Pesan Rahbar

'AISYAH BERKATA: “BUNUH NA’TSAL, SESUNGGUHNYA IA TELAH KAFIR!”

Written By Unknown on Sunday, 31 August 2014 | 21:02:00


SEBELUM UTSMAN DIBUNUH.
Satu tahun sebelum Utsman dibunuh, orang-orang Kufah, Basrah dan Mesir bertemu di Masjidil Haram, Mekah. Pemimpin kelompok Kufah adalah Ka’ab bin Abduh, pemimpin kelompok Basrah adalah Al-Muthanna bin Makhrabah Al-‘Abdi dan pemimpin kelompok Mesir adalah Kinanah bin Basyir bin Uttab bin Auf As-Sukuni kemudian hari diganti oleh At-Taji’i. Beberapa kelompok dari mereka ialah:

1. KELOMPOK KELUARGA YANG DILALIMI KHALIFAH: Sa’ad bin Musayyib menceritakan adanya keluarga Banu Hudzail dan Banu Zuhrah yang merasa sakit hati atas perbuatan Utsman terhadap ‘Abdullah bin Mas’ud, karena Ibnu Mas’ud berasal dari kedua klan ini. Yang tergabung kedalam kelompok ini adalah mereka yang anggota keluarganya mendapatkan perlakuan buruk dari Utsman bin Affan seperti keluarga Banu Taim yang membela Muhammad bin Abu Bakar; keluarga Banu Ghifari yang membela Abu Dzar; keluarga Banu Makhzum yang membela ‘Ammar bin Yasir dll. Mereka semua mengepung rumah khalifah Utsman dan menuntut khalifah memecat Sekretaris Negara, Marwan bin Hakam.

2. KELOMPOK PENDUDUK BASRAH: Kemudian dari Basrah datang ke Madinah sekitar 150 orang. Yang tergabung kedalam kelompok ini adalah Dzarih bin Ubbad Al-‘Abdi, Basyir bin Syarih Al-Qaisi, Ibnu Muharrisy. Malah menurut Ibnu Khaldun jumlah mereka sama banyaknya dengan jumlah pendatang Mesir yaitu sekitar 1,000 orang, dan terbagi kedalam 4 kelompok.

3. KELOMPOK KUFAH: Dari Kufah datang 200 orang yang dipimpin Asytar. Ibnu Qutaybah mengatakan kelompok Kufah terdiri dari 1,000 orang dalam 4 kelompok. Pemimpin masing-masing kelompok adalah Zaid bin Suhan al-‘Abdi, Ziyad bin an-Nashr al-Haritsi, ‘Abdullah bin al-‘Ashm al-‘Amiri dan ‘Amr bin al-Ahtam.

4. KELOMPOK MESIR: Dari Mesir datang 1,000 orang (ada yang mengatakan hanya 400 orang, atau 500 orang, atau 700 orang, atau 600 orang. Menurut Ibn Abil-Hadid 2,000 orang). Dalam kelompok ini terdapat Muhammad bin Abi Bakar, Sudan bin Hamran as-Sukuni, ‘Amr bin Hamaq al-Khaza’i. Mereka dibagi dalam empat kelompok masing-masing dipimpin oleh ‘Amr bin Badil bin Waraqa’ al-Khaza’i, ‘Abdurrahman bin ‘Adis Abu Muhammad al-Balwi, ‘Urwah bin Sayyim bin al-Baya’ al-Kinani al-Laitsi, Kinanah bin Basyir Sukuni at-Tajidi. Mereka semua berkumpul di sekitar ‘Amr bin Badil al-Ghaza’i, seorang sahabat Rasulullah, dan ‘Abdurrahman bin ‘Adis al-Tajibi.

5. KELOMPOK MADINAH: Mereka disambut oleh kelompok Madinah yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar seperti ‘Ammar bin Yasir al-‘Abasi, seorang pengikut perang Badar, Rifaqah bin Rafi’ al-Anshari, pengikut Perang Badar, al-Hajjaj bin Ghaziah seorang sahabat Rasulullah, Amir bin Bakir, seorang dari Banu Kinanah dan pengikut Perang Badar, Thalhah bin Ubaydillah dan Zubayr bin Awwam, peserta Perang Badar.

Lihat referensi berikut ini:

Ibnu Sa’ad, Thabaqat, jilid 3, halaman 49
Baladzuri, al-Ansab al-Asyraf, jilid 5, halaman 26, 59 Ibnu Qutaybah, al-Imamah wa’s-Siyasah, jilid 1, halaman 34 Ibnu Qutaybah, al-Ma’arif, halaman 84 Thabari, Tarikh, jilid 5, halaman 116 Muruj adz-Dzahab, jilid 1, halaman 441 Ibnu ‘Abd Rabbih, al-‘Iqd al-Farid, jilid 2, halaman 262, 263, 269 Muhibbudin Thabari, Ar-Riyadh an-Nadhirah, jilid 2, halaman 123, 124 Ibnu Atsir, al-Kamil, jilid 3, halaman 66 dll.

‘AISYAH BERKATA: “BUNUH NA’TSAL, SESUNGGUHNYA IA TELAH KAFIR!”. Sejarah telah mencatat bahwa Ummul Mukminin ‘Aisyah, bersama Thalhah, Zubayr dan anaknya Abdullah bin Zubayr, telah melancarkan peperangan terhadap khalifah yang sah, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, yang memakan korban hingga lebih dari 20,000 orang, dengan alasan untuk menuntut darah Utsman bin Affan (jadi mereka menyalahkan orang yang sama sekali tidak bersalah!).

Padahal Ummul Mukminin ‘Aisyah adalah pelopor dalam melawan ‘Utsman dengan mengatakan bahwa Utsman telah kafir.

Thalhah menahan pengiriman air minum kepada Utsman, tatkala rumah khalifah yang ketiga itu dikepung ‘para pemberontak’ yang datang dari daerah-daerah.

Zubayr menyuruh orang membunuh Utsman pada waktu rumah khalifah itu sedang dikepung. Orang mengatakan kepada Zubayr: “Anakmu sedang menjaga di pintu, mengawal (Utsman).” Zubayr menjawab: “Biar aku kehilangan anakku tetapi Utsman harus dibunuh!” (Lihat: Ibn Abil-Hadid, Syarh Nahju-l-Balaghah, jilid 6, halaman 35—36).

Zubayr dan Thalhah juga adalah orang-orang yang pertama membai’at Ali.
Khalifah Utsman mengangkat Walid bin Uqbah, saudara seibunya jadi Gubernur di Kufah. Ayahnya Uqbah pernah menghujat Rasulallah di depan orang banyak, dan kemudian dibunuh oleh Ali bin Abi Thalib. Walid sendiri dituduh sebagai pemabuk dan menghambur-hamburkan uang baitul mal. Ibnu Mas’ud (Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud), seorang sahabat terkemuka, yang ikut Perang Badar, yang mengajar Al-Qur’an dan agama di Kufah, penanggung jawab baytul mal, menegur Walid. Walid mengirim surat kepada Utsman mengenai Ibnu Mas’ud. Utsman memanggil Ibnu Mas’ud menghadap Madinah.
Baladzuri menulis: “ ‘Utsman sedang berkhotbah di atas mimbar Rasulullah. Tatkala Utsman melihat Ibnu Mas’ud datang ia berkata: ‘Telah datang kepadamuu seekor kadal (duwaibah) yang buruk, yang kerjanya mencari makan malam hari, muntah dan berak!’.

Ibnu Mas’ud menjawab: ‘Bukan begitu, tetapi aku adalah sahabat Rasulullah pada perang Badar dan bai’at ar-ridwan’ (Ibnu Mas’ud sengaja menyebutkan kedua peristiwa ini karena Utsman memang tidak pernah hadir dalam kedua peristiwa itu—red)

‘Aisyah berteriak: ‘Hai Utsman, apa yang kau katakan terhadap sahabat Rasulullah ini?’ Utsman naik pitam dan berteriak: ‘Diam engkau!’
Dan kemudian Utsman memerintahkan mengeluarkan Ibnu Mas’ud dari Masjid dengan kekerasan. Abdullah bin Zam’ah, pembantu Utsman, membanting Ibnu Mas’ud ke tanah. Kemudian ia menginjak tengkuk Ibnu Mas’ud secara bergantian dengan kedua kakinya hingga rusuk Ibnu Mas’ud patah.

Marwan bin Hakam berkata kepada Utsman: ‘Ibnu Mas’ud telah merusak Irak, apakah engkau ingin ia merusak Syam juga?’ Dan Ibnu Mas’ud ditahan dalam kota Madinah sampai ia meninggal dunia tiga tahun kemudian. Sebelum mati ia membuat wasiat agara Ammar bin Yasir menguburkannya diam-diam, yang kemudian membuat Utsman marah.

Karena Utsman sering menghukum saksi pelanggaran agama oleh pembantu-pembantunya, timbullah gejolak di Kufah. Orang menuduh Utsman sering menghukum saksi dan membebaskan tertuduh (Lihat: Ibnu Abd al-Barr, Kitab al-Istiab fi Ma’rifati ‘l-Ashhab, dalam pembicaraan Ibnu Mas’ud; lihat juga Al-Baladzuri, Ahmad bin Yahya bin Jabir, Ansab al-Asyraf, jilid 5, halaman 35).

Abu’l-Faraj menulis: “Berasal dari az-Zuhri yang berkata: ‘Sekelompok orang Kufah menemui Utsman pada masa Walid bin Uqbah menjadi gubernur. Maka berkatalah Utsman: ‘Bila seorang diantara kamu marah kepada pemimpinnya, maka dia lalu menuduhnya melakukan kesalahan, besok aku akan menghukum dirimu.’ Dan mereka meminta perlindungan ‘Aisyah. Besoknya Utsman mendengar kata-kata kasar mengenai dirinya keluar dari kamar ‘Aisyah, maka Utsman berseru: ‘Orang Iraq yang tidak beragama dan fasik-lah yang mengungsi di rumah ‘Aisyah’.’ Tatkala ‘Aisyah mendengar kata-kata Utsman ini, ia mengangkat sandal Rasulullah, dan berkata: ‘Anda meninggalkan sunnah Rasulullah, pemilik sandal ini!’ Orang-orang mendengarkan. Mereka datang memenuhi masjid. Ada yang berkata, “Dia betul” dan ada yang berkata, “Bukan urusan perempuan!” . Akhirnya mereka baku hantam dengan sandal. (Lihat: Abu’l-Faraj al-Isfahani, al-AghaniI, jilid 4, halaman 18).

Baladzuri menulis: “Aisyah mengeluarkan kata-kata kasar yang ditujukan kepada Utsman dan Utsman membalasnya: ‘Apa hubungan anda dengan ini?’ ‘Anda diperintahkan agar diam di rumahmu (maksudnya ialah firman Allah yang memerintahkan isteri Rasul agar tinggal di rumah:
“…dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat…………” (QS. AL-Ahzab: 33).

Dan ada kelompok yang berucap seperti Utsman, dan yang lain berkata: ‘Siapakah yang lebih utama dari ‘Aisyah?’ Dan mereka baku hantam dengan sandal, dan ini pertama kali perkelahian antara kaum Muslimin, sesudah Nabi wafat. (Lihat: Baladzuri, Ansab al-Asyraf, jilid 5, halaman 18)
Tatkala khalifah Utsman sedang dikepung oleh “pemberontak” yang datang dari Mesir, Basrah, dan Kufah, ‘Aisyah naik haji ke Mekah.
Thabari menulis: “Seorang laki-laki bernama Akhdhar (datang dari Madinah) dan menemui ‘Aisyah” Aisyah: “Apa yang sedang mereka lakukan?”
Akhdhar: “Utsman telah membunuh orang-orang Mesir itu!”
Aisyah: “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Apakah ia membunuh kaum yang datang mencari hak dan mengingkari dzalim? Demi Allah, kita tidak rela akan (peristiwa) ini.
Kemudian seorang laki-laki lain (datang dari Madinah). Aisyah: “Apa yang sedang dilakukan oleh orang itu?” Laki-laki itu menjawab: “Orang-orang Mesir telah membunuh Utsman!”
Aisyah: “Ajaib si Akhdhar.
Ia mengatakan bahwa yang terbunuhlah yang membunuh”
Sejak saat itulah muncul peribahasa, “LEBIH BOHONG DARIPADA SI AKHDHAR” (Lihat: Thabari, Tarikh, jilid 5, halaman 166).

Abu Mikhnaf Luth al-‘Azdi menulis: ‘Aisyah berada di Mekah tatkala mendengar terbunuhnya Utsman.
Ia segera kembali ke Madinah dalam keadaan tergesa-gesa.
Dia berkata: “Dialah PEMILIK JARI” (Dzul Ishba, gelar Thalhah bin Ubaydillah, karena beberapa jarinya buntung di perang Uhud).
Demi Allah, mereka akan mendapatkan kecocokan pada Thalhah. Dan tatkala Aisyah berhenti di Sarf (Sarf, suatu tempat sekitar 10 km jauhnya dari kota Mekah), ia bertemu dengan Ubaid bin Abi Salmah al-Laitsi. Aisyah berkata: “Ada berita apa?”
Ubaid menjawab: “Utsman dibunuh”
Aisyah: “Kemudian bagaimana?”
Ubaid: “Kemudian mereka telah menyerahkan kepada orang yang paling baik, mereka telah membai’at Ali” Aisyah: “Aku lebih suka langit runtuh menutupi bumi! Selesailah sudah! Celakalah anda! Lihatlah apa yang anda katakan!.
Ubaid: “Itulah yang saya katakan pada anda, ya ummul mukminin
Maka merataplah Aisyah
Ubaid: “Ada apa, ya ummul mukminin! Demi Allah, aku tidak mengetahui ada yang lebih utama dan lebih baik dari dirinya. Dan aku tidak mengetahui orang yang sejajar dengannya, maka mengapa anda tidak menyukai wilayah-nya?”
Aisyah tidak menjawab.
Dengan jalur yang berbeda-beda diriwayatkan pula bahwa Aisyah tatkala sedang berada di kota Mekah, mendapatkan berita tentang pembunuhan Utsman, ia berkata:
“Mampuslah dia (ab’adahu ‘llah)! Itulah hasil kedua tangannya sendiri! Dan Allah tidak dzalim terhadap hambaNya!”

Dan diriwayatkan bahwa Qais bin Abi Hazm naik haji pada tahun Utsman dibunuh. Tatkala berita pembunuhan sampai, ia berada bersama Aisyah dan menemaninya pergi ke Madinah. Dan Qais berkata: “Aku mendengar ia telah berkata:
‘Dialah si PEMILIK JARI!’
Dan tatkala disebut nama Utsman, ia berkata:
‘Mampuslah dia!’

Dan waktu mendapat kabar dibai’atnya Ali, ia berkata:
‘Aku ingin yang itu (sambil menunjuk ke langit) runtuh menutupi yang ini (sambil menunjuk ke bumi)’”.
Ia lalu memerintahkan agar unta tunggangannya di kembalikan ke Mekah dan aku kembali bersamanya. Sampai di Mekah ia berkhotbah kepada dirinya sendiri, seakan-akan ia berbicara kepada seseorang.
‘Mereka telah membunuh Ibnu Affan (Utsman) dengan dzalim’. Dan aku berkata kepadanya: ‘Ya Ummul mukminin! Tidakkah aku mendengar baru saja anda telah berkata, “Ab’adahu-llah!”?”
‘Dan aku melihat engkau sebelum ini paling keras terhadapnya dan mengeluarkan kata-kata buruk untuknya!”
Aisyah menjawab, “Betul demikian, tetapi aku telah mengamati masalahnya dan aku melihat mereka meminta agar dia bertobat………….kemudian setelah ia bertobat mereka membunuhnya pada bulan haram’
Dan diriwayatkan dalam jalur lain bahwa tatkala sampai kepadanya berita terbunuhnya Utsman ia berkata:
“Mampuslah dia! Ia dibunuh oleh dosanya sendiri. Mudah-mudahan Allah menghukumnya dengan hasil perbuatannya (aqadahu-llah)! Hai kaum Qurays, janganlah kamu berlaku sewenang-wenang terhadap pembunuh Utsman, seperti yang dilakukan kepada kaum Tsamud! Orang yang paling berhak akan kekuasaan ini adalah Si Pemilik Jari!”
Dan tatkala sampai berita pembaiatan terhadap Ali, ia berkata:
“Habis sudah, habis sudah (ta’isa), mereka tidak akan mengembalikan kekuasaan kepada (Banu) Taim untuk selama-lamanya!”
Dan jalur lain lagi: “Kemudian ia kembali ke Madinah dan ia tidak ragu lagi bahwa Thalhah-lah yang akan memegang kekuasaan (khilafah) dan ia berkata:
‘(Allah) menjauhkan dan membinasakan si Na’tsal. Dialah si Pemilik Jari! (maksudnya Thalhah) Itu dia si Abu Syibl! (Julukan dari Thalhah yang berarti ‘ayah dari anak singa’), dialah misanku! Demi Allah, mereka akan menemukan pada Thalhah kepantasan untuk kedudukan ini. Seakan-akan aku sedang melihat ke jarinya tatkala ia dibai’at! Bangkitkan unta ini dan segera berangkatkan dia!” (Lihat: Ibn Abil-Hadid, Syarh Nahjul Balaghah, jilid 4, halaman 215, 216).
Dan tatkala ia berhenti di Sarf dalam perjalanan ke Madinah ia bertemu dengan Ubaid bin Umm Kilab (Ubaid bin Umm Kilab adalah orang yang sama dengan Ubaid bin Abi Salamah al-Laitsi)
Ubaid berkata: “Mereka membunuh Utsman, dan delapan hari tanpa pemimpin!”
Aisyah: “Kemudian apa yang mereka lakukan?”
Ubaik berkata: “Penduduk Madinah secara bulat (bi-l-ijma) telah menyalurkan ke jalan yang terbaik, mereka secara bulat telah memilih Ali bin Abi Thalib”.
Aisyah berkata: “Kekuasaan jatuh ke tangan sahabatmu! Aku ingin yang itu runtuh menutupi yang ini! Lihatlah apa yang kamu katakan!”
Ubaid menjawab: “Itulah yang aku katakan, ya ummul mukmini” Maka merataplah Aisyah. Ubaid melanjutkan: “Ada apa dengan anda, ya ummul mukminin? Demi Allah! Aku tidak menemukan antara dua daerah berlafa gunung berapi (maksudnya Madinah) ada satu orang yang lebih utama dan lebih berhak dari dia. Aku juga tidak melihat orang yang sama dan sebanding dengannya, maka mengapa anda tidak menyukai wilayah-nya?”
Ummul mukiminin berteriak: “Kembalikan aku, kembalikan aku”, dan ia lalu berangkat ke Mekah. Dan ia berkata: ‘Demi Allah, Utsman telah dibunuh secara dzalim. Demi Allah, kami akan menuntut darahnya!”.
Ibnu Ummu’l-Kilab berkata kepada Aisyah: “Mengapa, Demi Allah, sesungguhnya orang yang pertama mengamati pekerjaan Utsman adalah anda, dan anda telah berkata: “BUNUHLAH SI NA’TSAL! IA TELAH KAFIR!
Aisyah berkata: “Mereka minta ia bertobat dan mereka membunuhnya. Aku telah bicara dan mereka juga telah bicara. Dan perkataanku yang terakhir lebih baik daripada perkataanku yang pertama”.
Ibnu Ummu-l- Kilab kemudian bersyair: Dari anda bibit disemai Dari anda kekacauan dimulai Dari anda datangnya badai DAri anda hujan berderai Anda suruh bunuh sang imam Ia ‘lah kafir, anda yang bilang Jika saja kami patuh Ia tentu kami bunuh Bagi kami pembunuh adalah penyuruh Tidak akan runtuh loteng di atas kalian Tidak akan gerhana matahari dan bulan Telahh dibaiat orang yang agung Membasmi penindas, menekan yang sombong Ia selalu berpakaian perang Penepat janji, bukan pengingkar
Menurut Mas’udi (Lihat: Muruj adz-Dzaha, jilid 2, halaman 9); Dari anda datang tangis Dari anda datang ratapan Dari anda datangnya topan Dari anda tercurah hujan Anda perintah bunuh sang imam Pembunuh bagi kami adalah penyuruh
Dan Utsman telah terbunuh…………………Para pembunuhnya telah mengepung rumah Utsman dan memotong suplai air agar ia meletakkan jabatan. Para ahli sejarah juga mencatat bahwa mayat Utsman dilarang oleh para sahabat lain dikebumikan di pekuburan Muslim. Akhirnya ia dikebumikan di pekuburan Hash Kaukab (sebuah pekuburan Yahudi yang letaknya tidak begitu jauh dari pekuburan Muslimin di Baqi Madinah). Utsman dikuburkan tanpa dimandikan dan tanpa dikafani.
Pekuburan Hash Kaukab itu akhirnya dibeli oleh pemerintah pada saat Mu’awiyyah yang satu suku dengan Utsman (Bani Umayyah) mengangkangi kursi khilafah. Dan kemudian pekuburan itu disatukan dengan pekuburan Baqi. Tapi tetap kita bisa melihat betapa kuburan Utsman itu letaknya jauh sekali dari kuburan khalifah sebelumnya seperti kuburan Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Kaum Muslimin pada waktu itu enggan menguburkan Utsman berdampingan dengan kuburan khalifah sebelumnya padahal sebagai seorang Khalifah sudah selayaknya ia mendapatkan prioritas—dikubur bersebelahan dengan Nabi.

Rupanya letak kuburan Utsman itu menyisakan misteri selain pembelajaran kepada kaum Muslimin hingga sekarang.
.
BAGAIMANA UTSMAN BISA MENJADI KHALIFAH?

Ketika Khalifah Umar bin Khattab ditusuk orang, ia telah diberitahu orang-orang bahwa nama penggantinya sudah dibicarakan orang-orang. Untuk itu Umar berkata pada orang-orang yang ada di sekitarnya, “Seandainya Abu ‘Ubaydah ibn Al-Jarrah masih hidup, aku akan mengangkat dia menjadi khalifah penggantiku. Seandainya juga Salim, budak dari Hudzhaifah, masih hidup. Maka aku akan mencalonkan dia menjadi khalifah untuk menggantikan diriku.”

Kemudian ia melanjutkan pembicaraannya kepada orang-orang, “Orang-orang berkata bahwa pembai’atan Abu Bakar oleh kaum Muslimin itu sebagai sebuah rekayasa dari setan tapi Allah melindungi kita dari keburukannya. Orang-orang juga berkata bahwa pengangkatan Umar untuk menjadi khalifah itu kurang konsultasi dan masyarakat tidak dilibatkan. Maka sekarang setelahku pengangkatan khalifah itu harus melalui musyawarah (Syura)” (Lihat Shahih Bukhari)

“Aku telah menentukan bahwa untuk tujuan ini aku akan berkonsultasi dengan sejumlah Muhajirun. Panggil Ali, Utsman, Thalhah, Zubayr, Abdurrahman bin ‘Auf, dan Sa’ad bin Abi Waqash. Apabila ada empat orang dari mereka setuju satu nama, maka yang dua lagi harus setuju dengan yang empat. Dan apabila keputusan mereka terbelah tiga-tiga, maka kalian harus mengikuti kelompok yang ada Abdurrahman bin Auf-nya; oleh karena itu dengarkan dia dan patuhi dia…” (Lihat Shahih Bukhari)

Dari riwayat yang ada di Shahih Bukhari itu jelaslah sudah bahwa Umar bin Khattab telah menentukan calon khalifahnya yang akan disebutkan oleh Abdurrahman bin Auf. Sistem pemilihan khalifah seperti inilah yang seringkali diambil sebagai cara untuk memilih pemimpin di kalangan saudara kita Ahlussunnah. Khalifah Umar bin Khattab menyuruh Abdurrahman bin Auf untuk menyebutkan kriteria-kriteria yang pantas dan harus dimiliki oleh seorang Khalifah yang nantinya harus dibai’at oleh kaum Muslimin. Abdurrahman bin Auf menyebutkan bahwa seorang khalifah baru itu harus mengikuti tindakan dan kebijakan yang telah dijalankan oleh kedua khalifah sebelumnya (Abu Bakar dan Umar) selain ia harus mengikuti Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. 


Seperti yang sudah diduga sebelumnya, keenam orang ternama di suku Arab itu terbagi kedalam dua kelompok masing-masing berisi tiga orang dimana di dalam masing-masing kelompok ada calonnya sebanyak satu orang calon khalifah. Kelompok pertama terdiri dari: Ali sebagai calon khalifah, kemudian Thalhah, dan Zubayr. Kelompok kedua terdiri dari Sa’ad bin Abi Waqash, Abdurrahman bin Auf, dan Utsman bin Affan sebagai calon khalifah di kelompok ini. Imam Ali menolak untuk mengikuti sunnah Abu Bakar dan Umar. Ali hanya akan mengikuti Kitabullah dan Sunnah Rasulullah serta ijtihadnya sendiri. Ali berkata, “Aku akan mengikuti Kitabullah dan Sunnah Rasulullah serta Ijtihadku sendiri” (Lihat: Khalid Muhammad Khalid, Khulafa ‘al-Rasul, halaman 272, edisi ke-8). Sementara itu Utsman menerima syarat itu. Ia menerima untuk mengikuti sunnah Abu Bakar dan Umar.

Al-Bukhari melukiskan dalam kitab Shahih-nya tentang kejadian ini. Bukhari menyatakan bahwa Al-Hasir ibn Makhramah berkata: “Abdurrahman bin Auf mengetuk pintu rumahku setelah separuh malam berlalu hingga aku terbangun. Ia berkata, ‘Aku tahu engkau telah tertidur. Demi Allah, kedua mataku ini belumlah merasakan nikmatnya tidur. Marilah ikut denganku, panggilah Zubayr dan Sa’ad kehadapanku.’ Aku kemudian memanggil mereka, kemudian ia berbicara dengan keduanya. Kemudian setelah beberapa saat ia memanggilku dan berkata, ‘Panggilah Ali kehadapanku.’ Aku kemudian memanggilnya dan meminta kesediaannya untuk bertemu dengannya (Abdurrahman bin Auf). Ia kemudian berbicara dengan Ali secara pribadi hingga malam berangsur menuju pagi. Setelah itu Ali meninggalkan dia dengan raut wajah penuh optimisme. Ia kemudian berkata kepadaku, ‘Sekarang panggilah Utsman ke hadapanku.’ Dan saya melakukan perintahnya sekali lagi. Ia berbicara dengan Utsman secara pribadi hingga mu’adzin menyerukan adzhan untuk shalat shubuh dan akhirnya keduanya memutuskan untuk berpisah.

Setelah shalat Shubuh, orang-orang yang sama berkumpul di depan mimbar Nabi. Abdurrahman bin Auf memanggil orang-orang Muhajirin dan Ansar yang hadir pada saat itu. Ia juga mengirimkan pesan agar para komandan pasukan berkumpul di sana. Para komandan pasukan ini ialah orang-orang yang sangat setia kepada Umar bin Khattab. Setelah semuanya berkumpul, Abdurrahman memulai pidatonya dengan dua kalimah syahadat, kemudian melanjutkan:

“Ya, Ali! Aku telah meneliti urusan umat ini dan kemudian aku tidak menemukan satu orangpun yang sebanding dengan Utsman; jadi, janganlah engkau sia-siakan keselamatanmu untuk engkau korbankan.”

Kemudian ia berkata kepada Utsman:

“Aku berikan bai’at kesetiaanku kepadamu sesuai dengan Sunnatulllah dan sunnah Rasulullah dan sunnah kedua khalifah sebelumnya”

Dengan perkataan itu Abrurrahman bin Auf memberikan bai’atnya kepada Utsman bin Affan diikuti oleh orang-orang yang hadir di sana.”
(Lihat: Al-Bukhari, Shahih, volume 9, halaman 239)

Jelas sekali terlihat intrik-intrik politik yang telah dibuat oleh Umar bin Khattab. Umar telah memperkirakan sebelumnya bahwa Ali tidak akan pernah setuju dengan syarat yang diajukan oleh Abdurrahman bin Auf yaitu syarat bahwa khalifah selanjutnya itu selain berpegang pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, juga berpegang pada sunnah kedua khalifah sebelumnya. Umar tahu calon yang lain pasti setuju apabila itu diajukan kepada mereka demi untuk mendapatkan jabatan khalifah, akan tetapi Ali senantiasa setia pada Islam dan bukan sunnah kedua khalifah sebelumnya yang sering menunjukkan pertentangannya dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah.

Umar tahu bahwa Thalhah dan Zubayr akan memilih Ali karena Umar melihat mereka berada di sisi Ali ketika terjadi peristiwa Saqifah yang mengantarkan Abu Bakar ke tampuk khilafah lewat intrik politik yang dibuat oleh Umar. Selain itu syarat yang diajukan oleh Umar yaitu apabila kelompok yang terdiri dari enam orang itu terpecah menjadi dua bagian yang sama, maka pihak yang ada Abdurrahman bin Auf lah yang boleh menentukan syarat menjadi khalifah. Ini menunjukkan dengan jelas sekali bahwa ada Intrik politik yang sedang dijalankan demi mencapai tujuan memenangkan kekhalifahan. Inilah SYURA  yang telah mereka sebut-sebut itu……………………………

ALASAN MEREKA MEMBUNUH UTSMAN.
Banyak sekali pernyataan yang simpang siur atas terbunuhnya Utsman bin Affan. Banyak sekali riwayat dan pernyataan yang saling berbenturan terutama ketika membicarakan tentang kelompok mana yang menggalang masa untuk membunuh Utsman; terus alasan apa yang mereka gunakan untuk membenarkan tindakan mereka itu; dan apa yang membuat mereka bersegera untuk melakukan itu hingga akhirnya Utsman terbunuhlah sudah………………………

Penjelasan yang paling masuk akal untuk menjelaskan mengapa Utsman dibunuh oleh mereka ialah karena Utsman seringkali bertindak nepotis dengan mengangkat para gubernur provinsi dari kalangan kerabatnya selain itu Utsman seringkali memberikan uang yang berasal dari Baytul Mal untuk diberikan kepada kerabatnya. Tindakan Utsman yang nepotis dan korup ini mengundang kritik tajam dan pemberontakan di sana sini untuk melengserkan Utsman.

Tangan-tangan rakus dari karib kerabat Utsman bin Affan (yang berasal dari suku Bani Umayyah) yang menjarah harta yang ada di Baytul Mal sesuka hati mereka menyebabkan orang berpikir bahwa rezim Bani Umayyah itu sebenarnya dimulai ketika Utsman menjabat khilafah dan dibai’at oleh semua orang dari suku Bani Umayyah. Abu Sufyan sebagai pemuka suku Bani Umayyah berkata sebagai berikut ketika Utsman resmi dibai’at sebagai khalifah baru, “Ya, Banu Umayyah! Ambillah khilafah ini dan mainkanlah seperti kalian memainkan bola, karena demi dia yang Abu Sufyan bersumpah atas namanya, aku sangat yakin kalian akan mendapatkannya, dan itu akan diperoleh oleh keturunanmu secara turun temurun.” (Lihat: Al-Tabari, Tarikh, Al-Mas’udi, Ibn Al-Athir, Al-Isti’ab). Menurut riwayat lainnya atas pernyataan yang sama, Abu Sufyan dilaporkan berkata, “Terimalah itu (khilafah) seperti ketika engkau menerima sebuah bola, karena aku yakin tidak ada surga maupun neraka…………” (Lihat: Ibn Al-Athir, Al-Mas’udi, Al-Tabari, Tarikh).

Diantara mereka yang menentang kekuasaan Utsman ialah mereka yang berasal dari kalangan sahabat yang ternama. Yang paling terkenal diantara mereka ialah Abu Dzar al-Ghifari (semoga Allah meridhoinya), kemudian Abdullah bin Mas’ud, dan Ammar bin Yasir. Utsman sangat membenci mereka ini dan memberikan hukuman yang keras terhadap mereka. Seperti misalnya, Abu Dzar, yang harus menemui kematiannya di sebuah gurun bernama Al-Rabathah karena ia telah melontarkan protes keras atas penunjukkan Mu’awiyyah sebagai gubernur provinsi Syiria (kemudian akhirnya kelak Mu’awiyyah mendeklarasikan dirinya sebagai penguasa mutlak atas negeri Syria). Abu Dzar sangat membenci kebiasaan Mu’awiyyah yang mengambil timbunan emas dan uang yang merupakan milik dari umat Islam secara keseluruhan.

Zayd bin Wahbah berkata, “Aku melewati gurun Al-Rabathah dan melihat Abu Dzar di sana, semoga dia diridhoi oleh Allah, kemudian aku bertanya kepadanya, “Ya, Abu Dzar! Apakah yang membawamu ke tempat ini (hingga engkau menderita seperti ini)?” Kemudian Abu Dzar menjawab, “Aku dulu berada di Syiria dan aku bertengkar dengan Mu’awiyyah tentang sebuah ayat yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih” (QS. At-Taubah: 34)

Mu’awiyyah berkata bahwa ayat ini hanya diturunkan berkenaan dengan orang-orang Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani). Sementara itu aku bilang bahwa ayat ini juga diturunkan untuk kita dan mereka; setelah itu terjadilah pertentangan antara kami berdua. Ia akhirnya menulis surat kepada Utsman mengeluhkan tentang aku. Kemudian Utsman menyuratiku memerintahkan diriku agar datang ke Madinah. Lalu aku pergi ke sana. Orang-orang berdatangan untuk melihatku seolah-olah mereka belum pernah melihatku sebelumnya, kemudian aku juga menyebutkan hal ini kepada Utsman. Ia berkata kepadaku, ‘Kalau engkau mau, engkau bisa tinggal jauh di sekitar sini’. Ini lah yang membuatku berada di tempat ini. Seandainya mereka mengutus seorang Ethiopia untuk menjabat sebagai seorang pemimpin (amir), maka aku mungkin akan mendengarkan dia dan mematuhi dia.” (Lihat: Al-Bukhari, Shahih, volume 2, halaman 278, dalam bab zakat).

Sementara itu Abdullah bin Mas’ud yang dipasrahi jabatan untuk mengawasi dan mengurus Baytul Mal di Kufah (Irak) mendapatkan perlakuan yang jauh lebih buruk. Beberapa tulang iganya patah karena dipukuli oleh budak-budak Utsman bin Affan sebagai hukuman yang harus ia terima karena ia berkeberatan atas tindakan Al-Walid bin Mu’it (saudara seibu dari Utsman bin Affan yang diangkat oleh Utsman untuk mengurus kota Kufah menggantikan posisi Sa’ad bin Abi Waqash). Abdullah bin Mas’ud keberatan terhadap Al-Walid bin Mu’it karena ia suka mengambil uang dari kaum Muslimin (dari Baytul Mal) dan kemudian tidak mengembalikan lagi ke kas baytul mal. (Lihat: Al-Balathiri, Ansab al-Ashraf, Al-Waqidi. Al-Ya’qibi, Tarikh).

Sedangkan Ammar bin Yasir, ia menderita sakit hernia setelah dipukuli oleh budak beliannya Utsman sebagai hukuman karena Ammar bin Yasir mendirikan shalat jenazah atas jenazah Abdullah bin Mas’ud tanpa memberitahu Utsman terlebih dahulu. Sebenarnya Ammar bin Yasir melakukan itu untuk menghormati Abdullah bin Mas’ud supaya khalifah Utsman tidak usah lagi menshalati jenazah Abdullah bin Mas’ud. (Lihat: Ibn Abul-Hadid, Sharh Nahjul Balaghah)

Masih banyak lagi orang-orang yang tidak setuju dengan keborosan karib kerabat dari khalifah Utsman yang semuanya berasal dari Bani Umayyah. Orang-orang tidak setuju dengan kebiasaan kaum Bani Umayyah yang mengambil harta kaum Muslimin yang dikumpulkan di Baytul Mal. Marwan bin Hakam, misalnya, pernah mengambil seperlima harta dari pajak khiraj dari Afrika. Masih banyak lagi cerita atau kisah tentang hal ini yang bisa anda baca dalam buku berjudul Khilafah wa Mulukiyyah (Khilafah dan Kerajaan).


Sumber pustaka:
  1. The Truth about The Shi’ah Ithna-asheri faith, As’ad Wahid al-Qasim
  2. Akhirnya Kutemukan Kebenaran, DR. Muhammad Al-Tijani Al-Samawi
  3. SAQIFAH, Suksesi Sepeninggal Rasulullah Saw, O. Hashem

Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: