Pesan Rahbar

Home » » Tuhan Menurut Al-Qur'an; Bab: Apendiks

Tuhan Menurut Al-Qur'an; Bab: Apendiks

Written By Unknown on Monday, 24 October 2016 | 20:51:00


MENGAPA pengetahuan akan Prinsip-prinsip Alam Muncul Setelah Ilmu-ilmu Fisik?

Para mufasir dan eksponen Aristoteles berpendapat bahwa penggolongan dan pengurutan berbagai cabang filsafat Aristoteles dilakukan menurut suatu metode yang logis dan sepenuhnya diakui.

Pada mulanya, siapapun yang berusaha menuntut pengetahuan ilmiah mengenai dunia haruslah memahami metodologi saintifik, yakni logika. Karena, pengetahuan saintifik akan alam harus diperoleh hanya melalui persepsi indra dan data empiris, barulah ia sampai pada kesimpulan yang benar—dengan memahami teknik-teknik dan metodologi gains dan penerapannya yang tepat—sehingga basil usahanya bisa menjanjikan. Itulah mengapa karya filsafat Aristoteles diawali dengan logika.

Setelah dilengkapi dengan metode saintifik, orang bisa memasuki ranah sains alamiah, yakni usaha intelektual untuk mengenal alam. Karena itu, karya filsafat Aristoteles kedua setelah logika, disebut fisika, yakni sains-sains alam.

Setelah dilengkapi pengetahuan saintifik akan alam dan wawasan mengenai sebab-sebab dan ikhtiar-ikhtiar, di dalam alam, bidang pencarian dan penemuan secara otomatis diperluas ke studi sebab-sebab primer dan prinsip-prinsip alam semesta. Bagian penemuan ini mencakup teologi (metafisika). Oleh sebab itu, dengan sendirinya ia akan muncul setelah sains-sains alam.


Mengapa Pengetahuan Prinsip-prinsip Alam Disebut Metafisika?

Setiap bagian dari karya filsafat Aristoteles mempunyai nama khusus karena ia sesuai dengan subjek bahasan dan ruang lingkupnya.

Bagian pertama disebut logika, yakni prinsip-prinsip pengetahuan. Bagian kedua disebut fisika, yakni sains-sains alam yang mencakup fisika dan seterusnya. Sedangkan bagian ketiga yang membahas prinsip-prinsip alam yang dinamakan menurut susunannya dalam karya-karya Aristoteles dan bukan berdasarkan topik bahasannya. Oleh sebab itu, Aristotelian menamai bagian dari karyanya ini dengan “metafisika” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab sebagai ma’bad at-thabî’ah. [145]


Ma Ba’d ath-Thabi’ah atau Ma Ba’d ath-Thabî’iyyât?

Sekaitan dengan kriteria yang telah kami nukil di atas dalam menamai bagian ketiga dari filsafat Aristoteles, yakni “metafisika”, terjemahan bahasa Arab yang tepat untuk istilah ini adalah Ma Ba’d ath-Thabî’iyyât dan bukan Ma Ba’d ath-Thabi’ah, karena dalam bahasa Arab istilah sains alam adalah thabi’iyyat bukan thabî‘ah.

Yahya bin ‘Adi (280-364), penerjemah kondang karya-karya filsafat Aristoteles dari bahasa Yunani ke bahasa Arab dalam pemikirannya pun mempunyai pendapat demikian, dan oleh sebab itu di awal tafsirnya ia mengatakan:

Niat filosof (Aristoteles) dalam buku ini adalah buku metafisika, yang dalam bahasa Arab mungkin disebut Fi Mâ Mab’ad ath-Thabî’iyyah. [146]

Sayangnya, sepeninggal dia hal ini diabaikan dan istilah metafisika diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi Mab’ad ath-Thabi’ah. Misalnya, Ibn Rusyd (520-595 H) dalam komentarnya tentang bagian filsafat Aristoteles ini mengatakan:

Ini merupakan penafsiran dari buku pertama (Mab’ad ath-Thabî’ah). Ini merupakan esai yang sama yang disebut dengan Alpha minor.” [147]

Barangkali asal-usul kesalahan semacam itu terletak pada fakta bahwa istilah “fisika” dalam bahasa Yunani digunakan baik untuk ilmu watak maupun ilmu alam.


Ma’ Warâ’ ath-Thabi’ah (Suprafisika)

Dalam banyak tulisan filosof dewasa ini, alih-alih Mab’ad ath-Thabi’ah atau Mab’ad ath-Thabîyyah, penulis-penulis tadi menggunakan istilah Mâwarâ ath-Thabîih. Kamus Mu’in (Farhang-e Moein) dalam hal ini mengatakan:

Menurut para filosof kuno Mab’ad ath-Thabi’ah, yakni ‘Hikmah Ketiga’ atau Mâ’ Warâ ath-Thabî’ah adalah salah satu cabang dari kearifan spekulatif yang terbagi ke dalam dua bagian sebagai berikut: (1) ‘Ilm al-Ilâhî (teologi); (2) Falsafeh-ye Ulâ (filsafat pertama). Cabang-cabang ilmu ini adalah; kenabian (nubuwwah), kepemimpinan (imâmah), dan kebangkitan (ma’ad).


Penjelasan Tambahan

Aristoteles menyebut cabang filsafat ini yang datang setelah fisika sebagai “metafisika”. Sejak itu, istilah ini menjadi ada karenanya. Dengan demikian, mab’ad ath-thabi’ah lebih benar ketimbang mâ warâ ath-thabî’ah. [148]

Ia ditafsirkan dengan cara itu karena istilah mâ warâ ath-thabî’ah menunjukkan bahwa pengertian butir ini adalah bahwa masalah ilmu ini menyangkut masalah-masalah yang berada di balik alam atau tersembunyi di belakangnya. Oleh sebab itu, orang-orang ini, dalam tulisan-tulisan mereka, berkali-kali menegaskan bahwa semua wujud nirmateri dan spiritual merupakan wujud suprafisika atau metafisika.

Salah konsepsi ini menyangkut istilah metafisika yang sebagian besar mungkin berasal dari kesalahan yang sama atau lebih tepatnya dari kecerobohan yang telah ditunjukkan dalam terjemahan istilah ini ke dalam bahasa Arab mab’ad ath-thabi’ah alih-alih diterjemahkan secara lebih tepat sebagai mab’ad ath-thabi'iyyah. Sayangnya, salah konsepsi ini menemukan jalannya pada tulisan-tulisan para sarjana seperti Ibn Sina, karena ia, dalam bukunya, Al-Syifâ, mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan metafisika adalah segala sesuatu yang abstrak dan terpisah dari alam. Ibn Sina mengatakan:

Menurut prinsip ini matematika harus dianggap sebagai ilmu metafisika [149] kecuali jika tujuan metafisika adalah sesuatu yang lain, yakni pengetahuan sesuatu yang sepenuhnya abstrak. [150]

Akhirnya,kita terpaksa menggunakan istilah mab’ad ath-thabi’ah sebagai,pengganti istilah metafisika karena mab’ad ath-thabi’iyyah terdengar tidak begitu familiar bagi orang ramai. Karepanya, alih-alih menggantikan istilah sekarang dengan suatu istilah yang tidak familiar kita bersandar pada istilah tersebut yang tetap terpelihara dalam pikiran kita bahwa dengan istilah mab’ad ath-thabî’ah, kita maksudkan sebagai suatu ilmu yang dikaji setelah ilmu alam, dan bukan yang berada di balik alam.


