Pesan Rahbar

Home » » Serdadu India di Barisan Republik Indonesia. Demi persaudaraan Islam, perempuan, dan harapan kehidupan yang lebih baik, tentara India meninggalkan pasukannya

Serdadu India di Barisan Republik Indonesia. Demi persaudaraan Islam, perempuan, dan harapan kehidupan yang lebih baik, tentara India meninggalkan pasukannya

Written By Unknown on Monday, 21 March 2016 | 04:12:00

Sukarelawan dari India, Filipina, Malaysia, dan Tionghoa, membentuk Internasional Volunteers Brigade pada 30 Agustus 1947 menyusul agresi militer Belanda pertama. (Foto: repro IPPHOS Remastered Edition karya Yudhi Soerjoatmodjo)

SUATU hari, Ghulam Ali, serdadu India Muslim dari Brigade Infantri I Divisi India ke-23, dan kawan-kawannya berpatroli ke kampung-kampung. Mereka mendapati rumah-rumah penduduk yang kosong. Penghuninya mengungsi ke luar Jakarta.

Seketika Ghulam Ali terharu begitu melihat tulisan bismillahirochmanirrohim di pintu rumah dan menemukan Alquran di dalam rumah-rumah penduduk. Belakangan, Ghulam Ali dan kawan-kawannya diberitahu orang-orang India Muslim yang telah lama tinggal di Indonesia bahwa sebagian besar penduduk Indonesia adalah Muslim.

“Di situlah awal-mula mereka desersi. Mereka berbalik bukan membantu tentara Inggris melucuti tentara Jepang, tapi bergabung dengan tentara Indonesia,” kata Firdaus Syam, dosen Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta, kepada Historia. Firdaus Syam juga penulis buku Peranan Pakistan di Masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia.

Komunitas India yang tergabung dalam Himpunan Keluarga (HK) memainkan peranan dalam pembelotan tentara-tentara itu. “Bagi mereka haram untuk memerangi saudara sendiri dalam konteks seiman Islam. Hal ini beberapa kali dipertegas ketua HK,” kata Yuanita Aprilandini, dosen sosiologi Universitas Negeri Jakarta yang menulis tesis tentang diaspora India, kepada Historia.

Karena sentimen agama pula, seorang serdadu India Muslim desersi karena laporan yang didengar dan dipercayainya bahwa pasukan India membakar sepuluh Alquran dan menghancurkan sebuah masjid. Dia berpikir agamanya telah dihina dan memutuskan untuk memperjuangkan Islam.

Sentimen agama menjadi senjata ampuh bagi pejuang Indonesia untuk membujuk tentara India membelot dari pasukannya. Caranya dengan melancarkan propaganda Pan-Islam (persaudaraan sesama Muslim). Menurut Richard McMillan dalam The British Occupation of Indonesia 1945-1946, propaganda itu dilakukan dalam berbagai bentuk. Saat Brigade Infantri India Ke-49 menghadapi cobaan berat di Surabaya, pejuang Indonesia menyerukan melalui pengeras suara agar umat Islam bersatu mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia. Terkadang pejuang Indonesia mengajak tentara India Muslim yang tertangkap untuk berjuang atas dasar perasaan keagamaan.

Propaganda Pan-Islam menjadi masalah yang dicemaskan para komandan pasukan Inggris. Kendati sebagian besar tentara India yang bertugas di Indonesia adalah Hindu, ada sejumlah tentara India Muslim yang dikelompokkan dalam kompi-kompi.

“Selain sentimen agama,” kata Firdaus, “sentimen sesama bangsa Asia terjajah yang ingin lepas dari penjajahan juga menjadi alasan tentara India meninggalkan pasukannya.”


Seruan Menyeberang

Dalam pertempuran Surabaya, pekik takbir terdengar di dua kubu. Des Alwi, anggota Pemuda Republik Indonesia (PRI), menceritakannya kepada Sukarno yang tandang ke Surabaya pada 29 Oktober 1945. “Terdapat pasukan Inggris yang selalu meneriakkan Allah Akbar ketika sedang bertempur,” kata Des Alwi dalam Pertempuran Surabaya November 1945. “Tetapi kita tidak pernah tahu apakah mereka itu Muslim atau bukan.”

Sukarno memerintahkan Des Alwi untuk menjelaskan kepada rakyat Surabaya bahwa Inggris membawa orang-orang Islam dari India bagian timur. “Sebagai sesama Muslim kita semua bersaudara, tidak boleh saling bunuh-membunuh dan diadu domba oleh kekuatan kolonial,” Sukarno mengingatkan. “Usahakan, ajak mereka bergabung dan membantu perjuangan kemerdekaan kita.”

Dengan ucapannya, Sukarno mengirimkan dua pesan sekaligus: memanfaatkan sentimen agama dan perjuangan melawan kolonialisme. Maka, berbagai cara dilakukan untuk membujuk tentara India, baik Muslim maupun bukan.

Di Bandung, pesan disampaikan dengan cara ditempelkan dan dililitkan pada batu kemudian dilemparkan ke arah Bandung bagian utara, tempat pasukan Inggris berada. Pesan itu berbunyi: “Penakluk Jerman dan Jepang dll pulanglah dan jangan berjuang untuk Belanda.” Propaganda juga disiarkan melalui radio di Bandung Selatan. “Kapten Rashid”, diyakini Inggris sebagai pembelot India Muslim, mengudara setiap malam dalam bahasa Inggris dan Hindustani.

“Siaran-siaran penerangan kita melalui studio RRI Bandung ditujukan kepada serdadu-serdadu Gurkha, Sikh, dan Muslim dengan bahasa Urdu dan Hindi pada 23 November 1945 menghasilkan 19 orang serdadu India ‘menyeberang’ ke pihak kita, lengkap dengan persenjataannya dan dua buah truk,” demikian dimuatSiliwangi dari Masa ke Masa.

Di Surakarta, dua tentara India yang membelot menyerukan rekan-rekannya dalam bahasa Urdu melalui corong radio agar meninggalkan tentara Inggris. Pembelot itu, tulis Soeloeh Merdeka, 21 November 1945, juga mengingatkan bahwa perjuangan Indonesia sejalan dengan perjuangan India.

Menurut McMillan, 60 persen pembelot adalah tentara India Muslim. Di Jawa, di mana sebagian besar desersi terjadi, pembelot Muslim dua kali lebih banyak dari pembelot Hindu.

P.R.S. Mani, perwira penerangan tentara Inggris, mencatat sekitar 600 tentara Muslim India membelot karena dibujuk. “Pihak Inggris juga mengakui bahwa beberapa di antaranya karena tidak suka memerangi bangsa Indonesia,” tulis Mani dalam Jejak Revolusi 1945.

Kebanyakan desersi terjadi pada malam hari dengan cara meninggalkan barak, kendati ada juga yang dilakukan ketika sedang operasi militer. Laporan Divisi India Ke-26 di Sumatra menunjukkan pembelotan meningkat tajam selama bulan suci Ramadan pada Agustus 1946.

Beberapa unit memiliki tingkat desersi lebih buruk daripada yang lain. Dua batalion yang sama, yaitu 8/8 Punjab di Sumatra dan 6/8 Punjab di Jawa, kehilangan banyak pasukan yang semuanya Muslim. Mereka membawa senjata dan amunisi 50-90 butir, pistol dan granat. Desersi terus terjadi bahkan ketika Inggris akan meninggalkan Indonesia pada November 1946.


Perempuan dan Hidup Lebih Baik

Menurut pihak Inggris, jumlah tentara India Muslim yang desersi karena tak ingin melawan sesama Muslim adalah minoritas, dan terutama terbatas pada mereka yang lebih politis. Namun, tulis sejarawan John R.W. Smail dalam Bandung Awal Revolusi 1945-1946, “Tidak semua melakukannya untuk alasan politik.”

Beberapa tentara Gurkha dan India lainnya bersedia menukarkan senjata demi mendapatkan ayam. Ada juga tentara Gurkha yang membelot karena mengidap penyakit kelamin. Namun, alasan pembelotan yang paling umum adalah karena perempuan.

Pada awal Maret 1946, tulis McMillan, tampaknya hampir seluruh tentara India di Medan melakukan desersi. Inggris kemudian melakukan penyelidikan, menginterogasi pembelot yang tertangkap, dan menemukan bahwa “kelompok yang terorganisasi dengan baik dan energik” menemui tentara India di warung kopi, pasar, dan jalan-jalan serta menjanjikan perempuan. Mereka mengatur pertemuan pada malam hari, lantas dengan mobil menuju desa-desa terpencil di daerah perbukitan sebelah barat Medan.

Laporan batalion 8/8 Punjab mengungkapkan, pada April 1946 tentaranya yang menjaga dermaga di Teluk Bayur, Padang, menangkap tiga pelacur yang mencoba menarik perhatian mereka agar keluar dari tempat penjagaan. Usaha pelacur itu gagal.

Selain perempuan, serdadu India mendapat iming-iming kehidupan yang lebih baik. Terlebih mereka yang desersi dengan membawa senjata dan amunisi. Mayoritas desertir adalah pemuda yang berharap memperoleh tanah di negeri ini. “Desertir Punjabi Muslim diperkirakan membelot dengan harapan bergerak naik di negeri ini dan menetap di tanah sendiri,” tulis laporan Divisi India Ke-26. “Negeri hijau subur ini membuat kesan yang kuat pada imajinasi tentara India.”

Menurut McMillan, banyak pembelot menerima apa yang dijanjikan, yaitu perempuan dan kelimpahan. Namun, mayoritas berakhir menyedihkan. Setelah satu bulan, mereka diabaikan dan harus menghidupi diri dengan bekerja atau berdagang. Banyak desertir menyesal tetapi takut kembali ke unit mereka. Menjelang Inggris hengkang dari Indonesia, banyak pembelot mencoba mendapatkan kembali senjata mereka sehingga bisa kembali ke unit tanpa menerima hukuman berat.

Salah satu yang menyedihkan adalah Nahar Singh, seorang Hindu Rajput dalam batalion 6/6 Rajputana Rifles. Sementara tiga rekannya menikah dengan perempuan lokal, dia terabaikan karena mengidap penyakit kelamin. Dia ditemukan Brigade Infantri India Ke-4 dalam keadaan tak berdaya.

Secara keseluruhan, 746 tentara India atau 1,7 persen dari total 45.000 tentara Inggris membelot. “Dengan kata lain, tingkat desersi di Jawa dan Sumatra kecil dan tidak mempengaruhi efektivitas operasional tentara pendudukan,” tulis McMillan.


Berjuang untuk Indonesia

Menurut Muhammad TWH dalam “Pembelotan Sekutu di Fajar Asia”, dimuat harian Waspada, 27 Agustus 2010, terdapat 71 desertir di Medan yang dikumpulkan dalam Resimen III Divis X Batalyon I pimpinan Mayor Abdul Sattar. Abdul Sattar mempengaruhi banyak tentara India untuk menyeberang ke pihak Republik dengan membawa senjata. Misalnya, Nur Muhammad dan Abdul Jalil yang membawa enam peti granat, empat pucuk sten gun, dan delapan pucuk senapan Lee Enfield.

“Nur Muhammad menjadi pemimpin volksfront (front rakyat), sebuah organisasi radikal di Indonesia,” tulis McMillan. “Bahkan, dia akan menembak desertir Hindu yang mencoba kembali ke unitnya.”

Para pembelot bertugas di berbagai front di Medan. Sekira 17 orang di Aceh, di antaranya John Edward (Abdullah) dan Chandra sebagai penyiar radio perjuangan Rimba Raya, masing-masing dalam bahasa Inggris dan Urdu. Dua orang gugur dalam pertempuran di dekat Brastagi dan 15 orang gugur dalam pertempuran di Pematang Siantar; jenazah mereka dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Medan. “Sejumlah 37 orang lainnya, ada yang bergabung dengan masyarakat, kembali ke Pakistan, dan tidak diketahui berada di mana,” tulis Muhammad TWH.

Di Jawa, para pembelot bergabung dalam kesatuan-kesatuan Tentara Republik Indonesia. Di Jawa Barat, mereka ditampung di Talun, Garut, di bawah Letkol Rukana, komandan batalion Polisi Tentara Resimen 8 Bandung. Ghulam Ali bergabung dalam Kompi I Seksi II BN 8 Brigade II/Suryakancana Divisi Siliwangi. Daerah pertempurannya meliputi Cianjur, Bandung, Majalaya, Sukabumi, dan Cirebon.

Para pembelot di Jawa Tengah ditampung di Krian Mojokerto, kemudian dipindahkan ke Blitar dan digabungkan pada Batalion 120 di bawah komandan Mayor Vristan dan wakilnya Mohammad Jassin. Dari Blitar dipecah lagi dan digabungkan pada tiap-tiap daerah pertempuran di Jombang, Mojoagung, Krebet, Turen, Malang, Muntilan, Magelang, Ambarawa, dan Salatiga.

P.R.S. Mani sering bertemu dengan mereka di Yogyakarta dan, terkadang, melihat mereka beroperasi sendiri-sendiri bersama kesatuan-kesatuan gerilya Indonesia. “Mereka bersemangat membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia dan dinilai baik oleh para perwira Indonesia,” tulis Mani. “Bahwasannya ada beberapa orang di antara mereka yang membantunya itu karena terpikat oleh keuntungan materi tidaklah diragukan lagi, tapi ada juga, meskipun tidak banyak, yang telah memberikan jiwanya demi Indonesia.”

Menurut Mani, tentara Indonesia tidak memobilisasi mereka sebagai satu kesatuan karena tak ingin membangkitkan amarah orang-orang Inggris. Namun, pada 30 Agustus 1947, Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin mempersatukan mereka dalam International Volunteers Brigade dengan komandan Abdul Matin dan wakilnya Ghulam Ali. Dalam kesatuan ini juga terdapat sukarelawan Tionghoa, Filipina, dan Malaysia.

Namun, pasukan ini tidak banyak digunakan. Menurut ZA Maulani, mantan kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin), entah apa yang jadi pertimbangan politik Amir, “brigade sukarelawan itu diikat di kandangnya (asrama –red) tidak dikerahkan ke mana-mana menjelang pemberontakan PKI Madiun 1948,” tulis Maulani dalam pengantar Peranan Pakistan di Masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia.

Abdul Matin akhirnya memohon kepada Wakil Presiden/Perdana Menteri Mohammad Hatta agar pasukan International Brigade dikirim ke front di seluruh Jawa untuk melawan Belanda. Permohonan itu disetujui. Abdul Matin pun membagi-bagi pasukan dan menugasi ke front-front, bergabung dengan tentara Indonesia. Mereka bertempur selama agresi militer Belanda II.

“Pasukan Sukarelawan Muslim India-Pakistan bertempur di hutan-hutan, secara bergerilya, mengacau kota-kota yang diduduki Belanda. Banyak yang gugur, tertangkap Belanda, dan ditahan di Jakarta, Blitar, Kediri, Malang, dan Surabaya,” kata Ghulam Ali, dikutip Firdaus Syam dalam bukunya.

Yang tertangkap dibebaskan pada Januari 1950. Sebagian dari mereka pulang ke tanah airnya. Bahkan, ada yang pulang sejak Desember 1948. Pelita Rakjat, 13 Desember 1948, mewartakan 22 orang India yang bergabung dalam International Volunteer Brigade akan pulang ke tanah airnya yang sudah merdeka –beberapa di antara mereka melanjutkan karier ketentaraan.

Sebagian lagi menetap di Indonesia dan melanjutkan dinas di militer atau polisi. Ghulam Ali bergabung dengan Brimob Polri. Pada 1967, Presiden Soeharto menganugerahkan penghargaan Satyalencana Janautama. Dia pensiun dengan pangkat Peltu pada 1971. Dia meninggal pada tahun 1980-an, meninggalkan seorang anak.

(Historia/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: