masyarakat sebagai hidup berdasarkan pencariannya atau pencarian mereka dengan kesadaran dan pengetahuan. Lantas, mana bangsa yang lebih hidup? Sebuah bangsa yang bisa memeragakan kadar pencarian yang sadar dalam kehidupannya. Di antara makhluk hidup, manusia diberkati dengan ukuran kehidupan yang paling lengkap. Oleh sebab itu, pencarian sadar dalam kehidupannya adalah yang paling jeluk dan luas.
Sekarang, wujud manakah yang mempunyai aras tertinggi dari kegiatan sadar dan yang lebih besar ketimbang semua wujud aktif dan hidup lainnya? Tentu saja Allah. Allah Mahahidup dan memiliki perangkat kehidupan yang maksimum.
Dialah yang hidup kekal, tiada Tuhan melainkan Dia...(QS al-Mukmin [40]:65)
Dan bertawakallah kepada Allah yang hidup (kekal), yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya. Dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa-dosa hamba-hamba-Nya. (QS al-Furqân [25]:58)
Allah, tidak ada tuhan melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur (QS al-Baqarah [2]:255).
Alif Lâm Mîm. Allah, tidak ada tuhan melainkan Dia. Yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya. Dia menurunkan al-kitab (al-Quran) kepadamu dengan sebenarnya (QS Ali Imrân [3]:1-3)
Dan tunduklah semua muka (dengan berendah diri) kepada Tuhan Yang hidup kekal lagi senantiasa mengurus (makhluk-Nya). Dan sesungguhnya telah merugilah orang yang melakukan kezaliman. (QS Thâhâ [20]:111)
Kata al-Qayyum berasal dari akar kata yang sama dengan qiyâm, yang berarti berdiri. Kata al-Qâ’im, sebagai subjek, berarti orang yang berdiri. Sebab itu, penafsiran kata qayyûm berarti “berdiri secara kukuh”, atau dalam bahasa yang lebih jelas “yang tegak abadi”. Para mufasir memiliki pandangan yang berbeda seputar makna sifat ini dalam al-Quran. Thabarsi dalam Majma’ al-Bayân-nya, mengatakan:
Kata qayyûm berarti yang memelihara penciptaan, baik dalam penciptaan makhluk-makhluk atau dalam memberikan pemeliharaan kepada mereka dari hari ke hari. Sebagaimana dikatakan dalam ayat lain “Tiada makhluk melata di muka bumi yang pemeliharaannya tidak disediakan oieh Allah.” Pandangan ini diriwayatkan dari Qatadah. Apabila dikatakan bahwa qayyûm berarti bahwa Dia Mahatahu, maka itu diturunkan dan idiom bahasa Arab ini. Yakni, “orang ini mengetahui apapun yang ditulis dalam buku ini”. Di tempat lain, dikatakan bahwa qayyûm bermakna “yang hidup abadi”, yakni Dia yang selalu mencipta.
Pandangan ini dinukil dari Sa’id bin Jubair dan Dhahhak. Di tempat lain, dikatakan bahwa qayyûm berarti “ia yang mengawasi semuanya berdiri di atas kepala mereka sehingga membalas atau menghukum mereka menurut pengetahuannya.” Pandangan ini diriwayatkan dari Hasan al-Basri. Kata al-Qayyûm sejalan dengan semua penafsiran ini. [137]
Dalam diskusi filosofis, kata al-Qayyûm ini didefinisikan sebagai al-qâ’im bi adz-dzâti maqûmun lighayrihi, yang berarti “swamandiri dengan Zat-Nya dan pijakan bagi yang lain.” Yakni, keberadaan yang lain tergantung kepada-Nya, sebagaimana ungkapan “Kami tergantung pada Engkau karena Engkau mandiri.”
Mulla Shadra juga cenderung untuk menerima penafsiran yang sama usai mendiskusikan isu tersebut secara detail. Ia menyimpulkan bahwa istilah qayyûm adalah “Ia yang mandiri dimana semua yang lain tergantung kepada-Nya.” [138]
Dalam menafsirkan kata qayyûm, Sayyid Quthb mengatakan, “Yang tidak hanya menciptakan segala sesuatu, namun juga memeliharanya.” [139]
Allamah Thabathaba’i juga dalam tafsir al-Mizân-nya (jilid 2, h.347-8) telah menafsirkan kata itu dengan cara yang sama mengikuti versi Qatadah dalam Majma’ al-Bayân.
Kami berpendapat bahwa pengertian yang sama yaitu berdiri abadi (everstanding), maha mencukupi (ever- subsisting). dan maha mengawasi (ever-watch full) yang telah masuk ke dalam terjemahan bahasa Parsi tidak hanya senapas dengan makna harfiah turunannya dari qiyâm. Akan tetapi pengertian tersebut konsisten dengan penjelasan Surah al-Baqarah [2]:255 (Ayat Kursi) seputar penafsiran kata qayyûm. Istilah qayyûm dalam makna ini merupakan pelengkap untuk kata sifat yang sama al-Hayy dan ketinggian maknanya.
Seperti kita mafhum, semua makhluk hidup di bumi secara relatif membutuhkan tidur. Mereka harus hidup untuk memperkuat diri mereka sendiri demi kesinambungan hidup. Tidur diasosiasikan dengan kelemahan dan kelemasan otot-otot dan setiap binatang biasanya berbaring dan tidak bisa berdiri pada kakinya. Pada galibnya, dalam keadaan tidur yang panjang, sebagian energi vital terutama kemampuan untuk bergerak dan beraktivitas akan berada dalam keadaan semi-penundaan.
Al-Quran mengatakan. Allah Wujud hidup yang sempurna, yang modus wujudnya tidak menyisakan ruang bagi kelambanan. Dia Wujud yang tak pernah istirahat. Maha Mencukupi, dan Mahasadar. Tidur ataupun mengantuk tak pernah menimpa-Nya. Sebab itu, Dia Maha Mengetahui lagi Mahakuasa. Sekarang mari kita perhatikan kembali Ayat Kursi (2: 255) selengkapnya:
Allah, tiada ada tuhan melainkan Dia Yang Hidup Kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. [140] Allah mengetahui apa-apa yang ada di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.
Anda telah melihat bahwa semua kesimpulan yang bisa ditarik dari ayat ini memperlihatkan hikmah dan kekuasaan mutlak Allah yang merupakan tanda terbebasnya Dia dari setiap kelemahan sekaitan dengan sifat hidup-Nya.
Allah: Maha Pengasih Maha Penyayang
Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang (QS al-Fatihah [1]:1); Allah sangat penyayang (ar-Raûf) kepada hamba-hamba-Nya (QS Ali ‘Imrân [3]:30); dan “Dia memberi telahmemberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya” dan telah melimpahkan kepada kita nikmat tak terhitung (QS Ibrâhîm [14]:34; an-Nahl [16]:18); “Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki” (QS adz-Dzâriyât [51]:58); “Dan Allah sebaik-baik pemberi rezeki” (QS al-Jumu'ah [62]:11); “Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun” (QS an-Nisâ’ [4]:99); “Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun” (QS al-Baqarah [2]:235).
“Mahasuci” (QS Saba’ [34]:40). Apabila seorang pendosa jatuh dalam kehidupan dosa dan ketaksucian (rijs) kemudian kembali kepada jalan Allah—yakni jalan kesalehan dan kebajikan (taubat dalam makna Islamnya), maka Allah kembali melimpahkan rahmat—Nya kepadanya dan “Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaajkan kesalahan-kesalahan...” (QS asy-Syûrâ [42]:25). Dia segera menerima taubat kesalahan orang-orang yang bertaubat (QS al-Baqarah [2]:160).
Allah
Tanda-tanda cinta dan rahmat Allah begitu merentang luas dan tak terhitung sepanjang alam semesta. Manusia seperti halnya makhluk lain menikmati rahmat Allah yang imanen ini dengan perbedaan bahwa manusia menikmati rahmat khusus Allah, yaitu kemampuan untuk maju atas usaha sendiri, sebuah proses sadar dari pertumbuhan-diri dengan pengetahuan membedakan baik dan buruk, keindahan dan keburukan, danjuga memiliki kekuatan untuk memilih satu dari dua pilihan itu.59 Kesadaran pertumbuhan-diri dan kemampuan untuk melakukan pilihan dengan kondisi ini bahwa sedikitnya sebagian tindakan manusia akan menghasilkan akibat yang diharapkan dan sebagian membuahkan hasil yang tidak diinginkan. Akibat yang diinginkan baginya adalah menyenangkan dan membahagiakan, sementara akibat yang tak diinginkan baginya menyakitkan dan memunculkan penderitaan, hukuman, dan siksa keras Allah baginya. Keprihatinan dan kepedihan ini berkaitan dengan hilangnya akibat-akibat yang diinginkan, yakni “pahala” dan menghadapi akibat-akibat yang tak diingini yakni “hukuman”, bisa menstimulasi manusia untuk mengembangkan dirinya sendiri dan mengubahnya menjadi manusia yang layak mendapatkan pahala dan diselamatkan dari hukuman. Maka, eksistensi keprihatinan dan kepedihan semacam ini dalam diri manusia merupakan rahmat dari Allah yang akan disusul oleh hukuman dan murka Allah bagi mereka yang tidak bersyukur dan tidak berterima kasih. Wahai Engkau, yang rahmat-Mu mendahului murka-Mu (kutipan doa ‘Ali bin Abi Thalib yang diajarkan kepada Kumail bin Ziyad; —penj.).
Berpijak pada ini, al-Quran berkali-kali menukil angkara Tuhan yang menimpa mereka yang durhaka.
Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi amat keras siksaan-Nya (QS al-Anfâl [8]:52)
Dan barangsiapa yang ditimpa oleh kemurkaan-Ku, maka sesungguhnya binasalah ia. (QS Thâhâ [20]: 81)
Dan azab yang pedih (QS al-Muzzammil [73]:13)
Allah: Mahabesar, Mahasuci, Mahaagung, dan Maha Terpuji
Allah Mahatinggi [al-‘Aliyy] (QS al-Baqarah [2]:255), Mahabesar [al-Kabîr] (QS Luqman [31]:30), yang mahatinggi derajat-Nya [rafî’al-darajât] (QS al-Mukmin [40]:15), Mahaperkasa lagi Mahabijaksana [‘azîzun hakîm] (QS al-Baqarah [2]:209), Mahatinggi lagi Mahabesar [al-‘Aliyy al-‘Azhîm] (QS al-Baqarah [2]:255), Mahatinggi [al-Muta’âli] (QS ar-Ra’du [13]:9), Tuhan yang mempunyai kebesaran dan karunia [Dzi al-jalâli wa al-ikrâm] (QS ar-Rahman [55]:78), Maha Terpuji lagi Maha Pemurah [Hamîdun Majîd] (QS Hud [11]:73).
Dia Mahabesar, yakni Wujud yang membuat kebesaran dan keagungannya menjadi nyata dan semua tanda kebesaran yang bisa dilihat di alam semesta hanya milik-Nya semata (QS al-Jatsiyah [45]:37). Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah (QS Hud [11]:73).
Allah Mahaadil
Aku sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Ku (QS Qâf [50]:29)
Dia selalu mengajak kepada kita untuk bertindak berdasarkan keadilan dan persamaan (QS an-Nahl [16]:90; al-A’râf [7]:29). Dia telah menciptakan segala sesuatu di dunia ini dalam bentuk semacam ini yang serasi dengan sistem wujud yang kukuh, yang di dalamnya semua harmonis dan saling melengkapi satu sama lain (QS al-Mulk [67]:3, al-A’lâ [87]: 2). Allah memberi pahala bagi perbuatan baik dan hukuman bagi perbuatan dosa di akhirat dalam bingkai sebuah sistem “aksi dan reaksi” yang teratur. Di akhirat kelak, manusia tinggal memanen buah- buah perbuatan yang telah ia semai di dunia ini. Dalam hat ini, ia memperoleh bahwa esensi individu dari wujudnya yang telah ia bentuk sendiri di dunia. [141] Setiap rasa manis dan asam yang diberikan kepada manusia di dunia lain merupakan hasil perbuatannya di dunia ini menurut mana dia mendapatkan keadilan penuh dan sempurna, tanpa reduksi apapun, tanpa diperlakukan secara zalim (QS al-Baqarah [2]:281; Ibrâhîm [14]:41; al-Mukmin [40]:17 dan seterusnya). Setiap manusia bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya (QS ath-Thûr [52]:21). Perkembangan-dirinya, entah ia dalam arah yang benar atau jalur yang lacur, dan ikhtiarnya untuk membangun lingkungannya sehingga lingkungan sosial dan fisik menjadi nyaman bagi kesejahteraannya, dah kesejahteraan lainnya membuka jalan bagi pertumbuhan diri manusia dalam arah yang benar.
Kesimpulan Akhir
Bagian ini terkait dengan Nama-nama dan Sifat-sifat Allah di dalam al-Quran dengan acuan khusus pada perbuatan Allah. Siapapun bisa menemukan sejumlah Nama dan Sifat Allah lainnya yang lebih dari ratusan kata. Kita bisa menemukan banyak Nama dan Sifat Allah dalam doa-doa dan munajat. Umpamanya, seribu Nama dan Sifat Allah yang terdapat dalam munajat yang makruf sebagai Jawsyan al-Kabîr. [142]
Sebagian besar Nama dan Sifat yang disematkan kepada Allah ini merupakan gabungan kata-kata, entah kata-kata ataupun maknanya. Karena konotasi gabungan kata-kata sangatlah luas, seseorang tidak bisa yakin akan jumlah pasti untuk Nama dan Sifat Allah. Para teolog dan sufi pun menilai bahwasanya Nama-nama dan Sifat-sifatAllah itu tak terhingga. [143]
Ini merupakan rangkuman ajaran metafisika dari al-Quran sekaitan dengan ilmu Allah. [144] Jenis ilmu ini diturunkan dari sumber wahyu yang otentik. Di saat yang sama, ia dilambari oleh pengetahuan sadar manusia yang mencerap—melalui kontemplasi—tanda-tanda Allah dengan merenungkan Nama-nama dan Sifat-sifat Allah. Ini adalah sejenis pengetahuan yang bisa memuaskan secara relatif dahaga seorang manusia yang berhasrat akan signifikansi Nama-nama dan Sifat-sifat Allah. Demikian itu telah mendapatkan problem praktisnya yang kita hadapi, yakni mengorientasikari kehidupan.
Dalam penghampiran ini, tak ada ruang bagi pembahasan tak berfaedah dan sia-sia yang membahayakan kehidupan seorang individu juga masyarakat. Ini pelajaran yang harus kita pelajari untuk menghindari dan mencegah dari perselisihan tiada henti dan tak berguna dalam bidang metafisika. Diskusi dan kontroversi semacam itu tidak mengarahkan kita kepada kesimpulan yang pasti, karena sebagian besar pembahasan bersumber dari kejahilan dan prasangka.
Al-Quran mengecam orang-orang yang menerima metode ini secara khusus dalam isu-isu metafisika.
Beginilah kamu, kamu ini (sewajarnya) bantah-membantah tentang hal yang kamu ketahui, maka kenapa kamu bantah-membantah tentang hal yang tidak kamu ketahui? Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui. (QS Ali lmrân [3]: 66)
Saya berdoa kepada Allah agar kita tidak dihitung sebagai salah seorang manusia seperti itu yang terlibat dalam pertikaian muspra. Akhir kata, alhamdulillâhi rabb al-‘alamîn.
Referensi:
80. Konvensi-konvensi ini sebagian besar merupakan konvensi-konvensi sosial yang muncul secara bertahap dalam proses sosial dan tidak tercipta melalui persetujuan yang sampai di tengah-tengah sekelompok orang yang berpikir.
81. Ism (nama) diturunkan dari “simah” bermakna lambang.
82. Bagaimana bisa orang mengenali-Nya? Ialah semua yang orang bisa mengatakan “Dia” (Upanishad, hal.376).
83. Al-Kulaini, al-Kâfî, jilid 2, hal.82.
84. Ibid., hal.84.
85. Syaikh ash-Shaduq, Asrâr al-Tawhîd, hal.102
86. Untuk detail, lihat Maqâlât al-Islâmiyyin, jilid 1, hal.66.
87. Ini menunjuk kepada doktrin masyhur bahwa “Tuhan adalah rub dunia”. Doktrin ini pun terdapat dalam kitab Upanishad.
88. Nahj al-Balâghah, khutbah 1, 151.
89. Bharatan Kumarpa, The Hindu Conception of the Deity (London, 1934).
90. U. M. Miller, The History of the Ancient Church in the Empire of Rome and Iran, (Jerman, 1931), h. 245.
91. Upanishad, h.424
92. Ada tiga pengertian Empyrean: 1) tempat tinggal Tuhan dan malaikat; 2) surga tertinggi dimana unsur suci dari api dianggap ada pada mulanya; 3) langit yang bisa dilihat (peny.).
93. The Chandogya Upanishad, h.288.
94. Ibid., h.288.
95. Ibid., h.289.
96. Ibid.
97. The Avesta, 9: 69
98. Ibid., 2: 33.
99. Ibid., 8: 10.
100. Asmân adalah nama malaikat yang mengawasi langit (catatan kaki dalam Avesta).
101. Avesta, 27: 346.
102. Ibid., 14: 65-66
103. Ibid., 4: 68
104. The Avesta, 238: l-2-3
105. Ibid., 4. 68. Bandingkan hal ini dengan apa yang al-Quran katakan mengenai pemberi rezeki ini. Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap; dan sungguh jika keduanya akan lenyap tidak ada seorang pun yang dapat menahan keduanya selainAllah. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (QS al-Fâthir [35]: 41).
106. Alkitab, Perjanjian Lama, Keluaran, 19: 18-24.
107. Ibid., Keluaran 24: 1-2.
108. Ibid., Keluaran 24: 9-12.
109. Alkitab, Kejadian 18: 20-23.
110. Ibid., Kejadian 17: 22.
111. Ibid., Kejadian 35: 13
112. Injil Matius 5: 43, 44, 45, 48.
113. Ibid., 6: 1,9-12.
114. Ibid., 5: 10.
115. Dan frase as-samâ ad-dunya, langit terdekat dalam al-Quran, orang bisa menyimpulkan bahwa al-Quran menganggap bahwa angkasa bersama bintang-gemintang ditempatkan dalam satu langit. Ia pun berada di langit pertama, langit terendah dan terdekat kepada kita. Maka, dari frase “tujuh langit” yang digunakan dalam banyak ayat al-Quran bukanlah kesan simbolik dan dalam arti hakiki menunjukkan jumlah langit yang spesifik, maka langit ini berbeda dari delapan atau sembilan langit yang dipercayai dalam astronomi klasik. Karena menurut doktrin tersebut, dari langit pertama hingga langit ke tujuh planet-planet ditempatkan. Langit ke delapan adalah tempat jasad-jasad baku, dan langit kesembilan berupa Atlas yakni tiada berbintang. Untuk informasi tentang hal ini, rujuk ulasan-ulasan dan buku-buku mengenai masalah ini, menurut doktrin terscbut.
116. Sidhratul Muntaha dalam ayat al-Quran ini sama dengan pohon someh (someh tree)di Upanishad, h.203
117. Injil Matius 5: 34-35.
118. Penggunaan istilah-istilah tak langsung semacam itu merupakan masalah biasa dalam tulisan-tulisan simbolis.
119. Ada pandangan yang sama dalam kitab Perjanjian Lama, Kejadian 1: 2-7.
120. Pandangan ini pun berakar dari kebudayaan pra-Islam. Umpamanya dalam Perjanjian Lama, Keluaran 24: 10, [yang berbunyi: “Lalu mereka melihat Allah Israel; kaki-Nya berjejak pada sesuatu yang buatannya seperti lantai dari batu nilam dan yang terangnya seperti langit yang cerah.”]
121. Sekalipun kita menjumpai hadis-hadis dari Nabi saw dan para imam as mengenai konsep singgasana, namun menambahkan hadis-hadis tersebut dan investigasi tentang otentisitasnya di luar cakupan tulisan ini.
122. Teori ini lebih kurang dekat dengan teori-teori ilmiah dengan merujuk pada buku Science for the Intelligents, h.27-113.
123. Untuk klasifikasi terperinci ihwal nama Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang didiskusikan di halaman no.11 dan wacananya tentang Rahmat Suci dan Rahmat Yang Paling suci di halaman no. 18
124. Qaisari, Syarheh Fushûsh-e Qaisari, h.20.
125. Thabarsi, Majma’ al-Bayân, jilid 9, h.175.
126. Ini merupakan salah satu pengertian panteisme yang menyulitkannya untuk membedakannya dengan doktrin materialistik tertentu menyangkut dunia.
127. Dengan kala lain, sebetulnya Allah ada di msna-mana hanya saja Dia tidak “bersemayam”" atau terikat di dalamnya—penerj.
128. ‘All amah Hilli, Kasyf al-Murâd, h.182.
129. Ibid., h.182-184.
130. Barangkali kebanyakan dari masalah ini bersumber dari Taurat, karena ada beberapa contoh dalam kitab Taurat (Perjanjian Lama) pasal Kejadian dan Keluaran bahwa Allah telah menemui Ibrahim dan Ya’qub.
131. Asy'ari, Maqalat al-!~lam'iyyzn"ji,liq l.
132. Ibid., h.321-322
133. Seperti Surah al-An’âm [6]: 103 dan al-A’râf [7J: 143.
134. Insiden tersebut dikisahkan dalam Surahan-Nisâ' [4]: 153.
135. Ini suatu ungkapan yang biasa disebut oleh orang Arab di waktu menemui musuh yang tidak dapat dielakkan lagi atau ditimpa suat bencana yang tidak dapat dihindari.
Ungkapan ini berarti: Semoga Allah menghindarkan bahaya ini dariku—penerj.
136. Tak syak lagi bahwa fungsi masing-masing sistem terkait dengan sistem syaraf. Bahkan anatomi lanjutan percaya akan pusat komando bagi setiap sistem menempati satu bagian di otak. Akan tetapi setiap gerakan terkait dengan perintah dari otak yang tidak bisa disebut gerakan sukarela. Bagaimanapun, sebagian orang bisa mengendalikan diri mereka sendiri secara sengaja dengan latihan dan asketisme. Mereka bisa mengendalikan sebagian sistem peredaran darah. Kontrol semacam itu, jika itu benar, amatlah terbatas dan merupakan pengecualian dan tidak bisa berlaku bagi setiap orang.
137. Thabarsi, Majma’ al-Bayân, jilid 2, h.362.
138. Mulla Shadra, Tafsîr Mullâ Shadrâ, h.305-306.
139. Sayyid Quthb, Fi Zhilâl al-Qur’ân, 1: 419.
140. Surah al-Baqarah [2]: 117; Ali lmrân [3]: 47; an-Nahl [16]: 40; Maryam [19]: 35; al-Mukmin [40]: 68 ada dalamkonteks ini. Dalam ayat-ayat tertentu ditekankan tentang noktah ini bahwasanya Allah, dalam kelanjutan perintah-Nya, diminta dari semua jalan.
141. Pernyataan ini tampaknya mengacu kepada teori gerakan substansial yang digagas oleh Mulla Shadra dalam buku Al-Asfâr al-Arba’ah. Lewat teorinya ini, Mulla Shadra ingin membuktikan bahwa pada intinya substansi manusia dimungkinkan sekali bisa berubah. Tidak hanya satu substansi, bahkan manusia pun dimungkinkan untuk memiliki berbagai substansi. Apabila perbuatan bajik dilakukan secara tunak, maka substansi manusia di akhirat nanti tiada lain adalah kebaikan itu sendiri. Demikian pula sebaliknya—penerj.
142. Sebuah kumpulan doa dan munajat yang diajarkan oleh Rasulullah saw kepada ‘Ali bin Abi Thalib—salam atasnya—yang memuat seribu nama Allah. Biasanya doa ini dibacakan pada malam-malam tertentu seperti malam al- Qadar (laylat al-qadr) dibulan Ramadhan—penerj.
143. Qaisari, Syarh Fushûsh-e Qaisari, h.20.
144. Dalam buku ini isu-isu utama seperti ilmuAllah, keadilan Allah, dan seterusnya dikaji secara ringkas, sekalipun setiap isu menuntut diskusi terperinci dalam format buku bebas yang berjilid-jilid. Syukurlah, baru-baru ini beberapa buku penting telah ditulis dalam hal ini meski hanya berkaitan dengan sebagian isu ini oleh ulama yang mempunyai kemampuan menulis yang baik. Kami berharap buku-buku yang membahas aspek-aspek lain dari tema ini akan lebih banyak lagi ditulis dan diterbitkan.
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email