Hubungan Kaum Muslim dengan Metafisika Aristoteles

Di masa keemasan pertumbuhan kebudayaan dan peradaban Islam, sebagian besar karya-karya ilmiah diterjemahkan dari bahasa Yunani, Suriah, Koptik, Pahlawi, dan India ke dalam bahasa Arab. Umpamanya, Metaphysics Aristoteles dan sebagian komentar lain dari buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Ibn al-Nadim dalam hal ini mengatakan:

Wacana-wacana dalam buku al-Hurûf [151] umumnya dikenal sebagai teologi Ilâhiyyat (teologi) disusun secara abjad berdasarkan huruf-huruf Yunani. Yang pertama adalah alif sughra (a minor) dan Ishaq [152] telah menerjemahkan buku ini ke dalam bahasa Arab. Buku itu memuat sampai huruf M. Abu Zakaria bin ‘Adi telah menerjemahkan item-item di bawah huruf ini. Huruf N juga dijumpai dalam bahasa Yunani menurut Alexander.[153] Eustathius telah menerjemahkan pokok-pokok ini di bawah huruf ini untuk al-Kindi. [154] Tidak ada kisah populer dalam hal ini.

Abu Basyir al-Mati (w. 329 H) telah menerjemahkan buku Ishaq bin Hunain yakni buku kesebelas dengan ulasan Alexander ke dalam bahasa Arab. Hunain bin Ishaq (149-264 H) menerjemahkan buku yang sama ke dalam bahasa Suriah. Themustius (w. 329 H) menerjemahkan buku A dan Abu Basyir al-Mati menerjemahkan buku itu bersama ulasan Themustius. Al-Syamli juga menerjemahkan buku itu. Demikian pula Isbaq bin Hunain menerjemahkan buku sebagian pasal dari buku ini. Suryanus menerjemahkan buku B ke dalam bahasa Arab dengan ulasannya sendiri... [155]


Kitab al-Hurûf:

Kitab al-Hurûf adalah nama lain untuk Metaphysics Aristoteles dalam bahasa Arab. Alasan memilih nama semacam itu untuk buku ini adalah bahwa artikel ini disusun secara alfabetis, yakni huruf-huruf Yunani sebagai berikut:
1. Buku A — Alfa (mayor) — Alif al-Kubra
2. Buku a — Alfa (minor) — Alif as-Sughra
3. Buku B — Beta — al-Bâ
4. Buku J — Gamma — al-Jim
5. Buku D — Delta — al-Dâl
6. Buku E (Epsilon) — al-Hâ
7. Buku Z — Zeta — al-Zâ
8. Buku H — Eta — al-Hâ
9. Buku Theta — al-Thâ
10. Artikel I — Iota — al-Yâ
11. Artikel K — Kappa — al-Kâf
12. Artikel L —Lambda — al-Lâm
13. Artikel M — My — al-Mîm
14. Artikel N — Ny — al-Nûn


Yang manakah buku pertama A ataukah a?

Semua huruf yang telah digunakan untuk artikel-artikel ini adalah huruf-huruf kapital Yunani. Contohnya, A, B, dan seterusnya. Akan tetapi buku nomor 1 dan 2 ditandai secara terpisah oleh versi mayor dan minor dari huruf yang sama yakni satu alfa ditandai dengan “A” dan yang lainnya ditandai dengan “a”.

Metode yang diikuti dalam menandai artikel-artikel buku ini menunjukkan bahwa buku “a” (dengan a minor) merupakan pelengkap untuk buku “A” (dengan mayor “A”). Itulah mengapa buku pertama Aristoteles ditandai dengan “A”. [156]

Susunan yang sama ditemukan dalarn terjemahan bahasa Inggris dari empat belas buku Metaphysics oleh W.W. Ross. Akan tetapi dalam terjemahan bahasa Inggris yang ada dari buku itu, buku pertama diberi huruf “a” kecil, yakni huruf kapital “A” muncul setelahnya. Ibn Nadim juga mengatakan dalam al-Fihrist: “... Yang pertama adalah huruf a kecil”. [157]


Tigabelas atau Empatbelas?

Berdasarkan tulisan-tulisan ulama Islam pada periode itu bisa disimpulkan bahwa Metaphysics terdiri dari tiga belas buku. Dalam Tarikh al-Hukamâ dikatakan, “Buku Metaphysics terdiri dari tiga belas buku.” [158]

Mengingat urutan alfabet Yunani kitab tersebut di bawah huruf “K” dilakukan dalam terjemahan bahasa Arab Ibn Rusyd memperhatikan kelalaian ini (al-Kâf) dan dalam komentar Metaphysics mengatakan:

Inilah apa yang bisa kita bayangkan sesuai dengan urutan artikel-artikel tersebut sebelum yang ditunjukkan oleh lâm bahwa hanya artikel ini yang sampai pada kita, dan bahwa kita tidak bisa menemukan artikel yang ditunjukkan oleh “K” (al- Kâf). [159]


Sebelas ataukah Duabelas?

Dalam konteks yang sama problem lain akan dipecahkan. Huruf lambda yakni huruf “L” adalah huruf ke-11 dalam alfabet Yunani. Namun mengingat ada dua buku yang berkaitan dengan “A”, yakni “A” dan “a” dalam Metaphysics, maka buku “L” lambda harus dihitung sebagai huruf keduabelas. Akan tetapi secara umum para penulis Muslim menganggap huruf ini sebagai huruf kesebelas dan ini menunjukkan bahwa mereka secara total tidak tahu perihal buku “K”.


Mengapa Buku “K” (al-Kâf) Tidak Bisa Menemukan Tempat dalam Terjemahan Bahasa Inggris?

Apakah buku ini tidak tersedia bagi penulis-penulis Mus lim atau adakah alasan lain dibalik penghapusannya?

Dalam hal ini kita tidak mengetahui apapun secara jelas. Akan tetapi, suatu kajian yang menyeluruh atas kandungan di bawah buku “K” dalam terjemahan Inggris akan menunjukkan bahwa isinya semata-mata pengulangan kitab-kitab yang ditunjukkan di bawah huruf “B”, “G”, “H” dari physics Atistoteles yang tercampur dengan mereka.

Oleh sebab itu, mungkin saja para guru, pelajar, pembaca Metaphysics Atistoteles telah menganggap buku ini sebagai sesuatu yang berlebih-lebihan dan secara tidak penting mengulang-ulang isu-isu yang telah didiskusikan. Karena itu, mereka menghapus dari manuskrip mereka atau mereka mungkin mempunyai akses kepada salinan Metaphysics yang darinya artikel ini dikeluarkan.


Dayr (Alam) Sebagai Satu Pengganti Bagi Alam

Ayat berikut berkenaan membahas kepercayaan kaum naturalis atau ateis.

Dan mereka berkata, “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di, dunia ini saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa”, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-sangka saja. (QS al-Jatsiyah [45]: 24).

Ayat ini membincangkan orang-orang yang dalam istilah filsafat dan kalâm Islam disebut kaum dahriyyun atau kaum naturalis. Siapah mereka? ‘Ali bin Yusuf bin Ibrahim al-Qifti (w. 588/646 H) dalam Tarikh al-Hukamâ-nya mengatakan:

Dahriyyûn (golongan naturalis) adalah orang-orang yang di masa lalu yang tidak percaya bahwa alam ini mempunyai pembuat dan pencipta. Mereka berpendapat bahwa kondisi-kondisi alam sekarang maupun yang akan datang akan tetap sama. Tidak ada permulaan dalam waktu dari gerak melingkar yang kita lihat. Manusia diciptakan dari sperma dan sperma tercipta melalui manusia abadi dan lestari, sebagaimana benih dari tumbuhan dan tumbuhan dari benih. Tokoh utama yang paling terkenal dari kelompok ini adalah Thales[160] dari Miletus. [161]

Apa yang dikatakan al-Qifti tentang pandangan filsafat dahriyyûn mengenai kosmos membentuk pijakan banyak dunia filosofis materialistik di tahun-tahun sekarang. Dalam pandangan dunia semacam itu dunia telah dijelaskan sebagai berikut. Seluruh gerakan, perubahan, penyusutan, dan penyusunan diasosiasikan satu sama lain dan saling mempengaruhi. Dengan kata lain realitas adalah kontinuitas yang terjadi dengan kemunculan berbagai objek yang tidak terbatas, yang tidak punya awal ataupun akhir. Dan apabila kita melihatnya dari sudut temporal kita tidak bisa menemukan tujuan apapun darinya. Dimensi tak terbatas ini disebut dahr; waktu, durasi, dan seterusnya. Oleh sebab itu, penampakan dan ketiadaan adalah modus penting dari menjadi, tanpa membutuhkan pencipta dan penghancur. Tiada sesuatu pun yang menghancurkan kita selain waktu.


Dahr (Hakikatnya dalam Terminologi Filosofis Kita)

Dalam pasal yang menyangkut fisika dalam al-Syifâ’-nya, Ibn Sina mengajukan penjelasan mendetail ihwal konsep dahr dan makna khususnya. Ringkasannya aclalah sebagai berikut:

Ketika kita mengatakan suatu maujud (being) dalam waktu, eksistensinya harus muncul secara bertahap. Ia adalah maujud yang selalu dalam keadaan menjadi seperti gerakan yang muncul secara perlahan dan satu bagian darinya terkait dengan bagian lainnya entah sebelum ataupun sesudah mereka. Maujud seperti itu memasuki dimensi baru yang biasa kita sebut dimensi temporal. [162]

Kadang-kadang itu terjadi bahwa suatu peristiwa objektifpada dirinya sendiri bukan keadaan menjadi. Akan tetapi ia tercampur dengan peristiwa lain yang ada dalarn keadaan menjadi (the state of becoming) (dalam istilah filsafat ada kesatuan di antara mereka). Misalnya, ambillah sebongkah batu karang. Dalam komposisi internalnya, warna dan bentuk tidak mungkin berubah. Batu karang itu diangkat dengan derek ke puncak bangunan. Ia dipindahkan ke tempat lain dan digerakkan menuju dimensi. Dengan kata lain, batu karang bergerak akan ditemporalkan.

Oleh sebab itu, jika suatu maujud pada dirinya sendiri tidak gradual atau tidak mempunyai gradualitas, sama sekali ia tidak bisa mencapai dimensi waktu. Wujud seperti itu tidak memiliki dimensi ruang. Oleh sebab itu, kita—dalam pandangan filsafat kita ini—bisa menemukan sejumlah konsepsi yang menunjukkan bahwa maujud- maujud ini tidak terasing dari waktu. Misalnya, menyangkut ruh yang diabstraksikan dari materi, kita katakan bahwa ruh dulu, sekarang, dan yang akan datang, selamanya sama. Kata “dulu” (was), “sekarang” (is), dan “akan datang” (will be) terkait dengan dimensi waktu. Jika ruh abstrak secara total terasing dari temporalitas, maka mengapa kata-kata ini yang terkait dengan waktu diterapkan kepadanya?

Justifikasi benar dari pandangan ini adalah bahwa ruh abstrak bukanlah eksistensi temporal. Yakni, ia pada dirinya ia tidak memiliki matra waktu ataupun sifat-sifatnya dan aksiden-aksidennya tidaklah temporal. Namun kita berada dalam waktu. Kita bisa melihatnya dari dalam rentangan waktu. Dalam proses melihat ini, kita bisa sampai pada kesimpulan bahwa setiap kali kita melihat ruh dari dalam rentang waktu (the span of time), kita menemukannya ada. Berdasarkan observasi yang terus-menerus dan realisasi suksesif maka kita katakan: Ruh dulu, sekarang, dan yang akan datang (tetaplah sama).

Dengan kata lain, ketika kita membandingkan objek abadi dengan objek sementara dan sesaat, yakni objek-objek yang berada dalam perubahan, kita mendapatkan bahwa eksistensi objek pertama saat dibandingkan objek-objek sementara dan mungkin adalah abadi. Karena itu, ia abadi. Konsepsi mental ini yang dibentuk sebagai akibat dari membandingkan dan memperlawankan antara realitas non-temporal dan realitas temporal adalah relatif dan berisiko untuk ditafsirkan dalam istilah dulu, sekarang, dan akan datang. Sejatinya, ia terkait dengan kontinuitas waktu dan bukan kepada konsep-konsep pembaruan dan regenerasi. Dalam istilah filsafat yang khusus disebut dengan dahr. Padanan kata ini dalam bahasa Parsinya adalah zamâneh [163] atau rûzegâr. Ringkasnya, waktu adalah dimensi keempat dari realitas-realitas mungkin (contingent realities), yang berada dalam keadaan menjadi dan memperlihatkan watak mungkin mereka. Namun dahr merupakan manifestasi dari wujud terus menerus dan tetap secara abadi yang ada dibalik modus menjadi, dan berlawanan dengan kemungkinan (contingency) serta kemampuan rusak dari maujud-maujud lain yang selalu ada dalam keadaan menjadi juga mungkin dan bisa berubah. Dalam perbandingan ini dengan sendirinya, kita melihat dimensi waktu sebagai suatu proses sinambung yang logis. [164]

Setelah eksposisi ini, Ibn Sina terus mengatakan bahwa sebagian orang berpendapat bahwa dahr adalah “waktu statis dan beku (realitas)”. Ia mengecam mereka dengan menunjukkan bahwa keadaan statis yang sejalan dengan durasi atau periode khusus waktu yakni, secara temporer, dan istilah “waktu statis” adalah berlawanan dengan diri sendiri.

Kita percaya bahwa orang-orang yang ingin mendefinisikan dahr sebagai “waktu statis” besar kemungkinan telah berusaha untuk mengatakan hal yang sama sebagaimana Ibn Sina katakan dengan cara lain, yakni keabadian lawan kesementaraan.

Bagaimanapun, dahr dalam salah satu makna yang disebutkan di atas tidak bisa dianggap sebagai penyebab kemunculan maujud-maujud dan sebagai suatu pencipta dan pengendali dunia. Ini suatu kebenaran yang gamblang dimana siapapun bisa sampai padanya dengan mudah, kecuali jika orang itu disesatkan oleh prasangka-prasangka dan pendapat-pendapat batilnya dan digiring pada suatu arab yang menggugurkan bukti dan realitas bening itu.


Bibliografi

SESUNGGUHNYA hanya ada satu sumber untuk rujukan isu-isu metafisika al-Quran, yakni al-Quran itu sendiri. Akan tetapi dalam buku ini saya juga telah merujuk pada buku- buku ini:
1. Abu al-Hasan al-Asy’ari, Maqâlat al-Islâmin fî Ikhtilâf al-Musalliyyîn, Mesir, 195 H.
2. A.J. Arberry, Revelation and Reason in Islam, London.
3. ‘Allamah Majlisi, Syarh Tajrîd ‘Allâmah, Masyhad.
4. ‘Allamah Thabathaba’i, Tafsîr al-Mizân, Teheran, 1389 H.
5. Alkitab, London, 1963.
6. Aristoteles, Mab’ad al-Tarbiyah (bahasa Arab).
7. ‘Azimuf, The New Intelligent Man’s Guide to Science, New York, 1965.
8. Bharatan Kumarappa, The Hindu Conception of the Deity, London, 1934.
9. Dustkhwah dan Purdawud (terj.), Avesta (Bahasa Persia), Teheran 1343 H.S.
10. Ibn Nadim, Al-Fihrist, Kairo.
11. Ibn Rusyd, Tafsîr Ibn Rusyd Bar Mâb’ad al-Thabi’ah Arastû, Beirut, 1967.
12. Ibn Sina, Al-Isyârat wa al-Tanbîhat, 1305 H.
13. ―, Al-Syifâ’, Teheran, 1303 H.
14. Imam Fakhr aI-Razi, Tafsîr al-Kabîr, Mesir, 1357 H.
15. Khwajah Nashir al-Din al-Thusi, Syarh-e Isyârât, Iran, 1305 H.
16. ―, Tajrid al-‘I’tiqâd, Masyhad.
17. Al-Kulaini, Al-Kâfî, Teheran 1348 H.S.
18. Muhammad Murtadha al-Zubaidi, Fî Syarh al-Qâmûs, Mesir, 1306 H.
19. Dr. Muhammad Mu’in, Farhang-e Mo’in, Teheran 1345 H.
20. Qaisari, Syarh-e Fushûs, Teheran, 1329 H.
21. Qifthi, Tarikh al-Hukamâ, (Bahasa Persia).
22. Dr. Ridazâdeh Syafaq (terj.), Upanishad (Bahasa Persia), 1345 H.S.
23. Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân, Beirut, 1379 H.
24. Sayyid Radhi, Nahj al-Balâghah, Beirut.
25. Shadr al-Muta’allihin, Al-Hikmâh al-Muta’aliyyah fî al-Asfâr al-Arba’ah al-Aqliyyah, Teheran.
26. ―, Mabda’ wa al-Ma’ad, Iran, 1321 H.
27. ―, Tafsîr Mullâ Shadrâ, Iran, 1322 H.
28. ―, Syawâhid al-Rubûbîyyah, Masyhad, 1346 H.S.
29. ―, ‘Arsyiyyah, Isfahan, 1341 H.S.
30. Sekelompok penulis, Dr. Valks Brackhavs, Wiesbaden, Jerman, 1966.
31. Syaikh al-Shaduq, Asrâr al-Tawhid, Teheran, 1387 H.
32. Dr. Syariatmadari, Falsafah, Isfahan, 1347 H. S.
33. Tâj al-‘Urûs
34. Taurat, (Bahasa Persia), London, 1967.
35. Thabrisi, Tafsir Majma’ al-Bayân, Beirut, 1379 H.
36. Upanishad
37. W.D. Ross, Aristotle’s Metaphyisics, London, 1966.
38. W M. Miller, The History of the Ancient Churches in Iran and Roman Empire, Leipzig, Jerman, 1931
39. Yahya bin ‘Adi, Tafsîr Yahya ibn ‘Adi Bar Maqâlah-ye Alif Sughrâ, Teheran, .1346H. ,


TENTANG PENULIS

Sayyid Muhammad Husayni Behesthi, lahir di Isfahan. 24 Oktober 1928. Sejak 1942-1950 mendalami pendidikan keagamaan di Isfahan dan Qum dan mempelajari sastra, logika, filsafat, irfan, dan lain-lain. Setelah mapan dalam keilmuan keagamaan, kemudian aktif dalam berbagai gerakan sosial-politik keagamaan. Beliau ikut serta dalam gerakan nasionalisasi minyak pimpinan Ayatullah Kasyani dan Dr Mossadeq (1950-1951) dan bersama teman-temannya mendirikan Din-o Danish High School di Qum (1954-1963). Pada 1959 meraih gelar doktor dari Tehran University. Pada 1962 menjadi salah satu dewan politis-teologis dalam gerakan revolusioner Imam Khomeini. Pada 1964 menjadi penasehat manajemen pada Islamic Center Hamburg yang didirikan oleh Ayatullah Burujerdi. Setelah Revolusi Islam Iran 1979, ditunjuk sebagai hakim agung di Mahkamah Agung dan pemipin Partai Republik Islam. Pada suatu sore, 28 juni 1981, beliau syahid ketika sedang memimpin rapat partai bersama 71 orang lainnya.


Referensi:

145. Ada sejumlah judul lain dalam teks-teks filosofis untuk bidang penyelidikan ini. Sebagian di antaranya didasarkan pada sejumlah isu dan subjek yang didiskusikan di dalamnya. Misalnya, Falsafah-ye Ulâ, Aristoteles, Mâ ba’d ath-Thabi’ah (metafisika), h.160; Ibn Sina, Ilâhiyyat, Asy-Syifâ, dan seterusnya; Hikmat-e ‘Aliyyah, Aristoteles, Ma’bad ath-Thabi’ah (Metafisika), h.165; Hikmat-e Muta’aliyyah: Shadr al-Muta’allihin, Mabda’ wa Ma’ad, h.14; Ilm-e Kulli, Shadr al-Muta’allihin, Ibid., h.2; al-Falsafah al-Ilâhiyyat, Aristoteles, Mâ Ba’d ath-Thabi’ah (Metafisika), h. 707; Ilm-e Ilâhi, Ibn Sina, Asy-Syifâ’; Ilâhîyyat, Yahya bin ‘Adi. Tafsir Maqâlah-ye Alif Sughra, h.10.
146. Penafsiran Yahya bin ‘Adi mengenai artikel Alpha [x], minor, 4.
147. Komentar Ibn Rusyd tentang “Metafisika”, 3.
148. Dictionnary of Moein, jilid 4, istilah-istilah asing, h. 207.
149. Menurut Ibn Sina, apabila cabang filsafat, yakni “metafisika” dinamai menurut kedudukannya dalam klafisifikasi pelbagai cabang filsafat, matematika niscaya kurang tepat dinamai “metafisika”, karena berdasarkan urutan logika, matematika muncul setelah ilmu alam dan teologi muncul setelah matematika. Tampaknya, filosof besar ini mengabaikan fakta bahwa tidak ada bagian matematika dalam karya Aristoteles.
150. Al-Syifâ, Ilâhîyyat, h.15.
151. Untuk rincian mengenai lanjutan bab yang berbeda, silakan lihat catalan no.5.
152. Yakni Ishaq bin Hunain (215-298 H).
153. Alexander Afrudisi adalah salah seorang sarjana mazhab Alexandrian di abad ketiga.
154. Filosof Arab terkenal (w.260 H).
155. Al-Fihrist, h. 366.
156. Silakan merujuk ke terjemahan bahasa Inggris untuk Metafisika Aristoteles oleh W.D. Ross. Terjemahan ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1908 dan dicetak ulang tahun 1928 dan secara berturut-turut dicetak hingga enam kali dengan revisi sampai tahun 1966.
157. Al-Fihrist, h.366
158. Qifti, terjemahan Tarikh al-Hukamâ, h.70
159. Ibn Rusyd, Commentary on the Metaphysics, O 1404
160. Thales dari Miletus (600 SM) dianggap dalam sejarah Yunani kuno. Konon, ia menganggap air sebagi asal-usul semua jasad. Akan tetapi, pandangan filsafatnya nyaris tidak bisa didamaikan dengan pendapat kaum naturalis atau materialis.
161. Terjemahan Tarikh al-Hukama, h. 75.
162. Dalam istilah filsafat kontemporer dimensi yang sama disebut dengan dimensi keempat.
163. Ada sedikit perbedaan antara zamân dan zamâneh dalam bahasa Persia. Bisa dikatakan bahwa zamâneh hanyalah istilah umum yang memiliki banyak pengertian, sementara zamân selalu mengacu pada entitas metafisik yang mencakup seluruh skema eksistensi.
164. Ringkasan paparan dari Dahr in al-Syifa’, h. 80-81.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: