Sosrokartono (paling kanan).
Pernah menjadi wartawan perang dan penterjemah dalam momen-momen penting sejarah dunia, Sosrokartono menutup hidup dengan ilmu kebatinan.
Dalam surat-suratnya, Kartini menyebut abangnya, Raden Mas Panji Sosrokartono, sebagai satu-satunya orang yang menaruh simpati terhadap gagasan-gagasannya.
Sosrokartono adalah anak keempat dari pasangan Raden Mas Ario Samingun Sosroningrat, bupati Jepara, dengan istri keduanya (garwa ampil), Ngasirah. Kartono, begitu panggilannya, lahir di Pelemkerep, Mayong, pada 10 April 1877, dua tahun lebih tua dari Kartini.
Sebagai anak priyayi, Kartono mengenyam pendidikan yang memadai: dimulai di Europeesche Lagere School di Jepara, Hogere Burger School di Semarang, lalu melanjutkan ke Sekolah Teknik Tinggi di Delft. Merasa tak cocok, Kartono pindah ke Jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur di Universitas Leiden. “Sosrokartono adalah generasi pertama orang Indonesia yang bersekolah di negeri Belanda,” tulis Harry A. Poeze dalam bukunya Di Negeri Penjajah.
Dia mendapat bimbingan dari guru besar JHC Kern. Atas undangan Kern pula Kartono menjadi pembicara dalam Kongres Bahasa dan Sastra Belanda ke-25 di Gent, Belgia, pada Agustus 1899. Di kongres dia berpidato dengan judul Het Nederlandsch in Indie (Bahasa Belanda di Indonesia). Dengan nada santun, Kartono mengkritik pemerintah Belanda. Tapi dia juga menunjukkan diri sebagai kawula setia, yang meyakini keberadaan Belanda menguntungkan masyarakat dan penduduk Jawa. Sorak-sorai pun membahana setelah Kartono menutup pidatonya. Harry A. Poeze menulis pidato itu sebagai “penampilan terbuka pertama orang Indonesia di Eropa.”
Karena kemampuannya dalam bahasa Jawa, Kartono membantu GP Rouffaer dan HH Juynboll menyusun buku De batik-kunst in Nederlandsch- Indie en haar geschiedenis (Seni Batik di Hindia Belanda dan Sejarahnya) tahun 1899 namun baru terbit 1914.
Namun pendidikan Sosrokartono di Leiden tak berjalan mulus. Pada Maret 1908, dia memperoleh gelar sarjananya. Dia berencana menulis tesis De Middel Javaansche Taal (bahasa Jawa tengahan sebagai bahasa peralihan antara bahasa Jawa kuno dan bahasa Jawa baru). Namun Snouck Hurgronje, yang diangkat sebagai profesor pada 1907, tak menyukainya dan berkata, “Selama di sini saya masih berkuasa, Sosrokartono tak akan dapat menjadi doktor,” ujar Hurgronje.
Tesisnya pun tak rampung. Banyak pihak, terutama sumber dari Indonesia, menuding pandangan Hurgronje yang konservatif sebagai penyebabnya. Sebaliknya, sumber Belanda menyebut ketidakmampuannya melawan godaan kehidupan Barat. Pangeran Jawa ini dikenal suka pesta, bergaul dengan lingkungan bangsawan, pejabat, dan diplomat. Sampai-sampai dia punya utang cukup besar.
Masalah utang ini sempat mengkhawatirkan empat tokoh politik etis Belanda: J.H. Abendanon, C.T. Van Deventer, Hazeu, dan Snouck Hurgronje sendiri. Suatu waktu pada 1906, mereka mengundang Kartono makan bersama dengan maksud mengulurkan bantuan, asalkan Kartono mau menyelesaikan tesisnya. Namun Kartono menjawab, sebagaimana dikutip Mohammad Hatta dalam otobiografinya Untuk Negeriku: “Maaf Tuan-tuan yang terhormat, utang itu ialah satu-satunya harta saya. Harta saya yang satu-satunya itu akan Tuan-tuan ambil lagi dari saya.” Watak keras kepalanya mungkin mempengaruhi sikap Hurgronje.
Gagal bikin tesis, Kartono terlibat dalam pembentukan Indische Vereeniging pada 1908. Organisasi ini lebih bersifat sosial, mengurus kepentingan orang-orang Indonesia di Belanda –kelak, menjadi lebih radikal ketika berubah menjadi Perhimpunan Indonesia. Kartono tak begitu aktif dalam organisasi. Dia lebih memilih mencari penghidupan dan memulai pengembaraannya di Eropa.
Wartawan Perang dan Poliglot
Sosokartono seorang poliglot. Selama di Leiden, dia belajar banyak bahasa. Dalam Leiden Oriental Connection 1850-1940, W. Otterspeer menyebut Kartono setidaknya menguasai 9 bahasa Timur dan 17 bahasa Barat.
“Sosrokartono tidak hanya menguasai beberapa bahasa tanah air kita, bahasa modern serta Grik (Yunani) dan Latin, dia juga pandai berbahasa Basken, suatu suku bangsa Spanyol. Pernah dia menjadi juru bahasa dalam bahasa itu,” kata Bung Hatta dalam otobiografinya.
Tahun 1917, kala Eropa diguncang Perang Dunia I, koran Amerika The New York Herald Tribune (sekarang menjadi N.Y Herald Tribunne) di kota Wina, Austria, membuka lowongan kerja untuk posisi wartawan perang. Kartono melamar dan lolos ujian saringan memadatkan berita dalam bahasa Prancis sepanjang satu kolom menjadi 30 kata dalam empat bahasa: Inggris, Spanyol, Rusia, dan Prancis sendiri.
“Agar pekerjaannya lancar dia juga diberi pangkat mayor oleh Panglima Perang Amerika Serikat,” tulis Solichin Salam dalam R.M.P Sosrokartono: Sebuah Biografi.
Dari suratkabar ini, Sosrokartono mendapat gaji sekitar 1.250 dollar. “Dengan gaji sebanyak itu, ia dapat hidup sebagai seorang miliuner di Wina,” tulis Hatta.
Salah satu liputan perang terbaiknya adalah perundingan gencatan senjata antara Sekutu dan Jerman. Perundingan ini menandakan kemenangan Sekutu dan mengakhiri Perang Dunia I –kemudian dikukuhkan melalui Perjanjian Versailles tahun 1919. Perundingan dilakukan di dalam keretaapi pada 11 November 1918. Keretaapi ini kemudian berhenti di sebuah hutan di daerah Compiegne, Prancis Selatan. Karena bersifat rahasia, lokasi perundingan dijaga hingga radius 1 kilometer. Namun The New York Herald Tribune dapat menurunkan peristiwa bersejarah ini. Pengirimnya memakai kode pengenal “bintang tiga”. Sayangnya, hingga kini liputan Kartono itu sulit ditemukan.
Setelah itu, Kartono punya pekerjaan lain yang mentereng: penterjemah Liga Bangsa- Bangsa (LBB), pendahulu Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dia mengemban jabatan ini selama 1919-1921.
“Pada bulan November 1918, kala PD I berakhir, Sosrokartono dipilih oleh Blok Sekutu sebagai juru bahasa tunggal karena dia satu-satunya pelamar yang memenuhi syarat: ahli bahasa, menguasai bahasa-bahasa di Eropa dan bukan bangsa Eropa,” tulis Solichin Salam. Pada 1919 pula Kartono menjadi atase kebudayaan di Kedutaan Prancis di Den Haag.
Geram arah politik LBB yang tak netral, Kartono memutuskan pulang ke tanah air.
Mandor Klungsu Pulang Kampung
Dalam perjalanan, di atas kapal Grotius, Kartono mengirim surat tertanggal 14 Juli 1925 kepada keluarga Abendanon:
”Karena saya tahu tidak akan mendapat pekerjaan dari pemerintah Hindia Belanda maupun pihak pribumi, saya telah menerima tawaran beberapa suratkabar besar di Eropa untuk menulis tentang Jawa dan tidak menulis mengenai politik. Kemudian saya akan menerbitkan harian yang memberi informasi kepada bangsa saya sendiri mengenai situasi di Eropa dan dikerjakan dengan objektif. Lalu saya juga akan mendirikan perpustakaan yang saya beri nama Panti Sastra yang diperuntukkan bagi sesama bangsa saya.”
Di tanah Jawa, satu per satu rencana itu kandas. Beberapa waktu lamanya, dia tak punya pekerjaan. Tawaran menjadi bupati dan direktur museum Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen ditolaknya. Alasannya, ”Saya mau beristirahat dulu.”
Kartono kemudian menemui Ki Hajar Dewantara, pendiri Taman Siswa. Ki Hajar mengizinkannya membangun perpustakaan di gedung Taman Siswa Bandung dengan nama Darussalam, yang berarti “Rumah Kedamaian”. Atas prakarsa RM Suryodiputro, adik Ki Hajar, dia diangkat menjadi kepala Nationale Middelbare School (Sekolah Menengah Nasional). Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dia juga memberi kursus bahasa kepada orang-orang asing.
Gerak-geriknya diawasi polisi rahasia Belanda (PID). Pada 1927 dia keluar dari Taman Siswa.
Selang tiga tahun, dia mendirikan rumah penyembuhan dengan nama Dar-Oes-Salam, yang berarti “Tempat yang Damai”, di rumahnya di Jalan Pungkur No 7 Bandung –sebelum pindah ke Jalan Pungkur No 19. Kartono menyebut diri Mandor Klungsu –klungsu artinya biji asam. Namun dia punya beberapa nama panggilan: wonderdokter, juragan dokter cai pengeran, dokter alif, Oom Sos, Eyang Sosro, dan Ndoro Sosro.
Arah hidupnya tak berubah tiba-tiba. Sejak usia tiga tahun, Kartono sudah memiliki bakat supranatural. Saat tinggal di Jenewa pada 1920, dia juga berhasil menyembuhkan anak seorang kenalan hanya dengan menempelkan tangan di dahi pasien. Hingga akhir hidupnya, dia dikenal sebagai ahli kebatinan yang sangat dihormati di Bandung. Rumahnya tak pernah sepi pasien. Yang datang termasuk tokoh-tokoh pergerakan seperti Sukarno.
Di masa awal pendudukan Jepang, kesehatan Sosrokartono mengalami kemunduran. Separuh badannya lumpuh. Sosrokartono mangkat pada 8 Februari 1952, tanpa meninggalkan istri dan anak. Dia dimakamkan di Sedo Mukti, Desa Kaliputu, Kudus, Jawa Tengah. Di nisannya tertulis: “sugih tanpa bandha / digdaya tanpa aji / nglurug tanpa bala / menang tan ngasorake (kaya tanpa harta, sakti tanpa jimat, menyerbu tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan yang dikalahkan).
(Historia/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email