Raden Mas Soesalit Djojoadhiningrat anak RA Kartini dan Raden Adipati Djojoadhiningrat.
(Foto: KITLV).
Anak Kartini satu-satunya berkarir di militer. Dia diberhentikan sebagai panglima divisi karena bersimpati kepada kelompok kiri.
RA Kartini wafat pada 17 September 1904, lima hari setelah melahirkan putra pertamanya, Raden Mas Soesalit Djojoadhiningrat –nama terakhir dari ayahnya, Raden Adipati Djojoadhiningrat, bupati Rembang. Soesalit diasuh oleh neneknya, MA Ngasirah, ibu Kartini. Soesalit sempat menjadi asisten wedana di Banyumas sebelum akhirnya meniti karier di kemiliteran.
Pada masa pendudukan Jepang, Soesalit mengikuti pendidikan sekolah militer (Renseitai) di Magelang dan melanjutkan ke Pembela Tanah Air (Peta). Dia kemudian menjadi komandan batalion (daidancho) Peta di Banyumas II (Sumpyuh) pada 1943-1945.
Setelah Indonesia merdeka, Kolonel Soesalit menjadi Komandan Divisi III/Yogyakarta. Pengangkatan ini sebenarnya tidak disetujui oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman dan Jenderal Oerip Soemohardjo. Namun, Soesalit dipilih oleh Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin.
Menurut S.I. Poeradisastra dalam tulisan tentang “Oerip Soemohardjo”, dimuat Prisma No. 9 September 1982, Soesalit adalah adik tiri Abdoelmadjid Djojoadhiningrat, menteri muda urusan sosial dari Partai Sosialis. Dia favorit Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin yang juga dari Partai Sosialis.
“Baru pada tanggal 25 September 1946 pengangkatan Soesalit diterima Soedirman-Oerip,” tulis Poeradisastra. Pada 1948, Mayor Jenderal Soesalit kemudian menjabat Panglima Divisi III/Diponegoro Jawa Tengah (gabungan Divisi II lama dan divisi III lama).
Menurut anak buahnya, Mayor D. Ashari, kepala staf penerangan Divisi Diponegoro, Soesalit memiliki postur mengesankan, pundaknya agak tinggi, sorot matanya tajam. Dia terpelajar, banyak membaca, dan merakyat.
“Yang membuat kami heran, dia simpatisan kelompok kiri dalam politik sehingga tokoh idolanya adalah Jenderal Chu Teh dari Cina,” kata Ashari dalam otobiografinya, Antara Tugas dan Hobby. “Kalau sedang di lapangan, seragamnya sama dengan jenderal Cina, mengenakan pet ala Jenderal Chu Teh, pakai kacu sapu tangan merah di leher. Pembawaannya angker dan seram.”
Rekan Ashari di Divisi Diponegoro, Sutikno Lukitodisastro, mengatakan bahwa Soesalit seorang yang eksentrik. Selain Jenderal Chu The, dia juga mengagumi Mao Tse Tung, pemimpin Cina. “Karena itu topi yang beliau pakai ala topi Chu Teh, juga bintangnya bintang merah,” kata Sutikno dalam testimoni untuk Ashari.
Kendati angker dan seram, Soesalit ternyata takut ketinggian. Setiap keliling daerah Dieng, dia maunya jalan kaki. Para staf terpaksa jalan kaki padahal perjalanan berjam-jam. Begitu pula ketika melakukan perjalanan dinas sebagai direktur jenderal perhubungan, dia lebih memilih naik kereta api daripada pesawat.
Ciri khas yang lain, Soesalit tidak suka bertemu perwira asing. Sewaktu di Yogyakarta, ketika perwira Komisi Tiga Negara (KTN) mau datang, dia segera keluar markas. “Saya ada urusan lain, kamu saja,” katanya meminta staf mewakilinya.
Sikap Soesalit yang kekiri-kirian bikin risau para sejawatnya. Bahkan dalam suatu pertemuan lengkap, yang dihadiri para komandan resimen dan anggota staf Divisi Diponegoro dan dipimpin Kepala Staf Kolonel Soekendar, mereka menyatakan penyesalan atas sikap Soesalit yang kekiri-kirian. Soesalit terkejut dan marah, rapat pun dibubarkan. Komandan Resimen Tegal Letnan Kolonel Wadyono secara sinis menamakan peristiwa itu de opstand der Zombies (pemberontakan para Zombie).
Menurut Ashari, karena kekiri-kirian, Soesalit diberhentikan sebagai panglima Divisi Diponegoro dan diangkat menjadi penasihat gubernur militer Jawa Tengah. Saatnya bersamaan dengan meletusnya Peristiwa Madiun 18 September 1948. “Tapi Pak Soesalit tidak bergabung dengan kaum komunis yang melancarkan Peristiwa Madiun,” kata Ashari.
Untuk membatasi geraknya, Soesalit ditempatkan di rumah dinas panglima divisi di Magelang yang disebut “jenderalan”. Para perwira dilarang menemuinya, namun Ashari dan Sutikno diam-diam suka menengoknya. Pada agresi militer Belanda II, Soesalit ikut gerilya keluar kota Magelang. Dia meninggalkan barang-barangnya kecuali seekor anjing herder kesayangannya.
“Pak Soesalit kita tanggung sehingga seluruh masa gerilya di Gunung Sumbing beliau tercatat aktif dalam perjuangan yang mempermudah beliau direhab setelah kita masuk kota,” kata Ashari.
Soesalit menikah dengan Siti Loewijah, anak priayi asal Tegal, dan dikaruniai seorang putra, Boedi Setyo Soesalit yang lahir di Banjarnegara pada 24 Februari 1933. Boedi menikah dengan Sri Bijatini.
Soesalit meninggal dunia pada 17 Maret 1962 di RSPAD Jakarta karena komplikasi penyakit. Wakil KSAD Jenderal Gatot Subroto mengantarkan jenazahnya ke Jawa Tengah. Di antara para pengantar terdapat Ketua CC PKI D.N. Aidit. Pasalnya, Soesalit yang membiayai sekolah kedokteran Soetanti, istri Aidit. Soetanti dan Soesalit masih ada hubungan keluarga. Kartini adalah saudara sepupu ayah Soetanti, Raden Mas Moedigdo.
“Modigdo tewas dalam Peristiwa Madiun. Istrinya, kelak lebih dikenal sebagai Ibu Moedigdo, meneruskan perjuangan, memimpin ormas Gerakan Wanita Indonesia, disingkat Gerwani,” tulis Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan dan Petualang.
Soesalit dimakamkan di Desa Bulu, Rembang. Dia dianugerahi Bintang Gerilya pada 21 April 1979.
(Historia/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email