Keesaan Tuhan
Teologi dalam al-Quran, lebih dari segalanya, bersandar pada keesaan Tuhan. Slogan utamanya adalah la ilaha illallah (tiada Tuhan selain Allah). Pernyataan ini telah diulang-ulang dalam al-Quran lebih dari 60 kali dengan kata-kata yang berbeda. Bahkan dalam ayat pendek berikut, pernyataan ini diulang sebanyak dua kali:
Allah menyaksikan bahwasanya tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang memelihara penciptaan-Nya dengan keadilan. Demikian pula para malaikat dan mereka yang memiliki pengetahuan (memberi kesaksian demikian). Tiada tuhan selain Dia Yang Mahakuasa Mahabijaksana (QS Ali Imran: 18)
Dibawah ini ayat-ayat yang mengandung pernyataan ini namun dalam frase-frase lain:
Tiada tuhan selain Allah (QS ash-Shaffat: 35)
Tiada tuhan selain Dia (QS al-Baqarah: 163)
Tiada tuhan selain Engkau (QS al-Anbiyâ’: 87)
Tiada tuhan selain Aku (QS an-Nahl: 2)
Tiada tuhan selain Allah (QS Ali ‘lmrân: 61).
Tiada tuhan selain Tuhan yang satu (QS al-Maidah: 73).
Tiada tuhan bagimu selain-Nya (QS al-A’râf: 65).
Dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya (QS al-Mu’minûn: 91).
Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Mahasatu (QS an-Nisâ’: 171).
Sesungguhnya Tuhan kalian Tuhan yang satu (QS al-Kahfi: 110).
Sesungguhnya Tuhan kalian hanyalah Allah (QS Thâhâ: 98).
Sesungguhnya Dialah Tuhan yang Satu (QS al-An’âm: 19).
Tuhan kalian Tuhan yang Satu (QS al-Baqarah: 163).
Sesungguhnya Tuhan kalian Tuhan yang Satu (QS ash-Shaffat: 4).
Dialah Allah yang Satu (QS al-Ikhlash: 1).
Allah
Ada dua istilah dalarn bahasa Arab untuk Tuhan yang keduanya satu sama lain saling dekat dalam pengertiannya. Namun, pada saat yang sama, keduanya berbeda. Yang satu adalah ilâh dan satunya lagi, Allâh. Ilâh secara tatabahasa merupakan kata benda umum dan dalam bahasa Persia disebut khudâ. Adapun bentuk jamaknya adalah khudâyân. Dalam bahasa Arab, bentuk plural dari ilâh, yakni ilâhah, juga digunakan.
Tapi Allâh merupakan kata benda yang tepat dan pengungkapannya dalarn bahasa Persia adalah Khudâ, khudâwând, yazdân, dan ‘Izad. [63]
Dengan demikian, Khudâ dalam bahasa Persia digunakan dalam dua pengertian baik berupa kata benda umum maupun kata benda khusus. Sementara kata benda umum dijamakkan, yang keduanya tidak.
Dalam bahasa Inggris, istilah untuk khudâ adalah Tuhan. Ia sama dengan istilah Persia dengan perbedaan bahwa Tuhan dalam bahasa Inggris ditulis dengan dua cara: tuhan (god) dan Tuhan (God). Yang pertama dengan ‘t’ kecil yang sinonim dengan ilâh dalam bahasa Arab dan khudâ dalam bahasa Persia. Ia merupakan kata benda umum. Kata yang ditulis dengan huruf kapital T digunakan sebagai kata benda tertentu (proper noun) dalam arti istilah All-âh dalam bahasa Arab dan istilah Khudâ dalam bahasa Persia. Kata benda dalam arti Allah disimpulkan dari literatur dan kesusastraan Arab pra-Islam, dan direkam dalam sejarah dan al-Quran itu sendiri. Bangsa Arab mengakui Tuhan yang menciptakan dunia dan menyebut-Nya Allâh. Dengan demikian, Allah merupakan nama khusus dari pencipta alam semesta sebagai Allât, Alâzzi, Manât, dan Yaqus.
Besar kemungkinan kata benda ini (proper name) untuk pencipta alam semesta digunakan sebagai hasil dari perujukan mereka kepada pencipta sebagai al-ilâh yang bermakna “tuhan” dengan imbuhan al di depan kata ilâh. Imbuhan al kedudukannya sarna dengan the dalam the god. Secara perlahan, seiring dengan berlalunya waktu, ia diterima sebagai rujukan kepada pencipta dunia. Dengan waktu yang kian merambat, huruf hamzah dari ilâh antara al dan ilâh dihapus dan kata Allâh menjadi istilah baru dan nama tertentu bagi pencipta alam semesta. [64]
‘Ala kulli hal, kami akan menyamakan baik Allâh ataupun ilâh sebagai khudâ dalam terjemahan bahasa Parsi dari ayat-ayat al-Quran dan pasase-pasase bahasa Arab. Kami harap pembaca tidak kebingungan dalam memahami apa yang kami maksudkan dengan istilah ini.
Tauhid
Istilah “keesaan Allah” (tawhîd) berarti keyakinan akan realitas tunggal. Dalam konteks teologi, ia merujuk kepada keesaan Tuhan, sumber wujud, dan mempunyai keyakinan akan keunikan-Nya dalam semua hal yakni dari pandangan Zat, Kreativitas, Kedaulatan, dan Pengaturan-Nya akan alam semesta di satu sisi, dan di sisi lain, dari sudut pandang penghambaan dan ibadah atau doa dan seterusnya (di sisi manusia).
Tauhid dalam al-Quran
Sebagian besar ayat-ayat monoteistik al-Quran bersandar pada “tauhid dalam perintah dan petunjuk” dan “tauhid dalam ibadah dan ketaatan” kepada satu Tuhan. Di tempat pertama al-Quran memusatkan perhatian manusia kepada keesaan Sang Pencipta dan Pemberi rezeki. Setelah menjelaskan butir ini bahwa penciptaan dan pengaturan alam semesta merupakan tugas Tuhan dan kedaulatan atas alam semesta hanya milik-Nya, ia menyatakan bahwa doa dan ibadah hanyalah ditujukan kepada Tuhan.
Tauhid dalam Penciptaan dan Perintah [65]
Ayat pertama al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi adalah tentang tauhid yang memulai dengan rujukan kepada “penciptaan dan perintah”-Nya.
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS al-‘Alaq [96]: 1-5).
Menurut al-Quran, sebagian besar musyrikin Arab percaya akan “tauhid dalam penciptaan dan perintah” atau setidaknya mereka siap menerima keyakinan ini.
Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah.” Maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar). (QS al-Ankabût [29]: 61)
Dalam al-Quran surah Luqman [31]: 10-11 dan surah al-A’lâ [87] terdapat makna yang sama dengan ayat di atas. Padahal saat itu sebagian orang tidak memahami tauhid dalam penciptaan dan perintah. Al-Quran meminta mereka untuk menunjukkan, apabila ada tuhan-tuhan lain yang bertanggungjawab pada penciptaan dan pengaturan dunia.
Dia menciptakan langit tanpa tiang yang kamu melihatnya dan Dia meletakkan gunung-gunung (di permukaan) bumi supaya bumi itu tidak menggoyangkan kamu dan mengembangbiakkan padanya segala macam jenis binatang. Dan Kami turunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan padanya segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik. Inilah ciptaan Allah, maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah diciptakan oleh sembahan-sembahan(mu) selain Allah. Sebenarnya orang-orang yang zalim itu berada dalam kesesatan yang nyata. (QS Luqman [31]: 10-11)
Katakanlah: “Terangkanlah kepada-Ku tentang sekutu- sekutumu yang kamu seru selain Allah. Perlihatkanlah kepada-Ku (bagian) manakah dari bumi ini yang telah mereka ciptakan ataukah mereka mempunyai saham dalam (Penciptaan) langit atau adakah Kami memberi mereka sebuah Kitab sehingga mereka mendapat keterangan-keterangan yang jelas daripadanya? Sebenarnya orang-orang yang zalim itu sebagian mereka tidak menjanjikan kepada sebagian lain melainkan tipu daya.
Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap dan sungguh jika keduanya akan lenyap tidak ada seorang pun yang dapat menahan keduanya selain Allah. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (QS Fâthir [35]: 40-41).
Al-Quran mengatakan kepada mereka yang meragukan atas kelemahan tuhan-tuhan buatan manusia dan meminta mereka berpikir kembali tentang hal itu sehingga mereka bisa memahami fakta benderang ini.
Katakanlah: “Siapakah Tuhan langit dan bumi?” jawabnya: “Alla”. Katakanlah: “Maka pantaskah kamu mengambil pelindung-pelindungmu dari selain Allah, padahal mereka tidak memberi manfaat dan tidak pula mudarat bagi diri mereka sendiri?” Katakanlah: “APakah sama orang buta dan orang awas, atau samakah gelap gulita dan terang benderang; apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu itu serupa menurut pandangan mereka?” Katakanlah: “Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dialah Tuhan Yang Mahaesa lagi Mahaperkasa.” (QS ar-Ra’d [13]: 16).
Al-Quran kembali memalingkan perhatian dari mereka yang akalnya tidak cukup tajam untuk memahami fakta sederhana. [66]
Hai manusia, telah dibuat perumpaman-perumpaan, maka dengarkanlah olehmu perumpaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakanya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dan lalal itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amal lemah (pulalah) yang disembah. Mereka tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat dan Mahaperkasa. (QS al-Hajj [22]: 74).
Surah ar-Rûm [30]: 40, al-Furqan [25]: 1-4. Fâthir [35]: 3, az-Zumar [39]: 44 menekankan butir bahwa kita harus berpikir secara tepat terhadap isu-isu penciptaan dan perintah, yakni penciptaan alam semesta dan pengaturan atasnya. Jika kita berpikir benar dan logis dalam masalah ini, kita akan diarahkan kepada gagasan bahwa semua doa dan ibadah kita hanyalah milik Allah Yang Mahakuasa.
Ayat 54 surah al-A’râf mengatakan bahwa penciptaan dan pengaturan alam semesta merupakan hak Allah semata. Tidak pada yang lainnya.
Sesuhgguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam bulan, lalu Dia bersemayam di atas Arasy’, Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan, dan bintang-gemintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah Tuhan semesta alam.
Bukti-bukti Tauhid di Alam Penciptaan dan Perintah dalam al-Quran
Menurut al-Quran, tatanan unik dan teratur yang menguasai seluruh alam semesta merupakan bukti yang jelas akan keunikan dan keesaan Pencipta dan Pengatur alam semesta. Dan, kita diminta untuk merenungi sistem utuh dan padu tersebut untuk mengetahui keesaan dalam penciptaan dan perintah.
Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Mahaesa. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air; lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan dan perputaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi. Sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir. (QS al-Baqarah [2]: 163-4)
Surah al-An’âm [6]: 94-99; al-A’râf [7]: 58; Yûnus [10]: 3-6, 67-68; an-Nahl [16]: 10-20, 65-74, 80-81; al-Isrâ’ [17]: 12; Yâsîn [36]: 33-41; al-Jâtsiyah [45]: 1-5, dan sejumlah ayat lain dalam al-Quran menarik perhatian manusia pada tanda-tanda nyata dalam sistem yang teratur dari alam semesta yang menunjukkan keesaan Sang Pencipta.
Bantahan atas Doktrin Politeisme
Al-Quran suci membantah doktrin politeisme.
Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan- tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu. Yang mengetahui semua yang gaib dan semua yang tampak, maka Mahatinggilah Dia dari apa yang mereka persekutukan. (QS al-Mu’minûn [23]: 91-92)
Sekiranya banyak pencipta, maka hubungan di antara mereka dengan alam semesta niscaya masuk pada salah satu hubungan di bawah ini:
Pertama, setiap pencipta memiliki bagian tertentu dari alam semesta yang diciptakan olehnya dan diatur olehnya. Dalam hal ini, semestinya ada yang memisahkan tatanan atau disiplin pada setiap bagiannya, yang terlepas dari yang lainnya. Namun asumsi ini salah. Karena, pada kenyataannya, seluruh bagian dunia diatur satu tatanan yang konsisten dan padu.
Kedua, salah satu pencipta alam (tuhan-tuhan) mungkin lebih besar (kuasanya) ketimbang yang lainnya dan lebih utama daripada pencipta-pencipta lainnya dan fungsi-Nya mungkin menyatukan pencipta-pencipta lain dan membawa kesatuan dan harmoni di antara mereka. Dalam hal ini, ia dianggap pencipta riil dan penguasa alam sementara tuhan-tuhan lain dianggap sebagai perantara- perantara-Nya.
Ketiga, marilah kita anggap bahwa semua pencipta mengatur dunia dan tidak ada batasan yang jelas yang membagi antara wilayah-wilayah kekuasaan mereka dan mereka yang bertindak sertra bergerak di manapun dan kapanpun mereka suka. Akibatnya, sistem tersebut menjadi suatu anarki konflik dalam kehendak-kehendak mereka yang sembarang.
Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Mahasuci Allah yang mempunyai ‘Arasy daripada apa yang mereka sifatkan. (QS al-Anbiyâ’ [21]: 22)
Menurut konsep-konsep ini, keesaan dan keabadian sistem alam semesta menafikan doktrin multiplisitas tuhan dan kedaulatan mereka. Kepercayaan bahwa kesatuan tatanan dan tujuan ini di alam semesta diperintah oleh banyak tuhan juga dibantah. Asumsi lain yang berpendapat bahwa ada dua atau lebih tuhan di alam semesta yang mengoperasikan secara serentak dan koordinatif setiap tempat hanyalah ilusi belaka. Sebab, menganggap ada dua atau banyak tuhan mensyaratkan keniscayaan adanya, setidaknya, beberapa perbedaan di antara mereka. Ia akan, bagaimanapun, mempengaruhi keharmonisan dan akan mempengaruhi tatanan dan tujuan alam semesta.
Shadr al-Muta’allihin dalam bukunya al-Asfâr merujuk ayat di atas dalam konteks ini dan menyimpulkan:
Cara lain untuk membuktikan keesaan Tuhan diterapkan dalam ketuhanan, kedaulatan, dan keesaan-Nya, sementara keutuhan alam semesta merupakan bukti nyata dari keesaan Tuhan. Ini merupakan pendekatan yang sana dimana Aristoteles, guru Peripatetik, menerimanya dan Kitab Suci pun menunjukkannya. (al-Asfâr, jilid 6, hal.94)
Di tempat lain di buku yang sama, Mulla Shadra menyoroti masalah ini dengan mengatakan bahwa:
...Ketahuilah cakrawala wujud adalah unik dan ruang lingkup serta areanya diintegrasikan secara organis yang satu sama lain terpadu. Dalam keragamannya ada kesatuan. Ada bukti nyata akan keesaan, kemahiran, kekuasaan, kebesaran serta kemurahan-Nya –Mahaagung dan Mahabesar nama Tuhanmu. Karena ranah wujud adalah satu, pencipta wujud pun pasti tidak lebih dari satu. Kedaulatan-Nya mencakup semua maujud. [Al-Quran berkata,] “Dan Allah meliputi segala sesuatu. (QS al-Burûj [85]:20)”4
Menyusul noktah ini, Mulla Shadra menyatakan bahwa Kitab Suci menunjukkan ayat-ayat al-Quran berikut yang telah kami kutipkan sebelumnya.
Sebab-sebab: Kedudukan dan Peranan Mereka di Dunia
Al-Quran menyandarkan keyakinan tauhid dalam penciptaan dan perintah. Dengan demikian, ia tidak mengabaikan peranan sebab-akibat (causation) di dunia. Al- Quran berkata:
Dan Allah menurunkan dari langit air (hujan) dan dengan air itu dihidupkan-Nya bumi sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang mendengarkan (pelajaran). (QS an-Nahl: 65)
Frase Dihidupkan-Nya Bumi Bermakna Peran Air sebagai Sarana Menghidupkan Bumi
Apa yang ditunjukkan dari ayat al-Quran menyangkut “sebab-sebab dan peranan mereka” adalah bahwa Allah, Yang Mahakuasa dan Yang Maha Berilmu, mengetahui segala sesuatu dan kuasa melakukan segala sesuatu. Tetapi Dia menciptakan dunia menurut pola tertentu dan dalam sistem tersebut. Dia memberikan kepada semua yang diciptakan tugas penciptaan tertentu pada fenomena lain. Namun semua ciptaan tersebut secara total tunduk kepada kehendak dan maksud Tuhan serta berperan sebagai agen-agen Tuhan.
Agen-agen ini melakukan tugas-tugas mereka dengan taat. Mereka bergerak di bawah perintah Tuhan mereka dan tidak menyimpang sedikit pun dari jalur-Nya dan sepenuhnya berada di bawah kendali Tuhan. “...matahari, bulan, dan bintang-gemintang (masing-masing) tunduk kepadaperintah-Nya...” (QS al-A’râf[7]: 54).
Kekuatan gravitasi matahari yang dahsyat amat efektif dalam ranah luas kedaulatan-Nya berdasarkan kehendak-Nya semata. Bahkan kekuatan semacam itu bergerak senapas dengan perintah Tuhan. Gravitasi bumi yang menakjubkan juga sangat efektif, tetapi itu sangat tidak signifikan dibandingkan dengan kehendak dan perintah Tuhan. Tidakkah Anda saksikan bahwa apabila Allah berkehendak, Dia bisa memberikan kemampuan kepada seekor burung kecil untuk terbang melawan gravitasi bumi dan melayang di udara terbuka selama berjam-jam?
Tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang dimudahkan terbang di angkasa bebas. Tidak ada yang menahannya selain daripada Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang beriman. (QS an-Nahl [16]: 79)
Tuhan: Pencipta dari Penghancur Sebab-sebab
Oleh sebab itu, dari perspektif al-Quran, hukum sebab-akibat merupakan kekuatan besar dalam sistem alam semesta. Ia adalah hukum sahib dan berharga. Meskipun memiliki Tuhan, manusia diberi daya, pengetahuan serta kekuatan manipulasi yang bertambah dan melakukan hal-hal menakjubkan di dunia ini. Oleh sebab itu, dalam semua upaya dan perbuatannya, manusia harus mengetahui hukum sebab-akibat di dalam ruang geraknya. Hanya melalui hukum ini, ia mampu berbuat. Jika sebaliknya, semua upayanya menjadi muspra.
Akan tetapi, sistem sebab-akibat yang dahsyat ini berada di bawah dominasi kehendak Allah. lni berarti ketika ada sistem bagi manusia dan wujud lain untuk berbuat di dalamnya, tidak ada pembatasan apapun pada Tuhan dan sistem [sebab-akibat] ini tidak berarti apa-apa bagi sebab efisien hakiki. Karena, Dialah, dengan kuasa dan ilmu-Nya, yang menciptakan semua sebab dengah suatu akibat tertentu atau akibat-akibat dan kualitas ganda lainnya. Setiap kali Dia berkehendak, Tuhan bisa mencabut sebab tertentu atau senarai sebab dari akibatnya.
Mereka berkata: “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar bertindak.” Kami berfirman: “Hai api, menjadi dinginlah dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim”. Mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami jadikan mereka itu orang-orang yang paling merugi. (QS al-Anbiyâ’: 68-70)
Sebab itu, setiap kali Dia merasa perlu untuk meniadakan daya bakar (burning capasity) api, Dia bisa melakukannya dengan perintah yang sama ketika Dia menciptakan dunia.
Jika manusia bijak dan berkuasa di abad ini telah mencapai kemampuan menghentikan ledakan bom atau bahan-bahan peledak lainnya yang diciptakannya melalui radio atau pesan-pesan elektronik, mengapa Tuhan tidak mampu menghentikan hal yang sama?
Pendekatan yang sama terdapat juga pada agama lain. Disebutkan, dalam kitab Upanishad bahwasanya Brahma menghentikan daya bakar: Sekarang Brahma meloloskan keberhasilan bagi dewa-dewa. Sekarang, dalam kemenangan Brahma ini, dewa-dewa bergembira. Mereka berkata kepada diri sendiri: “Sesungguhnya milik kami adalah kemenangan ini. Sesungguhnya kepunyaan kami adalah keagungan ini!”
Mereka berkata kepada Angi (Api): “Jatavedas, carilah apakah wujud luar biasa ini.”
Maka, demikianlah itu terjadi.
Ia berlari kepadanya.
Kepadanya, ia berbicara: “Siapakah engkau?”
“Sesungguhnya, akulah Angi,” katanya.
“Sesungguhnya, akulah Jatavedas”
“Kekuatan apa yang kaumiliki?”
“Sesungguhnya aku bisa membakar segala sesuatu di sini, segala sesuatu yang ada di muka bumi."
Ia meletakkan jerami di depannya.
“Bakarlah!”
Ia keluar dengan kecepatan penuh. Ia tidak bisa membakarnya.
Sesungguhnya ia kembali seraya berkata: “Aku tidak bisa melakukannya, temukan siapakah wujud luar biasa ini.” (362-363/Upanishad)
Dengan demikian, Brahma mampu menghentikan Angi (dewa api) dari dara bakarnya sampai tingkat tertentu ia tidak bisa membakar. Sekalipun jerami.
Mukjizat dan Peristiwa-peristiwa Adialami dari Perspektif Quran
Antara mukjizat dan hukum kausalitas sesungguhnya tidak ada pertentangan. Hal ini Lelah diskusikan di muka. Sesuai dengan hukum kausalitas, “tidak ada fenomena yang terjadi tanpa dihasilkan sejumlah sebab”. Dari perspektif al-Quran, sebab-sebab mukjizat pun merupakan kehendak khusus Allah. Dengan demikian, peristiwa mukjizat bukan hanya tak sesuai dengan prinsip umum kausalitas, namun juga tidak inkonsisten dengan nilai umum ilmiah dan praktis dari hukum hubungan sebab-akibat. Karena, dalam pencariannya kepada penerapan hukum-hukum ilmiah yang telah ia temukan dalam sistem kausalitas yang bergerak di dunia fisik, tidak mengecualikan untuk menemukan hukum alam mutlak yang tidak membolehkan pengecualian apapun.
Semua orang yang terlibat dalam penelitian di bidang sains-sains empiris, mengetahui bahwasanya sebagian besar hukum-hukum alamiah yang ditemukan sebagai hukum alam, disubordinasikan kepada hukum relativisme. Para ahli sains alam yang awas, yang tidak arogan, tidak percaya terhadap kemutlakan dan kepastian hukum-hukum ini ratusan persen. Meski begitu, mereka melanjutkan penelitian mereka yang bersandar pada hukum-hukum relatif yang sama pada mereka dan menarik kesimpulan senapas dengan hukum-hukum yang sama yang secara relatif benar dan dapat diterapkan. Jika tidak, lebih jauh penemuan-penemuan dalam sains membuktikan mereka tidak bersandar pada apa yang telah dikenal sebagai hukum saintifik dan empiris. Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak menanti-nanti penemuan mutlak dan hukum-hukum absah seratus persen.
Untuk perjalanan, semua orang bijak di seluruh dunia menggunakan sarana-sarana transportasi semacam mobil, kereta api, kapal laut, dan pesawat terbang yang dikendalikan oleh para pakar di bidangnya dan dijalankan oleh para supir dan pilot yang berpengalaman dan terlatih. Meskipun mengetahui dengan baik, semua sarana transportasi ini tidak dijamin seratus persen aman. Pada saat tertentu, di antara semua sarana transportasi yang paling canggih, meskipun dikendalikan dan dijalankan oleh para pakar terbaik di bidangnya, mungkin menghadapi kesulitan tak terduga dan, sebagai akibatnya, kegagalan teknis akan berbuntut kecelakaan. Para ilmuwan menapaki jalan yang sama dalam karya riset mereka. Setiap saintis yang berpengalaman amat menyadari bahwa eksperimen apapun yang dijalankan dalam situasi baru dengan piranti-piranti anyar bisa menggiring kepada penemuan fakta-fakta baru dan hubungan-hubungan di antara pelbagai objek natural. Hal ini bisa mengarahkannya untuk menafikan asumsi-asumsi sebelumnya dan menolak hukum-hukum saintifik sebelumnya atau mungkin membuktikan bahwa rumusan-rumusan terdahulu menghasilkan efek yang keliru dalam keadaan tertentu dan kasus-kasus eksepsional yang dipicu oleh sejumlah faktor tak dikenal yang menggugurkan rumusan-rumusan awal yang ditemukan oleh mereka sendiri.
Pada langkah pertama, mereka berupaya meninjau ulang asumsi-asumsi yang diterima dan mencoba memodifikasinya. Pada langkah kedua, mereka mencoba meraih validitas maksimum dari hukum yang dimodifikasi dengan persentase yang mungkin paling tinggi, misalnya 999.999 per 1.000.000 dan ujung-ujungnya dalam karya-karya mereka bersandar pada hukum ini. Kini, frekuensi keajaiban dan peristiwa-peristiwa adialami (supranatural events) yang terjadi dalam kasus-kasus pengecualian tertentu karena Perintah Allah sangatlah kecil bahkan kurang dari 1/1.000.000 sehingga kita bisa menyimpulkan bahwa menerima kementakan (possibility) peristiwa-peristiwa ganjil karena kehendak dan perintah Allah tidak memperlemah dan mempengaruhi validitas ilmiah dan empiris dari kaidah-kaidah umum sebab-akibat.
Ilmu Sebab: Perpisahan dari Konsepsi-konsepsi Khayali
Salah satu ajaran berharga dari al-Quran berkenaan dengan sebab-sebab dan validitas-validitas mereka diuraikan sebagai berikut:
Ketika mengetahui sebab-sebab dan maujud dari akibat, kita harus bersandar semata-mata pada pengetahuan yang jelas, tidak ambigu, dan swabukti, yakni kita bisa bergantung hanya pada bukti-bukti konklusif yang mampu mengenyahkan semua kesamaran dan tidak berpijak pada dugaan-dugaan tak berdasar dan tak bisa diuji. Percaya terhadap faktor-faktor fisikal imajiner memicu kemunduran dalam sains dan teknologi dan membawa retrogesi serta ketakmampuan untuk menggali sumber-sumber daya alam sebagaimana halnya orang-orang terdahulu yang ketika mengalami bencana-bencana dan penyakit-penyakit tertentu tidak mencoba menemukan sebab-sebab riil mereka dengan cara ilmiah. Alih-alih demikian, mereka memilih takhayul tak berdasar seperti pengaruh bintang pada nasib manusia dan, sebagai akibatnya, menggunakan instrumen-instrumen yang dikembangkan secara ilmiah semacam astrolab (ostorlâb) [67] untuk meramalkan pengaruh sfera benda-benda langit pada urusan-urusan manusia dengan mengabaikan penggunaan metode saintifik. Percaya pada daya-daya khayali dan imajiner dalam lingkup metafisis lebih berbahaya ketimbang dalam bidang sains, karena ia memisahkan manusia dari prinsip sublim tauhid dan menjerat mereka ke dalam paham syirik (politeisme). Itulah mengapa al-Quran, menyangkut sebab-sebab metafisis, secara empatik dan eksplisit menyatakan bahwa seseorang harus menghindar dari tindakan-tindakan yang bertolak dari perkiraan dan pendapat meragukan secara sembarang.
Dan mereka tidak mempunyai suatu pengetahuan pun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran (QS an-Najm [53]:28).
Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani.” Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang-orang yang benar.” (QS al-Baqarah [2]:111).
Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata, “Allah mempunyai anak.” Mahasuci Allah. Dialah Yang Mahakaya. Kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang di bumi. Kamu tidak mempunyai hujah tentang ini. Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui. (QS Yunus [10]:68)
Katakanlah: “Sesungguhnya aku (berada) di atas hujah yang nyata (al-Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. Bukanlah wewenangku (untuk menurunkan azab) yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah Hak Allah, Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik. (QS al-An’am [6]:57).
Kutipan ayat-ayat al-Quran di atas menekankan pengetahuan ilmiah berasaskan bukti, kesimpulan, argumen, swabukti, dan verifikasi.
Doa
Doa merupakan salah satu sebab yang efektif dalam persoalan manusia. Ia menuntut manusia memusatkan perhatian kepada Tuhan dengan totalitas eksistensinya dalam meminta pertolongan-Nya. Tak syak lagi, Allah sangat mengetahui kebutuhan-kebutuhan manusia dan hasrat-hasrat terpendamnya. Namun karena Dia telah menciptakan satu hukum yang mengatur hubungan manusia dengan alam dalam kehidupannya, maka tidak sesuatu pun yang bisa diperoleh tanpa perjuangan dan tindakan. Sesungguhnya, setiap perbuatan menghasilkan buahnya. Dalam hal ini, Tuhan telah meletakkan prinsip bahwa tidak ada kekayaan yang bisa diperoleh tanpa kerja keras serta tidak, ada ganjaran yang diberikan tanpa seseorang mengusahakannya. Demikian pula menyangkut hubungan langsung manusia dengan Tuhan, suatu sistem doa dan pengabulannya oleh Tuhan telah ditetapkan.
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS al-Baqarah [2]:186)
Jangan sampai seseorang mengatakan: “Apakah kehendak Allah berubah karena doa kita, ketika Dia meminta kita berdoa untuk mendapatkan sesuatu dari-Nya? Bukankah kehendak Tuhan bisa berubah?”
Pertanyaan ini mirip dengan pertanyaan menyangkut kerja dan usaha di satu sisi, serta kehendak dan takdir (qadha wa qadar) Tuhan di sisi lain, yang telah memicu kontroversi kehendak, determinisme, dan posisi tengah (amr bayn al-amrain).
Dalam konteks ini juga dikatakan: Bukankah segala sesuatu ditetapkan bagi setiap orang oleh Allah sejak alam pra-keabadian (pre-eternity)? Atau, apakah kehendak Allah atau apapun yang Dia tentukan dari permulaan bisa berubah sebagai akibat dari ikhtiar dan perbuatan manusia? Dalam hal ini, kita sampai pada kesimpulan bahwa ikhtiar dan tindakan di pihak manusia bagaimanapun tetap efektif. Kami mencoba memecahkan masalah ini dengan cara berikut: “Tuhan memberi otoritas kepada manusia dari alam pra-keabadian berupa kebebasan memilih dan kemerdekaan bertindak untuk mencapai tujuannya menurut kehendaknya.”
Dalam masalah doa dan pengabulannya kita mungkin sampai pada kesimpulan yang sama yakni: Allah itu baka. Kehendak-Nya pun baka. Adalah kehendak mutlak-Nya yang mengatur sebagian besar wujud, yakni alam, untuk ada dalam keadaan “menjadi” (becoming) ketimbang tetap sebagai [sekadar] “wujud” (being). Di sisi wujud (alam) ini, suatu fenomena baru bisa melesak dengan sendirinya setiap saat dan dalam proses tunak (continuous process) ini faktor-faktor terdahulu memainkan peran penting. Misalnya, dalam kasus tertentu, usaha dan doa saya (yang juga diakui sebagai suatu bagian dari ikhtiar saya) adalah efektif dan memainkan peran penting –peran atau tugas yang sama yang telah Tuhan tentukan untuk kita sejak awal.
Demikian pula, Allah itu abadi. Pengetahuan dan kehendak-Nya juga abadi. Pada saat yang sama, dalam momen apapun, fenomena baru terbit di dunia ini dan bahwa perbuatan, kehendak, dan doa manusia memainkan peran efektif dan penting dalam kemunculannya. Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan. (QS ar-Rahman [55]: 29).
Apabila Anda mengalami dan menghadapi kesulitan, Anda seharusnya tidak kecewa. Anda seharusnya tidak meninggalkan ikhtiar-ikhtiar Anda melainkan berjuang dan meminta bantuan Allah, karena Anda tidak pernah menduga secara pasti bahwa tidak ada jalan keluar dari situasi yang sulit. “Setiap hari Dia melakukan kekuasaan (universal).” Bagaimana Anda bisa menganggap diri Anda sendiri dikalahkan seratus persen? Sebagian besar situasi tersebut bisa mengubah hari esok sesuai selera Anda.
Di sini dikutip sejumlah peristiwa baru di dalam al-Quran yang terjadi berlawanan dengan dugaan manusia. Misalnya, memohon pertolongan oleh Nabi Musa as (QS Thaha [20]:25-6); meminta anak oleh Nabi Zakaria as (QS Maryarn [19]:19) dan lain-lain. Doa dianggap sebagai sebab efektif karena termasuk jenis sebab lain di alam semesta. Misalnya, Tuhan melimpahkan sifat-sifat partikular untuk cahaya, panas, listrik, dan daya gravitasi dan lain-lain atau memerintahkan bahwa sebagian tanaman herbal dengan komposisi kimiawianya yang khusus bisa efektif dalam menyembuhkan suatu penyakit. Maka itu, Dia menernpatkan peran dan efek tertentu terhadap “doa” yang bisa efektif dalam pemenuhan hasrat-hasrat manusia. Keefektifan doa ini tidak hanya sebatas pada efek psikologis. Pengaruh doa secara psikologis masih memiliki banyak efek yang diketahui dan tidak diketahui. Misalnya, ia membangkitkan asa, kekuatan, kehendak, dan mengaktifkan banyak potensi tersembunyi dalam diri manusia, bahkan mendorong manusia untuk memulai sebuah pekerjaan di mana ia tidak berharap bisa melakukannya. Namun cara di mana al-Quran memberikan keefektifan doa mencakup aspek-aspek yang jauh lebih besar selain dari yang dibahas di atas. Paparan terbaik perihal efek doa menurut al-Quran adalah sebagai berikut:
Doa itu sendiri merupakan sejenis sebab yang mempunyai efeknya. Ia tidak hanya berefek secara psikologis semisal memperkuat kehendak dan lain-lain. Doa dalam kitab-kitab suci agama lain juga dinilai sebagai sarana efektif dalam melancarkan segenap aktivitas dan masalah manusia. Pandangan ini tidak hanya dibentuk dalam kitab-kitab agama Semitik namun juga dalam kitab-kitab Arya. Dalam hal ini kitab Avesta mengatakan:
Wahai Mazda Ahura, semua orang bijak yang Engkau anggap saleh dan takwa, berikan kepada mereka keberhasilan, karena saya percaya bahwa mengungkapkan aspirasi seseorang di hadapan-Mu membuahkan hasil dan kesuksesan bagi keselamatan seseorang (34:10, Avesta)
Perbedaan asasi antara pandangan al-Quran dan Avesta serta kitab-kitab agama lain adalah bahwa pada yang kedua doa tidak hanya ditujukan kepada Sang Pencipta alam semesta dalam doa berikut:
Wahai Mazda! Ahura! Wahai Urdibehist! Wahai Bahman! jangan sampai hamba-hamba saleh-Mu ini menimbulkan kesedihan bagi-Mu. Permudahlah kami untuk berusaha menyampaikan kasih sayang dan doa kepada-Mu. Engkaulah yang lebih mampu ketimbang semua orang di dunia untuk melimpahkan kesuksesan kepada orang yang saleh dan membangkitkan mereka ke alam ruh. (34:9, Avesta)
Ada sejumlah contoh lain dalam Avesta. Akan tetapi dalam al-Quran meminta pertolongan dan mengajukan doa hanya ditujukan kepada Allah. Al-Quran menandaskan bahwa kita harus menengadahkan tangan kita hanya kepada Allah untuk memohon pertolongan dan mencegah dari memohon pertolongan kepada selain Allah, karena dewa-dewa hanyalah agen-agen yang tidak bisa melakukan apapun secara mandiri. Mereka tidak bisa memberi sesuatu kepada siapapun dan dengan cara yang sama tidak bisa menghilangkan sesuatu dari siapapun. Katakanlah: “Sesungguhnya aku hanya menyembah Tuhanku dan aku tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan-Nya.” (QS al-Jinn [72]:20)
Tauhid dalam Ibadah
Sebagaimana yang telah kita bahas sebelumnya, tauhid dalam al-Quran bersandar pada monoteisme ketimbang pada segala sesuatu dan tauhid dalam ibadah dilambari olehnya (monoteisme). Ibadah dianggap sebagai konsekuensi logis dari tauhid dalam penciptaan dan perintah. Ketika itu sudah dijelaskan bahwa hanya kehendak dan perintah Allah yang bekerja di balik semua masalah dunia seperti penciptaan, pengaturan, dan pemerintahan dan segala sesuatu. Setiap orang bertindak senapas dengan jalan yang ditetapkan Allah untuknya. Selain itu, tidak satu pun mempunyai peran mandiri untuk bermain di dunia ini selain bahwa itu ditentukan oleh Allah untuknya. Apabila kita mengetahui bahwa semua sumber gerakan disubdiornasikan kepada kehendak Ilahi seperti mentari, rembulan, bintang, awan, angin, hujan, halilintar; kilat, tanah, air, setan, malaikat, dan seterusnya, maka ibadah dan pengagungan kepada agen-agen yang taat atau citraan-citraan dan status mereka tidaklah bermakna.
Wahai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui (QS al-Baqarah [2]:21-22)
Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, padahal Allah-lah yang menciptakan jin-jin itu, dan mereka berdusta (dengan mengatakan), “Bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan” tanpa (berdasar) ilmu pengetahuan. Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari sifat-sifat yang mereka berikan. (Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu. Tidak ada tuhan selain Dia. Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia. Dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu. (QS al-An’âm [6]:100-102).
Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari, dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah (QS Fushshilat [41]:37)
Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang- orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. (QS al-Baqarah [2]:165)
Jika orang ingin beribadah untuk pemenuhan keinginannya, semua pujian dan doa seyogianya ditujukan hanya kepada Allah, karena Ia sendiri yang bisa memenuhi keinginan seseorang:
Katakanlah: “Apakah kita akan menyeru selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan manfaat kepada kita dan tidak pula mendatangkan mudarat kepada kita...(QS al-An’âm [6]:71)
Jika ibadah dimaksudkan sebagai peniadaan-diri, cinta, dan renjana terhadap wujud tanpurna (imperfect being) vis-a-vis keagungan, kesempurnaan, dan keindahan atas Wujud Mahasempurna (the Most Perfect Being), ia harus ditujukan hanya kepada Allah, karena Dialah satu-satunya Zat yang layak menjadi objek cinta dan renjana tersebut.
Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. (QS al-Baqarah [2]:165)
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Yang Maha Pengasih Maha Penyayang. Raja di Hari Pembalasan. Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan (QS al-Fatihah [1]:2-5)
Keimanan terhadap Tuhan Yang Mahakuasa, Maha Pencipta, sumber penciptaan yang di atas segala sesuatu, ditemukan pada kebanyakan agama, mazhab filsafat, dan aliran mistis. Lebih jauh, sebagian besar mazhab dan agama ini, selain beriman pada satu-satunya Tuhan, juga memandang bahwa tidak ada wujud di alam ini yang bisa disetarakan dengan Tuhan, Pencipta utama.
Dengan demikian, Dia adalah Tunggal dan tiada pembanding, tetapi konsep tauhid al-Quran tidak membatasi dirinya sendiri pada rentang ini namun harus dikatakan juga bahwa Pencipta utama bukanlah Tuhan para dewa. Dialah satu-satunya Tuhan dan demikian adanya. Ini mengapa di agama lain keimanan terhadap keesaan Tuhan (tauhid) tidak selaras dengan politeisme dalam ibadah, yakni mencari pertolongan dari “sang lain” dan menyembah tuhan-tuhan yang lain juga. Namun menurut al-Quran, tauhid dan realisasi keesaan Tuhan menjadi penuh makna hanya ketika ia secara praktis diterjemahkan ke dalam tauhid dalam ibadah, doa, meminta pertolongan, pujian, dan tauhid dalam ketaatan. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam... Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan (QS al-Fatihah [1]:2, 5)
Untuk meraih wawasan yang lebih jeluk (deeper) terhadap doktrin monoteisme al-Quran dan pencapaian yang lebih jauh atas surah al-Hamd (al-Fatihah), kami mengarahkan perhatian Anda kepada pasase berikut dari Avesta:
Wahai Ahura Mazda! Limpahkan kepadaku rahmat Urdibehisth yang membebaskan orang-orang bajik dan baik, kesejahteraan di dua alam, dunia dan akhirat. Aku bersama dengan karakter baik sedang menghamppiri-Mu. (Avesta, 32:2, 3)
Wahai Urdibehisth! Aku memuji-Mu dan Bahman dan Mazda Ahura serta Sipant Armadh dalam cara baru dan patut, karena Engkaulah dan mereka ini yang telah menghamparkan dan menghiasi alam akhirat abadi bagi mereka yang takwa dan saleh. Dan aku meminta dari- Mu pertolongan setiap kali aku meminta pertolongan. (Avesta, 33)
Wahai Urdibehisth! Curahi rahmat kami dengan pahala dan batasan Goshtasp. Wahai Spinath Armadh, penuhilah keinginan dan kebutuhanku.
Wahai Urdibehisth atau Tuhan, limpahkan kekuatan pada nabi-Mu agar ia mampu memuji-Mu. (Avesta, 23)
Memang benar bahwa Ahura Mazda dianggap oleh Avesta sebagai “Tuhan besar yang merupakan sumber segala sesuatu” dan tidaklah Ahriman ataupun para malaikat tertinggi yang setara dengan-Nya. Namun dalam hal pujian, doa, dan meminta pertolongan, Ahura Mazda, [68] Bahman, [69] Urdibehisth, [70] Spinat Armadh[71] dan lain-lain pun merupakan objek ibadah dan pertolongan mereka dicari untuk memenuhi kebutuhan dan hasrat manusia. Secara total, al-Quran melarang penyembahan dan memohon pertolongan dari segala sesuatu yang lain kecuali Allah.
Tauhid dalam Ketaatan dan Ketundukan [72]
Ketaatan dari perspektif al-Quran ada dua jenis:
1. Ketaatan dengan ketundukan mutlak vis-â-vis apapun diperintahkan kepada manusia. Menurut al-Quran, jenis ketaatan ini, sesungguhnya, disebut “penghambaan” (‘ubûdiyyah) yang khusus kepada Allah dan tidak kepada siapapun selain Dia.
2. Ketaatan kepada mereka yang punya hak kewalian (wilâyah) atas kita. Dari kepentingan kita dan publik serta menurut kecenderungan manusia, adalah penting untuk menaati wali yang mereka itu ialah para nabi, imam dan para pemimpin atau penguasa yang didaulat oleh para nabi, dan imam atau para pemimpin yang telah meraih kedudukan ini dalam kegaiban Imam Mahdi as menurut tradisi keagamaan yang otentik dan para orangtua. Syarat yang menjadikan ketaatan kepada mereka sebagai wajib adalah bahwa mereka tidak menyimpang dari jalur keadilan dan syariah. Ia merupakan tugas orang-orang untuk mempertimbangkan masalah-masalah ini secara kritis dan mencegah dari menaati mereka yang melanggar hukum syariah dan zalim. Dengan demikian, ketaatan semacam itu bukanlah ketaatan mutlak.
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putra Maryam. Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Mahaesa. Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (QS at-Taubah [9]:31)
Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini (w.329 H) dalam bukunya al-Kâfî mengatakan bahwa:
Sejumlah sahabat kita meriwayatkan dari Abu Bashir bahwa ia bertanya kepada Imam ash-Shadiq as mengenai firman Allah: Mereka menjadikan orang- orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah...(QS at-Taubah [9]:31). Imam as menjawab: Demi Allah, mereka (para rahib dan pendeta) tidak pernah mengajak mereka (kaumnya) untuk beribadah kepada mereka (karena) apabila mereka telah mengundang manusia untuk menyembah mereka, tentu saja orang ramai tak akan menyambut ajakan mereka. Sesungguhnya para rahib dan pendeta mengubah apa yang haram menjadi halal kepada mereka (menurut kepentingan mereka sendiri) dan sebaliknya.
Al-Kulaini menukil hadis yang sama dengan rujukan kepada sumber-sumber lain juga menurut perkataan Imam sebagai berikut:
Demi Allah, tidaklah mereka orang Kristen berpuasa untuk para rahib dan pencleta mereka, tidaklah pula mereka shalat untuk mereka, namun sesungguhnya mereka mengikuti mereka (rahib dan pencleta) ketika mereka menyatakan yang haram sebagai halal dan halal sebagai haram.
Mufasir Syi’ah secara umum saat menafsirkan ayat al-Quran ini mengacu kepada hadis yang sama. Imam Fakhr al-Razi (543/4-606 H) pun –dalam tafsir al-Kabîr– menulis:
Ketahuilah bahwa Allah Ta 'ala melalui kata ittakhadzû (mereka menjadikan) menjelaskan orang Kristen dan Yahudi sebagai telah melakukan sejenis syirik. Sebagian besar mufasir berpendapat bahwa melalui istilah arbaban (tuhan-tuhan) yang ada dalam ayat ini tidak berkonotasi para rahib dan pendeta, namun istilah itu merujuk pada mereka yang tunduk kepada keduanya dan secara buta menerima apa saja yang mereka katakan. Ada satu riwayat tentang Adi bin Hatim. [73] Diceritakan bahwa ketika ia masih memeluk Kristen, ia datang kepada Nabi saw. Saat itu beliau tengah membaca surah al-Baqarah. Ketika beliau sampai pada ayat ini, Adi berkata, “Aku berkata kepada Nabi saw bahwa kami tidak menyembah mereka.” Nabi saw berujar, “Bukankah mereka menyatakan halal sebagai hararn dan juga bukankah Anda menyatakan hal yang sama?” Adi berkata lagi, “Ya, benar.” Maka Nabi saw berkata bahwa itu sama halnya dengan menyembah mereka.”
Al-Razi berkata: Aku bertanya kepada Abu al-‘Aliyyah apakah hakikat ketuhanan para pendeta dan rahib di kalangan Bani Israel? Ia menjawab:
Yang demikian itu adalah bahwa setiap kali mereka menemukan sesuatu dalam kitab suci yang bertentangan dengan perkataan para rahib dan pendeta, mereka menerima apa yang dikatakan para rahib dan pendeta serta menyangkal teks kitab suci. (16:36, 37 Tafsir al-Kabîr)
Ketundukan vis-â-vis Perintah dan Wahyu Tuhan serta Berpantang dari Faktor-faktor Penyebab Perpecahan dalam Barisan Penganut Tauhid
Tauhid dalam ketaatan dan ketundukan secara otomatis menuntut para hamba Tuhan untuk menyerahkan diri mereka sendiri kepada Perintah Tuhan dalam masalah-masalah agama. Dalam hal ini mereka harus mengabaikan kecendernngan dan sikap personal mereka untuk membuka jalan bagi persatuan dan solidaritas para pemeluk tauhid dan menyelamatkan mereka dari faktor-faktor penyebab perselisihan internal. Dalam hal ini, al-Quran berkata:
Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang- orang yang fasik. Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. SekiranyaAllah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhndap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan,. Hanya kepada Allah-lah kamu semuanya kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. (QS al-Mâ-idah [5]:47-48)
Dalam ayat ini, al-Quran menempatkan solusi logis dan masuk akal untuk menyelamatkan para pengikut wahyu dari sejenis perpecahan sehingga semua orang yang beriman kepada Allah dan jalan para nabi as tercegah dari kontroversi dan perdebatan muspra. [74] Setiap orang atau kelompok dengan pemahamannya masing-masing akan wahyu Ilahi harus berlomba-lomba mengejar kebaikan dan kebajikan dan dengan cara ini berkompetisi dalam amal-amal saleh ketimbang melibatkan dirinya sendiri dalam pertikaian tidak menentu dan sia-sia seperti para pengikut agama terdahulu. Cara tepat untuk mernecahkan masalah ini adalah “apakah kebenaran”? Pertama-tama, orang harus merujuk pada teks al-Quran untuk membeningkan keragu-raguan orang. Perbedaan yang muncul tentang apakah kebenaran itu dan siapakah penanggung kebenaran. Solusi final akan ditinggalkan pada hari itu ketika semua tabir disingkapkan dan pemberi wahyu akan menjadikan kebenaran diketahui dalam pola yang pasti.
Tampaknya ini merupakan satu-satunya jalan untuk memperoleh persatuan para pengikut wahyu. Sebaliknya, tidak hanya para pengikut satu nabi atau kitab suci yang akan berselisih dengan para pengikut nabi lain dan jalan Tuhan yang benar dan terang akan hilang, melainkan juga mencuatnya pertikaian di antara para pengikut nabi yang sama dan kitab suci yang sarna mengenai ijtihad ini atau itu dan keyakinan ini atau itu sebagai yang benar. Bahkan para penganut keyakinan yang sama mungkin berselisih satu sama lain ihwal satu perkara mengikuti mujtahid ini atau mujtahid itu dan sebagai akibatnya cahaya wahyu akan tereduksi menjadi cahaya lemah dan lembut.
Itulah mengapa al-Quran suci menilai keimanan kepada keesaan Tuhan sebagai poros semua kepercayaan dan perbuatan dalam agama, dan dalam istilah baku menyatakan pertikaian 72 golongan (72 golongan adalah suatu istilah populer yang digunakan dalam Matsnawi Rumi yakni berbagai aliran) tentang keesaan Tuhan di kalangan Muslimin sebagai penyimpangan dari jalan yang benar dan melarang semua perdebatan teologis selain mereka yang bisa mencerahkan dan bebas dari purbasangka dan kepentingan pribadi. Pertikaian, yang dilarang, adalah pertikaian yang egoistik di mata Tuhan dan pencapaian unitas sosial yang dilambari wahyu.
Tauhid Zat: Keunikan dan Kenirtaraan Allah
Atau patutkah mereka mengambil pelindung-pelindung selain Allah? Maka Allah, Dialah Pelindung (yang sebenarnya) dan Dia menghidupkan orang-orang yang mati dan Dia adalah Mahakuasa atas segala sesuatu.
Tentang sesuatu apapun kamu berselisih maka putusannya (terserah) kepada Allah. (Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. Kepada-Nyalah aku bertawakal dan kepada-Nyalah aku kembali. (Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Kepunyaan-Nyalah perbendaharaan langit dan bumi. Dia melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkannya. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS asy-Syura [42]:9-12)
Ayat-ayat di atas sekali lagi menegaskan bahwa Allah adalah Pengendali Tunggal alam semesta, dan menambahkan: “Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai- Nya.” Oleh sebab itu, Allah adalah Wujud Nirtara (Peerless Being) .
Keunikan Allah
Katakanlah: Dialah Allah Yang Mahaesa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia. (QS al-Ikhlas [112]:1-4)
Apa yang Dimaksud dengan Keunikan dan Kenirtaraan Allah (Peerlessness of God)?
Para pemikir sohor memandang bahwa keunikan dan kenirtaraan Allah sama dengan keesaan esensial-Nya yang senantiasa menjadi subjek filsafat dan mistisisme. Interpretasi paling sederhana dari keesaan esensial bisa diperikan sebagai berikut:
Ketika kita menyatakan “Allah itu Esa” yang dimaksud adalah Tuhan sebagai Esensi Unik yang kepadanya tidak bisa dilekatkan rangkapan atau multiplisitas (multiplicity) apapun. Bahkan, mustahil untuk menerima adanya dua wujud yang menyerupai-Nya. Dengan demikian, keunikan berimplikasi pada esensi-Nya dan tauhid atau keesaan juga niscaya bagi esensi-Nya.
Maka dari itu, untuk memahami keesaan Tuhan adalah penting untuk, setidaknya, mengenali-Nya secara benar, yakni memiliki sebuah konsepsi yang benar ihwal istilah “Tuhan” dalam pikiran kita. Apabila kita memahami istilah ini dengan apa yang sebenarnya yang dimaksud, dengan sendirinya kita akan mencapai kesimpulan bahwa apabila Tuhan itu esa dan tidak bisa dua atau banyak, maka esensi-Nya tidak sejalan dengan dualitas dan multiplisitas. Untuk menjadikan rnasalah ini lebih jelas, mari kita ambil satu contoh:
Amatilah satu garis yang diasumsikan berada di ruangan dan anggaplah garis ini memanjang pada kedua tepinya tanpa batas. Kini mari kita anggap ada satu garis lagi yang sejajar dengan yang lain pada jarak satu meter dari garis sebelumnya dan memanjangnya pada dua sisi tanpa batas. Adakah penyimpangan dalam mengasumsikan dua garis sejajar pada jarak semacam itu? Apakah kedua garis itu bersinggungan satu sama lain? Tidak, karena menurut definisi dua garis yang sejajar akan berada pada jarak yang sama di setiap titik, dan apabila keduanya diperpanjang sampai tak terhingga, maka keduanya tidak akan pernah bertemu.
Dengan mengabaikan pernbicaraan yang menyangkut kebenaran definisi di atas, yakni apakah ia bersifat relatif ataukah mutlak dan seterusnya, setidaknya kita bisa mengasumsikan garis semacam itu.
Sekarang, mari kita lihat seseorang yang ada di hadapan kita. Bayangkanlah tubuh itu membesar ke semua sisi dan arah, baik itu panjang, lebar dan tingginya. Pertanyaannya: bisakah kita membayangkan tubuh lain secara serentak yang bisa diperbesar seperti itu dalam semua matranya tanpa batas? Jawabannya, tidak. Pasalnya, tubuh pertama telah menempati semua bidang dan tak ada lagi ruangan yang tersisa bagi tubuh berikutnya, entah terbatas maupun tidak, kecuali jika yang belakangan masuk ke tubuh pertama.
Akan tetapi, asumsi ini juga salah karena dua tubuh tidak pernah bisa saling memasuki atau tidak bisa pula tubuh yang lain menempati ruang antara tubuh pertama seketika. Oleh sebab itu, kita tidak bisa membayangkan dua tubuh tidak pasti dalam ruangan. Tubuh manapun yang dibayangkan dalam ruangan tidak akan menjadi yang lain selain tubuh yang sama.
Dengan asumsi ini, kita mendiskusikan tubuh tak terbatas dan adalah jelas bahwa asumsi tubuh tak terbatas menafikan eksistensi mutlak tubuh lain dengan sendirinya. Namun di saat yang sama, ia tidak menegasikan kementakan (possibility) asumsi wujud nonfisik seperti ruh abadi yang bisa masuk ke tubuh tanpa batas.
Rentangkanlah ini sampai ke tataran bahwa itu bisa diterapkan pada suatu wujud yang tidak terbatas dalam semua hal. Mungkinkah mengasumsikan dua atau lebih wujud semacam itu? Tidak mungkin, karena dalam hal mengasumsikan dua wujud semacam itu, masing-masing wujud pasti berbeda satu sama lain. Artinya, eksistensi masing-masing wujud akan saling membatasi. Oleh sebab itu, tak satu pun dari kedua wujud tadi mutlak adanya. [75] Dengan demikian, Tuhan adalah Wujud Nirtara (Peerless) dan Unik. Wujud-Nya melampaui semua jenis dualitas dan multiplisitas.[76]
Tauhid dalam Bilangan
Apabila orang sepenuhnya mengerti makna tauhid dan keesaan Tuhan, ia pasti memahami baik bahwa keesaan-Nya bukanlah keesaan numerik [melainkan tauhid secara ontologis–penerj.] seperti “wujud dalam satu bagian”. [77] Pasalnya, wujud secara numerik berimplikasi bahwa wujud lain seperti itu secara hipotetis mungkin adanya, tapi karena faktor tertentu, ia tidak eksis. Asumsi ini hanya dapat diterapkan kepada wujud-wujud yang mempunyai rangkapan (multiplicity) inheren di dalamnya, yakni bisa diasumsikan menjadi dua atau lebih wujud-wujud tersebut.
Shadr al-Muta’allihin dalam bukunya al-Syawâhid al-Rubûbiyyah berkata:
Keesaan-Nya bukanlah keesaan numerik seperti halnya wujud-wujud lain yang ketika ditambah menjadi banyak. Alih-alih demikian, keesaan-Nya adalah keesaan hakiki [ontologis] dalam arti bahwa Dia adalah Nirtara (Peerless) (Mustahil untuk membayangkan adanya [wujud] kedua atau ketiga yang menyerupai-Nya).” (al-Syawâhid al-Rubûbiyyah, hal.48).
Dalam karyanya yang lain, Arsyiyyah, Mulla Shadra telah- mengupas tema memikat ini dalam cara yang mendalam dengan tajuk Qaidah al-Masyriqqiyah yang tertarik pada pemecahan masalah ini bahkan lebih jauh merujuknya.
Unitas Pribadi (Personal Unity)
Istilah unitas pribadi digunakan vis-â-vis unitas khusus (spesific) dan umum (generic). Misalnya, Hushang dan burung bulbulnya dengan kicauan-terbaik memiliki unitas umum lantaran keduanya sama-sama makhluk hidup (hewan), [78] tapi tidak memiliki unitas pribadi yang spesifik. Hushang dan temannya yang berkulit hitam memiliki unitas umum dan khusus, tapi tidak mencirikan unitas, karena Hushang berkulit putih sementara temannya berkulit hitam. Di saat yang sama, rnereka tidak punya unitas pribadi juga karena keduanya wujud yang berbeda dan khusus. Hushang dan saudaranya, Ahmad, memiliki unitas umum dan khusus, karena keduanya berasal dari ras yang sama (kulit putih) dan ayah-ibu yang sama. Bahkan tubuh mereka, bentuk dan perilakunya mungkin mempunyai ciri-ciri yang sama laksana pinang dibelah dua. Namun mereka tidak punya unitas pribadi karena pada akhirnya mereka orang yang berbeda.
Unitas pribadi dalam arti khusus yang didiskusikan di atas diasosiasikan dengan unitas numerik. Padahal, Tuhan tidak bisa dibayangkan sebagai mempunyai unitas personal. Namun dari perspektif filosofis, unitas personal memiliki makna yang mendalam dan subtil di mana Tuhan memilikinya dan tidak bisa ada tanpanya. Dari tilikan filsafat yang mendalam, kita bisa menegaskan bahwa setiap fakta objektif harus memiliki unitas personal dari jatidirinya sendiri, yakni ia khusus dan berbeda dari fakta-fakta lain, apakah ia secara esensial dualistik dalam hakikatnya ataukah tidak. Jika ia dualistik berkenaan dengan esensinya, maka unitas pribadi merupakan keniscayaan esensi-Nya dan tidak ditentukan dengan sendirinya oleh faktor-faktor eksternal. Akan tetapi, jika ia dualitistik dalam hal esensinya, ia butuh diwujudkan oleh faktor eksternal atau faktor-faktor untuk memiliki unitas personal, karena Dia adalah wujud yang berbeda dari realitas lain. Namun unitas personal adalah penting bagi wujud-Nya. Oleh sebab itu, identitas-Nya adalah wujud-Nya sendiri ketika identitas dan unitas personal wujud lain tergantung pada yang lain. Tuhanlah yang telah mengaruniakan identitas dan unitas personal kepada wujudwujud tersebut. Dalam buku ‘Arsyiyyah-nya, Shadr al-Muta’allihin berkata:
Tiada sesuatupun selain wujud-Nya sendiri yang menetapkan Identitas-Nya... Tidak sesuatupun merupakan bukti bagi keberadaan-Nya kecuali Esensi-Nya. Wujud-Nya adalah bukti dan saksi atas keunikan-Nya. Sebagaimana dikatakan, “Tuhan adalah saksi yang tidak ada tuhan selain Dia”. Sebab, kesatuan (unitas) tidak seperti kesatuan dari penjumlahan bilangan-bilangan sebagaimana lazimnya kita memahami unitas personal. Juga bukan unitas umum atau spesifik atau relatif. Unitasnya merupakan akar dan landasan semua bentuk unitas lain. UnitasNya adalah jenis berbeda yang dilambari dengan esensi sublim-Nya sama halnya eksistensi Nya diniscayakan oleh Wujud-Nya, yakni sumber segala wujud. Oleh karena itu, tidak ada yang kedua bagin-Nya...” (‘Arsiyyah, hal.220-221 )
Aspek Lain “Tauhid Zat”: Penafian Keterangkapan Tuhan, Penafian Sifat-sifat atas Zat-Nya dan Penafian Multiplisitas Sifat-sifat atau Kesatuan Sifat-sifat
Aspek lain dari tauhid Zat Tuhan adalah bahwa Ia adalah Wujud Unik, Sederhana, dan Tunggal. Zat-Nya tidaklah merupakan rangkapan dari berbagai unsur atau Wujud-Nya tidak tersusun dari pelbagai esensi. [79]
Kesimpulan
Dalam karya-karya mistis dan filosofis, biasanya empat jenis tauhid ini dikupas. Yakni, tauhid zat, tauhid sifat, tauhid perbuatan, dan tauhid dalam ibadah.
Dari empat jenis tauhid ini, tauhid perbuatan dan tauhid ibadah bisa dipahami secara langsung dan mudah dari al-Quran. Dan, pada dasarnya ajaran-ajaran al-Quran bertolak dari dua jenis tauhid ini. Adapun tauhid zat dan sifat, tidak bisa dideduksi secara gampang dari al-Quran. Jika kita mengkaji al-Quran tanpa dilengkapi dengan pemahaman filsafat dan mistis yang subtil dan akurat, kita tidak bisa menemukan sarti ayatpun dalam al-Quran yang bisa dikaitkan secara langsung pada dua jenis tauhid ini.
Akan tetapi, apabila kita berpaling pada al-Quran yang penuh dengan perintah ihwal konsep-konsep subtil dari mistisisme dan filsafat serta merenungkan secara genus, kita bisa menemukan sejumlah ayat al-Quran yang relevan dengan dua jenis tauhid ini. Karena alasan inilah untuk memahami ayat-ayat ini, orang butuh pengetahuan yang lebih dalam ketimbang biasanya. Adalah di aras yang lebih tinggi, ayat-ayat yang merujuk pada tauhid zat dan tauhid sifat menjadi jelas dan tampak tidak asing dengan doktrin al-Quran perihal tauhid. Dengan perhatian dan ketekunan yang luar biasa, ayat-ayat tadi bisa ditafsirkan sebagai memiliki relevansi dengan konsep-konsep penting masalah tauhid.
Referensi:
63. Seberapa benar dan sesuai penggunaan istilah Izad dan Yazd dalam bahasa Persia sebagai terjemahan dari kata Allâh dengan pengertian asli istilah-istilah tersebut dalam kitab Avesta? Dr. Mu’in dalam A Persian Dictionary (Farhang-e Mo’in, jilid 1) berkata: Izad (Yazd) berarti: (i) Firisytah, Malak yakni malaikat-malaikat; (Penjelasan): Dalam keyakinan Zoroaster ia digunakan untuk para malaikat yang dalam segala hal tunduk kepada Amisyaspand. Jumlah Izadân banyak dan terbagi pada dua kategori: ma’nawî (ukhrawi) dan jahâni (duniawi). Ahuramazda adalah pemimpin Yazdan. Istilah Yazdan merupakan bentuk plural dari Yazd. Akan tetapi, dalam bahasa Pahlavi dan Persia digunakan sebagai suatu kata benda tunggal untuk Tuhan; (ii) Khudâ, Afaridegâr, yakni Pencipta, Allâh. Bentuk pluralnya ialah Yazdan.
64. Tentang asal-usul kata ini berbagai pandangan telah diajukan (dari 20 hingga 30 pandangan). Pembaca bisa merujuk kepada Taj al-‘Arûs, jilid 1-9, kata ilâh dan turunannya.
65. Banyak fllosof dan pemikir telah menafsirkan istilah penciptaan (khalq) sebagai dunia fisik dan perintah (‘amr) sebagai dunia abstraksi dan ide-ide. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik akan istilah-istilah ini, pembaca bisa merujuk artikel saya yang diterbitkan beberapa tahun silam dalam Maktab-e Tasyayyu’.
66. Dalam konteks filsafat ketuhanan, konotasi sederhana yang disandarkan kepada Tuhan berarti Dia tidak mengenal batas kesempurnaan.Jika ada batas kesempurnaan pada Diri-Nya, yang niscaya mustahil, dengan sendirinya istilah kesempumaan menjadi muspra. Dengan kata lain, mengandaikan adanya batasan kesempurnaan pada diri-Nya berarti mengandaikan adanya rangkapan pada diri-Nya. Tidak adanya rangkapan pada-Nya justru menunjukkan bahwa Dia sederhana–penerj.
67. Alat yang dulu digunakan untuk mengukur ketinggian benda langit–penerj.
68. Mazda, Ahura, Mada ahura, dan Ahuramazda, semuanya itu nama-nama Tuhan, Sang Pencipta, menurut kepercayaan Zoroaster (Avesta, catatan kaki hal.32). Ahuramazda, Ahurmazd, Hurmazd, Urmazd, Hurmuzd (Pahlawi: Ohramzd). Ahuramazda, Tuhan Mahabijak, Tuhan Mahakuasa dalam kepercayaan Iran kuno dan Zoroaster adalah Pencipta langit dan bumi. Amisyaspand dan Izadan juga diciptakan oleh-Nya. Dia sendiri Mahakuasa dan Mahabijak serta sumber kebajikan, kesucian, dan kesalehan. (A Persian Dictionary, “Farhang-e Mo'in”, jilid 5).
69. Malaikat pertama dari rangkaian malaikat yang melambangkan pikiran kudus, kearifan, dan pengetahuan Ahuramazda dan mengajarkan manusia pembicaraan yang benar (Avesta, catatan kaki hal.32).
70. Malaikat kedua dari rangkaian malaikat yang mewakili kebenaran dan kesucian Ahuramazda, dan ia bertanggung jawab pada sfera langit. Dia adalah dewa api di bumi (Avesta, catalan kaki hal.32).
71. Malaikat keempat dari rangkaian malaikat yang menyimbolkan kebajikan dan kerendahhatian yang suci. Malaikat ini merepresentasikan persahabatan, kesabaran, dan kerendahhatian Ahuramazda di ufuk langit dan penjaga bumi, kesejahteraan dan perkembangannya di alam fisik. Ia dianggap sebagai malaikat perempuan yang mendorong manusia untuk terlibat dalam pertanian dan kultivasi tanah. Ia disebut sebagai putri Ahuramazda sebagaimana halnya Auhar diagungkan sebagai putra Ahuramazda.
72. Tauhid dalam ketaatan dan ketundukan kepada Allah merupakan salah satu aspek paling berharga dalam tauhid Islam yang menempatkan peranan desisif dalam struktur sosio-ekonomi masyarakat. Dalam wacana kita, kita hanya membatasi diri kita sendiri pada eksposisi prinsip dasar tauhid Islam. Dan, kita belum memasuki secara detail variasinya yang terkait dengan sistem sosial, ekonomi, dan pendidikan Islam yang menyangkut kehidupan manusia dan masyarakat.
73. Adi bin Hatim (w.68 H) adalah salah seorang sahabat Nabi saw yang datang dari Suriah ke Madinah dan memeluk Islam.
74. Dalam konteks yang sama rujuk ayat-ayat berikut: al-Baqarah [2]:120, 145; al-Mâidah [5]:77; al-Furqân [25]:43; asy-Syu’arâ [26]:50; ar-Rûm [30]:29; Shâd [38]:26; asy-Syûra [42]:9,15; al- Jaatsiyah [45]:18,23; an-Najm [53]:23.
75. Perumpamaan dua wujud ini mencuatkan pertanyaan lain. Apakah keduanya merupakan sama-sama sebab hakiki ataukah hanya salah satunya? Jika yang pertama yang diambil maka ini jelas mustahil. Karena kedua-duanya akan saling membatasi kesempurnaan dirinya sebagai sebab hakiki. Jika yang kedua yang diambil [yakni wujud sebagai akibat], maka keberadaannya ditentukan oleh –dan senantiasa memerlukan pada– wujud pertama sebagai sebab–penerj.
76. Shadr al-Muta’allihin, dalam asy-Syawâhid al-Rubûbîyah, memberikan bukti ihwal keesaan Tuhan hanya pada dalil ini. Sekaitan hal tersebut, ia mengatakan:
Emanasi kedua dari ketunggalan (Wahdâniyyat) Wujud Wajib (Necessary Being): karena konsep berharga ini yakni konsep yang paling berharga menurut pandangan ‘urafâ, di mana Allah melimpahkan kepada kita pengetahuan, kami punya argumen Ilahi (burhân-e ‘arsyi) yang final dan sangat tak bisa dibantah dalam kekuatannya...
77. Esa atau satu mempunyai dua bagian: esa hakiki dan esa i’tibari (tidak hakiki). Esa yang pertama yakni esa yang tidak berbilang dan tidak ada bilangan/unsur di dalamnya. Satu hakiki hanya akan dimiliki oleh Sang Pencipta. Sedang esa kedua adalah yang tidak berbilang, namun di dalamnya ada kesatuan. Kesatuan ini dihasilkan dari pertambahan bagian/unsurnya. Misalnya satu manusia terdiri atas kepala, tangan, dada, dan seterusnya. Dikaitkan dengan kemutlakan wujud, esa yang seperti ini–yakni esa yang terdiri kesatuan bagian-bagian, jelas tidak sempurna, karena ia membutuhkan bagian-bagian yang itu mustahil diterapkan pada Tuhan. (Lihat juga Muthahhari, Tema-tema Pokok Nahj al-Balâghah, hal.64-67)–penerj.
78. Dari satu sisi, manusia dan hewan tidak ada bedanya. Tetapi dari sisi lain, manusia berbeda dari binatang karena kemampuannya menggunakan akal dan kesadarannya dalam bertindak, sementara hewan berdasarkan naluri atau instink hewaninya–penerj.
79. Uraian terperinci atas konsep ini telah diberikan pada bab kesebelas dalam buku filsafat. Di antaranya, orang bisa mengacu pada al-Asfâr, jilid 6, hal.l00-105.
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email