Pesan Rahbar

Home » , » Tawalli dan Tabarri (Disertai Doa)

Tawalli dan Tabarri (Disertai Doa)

Written By Unknown on Saturday 23 September 2017 | 23:26:00


Jadilah kamu seperti anak unta; tidak punya punggung yang bisa ditunggangi dan tidak punya air susu yang dapat diperah.
[Imam Ali bin Abi Thalib as]

Di mana pun kita berada harusnya seperti anak unta yang lincah yang tidak bisa ditunggangi dan tidak bisa dimanfaatkan orang lain untuk kepentingan politiknya; kita mesti lincah seperti halnya anak unta.

Dalam Islam ada tawalli yang maksudnya keberpihakkan kepada Allah, Rasul-Nya, para washi Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman yang mengikuti Allah, Rasul-Nya dan para washinya. Dan tabarri adalah berlepas diri dari musuh-musuh mereka atau tidak berpihak kepada mereka.

Kemudian orang-orang yang termasuk kriteria sahabat yang kita berpihak kepada mereka ada tiga macam sahabat sebagaimana disebutkan dalam sebuah keterangan;
(1) sahabatmu,
(2) sahabat bagi sahabatmu, dan
(3) musuh bagi musuhmu.

Demikian pula yang menjadi musuh yang kita tidak boleh berpihak kepadanya ada tiga:
(1) musuhmu,
(2) sahabat musuhmu, dan
(3) musuh sahabatmu.


Manusia ada yang baik dan ada yang buruk dalam perilaku. Rasul, Ahlulbaitnya yang suci dan para pengikut mereka yang sesungguhnya adalah manusia-manusia yang baik. Jika kita ingin menjadi baik, maka harus berpihak kepada mereka, dan kalau kita tidak berpihak kepada mereka bahkan kita bersikap memusuhi mereka, maka kita akan menjadi manusia yang buruk.

Karena manusia terbagi dua golongan; baik dan buruk, maka jalan hidup yang ditempuh manusia juga ada yang baik dan ada yang buruk, dan tempat berakhirnya pun ada dua tempat; kasih Allah (surga) dan murka Allah (neraka)

Jalan hidup yang baik adalah jalan Allah, yakni Islam sebagaimana yang Dia firmankan (yang artinya), Sesungguhnya ajaran di sisi Allah itu Islam. [Sûrah Âli ‘Imrân 2/18] Dan firman-Nya, Dan barangsiapa yang mencari ajaran selain Islam, maka tidak akan diterima darinya dan dia di akhirat termasuk dari golongan orang-orang yang merugi. [Sûrah Âli ‘Imrân 3/85]

Imam Ali bin Abî Thâlib as menegaskan tentang jalan hidup yang benar sebagai berikut, “Siapa yang mencari suatu ajaran selain Islam, nyatalah celakanya, terputuslah talinya, besarlah kejatuhannya, dan tempat kembalinya kepada kesedihan yang panjang dan siksaan yang besar.” [Nahjul Balâghah, lihat buletin nomor 4]

Pedoman hidup itu sangat jelas, yaitu Islam yang dituangkan dalam Kitab Suci dan diperjelas oleh sunnah-sunnah Rasulullah saw, namun sepeninggal Rasulullah dan para washinya, muncullah berbagai tafsiran dan interpretasi terhadap ajaran Islam itu sendiri sehingga menimbulkan perbedaan-perbedaan di kalangan kaum muslim sebagaimana para pendahulunya, yakni kaum yahudi dan nasrani, maka ummat Islam pecah menjadi berbagai mazhab, firqah dan golongan. Allah ‘azza wa jalla telah menyebutkan dalam Al-Quran sûrah Al-Rûm ayat 30-31.

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada ajaran (Allah) sebagai fitrah Allah yang Dia telah menjadikan manusia atasnya, tidak ada perubahan bagi ciptaan (fitrah) Allah itu, yang demikian itu ajaran yang lurus, tetapi kebanyakan orang tidak mengetahui. Dengan kembali bertobat kepada-Nya dan bertaqwalah kamu kepada-Nya, dirikanlah shalat dan janganlah kamu menjadi di antara orang-orang yang menyekutukan Allah.Yaitu orang-orang yang memecah belah ajaran mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. [Sûrah Al-Rûm 30-32]


Kondisi Zaman Sekarang

Zaman Rasulullah saw adalah zaman persatuan; suku-suku yang ada di jazirah Arab bisa dipersatukan oleh beliau, dan zaman seperti itu akan terjadi lagi pada zaman khalifahnya yang terakhir Al-Imam Al-Mahdi as.

Zaman ketiadaan Rasulullah saw dan ketiadaan khalifah penggantinya adalah zaman kegelapan, kezaliman dan perpecahan hatta di kalangan orang-orang yang sepaham sekalipun. Jauh-jauh Rasulullah saw telah mengatakan satu saat nanti akan keluar seorang lelaki dari Ahlulbaitnya yang namanya sama dengan beliau yang akan memenuhi bumi ini dengan kebenaran dan keadilan (qisthan wa ‘adlan) sebagaimana bumi ini telah diliputi oleh kegelapan dan ketidakadilan (zhulman wa jauran). [Al-Hâkim dalam Al-Mustadrak]

Maka jalan yang terbaik pada zaman sekarang ini adalah saling menghormati, saling mempelajari dan saling menghargai perbedaan pendapat; tidak saling menghujat, tidak saling menyalahkan, tidak saling menyesatkan dan tidak saling mengkafirkan yang ujung-ujungnya akan saling bermusuhan hingga akan sangat mudah hal itu dimanfaatkan oleh pihak lain yang tidak suka kepada ajaran Allah sebagaimana yang terjadi di kawasan Timur Tengah. Dan kalau pihak lain menunggangi punggung kita dan mengambil manfaat dari keadaan kita hingga mereka mengadu-ngadu kita, maka kita bukan lagi anak unta yang lincah; kita hanya menjadi sapi perahan bagi mereka.

Mengapa zaman sekarang adalah zaman perpecahan dan perbedaan paham, karena zaman sekarang ini adalah zaman ketiadaan marja’ yang mutlak yang memegang otoritas sebagai wakil Tuhan. Dan kita semua tidak ada yang seratus persen berpegang kepada Islam, kebanyakan kita hanya berpegang kepada Islam tafsiran para ulama (agama interpretasi) yang menurut para pengikutnya masing-masing adalah yang paling benar (kullu hizbin bimâ laihim farihûn).

Pada zaman sekarang ini kita harus menjadi juru damai (arbiter) dengan berusaha mendekatkan yang berjauhan, mendamaikan yang bertikai, menekan yang arogan yang suka mengkafir-kafirkan dan menyesat-nyesatkan orang lain yang tidak sepaham dengannya. Jika kita merasa punya paham yang paling benar, boleh saja kita mengajak orang lain ke paham kita, tetapi haruslah dengan cara-cara yang bijak (hikmah), dengan pengajaran yang baik (mau’izhah hasanah), dan bila diperlukan diskusi, maka berdiskusilah dengan niat dan tujuan mencari yang paling benar. Dan Apabila diskusi tidak menyelesaikan masalah, maka kita saling menghormati dan saling menghargai perbedaan yang ada, karena kita tidak bisa memaksakan pendapat kita atas orang lain yang tidak sepaham dengan kita.


Isti‘âdzah dari Tabarri kepada Wali Allah dan Tawalli kepada Musuh-Nya

Jika kita memusuhi wali atau kekasih Allah, maka kita akan menjadi musuh Allah, dan bila kita berpihak kepada musuh Allah, maka kita juga akan dimusuhi Allah, maka dengan segenap kehati-hatian, kita berlindung kepada Allah ‘azza wa jalla sebagaimana yang diajarkan oleh Imam Ali bin Abi Thâlib as berikut ini.

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُعَادِيَ لَكَ وَلِيًّا، أَوْ أُوَالِيَ لَكَ عَدُوًّا، أَوْ أَرْضَى لَكَ سَخَطًا أَبَدًا. اللَّهُمَّ مَنْ صَلَّيْتَ عَلَيْهِ فَصَلاَتُنَا عَلَيْهِ، وَ مَنْ لَعَنْتَهُ فَلَعْنَتُنَا عَلَيْهِ. اللَّهُمَّ مَنْ كَانَ فِي مَوْتِهِ فَرَجٌ لَنَا وَ لِجَمِيعِ الْمُسْلِمِينَ فَأَرِحْنَا مِنْهُ، وَ أَبْدِلْنَا بِهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ لَنَا مِنْهُ، حَتَّى تُرِيَنَا مِنْ عِلْمِ اْلإِجَابَةِ مَا نَعْرِفُ فِي أَدْيَانِنَا وَ مَعَايِشِنَا يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ، وَ صَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ وَ آلِهِ وَ سَلَّمَ.

Allâhumma innî a‘ûdzu bika an u‘âdiya laka waliyyâ, au uwâliya laka ‘aduwwâ, au ardhâ laka sakhathan abadâ. Allâhumma man shallaita ‘alaihi fashalâtunâ ‘alaih, wa man la‘antahu fala‘natunâ ‘alaih. Allâhumma man kâna fî mautihi farajun lanâ wa lijamî‘il muslimîna fa`arihna minh, wa abdilnâ bihi man huwa khairun lanâ minh, hattâ turiyanâ min ‘ilmil ijâbati ma na‘rifu fi adyâninâ wa ma‘âyisyinâ yâ arhamar râhimîn. Wa shallallâhu ‘alâ sayyidinâ muhammadinin nabiyyi wa ãlihi wa sallam.

Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari memusuhi kekasih-Mu, mencintai musuh-Mu, atau aku rido dengan kemurkaan-Mu untuk selamanya. Ya Allah orang yang Engkau berikan shalawât kepadanya maka shalawât kami juga kepadanya, dan orang yang Engkau laknat atasnya maka laknat kami juga atasnya. Ya Allah orang yang dalam kematiannya merupakan kelapangan bagi kami dan bagi semua orang yang berserah diri kepada-Mu, maka rehatkanlah kami darinya, dan gantikanlah buat kami dengan orang yang lebih baik darinya, hingga Engkau perlihatkan kepada kami ilmu pengkabulan doa yang kami kenal dalam ajaran kami dan kehidupan kami, wahai yang maha pengasih dari semua yang mengasihi. Dan Allah mencurahkan shalawât dan salâm bagi sayyidinâ Muhammad sang Nabi dan keluarganya.[1]


Catatan Kaki:

[1]. Al-Shahîfah Al-‘Alawiyyah hal. 285.

(Abu-Zahra/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: