Pakubuwono X lahir dengan nama lengkap Raden Mas Sayiddin Malikul Kusno, pada hari Kamis Legi, 22 Rajab 1795 (tahun Jawa) atau tanggal 29 Nopember 1866, jam 7 pagi. Ia putra KRAy Kustiyah, permaisuri PB IX. Ketika mengandung anaknya itu, KRAy Kustiyah ngidam dahar (ngidam makan) ‘gudang pakis raja’, yang diambilkan dari rumah Jan Smith di Desa Gumawang. Saat masih berusia 3 tahun, pada tanggal 4 Oktober 1869, PB X ditetapkan sebagai Putra Mahkota dengan gelar ”Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamangkunegara Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram VI”. Walau memiliki IQ biasa-biasa saja, ia dikenal mempunyai EQ dan SQ cukup tinggi. Berbeda dengan nenek moyangnya, PB VI, yang konfrontatif terhadap kolonial Belanda, PB X menempuh jalan lain : melawan lewat kebudayaan dan ritual tradisi. Sikapnya yang terlihat kompromistis sebenarnya adalah pengalihan perhatian dari upaya-upaya terselubung yang dilakukannya dalam membantu perjuangan kemerdekaan.
Selama masa kekuasaannya yang panjang, yang diwarnai oleh 13 kalipergantian Gubernur Jenderal Belanda, PB X tetap bertahan. Kewibawaannya di mata rakyat tetap kukuh. Jelas, ini kelihaian membawa diri dan efek dari lobi politik tingkat tinggi. Namun demikian, dari lubuk hati paling dalam, ia sadar jati dirinya sebagai cucu PB VI yang dibuang Belanda ke Ambon tahun 1893. Dendam masa lalu itu disimpannya rapat-rapat.
Pada masanya, PB X adalah satu-satunya orang di Indonesia yang memiliki mobil Mercedes Benz tipe Phaeton yang harganya saat itu 10.000 gulden atau Rp 70 juta rupiah pada tahun 1896. Ia memiliki 15 unit Mercedes Benz dari berbagai seri, yang satu diantaranya pernah dipinjam oleh Soekarno sebagai mobil kepresidenan. Selain Mercedes Benz, PB X juga memiliki Fiat tahun 1907 dan Royal Chrysler Limousine tahun 1937. Dengan mobil-mobilnya itu, ia banyak melakukan kunjungan resmi sebagai raja. Misalnya, blusukan ke Semarang, Ambarawa, Salatiga dan Surabaya (1903-1906). Sebelumnya, ia juga berkunjung ke Lampung, Bali dan Lombok.
“Don Juan” dari Solo itu memiliki 40 isteri di luar permaisuri (selir), yang berasal dari Tanah Jawa dan luar Jawa. Di Bali, ia juga mengambil ”garwa ampil” (selir). Pada tahun 1900, ia menikahi putri Raja Buleleng yang bernama Ida Ayu Nyoman Rai. Ketika mengandung, sang istri terpaksa diungsikan ke Surabaya dengan didampingi abdi dalem kinasih, R. Soekemi. Pada 1901, lahirlah putra Ida Ayu Nyoman Rai. Diberi nama Kusno. Sama persis dengan nama kecil ayahnya, PB X. Selanjutnya, PB X memerintahan R. Soekemi untuk mengawini dan menjaga Ida Ayu Nyoman Rai.
Kenapa PB X menempuh langkah demikian ?
Sebab, ia mengetahui, bahwa putra yang dilahirkan dari rahim Ida Ayu Nyoman Rai inilah yang dulu dimaksud oleh Eyang Dalem PB VI akan memerdekakan bangsa Indonesia. Saat ditangkap pemerintah Belanda, PB VI mengucapkan sabda, ”Hai penjajah, tunggulah 100 tahun lagi. Tiga generasi dari keturunanku akan mengusir kalian dari Bumi Pertiwi ini”.
Atas dasar itu, PB X mengungsikan Ida Ayu Nyoman Rai ke Surabaya, menjadi rakyat biasa yang jauh dari jangkauan sorotan publik. Demi keamanan dan keselamatan jabang bayi Soekarno.
Pada bulan Desember 1921, PB X melakukan kunjungan dinas ke Semarang, Pekalongan, Cirebon dan Priangan Timur. Setelah itu, ia tinggal cukup lama di Garut, Tasikmalaya dan Ciamis. Untuk apa ?
Pada periode tersebut, diduga kuat ia sedang mempersiapkan masa depan Soekarno yang belakangan menimba ilmu di ITB, Bandung. Saat itu, PB X diam-diam menitipkan sebagian hartanya (berupa emas lantakan) kepada orang-orang terpercaya, termasuk ulama pemilik pondok pesantren salaf di Cihaurbeti, Ciamis. Kelak, lewat sosok Inggit Garnasih, secara rahasia harta kekayaan itu dipergunakan untuk mendukung perjuangan Soekarno.
Raja yang berkuasa selama 46 tahun (1893-1939) itu memiliki reputasi hebat di dalam dan di luar negeri. Aset raja-raja Nusantara (57.150 ton emas lantakan) yang termaktub dalam ”Green Hilton Memorial Agreement”, 60% diantaranya milik PB X. Konon, pada 1935, PB X memberikan mandat khusus kepada Soekarno untuk mengurus aset itu. Pasca menjadi Presiden RI, Soekarno mengeluarkan Surat Keterangan bernomor 002 tertanggal 1 Maret 1948 perihal aset raja-raja Nusantara tersebut. Sejak itu, segala daya upaya dilakukannya demi mendapatkan pengakuan Gedung Putih atas keberadaan aset itu, yang akhirnya berbuah penandatanganan ”Green Hilton Memorial Agreement” oleh Soekarno dan JFK (14/10/1963). Seperti yang telah kita ketahui bersama, perjanjian yang jatuh tempo 14 Nopember 1965 itu mengakibatkan JFK terbunuh dan Soekarno terjatuh dari kursi kekuasaan.
Sesungguhnya, aset raja-raja Nusantara itu dijadikan 80% modal kerja The US Federal Reserve atau disingkat The FED (Bank Sentral Amerika Serikat), yang notabene sekarang dimiliki Citibank (15%) dan Chase Manhattan (14%). Sisanya dibagi oleh 25 bank komersial lainnya, antara lain Chemical Bank (8%), Morgan Guaranty Trust (9%), Manufacturers Hannover (7%), dan sebagainya. Ironisnya, bank-bank tersebut milik para renternir Yahudi. Artinya, The Fed identik dengan jaringan Yahudi. Fakta ini mengingatkan kita pada ucapan Meyer Amschel Rothchild (1743-1812) yang termasyhur, ”Give me control over a nations economic, and I don’t care who writes its laws”.
(Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email