Saat menerima kunjungan 15 pengurus GP Ansor Giligenting, Kabupaten Sumenep beberapa waktu lalu, KH. Musthofa ‘Gus Mus’ Bisri kembali menekankan sikap bijak dalam menanggapi informasi di era sosial media ini. Khususnya media yang memang ingin menjatuhkan para kiai NU.
“Jangan percaya terhadap media-media yang menyudutkan kiai NU. Apalagi me-share-nya tanpa tahu media dan penulisnya,” pesan Gus Mus seperti dikutip portal resmi NU bulan lalu.
Pengasuh Ponpes Raudhatut Tholibin Rembang ini juga berpesan agar mereka aktif melakukan verifikasi atas segala bentuk berita yang diterima. Karena itu, Gus Mus tak lupa menegaskan agar GP Ansor terus berada di garda terdepan dalam menjaga NU dan NKRI.
Masalah ini juga tak lepas, salah satunya, tidak sedikit orang mudah percaya dengan pemuka-pemuka agama masa kini yang tidak jelas asal-usul dan sanad keilmuannya.
“Harus tahu latar belakang dari pemuka agama tersebut. Hati-hati dengan lembaga-lembaga fatwa karena sudah banyak tokoh agama yang tidak berpaham Aswaja di dalamnya,” tegas Gus Mus.
Seperti diketahui, Gus Mus sejak lama menyampaikan kritik pada lembaga yang kerap mengeluarkan fatwa seperti MUI. Karena mengatasnamakan “ulama”, produk fatwanya tentu memiliki dampak luas termasuk sosial, budaya, politik, hingga keamanan.
Jika ingin berdiri sebagai lembaga fatwa, menurut jebolan Al Azhar Mesir ini, harus diatur betul siapa saja yang boleh masuk MUI.
“Kok, tak dilihat dulu calon ini sekolah di mana, paham Al-Qur’an atau tidak, paham ilmu tafsir dan hadis atau tidak,” katanya kepada wartawan Tempo awal Januari 2017 lalu.
Malah sekarang, lanjut Gus Mus, ada orang-orang baru, yang makin tidak jelas. Orang mau jadi pegawai saja harus punya ijazah, apalagi menjadi anggota MUI, yang memberi fatwa ke rakyat Indonesia.
“Rekrutmen anggota MUI harus jelas. Sekarang yang jelas cuman Ma’ruf Amin, Rais Am PBNU 2015-2020. Dulu ada almarhum Kiai Sahal Mahfudz,” katanya memberi usulan konstruktif.
Selain itu, lanjut alumni Pondok Krapyak Yogyakarta ini, status lembaga harus lah jelas. Apakah bagian dari kementerian atau mitra kerja.
“Dua bulan lalu berpolemik soal label halal dengan kementerian Agama. Perkara begitu saja kenapa kok rebutan?”
Secara terpisah, Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan SDM Nahdlatul Ulama, Rumadi Ahmad menjelaskan, pemanfaatan MUI sebagai sarang kelompok radikal sudah lama terjadi. Ketika masih di Wahid Institute persisnya pada 2010, Rumadi sudah mewanti-wanti pengurus MUI bahwa MUI dijadikan banker kelompok radikal.
“Ada tokoh di MUI yang memasukkan orang-orang yang paham kebangsaannya kacau, menolak Pancasila, dan menolak konstitusi, tapi difasilitasi oleh tokoh itu,” katanya seperti dilansir madinaonline.id
“Untungnya pengurus MUI mau mendengar dan tokoh itu ‘dikotakkan’ dan tidak diberikan peran yang maksimal sehingga wajah MUI pasca 2010 relatif lebih ramah,” tambah Rumadi dalam diskusi bertajuk “Posisi MUI dalam Hukum Islam dan Hukum Indonesia” yang diselenggarakan Aliansi Masyarakat Sipil untuk Konstitusi (AMSIK), September 2016 lalu.[]
(Madina-Online/Tempo/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email