Pembuktian Eksistensi Tuhan
DALAM buku-buku filsafat dan teologi (kalâm), bagian teologi biasanya dimulai dengan pembahasan “pembuktian eksistensi pencipta dunia”. Akan tetapi, dalam kitab-kitab suci, tidak ada topik atau pembahasan semacam itu. Dalam kitab-kitab tersebut, kita jarang memasuki diskusi apapun yang secara langsung terkait dengan isu bukti eksistensi Tuhan. Seakan-akan eksistensi Tuhan hanya tinggal terima jadi.
Dalam bukunya Reason and Revelation in Islam, AJ Arberry menulis:
Di masa Plato, Yunani merupakan pusat pembuktian berkenaan dengan eksistensi Tuhan berikut bukti- bukti dan argumen-argumennya. lni merupakan hal yang pertama kali di Barat di mana orang-orang berusaha menyelidiki ihwal Tuhan mereka. Tak satu pun penulis dan Perjanjian Lama pernah membahas eksistensi Tuhan sebagai suatu masalah pelik yang tentangnya niscaya ada keraguan atas semangat bangsa Semit yang menemukan Tuhan dalam wahyu itu sendiri. Lagi pula, apa yang barusan dikatakan tentang Perjanjian Lama, dengan hanya sedikit perbedaan, berlaku pula pada Perjanjian Baru. [15]
Pandangan yang terdapat di dalam kitab Avesta yang ada pada kita menunjukkan bahwa penerimaan eksistensi Tuhan tidak terkait dengan bangsa Semit dan kitab-kitab agama mereka. Dalam teks agama bangsa Arya eksistensi Tuhan diterima begitu saja tanpa mensyaratkan bukti atau demonstrasi logis.
Dalam Upanishad, yang termasuk kitab-kitab suci agama Hindu, kadang kita menemukan pernyataan yang tampaknya menyumbangkan pertanyaan ihwal eksistensi Tuhan dan sebab pertama. Pernyataan-pernyataan itu misalnya: Apakah sebab itu? Apakah Brahma itu? Darimana kita berasal? Bagaimana kita hidup? Apakah sumber eksistensi kita? Dalam kebahagiaan atau kesengsaraan, di bawah kehendak siapakah kita? Wahai Anda yang mengakrabi cakrawala spiritual, apakah kita hidup di tingkatan-tingkatan yang berbeda? [16]
Bagaimanapun, pernyataan-pernyataan semacam itu sebagaimana terlihat di atas tampak lebih tertuju kepada “ke-siapa-an” (whoness) tentang sebab pertama secara panteistik, ketimbang kepada pertanyaan “ke-apa-an” (whatness) atau Wujud-Nya (pertanyaan ontologis). Lagi pula, kitab Upanishad secara umum merupakan sebuah kitab filsafat dan mistisisme yang menempati kedudukan khusus di kalangan umat Hindu dan mirip kitab yang diwahyukan. Sesungguhnya agama Hindu itu sendiri sarat dengan ajaran-ajaran filosofis dan mistis yang amat mirip dengan mistisisme Islam (tashawwuf) dan mazhab filsafat-mistis lainnya. Agama Hindu diperkaya dengan aktivitas dan kontribusi intelektual dari sejumlah pemikir Hindu. Dengan begitu, melalui penggabungan semua ajaran dan ritual ini sebuah agama telah disusun yang disebut dengan Hinduisme. Namun, dalam struktur agama ini unsur-unsur mistis dan filsafatnya lebih unggul ketimbang agama-agama wahyu lainnya.
Bukti Eksistensi Tuhan dalam al-Quran
Menurut banyak ayat al-Quran, yang, sebagiannya akan kami kutipkan di sini, lingkungan yang di dalamnya kitab suci diturunkan, mengakui eksistensi Pencipta. Bahkan, bangsa Arab penyembah berhala tidak membantah eksistensi pencipta semesta ini:
Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah”, maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar) (QS. al-Ankabût:61).
Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?" Tentu mereka akan menjawab: “Allah.” Katakanlah: “Segala puji bagi Allah,” tetapi kebanyakan mereka tidak memahaminya (QS al-Ankabût:63).
Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka akan menjawab: “Semuanya diciptakan oleh Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. Yang menjadikan bumi untuk kamu sebagai tempat menetap dan Dia membuat jalan-jalan di atas bumi untuk kamu supaya kamu mendapat petunjuk. Dan yang menurunkan air dari langit menurut kadar (yang diperlukan) lalu Kami hidupkan dengan air itu negeri yang mati, seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari dalam kubur). Dan yang menciptakan semua yang berpasang-pasangan dan menjadikan untukmu kapal dan binatang ternak yang kamu tunggangi” (QS. az-Zukhruf:9-12).
Dalam sejumlah ayat lain dari al-Quran, bangsa Arab penyembah berhala pun mengakui keberadaan Tuhan. Ayat di bawah mencerminkan hal yang dimaksud:
Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudaratan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafaat kami di sisi Allah”. Katakanlah: “Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) di bumi?” Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan (itu) (QS Yunus: 18).
Jelaslah, keyakinan kaum musyrikin terhadap peran perantara dari berhala di antara mereka sendiri dan Tuhan menengarai keyakinan akan eksistensi Tuhan Sang Pencipta.
Adakah Keragu-raguan Terhadap Eksistensi Tuhan?
Dalam ayat 10 surah Ibrahim, ada kalimat yang menyatakan bahwa: “...Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?” (QS. Ibrahim: 10). Dalam kajian-kajian keagamaan yang berulang-ulang dilakukan, sebagian orang telah menafsirkan ayat ini dalam arti bahwa al-Quran mengecam keragu-raguan tentang eksistensi Tuhan dam menganggap eksistensi Tuhan sebagai sesuatu yang swabukti bagi mereka semua yang merenungkan rahasia penciptaan langit dan bumi. Namun, sejumlah mufasir penting menentang interpretasi ini. Untuk menyoroti isu ini kami, pertama-tama, akan menukil ayat 9-12 surah Ibrâhîm:
Belumkah sampai kepadamu berita orang-orang sebelum kamu (yaitu) kaum Nuh, ‘Ad, Tsamud, dan orang-orang sesudah mereka. Tidak ada yang mengetahui mereka selain Allah. Telah datang rasul-rasul kepada mereka (membawa) bukti-bukti nyata lalu mereka menutupkan tangannya ke mulutnya (karena kebencian), dan berkata: “Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu disuruh menyampaikannya (kepada kami) dan sesungguhnya kami benar-benar dalam keragu-raguan yang menggelisahkan terhadap apa yang kamu ajak kami kepadanya. Berkata rasul-rasul mereka: “Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi? Dia menyeru kamu untuk memberi ampunan kepadamu dari dosa-dosamu dan menangguhkan (siksaan)mu sampai masa yang ditentukan?” Mereka berkata: “Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami juga. Kamu menghendaki untuk menghalang-halangi (membelokkan) kami dari apa yang selalu disembah nenek moyang kami, karena itu datangkanlah kepada kami bukti yang nyata. Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka: “Kami tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, akan tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang Dia kehendaki di an tara hamba-hamba-Nya. Dan tidak patut bagi kami mendatangkan suatu bukti kepada kamu melainkan dengan izin Allah. Dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang yang mukmin bertawakal. Mengapa kami tidak akan bertawakal kepada Allah padahal Dia telah menunjukkan jalan kepada kami, dan kami sungguh-sungguh akan bersabar terhadap gangguan-gangguan yang kamu lakukan kepada kami. Dan hanya kepada Allah saja orang-orang yang bertawakal itu berserah diri".
Kaum Nuh, ‘Ad, dan Tsamud serta kaum-kaum lainnya yang menggantikan mereka saling berbantah dengan para nabi Allah yang diutus untuk menyelamatkan mereka berkaitan dengan kandungan wahyu-wahyu mereka dan telah menyatakan secara terbuka bahwa mereka tidak percaya akan tujuan seruan yang dilakukan oleh para nabi ini. Apakah kandungan wahyu para nabi tersebut menyangkut eksistensi Tuhan, atau apakah para penyembah berhala suku ini mengakui keberadaan Sang Pencipta dan menganggap berhala-berhala tersebut sebagai manifestasi nyata-Nya yang bisa mengabulkan kebutuhan-kebutuhan mereka dan bertindak sebagai perantara antara mereka dan Pencipta mereka?
Dalam kitab al-Mizan, Allamah Thabathaba'i, mendukung pandangan kedua dan menyatakan secara jelas bahwa perselisihan antara kaum ini dan para nabi, berkisar pada keesaan Allah, kenabian, dan hari kebangkitan, alih-alih persoalan eksistensi Tuhan. Menurut ath-Thabarsi dalam Majma’ al-Bayân dan Sayyid Quthb dalam Fî Zhilal al-Qurân, serta para mufasir lainnya, siapapun harus menyimpulkan bahwa mereka (kaum musyrikin) pun tidak percaya terhadap argumen-argumen yang membahas masalah- masalah seperti keesaan Tuhan, kendali dan kuasa penuh-Nya atas dunia ini, kenabian dari orang-orang pilihan, pahala dan siksa dari Allah di dunia dan akhirat dan seterusnya. Bukan persoalan eksistensi Tuhan itu sendiri.
Namun demikian, teks dari pernyataan para nabi tersebut adalah: “Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?” Jenis penalaran ini, secara otomatis, membawa keragu-raguan seputar eksistensi Tuhan. Secara khusus, ini memang benar dengan tambahan bahwa kualitas-kualitas seperti: pencipta langit dan bumi, yang di dalamnya kata al-Quran fâthir berarti creatio ex nihilo digunakan. Ini menunjukkan bahwa isu tersebut berada di bawah diskusi menyangkut eksistensi Tuhan ketimbang Ketunggalan-Nya. Dalam al-Mizân, Allamah Thabathaba'i menyebut frase ini sebagai bukti yang meneguhkan pandangannya sendiri. Allamah mengatakan:
Apabila frase tersebut berbunyi: khâliqi al-samawâti wa al-ardh(i), yang berarti “pencipta langit dan bumi”, maka ungkapan seperti itu terkait dengan eksistensi Tuhan. Namun, karena para penyembah berhala tidak membantah adanya pencipta dunia ini selain hanya mengingkari keesaan-Nya, maka frase fâthir al-samawâti wa al-ardh(i) yang bermakna “pencipta langit dan bumi” semestinya terkait dengan masalah unitas dan keesaan Tuhan. [17]
Akan tetapi, menurut kami, frase fâthir al-samawâti wa al-ardhi lebih sesuai untuk pembuktian eksistensi Tuhan ketimbang frase khâliq al-samawâti wa al-ardhi.
Para penyembah berhala tidak menolak eksistensi Tuhan, namun hanya tidak percaya terhadap perkara-perkara duniawi yang dikendalikan oleh-Nya dan beribadah hanya kepada-Nya. Hal ini bisa jadi benar hanya dalam kasus para penyembah berhala bangsa Arabia di masa Nabi Muhammad saw. Akan tetapi, apakah hal itu benar dalam kasus para penyembah berhala di sepanjang masa sehingga kita bisa merujuknya lalu memahami ayat tersebut terkait dengan kaum ‘Ad, Tsamud, dan kaum lain di masa silam?
Lebih jauh, apakah kepercayaan terhadap pencipta alam semesta terkait dengan keesaan Tuhan ketimbang eksistensi-Nya? Jika demikian halnya, kita harus menerima bahwa ayat ini terkait dengan eksistensi Tuhan. Dengan demikian, ide bahwa ayat al-Quran ini menganggap keraguan akan eksistensi Tuhan sebagai keraguan akan sesuatu yang swabukti, tidak sepenuhnya dibenarkan. Karena dengan menggunakan frase: fâthir al-samawâti wa al-ardhi, apa yang ditekankan dan ditunjukkan adalah eksistensi Allah bukan untuk keswabuktian (self-evidentness) dari eksistensi-Nya. Bahkan, menurut sebagian kalangan, ayat-ayat al-Quran yang meragukan tentang eksistensi Allah tidak dikecualikan sepenuhnya dalam kitab suci ini. Misalnya, surah ath-Thûr. Ia termasuk salah satu surah al-Quran yang diturunkan di Makkah sebelum hijrah. Surat ini pertama-tama membahas persoalan Hari Kebangkitan yang secara ekstensif tersaji pada ayat 1 sampai 28. Dari ayat 29 hingga 34 persoalan tentang kenabian Nabi Islam saw dimunculkan. Selanjutnya diskusi diperluas dan kemungkinan-kemungkinan keraguan tentang eksistensi Tuhan dilahirkan dan ayat berikut diturunkan:
Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri) ? Ataukah mereka telah menciptakan langit. dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan) (QS ath-Thûr: 35-36).
Pertanyaan yang akan muncul dalam ayat setelahnya apakah manusia mempunyai akses terhadap perbendaharaan rahmat Allah, ataukah manusia sendiri merupakan sumber kuasa? Atau, apakah manusia punya akses kepada mata air wahyu Ilahi? (ayat 37-46).
Maka dalam ayat 43 tema eksistensi tuhan lain selain Sang Pencipta diajukan. Disebutkan:
Ataukah mereka mempunyai tuhan selain Allah. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan (QS ath-Thûr: 43).
Mempertimbangkan urutan dan topik surah ini yang telah kami sebutkan, tampak bahwa ayat 35 dan 36 memunculkan persoalan ini yakni bahwa Allah tidak punya kekuasaan dalam penciptaan dunia dan umat manusia dan semua ini terjadi dengan sendirinya.
Maka, untuk memecahkan masaIah ini, ayat ini telah menggunakan “metode Sokratik” dan dengan menghadapkan manusia dengan sejumlah pertanyaan yang memancing-pemikiran, membangunkan akal-fitrinya dengan lebih mencurahkan perhatian terhadap pertanyaan-pertanyaan ini maka ia seharusnya bisa menemukan jawaban-jawaban yang tepat. Adapun urutan pertanyaan yang diajukan adalah sebagai berikut:
1. Apakah manusia tercipta tanpa Sang Pencipta?
2. Bisakah mereka menciptakan diri mereka sendiri?
3. Jika manusia bisa menciptakan dirinya sendiri, bagaimana cara kita menjelaskan penciptaan langit dan bumi yang ada sebelum manusia?
Tampaknya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendalam dan memancing pemikiran ini al-Quran mencoba menyadarkan logika alamiah manusia, sehingga jawaban untuk pertanyaan pertama manusia akan mengatakan: “Tidak. Jika manusia, adalah makhluk, tentunya mereka memiliki sosok Sang Pencipta.”
Dan dalam menjawab pertanyaan kedua, mereka akan menjawab: “Dan jika mereka adalah makhluk, mereka tidak pernah bisa menciptakan diri mereka sendiri.” Yakni, tidak hanya manusia, melainkan semua makhluk lain juga tidak bisa menjadi pencipta bagi diri mereka sendiri. Karena, suatu wujud, yang eksistensinya berasal dari dirinya sendiri, tidak bisa disebut sebagai “makhluk”. Dengan demikian kita tidak bisa mengatakan “makhluk sekaligus pencipta”.
Adapun jawaban untuk pertanyaan ketiga berupa pengakuan berikut: “Meski manusia sangat kreatif dan pencipta sejumlah benda menakjubkan, kompleks, dan mengagumkan semisal misil-misil, lukisan-lukisan, patung-patung, mobil-mobil, pesawat terbang, dan komputer, secara jelas ia menyadari bahwa ia tidak terkait apapun dengan penciptaan langit dan bumi.” Tidakkah menggelikan ketika dengan kekuasaannya yang terbatas, ia segera buru-buru mengklaim bahwa ia adalah Tuhan dan berkata: “Apakah ada pencipta di dunia selain daripada manusia?”
Sudah tentu, ada sejumlah teori dan spekulasi tentang subjek diskusi tersebut namun al-Quran telah memilih untuk tidak mendiskusikannya. Butir yang ingin kami ajukan adalah bahwa persoalan eksistensi Tuhan sangatjelas dari ayat-ayat pembatalan. Kisah Nabi Ibrahim as, Terkait dengan Eksistensi Tuhan?
Dalam surah al-An’âm: 75-80, Ibrahim as dikutip telah mengatakan:
Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada pamannya Azar: “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihatmu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata. Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Aku tidak suka kepada yang tenggelam.” Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat”. Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: “lnilah Tuhanku, yang ini lebih besar”, maka tatkala matahari itu telah terhenam, dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar; dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (QS al-An’âm: 74-79)
Kisah ini secara tidak langsung terkait dengan masalah eksistensi dan kesatuan Tuhan; kesatuan menyangkut penciptaan dunia dan pengendalian urusan-urusannya dan kesatuan dalam ibadah. Selain itu, butir yang menariknya adalah bahwa Ibrahim –dalam investigasi dan penilaiannya alas segala sesuatu di dunia ini dengan tujuan menilai apakah mereka (bintang, bulan, matahari) itu memenuhi syarat sebagai Tuhan ataukah tidak– telah menyimpulkan bahwa sesuatu yang berubah dan memiliki akhir menandakan eksistensi entitas lain yakni wujud yang mahakaya (self-sufficient, al-ghanî) dan yang telah menciptakannya. Ketuhanan, simpul Ibrahim, pastilah merupakan kekuatan dan sang pencipta yang mengatur, kekuatan dari makhluk yang menaatinya.
Shadr al-Muta'allihin (Mulla Shadra) telah menyampaikan penafsiran ini untuk argumentasi logis ihwal eksistensi Tuhan berdasarkan hukum-hukum sains alam. Ia mengatakan:
Untuk mencapai tujuan ini (membuktikan keberadaan Tuhan), kaum naturalis mempunyai metode khusus. Mereka mengatakan bahwa benda-benda langit bergerak dan gerakan mereka merupakan sesuatu yang jelas. Gerakan ini bukanlah suatu gerakan alamiah (jenis gerakan yang sumbernya ia sendiri dan daya gravitasi yang ada antara ia dan tempat aslinya) atau bukan pula gerakan terpaksa (jenis gerakan yang berlawanan dengan kecenderungan alamiah dari objek yang bergerak dan yang disebabkan oleh pengaruh objek lain terhadapnya).
Oleh sebab itu, hanya ada satu penjelasan untuk gerakan ini dan penjelasan itu adalah bahwa ia (gerakan) disebabkan oleh sesuatu yang Ilahi, sesuatu yang seutuhnya terlepas dari materi yang memiliki kuasa mutlak dan tidak melahirkan gerakan untuk menyempurnakan dirinya sendiri. Jika sebab Ilahi semacam itu wujud wajib pada dirinya sendiri (necessary being), maka itulah Tuhan. Di sisi lain, jika bukan wujud wajib pada dirinya sendiri maka ia pasti sebuah akibat dari wujud wajib, yakni Tuhan. Sebaliknya, kita akan mendapatkan lingkaran tak bertepi (tasalsul). Inilah pendapat yang diambil oleh tetua aliran Peripatetik (Aristoteles) dalam dua bab buku pertamanya yang disebut “ajaran pertama”. Yang satu ditempatkan pada bab fisika dan yang lainnya pada teologi. Ini merupakan bentuk penalaran yang sarna yang diajukan oleh al-Quran suci dalarn bentuk kisah Ibrahim Khalilullah (kekasih Allah) –semoga rahmat Allah kepadanya, Nabi kita Muhammad saw dan keluarganya as.
Begitu Ibrahim melihat gerakan dari benda-benda langit, di mana objek-objek di muka bumi dipengaruhi oleh perubahan-perubahan pada planet-planet langit, di mana planet-planet ini mengubah kedudukan mereka, perbedaan ukuran dan kecerahan di antara mereka, ia menyadari bahwa pencipta planet ini, zat yang melimpahi mereka dengan kecerahan dan menyebabkan mereka bergerak, niscaya bukanlah materi atau material. Oleh sebab itu, ia berkata: “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar; dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (QS al-An’âm: 79). [18]
Menurut kami, mengindentifikasi ayat-ayat di atas dengan bentuk penalaran yang disebutkan oleh Mulla Shadra dengan jenis karakteristik yang ia sebutkan untuknya tampaknya tidak tepat. Sebagaimana bisa dipahami secara jelas dari bagian-bagian yang berbeda dari ayat yang sedang dibicarakan ini, khususnya, pada bagian penutup, wa mâ anâ min al-musyrikîn (aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan), topik dari ayat-ayat tersebut menyangkut monoteisme, bukan bukti keberadaan Tuhan. Tentu saja, ayat-ayat itu berkaitan secara tidak ]angsung dengan argumen tentang bukti eksistensi Allah namun hanya sejauh keperluan dari objek-objek yang sementara hingga yang abadi yang diperhatikan tanpa melibatkan gerakan astronomis dan rumusan- rumusan yang pelik.
Apakah Pengetahuan tentang Eksistensi Tuhan Sesuatu yang Fitrah?
Dalam masalah teologi butir berikut disebutkan ber-ulang-ulang: Jika pengetahuan bukanlah swabukti yang seutuhnya, sedikitnya ia merupakan sesuatu yang fitri. Dalam hal ini, surah Rum ayat 30 menyatakan:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Apakah yang dimaksud dengan Fitrah?
Dalam bukunya, al-Mabda’ wa al-Ma’ad, Mulla Shadra telah mengupas masalah ini:
...Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, (pemahaman) Wujud Wajib (Necessary Being) merupakan hal yang fitrah lantaran ketika manusia berhadapan dengan peristiwa-peristiwa yang menakutkan dan menyulitkari, secara instink mereka meletakkan kepercayaan kepada Allah dan secara otomatis berpaling kepada Wujud yakni Sumber segala sebab dan yang memudahkan semua kesulitan. lnilah mengapa kami melihat bahwa kebanyakan mistikus membuktikan eksistensi Tuhan dan pengendalian-Nya atas masalah-masalah dunia ini dengan merujuk kepada perasaan- perasaan dan kesadaran mereka bahwa melakukan sesuatu yang berhadapan dengan peristiwa-peristiwa yang menakutkan semacam itu ibarat memadamkan api.
Shadr al-Muta'allihin melakukan referensi kepada sejumlah ayat al-Quran berkenaan dengan diskusi ini yang di dalamnya daya tarik manusia kepada Allah dan perlindungannya kepada Dia selama masa-masa sulit diungkapkan. Salah satu ayat yang dimaksud berbunyi:
Dan apabila mereka naik kapal mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) menyekutukan Allah (QS al-Ankabût: 65)
Ia pun menyebutkan surah Yunus ayat 22-23 dan surah Lukman ayat 32 yang membahas topik yang sama. Bagaimanapun juga, pengawasan yang cermat atas ayat-ayat ini mengarahkan orang untuk meyakini bahwa tak satu pun dari ayat-ayat itu terkait dengan pembuktian eksistensi Tuhan melalui watak manusia. Perhatikan secara cermat ayat yang disebutkan di atas. Ayat ini tidak bermaksud untuk menarik perhatian ketakberdasaran politeisme dan ketakmampuan tuhan-tuhan buatan (man-made gods) dalam membantunya selama masa-rnasa sulit. Demikian pula jika ayat ini membicarakan sesuatu yang fitriah, ia tidak menyebutkan “eksistensi Yang Mahakuasa”. Ia membicarakan Keesaan Tuhan dan ketakberdasaran politeisme. Ayat ini mengajak kaum musyrikin yang mengimani Allah sebagai Pencipta namun di saat yang sama menyembah tuhan-tuhan lain, terus merangsang indra-indra mereka untuk menginsyafi kebenaran yang jelas ini bahwasanya tuhan-tuhan mereka adalah tak kuasa. Satu bukti yang jelas dari kebenaran fitriah ini terlihat dari reaksi mereka ketika dihadapkan pada situasi yang membahayakan dan mengancam. Pada saat itu mereka hanya berdoa kepada Tuhan Sang Pencipta. Mengapa ketika diselamatkan dari bahaya-bahaya ini, mereka melupakan kebenaran ini, dan malah pergi ke kuil-kuil dan merundukkan diri mereka sendiri di hadapan berhala-berhala dan meminta bantuan dari mereka?
Surah Luqman ayat 23, 24, dan 33 pun menyebutkan kurang pedulinya manusia kepada Allah dan menegur manusia agar tidak kufur dan berdoa ketika masa tenang dan kemakmuran karena Allah bisa mencabut semua rah- mat tersebut yang telah Ia karuniakan kepada manusia dan menghukumnya lantaran dosa-dosa dan kekufurannya.
Ayat 30 surah Rûm yang menilai agama mengandung watak Ilahiah juga pada dasarnya terkait dengan isu monoteisme dan kesaksian watak manusia atas kerapuhan politeisme. [19]
Perjanjian antara Manusia dan Allah (Alam Pra-eksistensi)
Surah al-A’râf ayat 172-3 membicarakan suatu perjanjian antara manusia dan Tuhan yang sebagian ulama mengaitkannya dengan watak fitriah keyakinan terhadap Tuhan dan Keesaan-Nya.
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Benar (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di Hari Kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalak orang-orang yang lengah terhadap hal ini (keesaan Tuhan)”, atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka, apakah kami Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?”
Ayat ini mengatakan kepada kita suatu dialog antara segenap manusia dan Tuhan yang di dalamnya mereka berbicara dengan Tuhan dan menyatakan kesaksian bahwa Dia adalah Pencipta mereka dan Pengendali dunia ini. Kesaksian ini sungguh-sungguh mengabaikan dalih apapun bahwa manusia bisa berdebat di Hari Kiamat. Mereka tidak bisa mengatakan kemudian bahwa mereka tidak menyadari, tidak tahu, dan berada di bawah pengaruh leluhur mereka.
Gambaran Ihwal Perjanjian Ini
Dalam buku-buku hadis dan tafsir, kami mendapatkan berbagai pendapat tentang masalah ini.
Dalam sejumlah hadis yang disandarkan kepada Nabi saw, para sahabatnya, para mufasir al-Quran awal, dan para imam kita, disebutkan jauh sebelum manusia lahir Allah telah mengumpulkan manusia yang berasal dari keturunan Adam dalam bentuk partikel-partikel kecil (arwah) dan dalam keadaan semacam itu, mereka menyatakan bahwa Dia adalah Tuhan, sehingga dengan pengakuan ini semestinya tidak ada alasan bagi manusia [untuk mengingkari Tuhan] kapanpun dan di manapun. [20]
Menurut pendapat ini, perhatian khusus yang telah diberikan untuk dzariyyah (atomis) yakni derivatif dari kala dzarrih (atom), dan pandangan serra tingkatan (pra-eksistensi), di mana semua manusia ada dalam bentuk atomis dan memberi kesaksian bahwa Allah adalah Pencipta dan Tuhan alam semesta, disebut alam zar (pra-eksistensi, alam-e-zar).
Agar khalayak umum bisa lebih memahami rnasalah ini, sejumlah mufasir modern telah menggunakan contoh genetika. [21] Menurut para mufasir ini, setiap insan secara intrinsik dan instinktif mengakui keberadaan Allah Yang Mahasatu. Menurut pendapat ini, manusia dilahirkan dengan kecenderungan alamiah, atau, menggunakan istilah dalam sains alam, dengan genetika yang tersusun, yang penting bagi kepemilikan pengetahuan semacam itu. Gen-gen ini diteruskan dari satu ke lain generasi lain, yang menjadikan generasi baru reseptif dengan pengetahuan akan Allah. Mereka yang memegang pendapat ini juga percaya bahwa kecenderungan genetis ini ada dalam bentuk terpisah pada semua manusia yang ada dalam bentuk yang dipadatkan pada manusia asali (primitive man).
Akan tetapi, Hasan al- Bashri (21-110 H) dan banyak mufasir lainnya, khususnya Mu'tazilah, berpendapat bahwa mereka tidak melihat adanya bukti dalam ayat ini untuk menunjukkan eksistensi suatu alam “atomis” yang di dalamnya semua manusia dalam bentuk partikel yang paling renik dikumpulkan di satu tempat untuk mengadakan perjanjian dengan Sang Pencipta. Apa yang ditunjukkan oleh ayat ini, kata mereka, adalah bahwa ada pemahaman fitriah yang melekat pada manusia ketika dilahirkan dan yang menyampaikan kepadanya bahwa satu Wujud Puncak pasti eksis.
Pemahaman mendasar dan nyaris tidak disadari ini mengalir menjadi pengetahuan akan Tuhan yang sadar dan jelas kcrtika manusia mencapai tingkatan kematangan emosional dan kesadaran intelektual, sehingga dalam menjawab pertanyaan hipotetis dari Tuhan ini bahwa “Bukankah Aku Tuhanmu? Jawab an ini akan datang dari wujud batin manusia setiap hari, “Benar, engkau Tuhan kami”. Oleh sebab itu, ayat al-Quran ini bukanlah suatu paparan dari kejadian tertentu dari masa silam primordial. Sebaliknya, ia menjelaskan sebuah peristiwa dalam jarak yang tidak terlalu jauh di masa lalu dari setiap dan seluruh manusia ketika dirinya tengah mengalami tahap pertumbuhan dan kesadarannya yang pertama. Tahap kesadaran dan dan pengetahuan fitriah ini dalam sejarah jiwa manusia disusul oleh tahapan lain yang di dalamnya faktor pengaruh lingkungan memasuki peristiwa dan dalam banyak hal melemahkan kesadaran fitriah akan Allah ini yang inheren dalam diri manusia. [22]
Pandangan Lain tentang Alam Pra-Eksistensi (Alam-e-Zar)
Dalam kitab al-Mizân-nya, Allamah Thabathaba'i mengajukan pandangan lain tentang peristiwa tersebut yang di dalamnya terdapat perjanjian antara Tuhan dan manusia. Menurutnya, semua manusia dan makhluk lainnya yang tercipta dalam pola yang bertahap, semua ada di hadapan Tuhan yang menembus ruang dan waktu. Menempatkannya dengan cara lain, berlalunya waktu secara bertahap dan konsep untuk kemarin, hari ini, dan besok, merupakan suatu realitas yang dialami oleh kita dan wujud-wujud lain seperti kita, yang ada di dalam waktu. Sekarang kita menghadapi hal tertentu, di saat lain kita menjauh darinya, selanjutnya, ada momen antara kita dan hal tersebut. Kemarin jarak antara kita adalah satu hari, dan tahun depan jarak tersebut adalah satu tahun. Pasase ini, bagaimanapun, yang menambah jarak kita dari masa lalu dan memperpendek jarak kita dari masa depan, tidak sejalan ketika diberlakukan kepada Allah. Hari ini dan kemudian kemarinnya kita tidak lebih dekat ataupun lebih jauh dari Allah, karena eksistensi Allah tidak tunduk pada dimensi ruang dan waktu. Oleh sebab itu jarak ruang dan waktu antara kita dan Tuhan merupakan konsep hampa.
Mengingat butir yang disebutkan di atas, siapapun menyadari bahwa semua makhluk yang ada di kontinum waktu sesungguhnya ada di hadapan Tuhan pada saat yang sama. Seakan-akan semua keturunan Adam, generasi demi generasi bersama-sama ada di hadapan Allah dan menyatakan kesaksian akan Wujud-Nya. Pengakuan dan penyaksian umum ini merupakan bukti jelas bahwa Allah itu ada dan Pencipta dan Tuhan semesta alam.
Namun apa yang terjadi pada manusia yang hanyut dalam sungai waktu dan peristiwa serta perubahan dunia?
Ia menjadi demikian terlibat, asyik, dan tertawan dengan lanskap yang berubah dari dunia temporal, sehingga ia Iura ihwal pengetahuan dan pengalaman langsung akan Tuhan dan Penciptanya yang pertama ia memilikinya.
Kelupaan ini merupakan sesuatu yang mirip dengan “pengabaian diri sendiri” yang telah didiskusikan oleh banyak aliran filsafat baik di masa silam maupun sekarang, termasuk eksistensialisme, sebagai satu dari banyak penderitaan yang menyakitkan di mana manusia mengalaminya di dunia sebagaimana “kehidupan dan masalahnya” merusak kesadaran-diri dari sebagian orang. Sampai ke tingkat tertentu, kadang-kadang mereka melupakan “diri mereka sendiri” sepenuhnya. Kadang-kadang dengan keberhasilan yang sama mereka sepenuhnya menjadi buta dan lalai akan Allah meskipun Dia adalah hadir secara jelas di hadapan mata mereka.
Melalui segenap riak gelombang kehidupannya, Allah menyertai manusia yang hatinya terkunci tidak mampu memandang-Nya, manusia berkeliling dan menyeru: Ya Tuhan, Ya Tuhan.
Apa yang baru disampaikan merupakan ringkasan argumen yang tersaji dalam al-Mizân. Dalam wacana ini Allamah Thabathaba'i membahas secara terperinci dan menjawab banyak persoalan yang mencuatkan “perjanjian antara manusia dan Tuhan” dan relevansi ayat al-Quran. Pembahasannya sangat bermanfaat dan mencerahkan.
Akan tetapi, meski semua penjelasan telah ditawarkan oleh Allamah Thabathaba'i, tampak bahwa relevansi ayat al-Quran ini dengan gagasan perjanjian primordial didasarkan, lebih dari sesuatu yang lain, pada interpretasi seseorang akan maknanya. Apa yang bisa disebutkan dengan pasti ihwal ayat al-Quran ini adalah bahwa ia secara jelas merujuk pada suatu tahap eksistensi manusia di mana manusia mengakui bahwa Allah adalah Pencipta mereka.
Pengakuan ini tidak cukup kuat untuk menjaga semua manusia di sepanjang zaman di jalan lempang penyembahan kepada Tuhan yang satu. Namun ia benar-benar mengalami efek penjagaan terhadap jiwa dan kesadaran mereka yang selalu siap siaga mencari pengetahuan Ilahi. Sehingga, di Hari Kiamat tak seorang yang bisa berdalih bahwa “kami sepenuhnya tak bersalah akan hal ini”. Kesiapan fitriah untuk mencari Tuhan ini cukup kuat yang memudahkan setiap manusia memutuskan hubungan dengan kepercayaan-kepercayaan khayali yang dipegang oleh para orangtua dan leluhurnya dan menghancurkan jalan kebenaran. Dengan kata lain, manusia seperti ini tidak bisa mengatakan bahwa “leluhurku adalah orang-orang musyrik dan aku hanya mengikuti jejak langkah mereka”. Namun sejauh karakteristik tertentu dari tahapan ini (di mana perjanjian dibuat) diamati, tak satu keterangan terperinci yang bisa dijumpai dalam al-Quran suci.
Renjana Manusia Mencari Definisi Tuhan Lain Bagi Watak Manusia
Ada hubungan lain antara manusia dan Tuhan yang bisa dianggap sebagai fitrah Allah (watak Ilahiah). Hubungan ini mengandung cinta pada Yang Mutlak, Maujud Mutlak, Kesempurnaan Mutlak, Kebaikan Mutlak, dan seterusnya, yang bisa dijumpai pada individu-individu normal dalam bentuk, setidaknya, kecenderungan yang sederhana. Kecenderungan inilah yang menjadikannya mengingat Allah dan mendorongnya terhadap Allah. Dan kecenderungan yang sama ini pada sejumlah orang mencapai suatu intensitas dan kekuatan yang mengubah mereka menjadi mulia dan semua pengorbanan para pencinta Kekasih. Menurut para pemikir ini, kecintaan kepada kesempurnaan dan kecenderungan terhadap Kesempurnaan Mutlak bersemayam sekalipun pada orang-orang yang menolak eksistensi Tuhan. Meski mereka boleh jadi tidak menyadari sepenuhnya akan hal itu.
Manusia tidak menyadari bahwa banyak dorongan dan keinginan kuat yang diakui oleh sains-sains eksperimental dan juga merupakan topik dari sekian banyak cabang humaniora yang bermanfaat, yakni psikoanalisis. Oleh sebab itu, seharusnya lebih tepat apabila konsep-konsep yang paling tepat dan akurat yang dikembangkan oleh ilmu-ilmu ini digunakan untuk mempelajari pelbagai keadaan mistis untuk menemukan secara ilmiah prinsip-prinsip yang mendasari dan melatarinya. Ini akan membebaskan kita dari penyandaran pada penilaian-penilaian sembarang dan tidak canggih serta penjelasan-penjelasan akan subjek tersebut yang kebanyakan dangkal dan berdasarkan pada preferensi dan prasangka pribadi.
Pada akhirnya, menurut kaum urafa, jika manusia benar-benar memperhatikan cinta dan rindu akan kesempurnaan fitriah dan memperkuatnya melalui meditasi, praktik-praktik kezuhudan, shalat-shalat, dan bermacam bentuk ibadah, mereka bisa mencapai tingkatan di mana mereka akan menemukan Tuhan, mengenali-Nya melalui pengetahuan bawaan. Kedudukan pengetahuan langsung dan pengalaman akan Tuhan ini tidak meninggalkan ruangan sedikit pun untuk keraguan dan identik dengan Keyakinan Mutlak. Kaum urafa percaya bahwa satu-satunya jalan yang benar untuk memperoleh pengetahuan Tuhan adalah dengan'jalan ini yang diawali dengan pencarian akan Tuhan dan mengarah ke, jika dikejar sampai ke titik ultimat, realisasi-Tuhan. Tentang ini, al-Quran mengatakan:
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya Kami memelihara kamu daripada (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olokkan (kamu), (yaitu orang-orang yang menganggap ada tuhan yang lain di samping Allah; maka mereka kelak akan mengetahui (akibat-akibatnya). Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat), dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)” (QS al-Hijr: 94-99)
Jadi, kita bisa mengatakan bahwasanya melakukan shalat, meditasi, dan ibadah merupakan suatu cara untuk meraih keyakinan. [23]
Pengetahuan intuitif dan keyakinan yang diperoleh oleh kaum urafa serupa dengan pengetahuan dan keyakinan yang diperoleh seseorang melalui objek-objek empiris. Dalam hal pengetahuan empiris cara terbaik guna membebaskan diri kita sendiri dari semua keraguan adalah memverifikasinya dengan eksperimen. Demikian pula cara terbaik untuk menghapus setiap keraguan ihwal eksistensi Tuhan merupakan pengetahuan langsung, yang tidak diperoleh melalui pandangan illata fisik melainkan melalui pandangan intuitif (bashîrat) dari jiwa. Melalui pengetahuan batin dan intuitif inilah seorang arif menyadari bahwa kekasihnya merupakan Kebenaran Sejati dan bukan ciptaan khayali dari imajinasi yang terpenjara.
Pengetahuan Tuhan Berdasarkan Intuisi Jelas dan Sederhana
Salah satu arti penting dari pendekatan ini adalah bahwa untuk mengetahui Tuhan manusia tidak perlu terlibat dalam argumen-argumen pelik. lnilah mengapa setiap kali al-Quran membicarakan masalah ini ia tidak melebihi ukuran ini dan memusatkan perhatian manusia pada persepsi yang paling dasar dan primordial dan mengajak manusia mengakui dan menerima pengetahuan yang tak bisa ditolak dan wajib dari pendekatan semacam itu.
Dalam banyak hal, al-Quran bahkan tidak mencantumkan argumentasi ini dan mencukupkan dirinya sendiri dengan setiap watak ilutif dan tak berdasar dari sejumlah ide atau kecenderungan ateistik, kemudian mendorong manusia untuk memperdalam dan memperluas pencariannya akan Allah dan mendasarkan pencariannya itu pada asas-asas yang lebih kuat. Satu contoh dari pendekatan semacam itu adalah kasus kaum naturalis. [24]
Menemukan Eksistensi Tuhan Melalui Perenungan Tanda-tanda-Nya
Dalam banyak ayatnya, al-Quran mengajak orang-orang bijak, [25] kaum pemikir, [26] dan kaum perenung[27] untuk merenungkan dunia, keajaiban-keajaibannya, peristiwa-peristiwa alamiah yang normal dan sebab-sebabnya secara menjeluk untuk mendapatkan pengetahuan dari Yang Mahakuasa, Maha Mengetahui, Mahabijak, dan Pencipta Yang Maha Penyantun. Ayat-ayat ini kebanyakan dimaksudkan untuk menyadarkan manusia dan memikat perhatiannya pacla isu-isu yang terbit setelah membuktikan eksistensi Sang Pencipta, seperti Ketidaksetaraan, Pengetahuan dan Kuasa Mutlak, Kearifan, Kemurahan, dan sifat-sifat lain; khususnya Kuasa untuk membangkitkan manusia setelah kematiannya, memberinya kehidupan abadi selama itu, dan mengganjar atau menyiksanya sejalan dengan perbuatannya di dunia.
Dalam semua ayat al-Quran ini, untuk menyadarkan realitas metafisik manusia diminta untuk memperhatikan segala sesuatu di dunia dan menarik kesimpulan ihwal tanda-tanda ini melalui aplikasi persepsi dan keputusan batin intuitif, sehingga mendapatkan pengetahuan yang bermanfaat dan handal tentang alam lain di balik alam indrawi.
Seraya merujuk kepada diskusi-diskusi sebelumnya persoalan yang bisa muncul adalah: jika seluruh alam dan setiap individu adalah bagian darinya, dari atom hingga galaksi, dan sejak mineral hingga manusia, merupakan bukti-bukti nyata yang mengarah kepada Kearifan, Kuasa, Kehendak, Keesaan, Kasih, dan sifat-sifat lain dari Pencipta alam semesta, bukankah hal yang sama jika alam semesta merupakan bukti nyata dan tak terbantahkan dari eksistensi Pencipta itu sendiri?
Jika jawaban atas persoalan yang disebutkan di atas adalah benar, kita harus menyimpulkan bahwa meski al-Quran tidak memampangkan argumen-argumen yang jelas dan sederhana untuk membuktikan eksistensi Allah mengingat atmosfer intelektual dari orang-orang pada masa itu, ia menggunakan sebuah metode yang sama-sama bermanfaat dalam membuktikan eksistensi Tuhan dan mendapatkan pengetahuan yang jernih dan pasti ihwal isu pokok dari Eksistensi- Nya.
Pada akhimya, apa yang argumen-argumen al-Quran ini sandarkan adalah bahwa setiap makhluk yang kita temui di dunia memerlukan Pencipta Yang Mahakaya yang memiliki kearifan dan kemampuan untuk menciptakan berbagai makhluk yang berbeda. Kebutuhan dan kemandirian fitriah ini dari semua makhluk ini secara tegas menunjukkan kemestian bagi eksistensi dari Wujud Yang Mahakaya dan Mandiri, dan kesementaraan dari setiap makhluk menunjukkan kemestian eksistensi dari Realitas Otonom dan Abadi yang di atasnya makhluk-makhluk itu bersandar.
Barangkali ayat 15 hingga 17 dari surah Fâthir berikut terkait dengan kebutuhan manusia akan Tuhan yang sifatnya mutlak dan kesimpulan yang harus ditarik manusia dari ayat itu adalah:
Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah, dan Allah Dia-lah yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. Jika Dia menghendaki, niscaya Dia memusnahkan kamu dan mendatangkan makhluk baru (untuk menggantikan kamu). Dan yang demikian itu sekali-kali tidak sulit bagi Allah.
Bisa dikatakan bahwa dalam mendiskusikan Sifat- sifat Allah al-Quran menawarkan suatu pendekatan dan cara yang juga bisa digunakan dalam membahas persoalan eksistensi Tuhan.
Bukti-bukti Eksistensi Tuhan dalam Filsafat Aristoteles
Dalam Metaphysics-nya, Aristoteles [28] berkali-kali menekankan bahwa tujuannya adalah untuk menemukan sebab pokok dari segala sesuatu dan prinsip-prinsip alam melalui penggunaan metode yang sejalan dengan pemikiran filosof (seorang pemikir dan peneliti) dan pemikir bebas. Dengan kata lain, ia tengah mencari sebab orisinal atau sebab pertama. Ia tidak akan mengambiljalan orang-orang yang memiliki kepercayaan terhadap dogma-dogma yang kurang memiliki latar belakang logis. Misalnya, dalam bukunya, Beta, ia mengatakan:
...Namun mereka yang berpikir seperti Epicurus dan yang lainnya yang telah berbicara ihwal objek-objek Ilahi, mereka telah menantang diri mereka sendiri dengan meyakinkan diri mereka sendiri dan tidak pernah bermaksud meyakinkan kami. Mereka tidak berusaha berbuat demikian karena mereka menganggap sebab primer sebagai tuhan-tuhan mereka sendiri. [29]
Oleh karena itu, tidaklah penting untuk menguji secara cermat pandangan dari mereka yang filsafatnya lebih mirip ide-ide dan frase-frase dekoratif. Apa yang tepat bagi kita untuk didiskusikan dan diperselisihkan adalah ide-ide dari orang-orang yang pernyataan-pernyataan-nya berdasarkan logika... [30]
Pencarian Aristoteles akan sumber ultimat dari segala sesuatu berdasarkan hukum umum sebab akibat, yakni “kebutuhan setiap akibat kepada sebab”. Dalam pandangannya, jika segala sesuatu di dunia adalah objek-objek natural dan mempunyai gerakan, maka eksistensi dari sesuatu akan berperan sebagai pencipta alam dan gerakan menjadi tidak penting. Karena, tidak satupun di alam semesta selain alam dan substansi yang bergerak. Di dunia seperti itu, pengetahuan kita menjadi dibatasi pada sains-sains alami dan kita tidak akan mempunyai sesuatu seperti “metafisika”: “...Jika tidak ada substansi lain selain substansi alam, fisika (sains alam) menjadi Filsafat Pertama... [31]
Akan tetapi, dalam pencariannya atas suatu pemahaman watak hakiki dari segala sesuatu dan alam semesta, Aristoteles sampai pada kesimpulan bahwa dunia tidak terbatas pada substansi alamiah yang bergerak. Sehingga, dalam bagian lain dari buku Metaphysics-nya, ia membahas substansi “duniawi” dan “keabadian” dan berusaha menemukan asal-usul mereka dengan pertanyaan “apakah benda-benda duniawi dan ukhrawi mempunyai asal-usul yang sama atau apakah masing-masing kelompok memiliki sumber sebab tersendiri?” [32] Aristoteles melanjutkan penyelidikannya dan akhirnya tiba pada kesimpulan bahwa segala sesuatu memancar dari substansi Swa-maujud (self-existent) yang sama yakni Yang Mahahidup, Maha Mengetahui, dan Mahakuasa. Sesuatu yang meski tidak bergerak merupakan sebab dari semua gerakan. [33]
Bukti Eksistensi Tuhan dalam Filsafat Ibn Sina
Pada bagian keempat dari apa yang mungkin menjadi karya filsafat terakhirnya. al-Isyârât wa al-Tanbihât. Ibn Sina mengajukan dalil baru untuk pembuktian eksistensi Sang Pencipta. lnilah cara dia ketika memulai bahasannya: “Bagian Empat tentang Eksistensi dan Sebab-sebabnya.”
Jadi, alih-alih membicarakan “prinsip-prinsip alam”, ia membahas “eksistensi” dan “sebab-sebab”-nya. Menyangkut bukti adanya sebab pertama dan sumber eksistensi, ia mengatakan:
Wujud (being) itu bisa wajib atau mungkin. Wujud mungkin (mumkin al-wujud) mewujud karena beberapa faktor eksternal.
Jika faktor eksternal itu adalah wujud wajib pada dirinya sendiri, maka itulah sumber (wujud) dan pencipta. Jika faktor eksternal itu wujud mungkin, maka ia pastilah akibat atau efek dari sesuatu yang lain ketimbang dirinya sendiri. Jika rangkaian wujud-wujud mungkin meluas secara tak terbatas tanpa mencapai titik awal, suatu titik sumber dan eksistensi wajib, tak satu pun dari wujud-wujud mungkin dalam rangkaian tak terbatas ini ada karena aktualisasi dari rangkaian ini tergantung pada adanya rangkaian sebelumnya. Dan sekalipun asumsi seperti ini terus berlanjut secara tak terbatas, ia tetap tidak bisa muncul dari wilayah asumsi dan memiliki kepastian. [34]
Untuk menjelaskan argumen Ibn Sina, kami akan memberikan ilustrasi berikut. Anggaplah, sebuah batu karang yang besar jatuh menimpa jalan, sehingga menutupinya. Jelaslah, batu karang itu tidak akan bergerak karena dirinya sendiri. Pejalan pertama yang melewatinya mendapatkan jalan tertutup dan berkata kepada dirinya sendiri: “Jika ada orang lain yang menemani, niscaya kami bisa memindahkan batu karang tersebut dan membersihkan jalannya.” Seorang pejalan kedua muncul namun mendengar ucapan orang pertama, ia menjawab bahwa, “Jika ada orang lain yang menemani maka kami bertiga niscaya bisa memindahkan batu karang.” Pejalan ketiga sampai di tempat tersebut, seraya berkata bahwa, “Jika ada orang keempat muncul dan membantu, maka kami bisa menggeser batu karang itu. Orang keempat muncul dan menanti kedatangan orang kelima, dan seterusnya sampai tak terbatas. Apakah batu karang itu bergerak dalam keadaan semacam itu? Tentu saja tidak. Batu karang itu akan pindah hanya ketika seseorang datang dan mau bertindak tanpa menunggu kemunculan orang lain. Dalam situasi seperti itu baik ia sendirian ataupun bersama-sama akan bertindak dan memindahkan batu karang itu sehingga jalan pun terbuka lagi.
Demikian pula, dalam rantai sebab-akibat, sepanjang kita tidak sampai pada suatu sebab yang ada pada dirinya sendiri, lepas dari benda-benda apapun, maka tak satu rangkaian pun yang niscaya ada. Dengan kata lain, kita harus Sampai pada Wujud yang memiliki eksistensi mandiri atau wujud wajib. Eksistensi berawal di titik ini dan, ketika ia menurun dari rantai sebab-akibat, menyampaikan setiap rangkaian pada wujud dan realitasnya. Oleh sebab itu, dalam bayangan Wujud Mutlak inilah segala sesuatu mencapai keberadaannya.
Dengan demikian, Ibn Sina menemukan Wujud Wajib dan Tuhan tidak melalui penelaahan atas prinsip-prinsip ataupun asal-usul alam, melainkan melalui perhatian yang cermat atas kemungkinan dan kemestian, mungkin dan wajib, dan ketergantungan mutlak dari wujud mungkin pada wujud wajib.
Setelah pembuktian eksistensi Sang Pencipta, Ibn Sina selanjutnya membuktikan Keesaan, Kuasa, Pengetahuan, dan sifat-sifat lain dari Pencipta melalui pengujian persoalan wujud mungkin dan wujud wajib. Ia mengatakan:
Perhatikanlah dan lihatlah bagaimana pembuktian kami ihwal eksistensi Sumber, Kesucian dan Kesempurnaan-Nya [35] tidak membutuhkan perenungan lain [36] selain “eksistensi” itu sendiri. Di sini tidak perlu merenungkan makhluk-Nya. Meski pengujian seperti itu akan mengantarkan kita kepada-Nya, namun pendekatan kami lebih mendalam. Sebab, pertama-tama kami merenungkan wujud itu sendiri, sehingga ia bisa menerangkan realitasnya sendiri secara jelas dan kemudian menjadi sebab keberadaan segala sesuatu yang memancar darinya pada tahapan berikutnya. Ayat berikut merujuk kepada masalah ini, “Kami akan menunjukkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Quran itu adalah benar...” (QS Fushshilat: 53).
Penjelasan ini tertuju pada satu kelompok. Kemudian al-Quran mengatakan, “Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu.” (QS Fushshilat: 53).
Penjelasan ini terkait dengan kelompok lain, yakni “orang-orang benar” (al-shiddîqûn) yang menganggap Tuhan sebagai bukti dari segala sesuatu yang lain, bukan segala sesuatu lain sebagai bukti bagi Tuhan. [37]
Mengomentari kata-kata Ibn Sina, Nashir al-Din al-Thusi (597-672) berkata:
Para teolog menganggap munculnya objek-objek dan kualitas-kualitas mereka sebagai bukti keberadaan Sang Pencipta. Melalui pengujian dan pengamatan atas makhluk-makhluk, adalah mungkin meraih pengetahuan akan sifat-sifat Allah.
Para filosof alam menganggap eksistensi gerakan sebagai bukti keberadaan Penggerak dan percaya bahwa karena rantai penggerak-penggerak semacam itu tidak bisa terbentang tak terbatas, kita harus sampai pada Penggerak yang ia sendiri tidak bergerak. Akhirnya, mereka mendapatkan Sebab Pertama.
Akan tetapi para arifin (metaphysicians), melalui pengujian “eksistensi” itu sendiri dan fakta bahwa “eksistensi” mestilah berwatak mungkin (contingent) atau wajib (necessary), membuktikan eksistensi Wujud Wajib (Necessary Existent). Kemudian, dengan pengujian implikasi-implikasi logis kemungkinan dan kemestian, mereka mendapatkan sifat-sifat Wujud Wajib. Dan dengan sebuah perenungan atas sifat-sifat ini, mereka menemukan proses di mana semua makhluk terwujud, yang memancar dari Wujud Wajib.
Ibn Sina mengatakan (dalam pernyataan yang baru saja dikutip) bahwa metode ini lebih baik ketimbang metode sebelumnya karena dalilnya lebih kuat dan lebih berharga. Ini disebabkan sebaik-baiknya dalil yang mampu mengantarkan manusia kepada kepastian adalah dalil yang di dalamnya kita menjumpai akibat melalui sebab. Sebaliknya, menganggap akibat sebagai bukti dari sebab tidaklah menggiring seseorang kepada kepastian mutlak dalam beberapa hal. Hal ini, misalnya, dalam kasus di mana satu-satunya cara untuk mengetahui sebab adalah melalui akibat. Ilni lebih jernih dalam bagian argumentasi. Al-Quran mengatakan, “Kami akan menunjukkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Quran itu adalah benar Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu.” (QS Fushshilat: 53).
Ibn Sina mengambil dua aspek penting dari firman Allah ini dan mengaitkan keduanya kepada dua metode yang disebutkan sebelumnya. Dua aspek ini adalah: (i) mengganggap tanda-tanda yang ada di dunia dan pada manusia sebagai bukti bagi keberadaan Tuhan; dan (ii) menjadikan Tuhan sebagai bukti atas keberadaan segala sesuatu yang lainnya. Lagi pula, karena ia memilih metode kedua, ia telah menyebutnya metode shiddîqîn karena shiddîq adalah kelompok manusia yang senantiasa mencari kebenaran. [38]
Sepeninggal Ibn Sina, “argumen kemestian dan kemungkinan”-nya menjadi dalil yang paling populer bagi pembuktian eksistensi Tuhan, sehingga dalam buku-buku filsafat dan teologi yang lebih ringkas, hanya argumen ini yang dirujuk. Dalam bukunya yang paling terkenal, dalam pasal yang membahas bukti eksistensi Tuhan, Nashir al-Din al-Thusi hanya merujuk argumen ini. Ia mengatakan:
Butir ketiga menyangkut bukti keberadaan Tuhan, Sifat-sifat dan Perbuatan-perbuatan-Nya yang terkandung pada pasal-pasal berikut. Pasal yang membahas eksistensi Tuhan. Sesuatu itu adalah Wujud Wajib yang dalam hal ini tidak memerlukan bukti dan Wujud Mungkin yang tergantung pada Wujud Wajib. Jika sebaliknya, maka kita akan berhadapan dengan daur atau tasalsul yang kedua-duanya adalah mustahil. [39]
Dalam bukunya, Kasyf al-Murâd fi Syarh Tajrîd al-I’tiqâd, Allamah Hilli menulis:
Bukti keberadaan Wujud Wajib adalah sebagai berikut: Tak syak lagi, kita mendapatkan bahwa pasti ada suatu Realitas. [40] Realitas ini, yang di atasnya kita tidak bisa ragu, entah Wujud Wajib [41] yang tidak membutuhkan diskusi lebih jauh [42] atau ia bukanlah Wujud Wajib yang berarti ia adalah Wujud Mungkin dan, dengan sendirinya, membutuhkan sebab yang tiada lain adalah sumber keberadaannya. Sekarang sebab ini sendiri apakah Wujud Wajib, yang berarti tidak membutuhkan diskusi lebih jauh ataukah Wujud Mungkin yang artinya bahwa ia membutuhkan sebab. Dan ini artinya kita akan sampai pada daur atau tasalsul di mana kami telah menyebutkan bahwa kedua-duanya salah. [43]
Dalam metode yang digunakan oleh Ibn Sina, Nashir al-Din al-Thusi, Allamah Hilli, dan yang lainnya, ada pembahasan daur dan tasalsul. Apabila seseorang tidak mempertimbangkan dua alternatif ini sebagai kemustahilan, maka seluruh dalil tentang kekuatan dan kejelasan yang darinya telah banyak disebutkan, menjadi sia-sia.
Bukti Eksistensi dalam Filsafat Mulla Shadra
Dalam Asfar-nya, Mulla Shadra berpendapat bahwa dalil shiddîqîn (burhan-e shiddîqîn) “merupakan sebaik-baik-nya argumen dalam membuktikan eksistensi Tuhan”. Namun ia menerangkan dalam suatu pola yang, sebagaimana katanya sendiri, tidak akan menghasilkan daur ataupun tasalsul. Oleh sebab itu, pendekatan Shadr al-Muta’allihin merupakan titik balik dalam pencarian terhadap sebab orisinal segala sesuatu. Mari kita simak penjelasannya dengan cermat:
Ketahuilah ada sejumlah cara untuk memperoleh pengetahuan tentang Tuhan karena Ia memiliki sejumlah aspek dan kebaikan yang membiarkan setiap individu untuk mengikuti jalan tertentu kepada-Nya. [44] Oleh sebab itu, adalah juga benar bahwa sebagian dari pendekatan ini lebih berharga, lebih kuat, dan lebih terang ketimbang yang lainnya. Argumen dan bukti terbaik adalah di mana batas tengahnya [45] ialah sesungguhnya tiada lain Wujud Wajib itu sendiri. Dengan kata lain, ia merupakan jalan untuk mengenali-Nya [46] dan merupakan jalan shiddîqîn yang mengambil Tuhan sebagai bukti dan saksi atas Eksistensi-Nya sendiri. [47] Kemudian, dari pembuktian Zat-Nya, mereka melangkah kepada pengetahuan akan Sifat-sifat-Nya; dan dari pengetahuan akan Sifat-sifat-Nya kepada pengetahuan akan perbuatan-perbuatan-Nya.
Kelompok lain, seperti mutakallimun (para teolog) dan kaum naturalis mencoba meraih pengetahuan Tuhan dan Sifat-sifat-Nya dengan mengkaji yang lainnya seperti kemungkinan kuiditas, kemunculan ciptaan, dan gerakan objek- objek fisik. lni merupakan bukti eksistensi Tuhan dan Sifat-sifat-Nya. Namun metode pertama lebih kuat dan berharga. Ayat al-Quran berikut merujuk kepada semua jalan ini: “Kami akan menunjukkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Quran itu adalah benar Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu” (QS Fushshilat: 53).
Para filosof gnostik memikirkan eksistensi itu sendiri dan mengetahui bahwa realitas tiada lain adalah Tuhan dan Dia adalah esensi segala sesuatu. Kemudian, dengan pengujian secara cermat akan eksistensi, mereka menyimpulkan bahwa eksistensi secara otomatis adalah Wujud Wajib (Necessary Being) di mana eksisten secara otomatis adalah Maujud Wajib (Necessary Existent). Adapun kemungkinan, kebutuhan, dan hal-ihwal sebab (causedness) tidak bisa dikaitkan dengan esensi dan realitas eksistensi itu sencliri, namun pasti terkait dengan kelemahan dan kekurangan yang terletak di luar esensi dan realitas ini. Selanjutnya, dengan merenungkan implikasi dan keserentakan kemungkinan dan kemestian, mereka mendapatkan keesaan Zat Tuhan dan Sifat-sifat-Nya. Lewat pengetahuan akan Sifat-sifat-Nya mereka inemahami hakikat Perbuatan dan Tindakan-Nya. Inilah jalan para nabi yang al-Quran sendiri mengatakan, “Katakanlah: ‘lnilah jalan-Ku. Aku menyeru kepada Allah dengan pengetahuan (hujah) yang nyata." (QS Yûsuf: 108).
Menyusul penjelasan terperincinya ihwal dalil shiddîqîn yakni memperoleh pengetahuan tentang Tuhan lewat pengetahuan eksistensi yang sempurna, Shadr al-Muta’allihin membuka bab baru di mana ia mendiskusikan dalil-dalil lain yang diuraikan oleh filsafat dan teologi untuk membuktikan eksistensi Tuhan. Lebih dari sekadar argumen lain, ia mendiskusikan dalil “kemestian dan kemungkinan” yang ia uraikan bersama dalil-dalil yang sama yang dipakai oleh Ibn Sina, Nashir al-Din al-Thusi dan Allamah Hilli. Ia menyatakan:
...pendekatan ini merupakan salah satu pendekatan yang paling dekat dengan pendekatan kaum shiddîqîn namun ia tidak identik dengan apa yang diperhatikan kaum shiddîqîn yakni realitas eksistensi [48] sementara di jalan ini ia merupakan konsep eksistensi.
Shadr al-Muta’allihin menerangkan dua keuntungan pokok dari versi argumen shiddîqîn dan perolehan pengetahuan tentang Sang Pencipta lewat pemahaman eksistensi yang utuh. Dua keuntungan tersebut adalah:
1. Bahwasanya ia bersandar pada eksistensi aktual itu sendiri dan pengetahuan langsung kita tentangnya dan bukan bersandar pada konsep eksistensi.
2. Bahwa dalam penghampiran ini, tidak ada ruang untuk daur dan tasalsul.
Maujud dan Konsep Wujud
Apa yang kita pahami dari kata “eksistensi” (wujud) dan akibat-akibatnya dalam bahasa lain? Dan bagaimana konsep ini merambah ke dalam pikiran kita? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi tema diskusi dalam filsafat Islam selama berabad-abad dan isu-isu yang terkait dengannya telah dianggap sebagai bagian dari pasal-pasal terpenting dalam filsafat.
Siapapun bisa membayangkan bahwa semua pembahasan ini merupakan paparan sia-sia dari isu yang begitu jelas. Akan tetapi, secara bertahap, ia memahami bahwa isu-isu dari realitas wujud, kettinggalan wujud, unitas dan multiplisitas, realitas dan penampakan, dan seterusnya merupakan sebagian dari problem-problem filsafat yang paling pokok. Akan tetapi, problem-problem tersebut tampaknya sederhana namun merupakan isu-isu mendalam dan pelik. [49]
Sebagai suatu contoh dari persentuhan modern dengan isu-isu tersebut, mari kita telaah komentar kritis dari seorang ulama Iran ihwal masalah ini.
Dalam bukunya, Philosophy, Syariat Madari [50] telah melakukan kajian kritis atas bagian buku Allamah Thabathaba’i, The Principles of Philosophy and the Method of Realism. [51] Dalam kritiknya, ia menyatakan bahwa pembahasan tentang pemahaman wujud yang analitis dan kesimpulan filosofis dari pemahaman seperti itu, menjadi semacam bahasa permainan sebagaimana dikatakannya: “Allamah Thabathaba’i menganggap wujud sebagai identik dengan realitas dan eksistensi realitas sebagai swabukti.” [52]
Lebih jauh dalam diskusinya, Syariat Madari mengatakan bahwa kini sejumlah persoalan tertanam dalam pikiran mengenai wujud dan realitas sebagai berikut:
Manakah yang swabukti? Maujud ataukah wujud? Apakah manusia menganggap bebatuan, pepohonan, dan manusia sebagai realitas yang swabukti ataukah wujud mereka? [53] Apakah gagasan bahwa kita tidak bisa menangkap realitas wujud, namun pada saat yang sama karena kita mengetahuinya dengan demikian wujud pada dirinya sendiri, merupakan swabukti bagi kita?
Sebagaimana telah ditunjukkan, mengapa penangkapan eksistensi merupakan swabukti? Saya bisa menganggap eksistensi saya sendiri sebagai swabukti sebagaimana saya menganggap bahwa objek-objek lain sebagai swabukti. Tapi apabila saya menganalisis diri saya sendiri dan memisahkan dan menggantikan unsur “eksistensi” dari aspek-aspek lain diri saya, maka saya tidak bisa mengatakan bahwa saya telah memahami eksistensi dan pengertiannya dalam pola swabukti. Bisa dikatakan bahwa apa yang tarnpak swabukti adalah maujud (being) dan bukan wujud (existence).
Lebih jauh ia mengatakan:
Mendudukkan dan membenamkan diri sendiri dalam konsep eksistensi dan memainkan permainan bahasa, tidak saja membatasi aktivitas sosial, tetapi juga menghalangi kita dari menyerap realitas-realitas dan mencegah kita dari isu-isu filosofis yang berkembang saat itu. [54]
Dengan demikian, tampak jelas bahwa problem eksistensi, konsepnya, tingkat otentisitasnya, masih merupakan suatu problem serius dalam pemikiran filsafat kontemporer.
Untuk melanjutkan telaahan kita dengan pemahaman yang jernih atas masalah tersebut, pertama-tama kami akan menjawab persoalan-persoalan berikut:
1. Apakah analisis dan sintesis, dalam arti umum, merupakan metode tepat guna mendapatkan pengetauan baru tentang dunia dan realitas-realitas di dalamnya?
2. Apakah persepsi-persepsi mental mereka sendiri, yakni konsep-konsep yang kita miliki dari realitas-realitas yang terjadi di dunia, adalah keabsahan nyata (aktual) dalam menyuguhkan realitas-realitas tersebut?
3. Apakah kata-kata, baik merujuk pada objek-objek nyata (real things) ataupun objek-objek khayali (imaginary things) merupakan serangkaian fakta ataukah bukan? (Ini tentunya dalam sorotan definisi ekspansir menurut realitas bahkan dalam pemanfaatan saintifik dewasa ini).
4. Jika konsep-konsep mental dan kata-kata digunakan untuk menguraikan realitas, terlihat dalam suatu perspektif yang lebih luas, adalah realitas itu sendiri, apakah kajian akademis dan realistik atas realitas tersebut, merupakan aktivitas ilmiah yang bisa membuahkan hasil-hasil yang bermanfaat? Atau, apakah ia hanya merupakan suatu tanggung jawab, dalam format bentuk apapun, permainan bahasa?
Dengan suatu wawasan mendalam terhadap apa yang disebut sekarang ini dengan ilmu-ilmu sosial, siapapun bisa menyimpulkan bahwa mayoritas subjek tersebut semata-mata terkait erat dengan kata-kata dan paduannya, konsep-konsep dan pengertian mental, hubungan mereka satu sama lain atau dengan lingkungan sehari-hari manusia, asal-usul dan pertumbuhan kata-kata, makna-maknanya, atau fenomena manusia lainnya senyata huruf-huruf, kata-kata, dan pengertiannya.
Ketika kita mengapresiasi sosiologi dan penyelidikan pencerahannya serta mengarahkan hasil-hasil penyelidikannya untuk membantu kita memilih rangkaian tindakan terbaik dalam banyak aspek kehidupan kita dan menganggapnya sebagai ilmu yang matang membuahkan hasil-hasil yang bermanfaat, maka mengapa kita harns terkejut bahwa analisis saintifik atas suatu kata, persepsi mental, atau fenomena semacam itu bisa membawa kita pada hasil-hasil filosofis yang berharga dan akurat?
Ketika melalui disiplin linguistik dan filsafat analitis, kita menguji asal-usul dan pertumbuhan kata dan bahasa; hubungan mereka dengan faktor-faktor biologis, internal, ataupun lingkungan seperti kepercayaan, keterikatan emosional, ekonomi, politik, kelas-kelas sosial, kebudayaan, dan seterusnya, sehingga menemukan ratusan rahasia menyangkut kehidupan manusia di planet ini, kemudian melanjutkan langkah untuk memperoleh manfaat praktis dari temuan-temuan ini lewat peningkatan taraf kehidupan manusia dengan pelbagai cara, maka mengapa kita tidak bisa melihat riset akurat dan pasti yang telah dijalankan pada konsep eksistensi, pengertiannya, dan realitas eksternal yang darinya konsep ini diturunkan?
Sekarang, mengingat semua yang telah disebutkan, mari kita kembali pada diskusi tentang konsep “eksistensi” dan pengertiannya dan mencoba mengklarifikasi isu-isu yang dimasukkan dalam sorotan pertanyaan yangdiajukan oleh Syariat Madari, dengan harapan bahwa kita akan tetap aman dari bahaya jatuh dalam ilusi dan permainan bahasa.
Pertama-tama, mari kita mulai dari apa yang kita ketahui perihal. masalah ini:
1. Anggaplah ada gelas minum di atas meja di depan Anda. Sekarang saya bertanya kepada Anda: adakah air di dalam gelas itu? Anda melihat gelas tersebut secara lebih cermat atau untuk meyakinkan, Anda menggoyangkan gelas itu seraya berkata: “Ada air, di dalam gelas” atau “Tidak ada air di dalam gelas.”
2 Nah, sekarang anggaplah ada kompor di sudut ruangan tempat ada duduk. Saya bertanya kepada Anda: “Adakah api di dalam kompor itu?” Anda mendekati kompor itu dan memeriksa isinya secara cermat dan berkata: “Ada api di dalam kompor” alau “tidak ada api di dalam kompor”.
Sekarang, simaklah dua pernyataan berikut:
(1) Ada air di dalam gelas; dan
(2) Ada api di dalam kompor.
Dua pernyataan di atas mengandung kata-kata yang berbeda. Masing-masing kata itu mempunyai pengertiannya sendiri, semisal: “di dalam”, “gelas”, “kompor”, “air”, dan “adalah” (is).
Tak ayal lagi, dengan menggunakan setiap kata-kata ini, Anda tengah mengungkapkan persepsi mental yang pasti yang secara jelas bisa Anda bedakan dari persepsi mental lain. Misalnya: “di dalam” berlawanan dengan “di atas” atau “di samping”, “gelas” atau “kompor” berlawanan dengan objek-objek yang ada, “air” dan “api” berlawanan dengan benda-benda lain, dan “adalah” (is) berlawanan dengan “bukan” (is not) dan seterusnya.
3. Persepsi mental yang Anda ekspresikan dengan kata “di dalam” (in) merupakan hal yang jelas dan secara mudah bisa dibedakan dari “di atas” dan seterusnya. Hal yang sama bisa dikatakan tentang persepsi-persepsi mental yang diungkapkan dengan kata-kata, atau, sehingga jika dengan sesuatu yang lain, se- tidaknya Anda tidak pernah menyalahkan mereka untuk satu sama lain. Ini pun merupakan kasus bagi persepsi-persepsi mental yang dilambangkan dengan kata-kata “api” atau “air”. Ketika Anda memegang segelas air untuk diminum, Anda tidak menunjukkan sedikitpun ketakpastian dalam memakai kata “air” untuk menguraikan isi gelas, atau apabila seseorang benar-benar mengetahui kepingan kayu di atas api dan mulai terbakar, Anda sekali lagi tidak akan memastikan dalam penunjukannya sebagai api. Bahkan, ini memang benar, tidak saja untuk Anda, namun bagi semua manusia lain yang sehat dan waras akal.
4. Sekarang bagaimana tentang kata “adalah” (is)? Sudahkah Anda menggunakan kata ini untuk mengekspresikan suatu persepsi mental juga? Bagaimana tentang kata-kata lain seperti kata-kata yang terkait dengan eksistensi atau wujud dalam arti sesuatu yang ada? Apakah kata-kata ini juga berkorespondensi dengan sejumlah persepsi mental yang ada di benak Anda ataukah tidak?
Untuk memudahkan diskusi, mari kita gunakan istilah wujud (existence) dan maujud (being). [55] Pertanyaan: Apakah kata ada dalam dua kalimat berikut: air ada dalam gelas dan api ada dalam kompor, merupakan ucapan tidak bermakna? Atau, apakah ia mempunyai makna yang khusus sebagaimana kata lainnya yang digunakan dalam dua kalimat tersebut? Nah, apabila istilah ada benar-benar memiliki makna khusus pada dirinya sendiri, apakah dan bagaimanakah kata tersebut diterapkan pada air dan api? Apakah fakta bahwa istilah ada digunakan pada air dan api sama-sama menandakan bahwa keduanya memiliki “sebuah kata umum” atau bahwa keduanya memiliki “sebuah pengertian umum”?
Barangkali lebih baik untuk menggambarkan apa yang kami maksud dengan memiliki “kata umum” atau “makna umum” dengan sejumlah contoh dari kehidupan biasa.
Anggaplah, seorang bayi lahir dari keluarga Anda dan Anda menamakannya Parviz. Anggap juga bahwa bayi lain lahir di lingkungan ratusan keluarga lainnya yang jaraknya ratusan mil di kota lain dan keluarga lain, dan mereka, tanpa mengetahui apapun tentang nama anak Anda, juga menamakan anak mereka, Parviz. Hal semacam ini, mengembangkan sebuah ikatan otomatis antara anak Anda dan anak lain, dan ikatan ini tiada lain disebabkan memiliki nama anak yang sama, yang semata-mata merupakan hasil dari cita rasa orangtua mereka.
Sekarang, apakah memiliki nama yang sama menandakan merniliki sesuatu yang lain sam juga? Biasanya tidak. Ia semata-mata merupakan persoalan cita rasa. Anda menjadi suka nama Parviz dan memanggil anak Anda dengannya. Orangtua lain juga menjadi suka nama Parviz dan memilihnya untuk putra mereka. Anda bisa jadi menyukai nama Parviz karena satu alasan; dan orangtua lain mungkin menyukai nama tersebut karena beberapa alasanlain. Bagaimanapun, menyandang nama Parviz yang sama tidak menandakan adanya karakteristik lain yang sama antara dua anak ini. Ini merupakan sebuah contoh dari pemilikan nama yang sama.
Bayangkanlah lagi, Anda memiliki bola putih salju dan kapur putih. Alasan bagi Anda untuk memberi label “putih” kepada kedua benda ini bukan disebabkan bahwa seseorang telah memilih secara sembarang dengan menamakan kedua objek itu “putih”. Alih-alih, ini merupakan suatu indikasi bahwa dua objek ini mempunyai kualitas sama satu sama lain. Dengan kata lain, kata “putih”, menunjukkan bahwa kedua objek ini memiliki “makna umum” yang diletakkan dengan cara lain. Dua objek ini memiliki kesarnaan warna, dan warna ini adalah “pengertian” di mana mereka mempunyai kesamaan. Lebih jauh, pemilikan “pengertian” yang sama ini merupakan sebab dari keduanya yang disebut “putih”.
Inilah mengapa ketika membahas objek-objek yang memiliki sebuah “kata yang sama”, setiap entri baru yang masuk ke dalam kelompok mesti dicapai oleh objek-objek yang mempunyai “pengertian yang sama”. Di sini, tidak ada proses penamaan baru yang penting.
Sekitar 14 abad yang silam seorang anak laki-laki lahir di keluarga Sasanid yang mereka namai Parviz. Jika sejak itu tidak ada keluarga lain yang memilih untuk memanggil nama anak lelakinya Parviz, maka nama ini niscaya menjadi sesuatu yang khusus milik Raja Sasanid, Khosrow Parviz. [56]
Di sisi lain, jika ratusan anak-anak lahir dari keluarga lain dan semua anak ini memiliki karakteristik fisik dan psikologis yang sarna dengan Khosrow Parviz tapi orangtua mereka menamakan anak-anak mereka dengan nama lain, maka tak satu pun kemiripan bisa membenarkan anak-anak ini disebut Parviz dengan sendirinya. Kalaulah ada, amat sedikit anak lelaki yang menunjukkan kemiripan dengan Khosrow Parviz. Tentu saja, ini sama sekali tidak benar dari kata “putih”. Setelah menyebutkan salju sebagai putih karena warnanya dan fakta bahwa ia merefleksikan hampir seratus persen cahaya yang menerpanya, dengan sendirinya kita menyebut putih pada objek apapun yang memiliki kualitas-kualitas yang sama tanpa membutuhkan proses penamaan baru. Ini terjadi demikian karena kata “putih” mewakili persepsi mental yang umum atas subjek-subjek tersebut seperti kapur tulis, salju, dan seterusnya.
Sekarang, setelah memiliki satu “kata yang sama” dan satu “pengertian yang sama” yang secara jelas dibedakan dari satu dengan yang lain, kita bisa kembali ke pembahasan kita ihwal maujud (existent) dan mengulang dua pernyataan: “Ada api dalam kompor” dan “ada air dalam gelas”. Kita melihat bahwa sifat wujud atau “ada” (isness) disandarkan kepada baik api maupun air dan kedua-duanya ada. Dengan demikian, kata ada (existent) merupakan sesuatu di mana mereka berbagi satu sama lain, tidak seperti kata api atau air yang hanya bisa berlaku kepada salah satu di antara keduanya. Nah, kini pertanyaannya adalah: apakah fakta bahwa api dan air mempunyai “ke-ada-an” (isness) yang sama di antara keduanya yang menandakan bahwa dua objek ini mempunyai kata yang sama ataukah pengertian yang sama?
Apabila kedua objek tersebut memiliki “ke-ada-an” dalam pengertian umum yang sama, yang berarti kedua objek ini mempunyai “kata yang sama”, maka menyebut salah satu di antara keduanya sebagai objek yang ada (eksisten) menuntut proses penamaan yang terpisah. Sekarang, apa masalahnya?
Di pihak lain, apabila memiliki kata “is” yang sama di antara “air di dalam gelas” dan “api dalam kompor” yang berarti keduanya mempunyai “pengertian yang sama”, maka proses penamaan terpisah bukan hal penting. Ini akan berarti bahwa kita, bagaimanapun, harus memiliki persepsi mental yang bersesuaian dengan kata “is” yang berlaku pada air di dalam gelas dan api di dalam kompor. Persoalan tersebut dijawab dengan pertanyaan berikut: “apakah persepsi bersama ini dan darimanakah ia asalnya?”
Filsafat eksistensial mengawali analisisnya dengan upaya untuk memahami persepsi mental ini dan sumber objektifnya serta memegang pendapat tersebut bahwa melalui suatu analisis terhadap konsep eksistensi dan temuan dan akal untuk perkembangannya dalam pikiran kita, jalan-jalan baru untuk meraih pengetahuan tentang watak hakiki dunia ini dibukakan untuk kita. Inilah mengapa filsafat ini memula kata-katanya dengan menanyakan, apakah eksistensi sama dalam kata atau makna?
Jawaban yang diberikan para filosof eksistensial atas pertanyaan ini didasarkan pada penyelidikan dan analisis cermat mereka, yaitu, bahwa wujud (existence) adalah sama dalam pengertian kata vokal. Dengan kata lain, istilah wujud dan semua sinonimnya dalam bahasa lain, merujuk pada persepsi, konsep, dan pengertian mental yang tunggal yakni bahwa persepsi esensial dan konkret yang dialami dalam setiap persentuhan dengan realitas. Ini membantu untuk menunjukkan kepada kita bahwa wujud itu sendiri merupakan realitas tunggal yang ada dalam api dan air. Karena, apabila wujud bukan fakta tunggal yang dimiliki api dan air secara umum, niscaya ia tidak akan memunculkan persepsi tunggal yang diderivasikan dari air dan api.
Mulla Shadra memiliki pendapat demikian bahwa tidak perlu bagi kita untuk melewati jalan panjang dan pelik ini untuk memahami universalitas dan keunikan realitas wujud. Cukuplah bagi setiap individu realistik (mystic) peka dan berwawasan untuk mempertimbangkan persepsi pertama yang ia miliki, dari dunia aktual; untuk mengetahui reali.tas wujud itu sendiri. Apa yang saksikan dalam persentuhannya dengan fakta tertentu adalah, pertama-tama, wujudnya fakta itu. Hanya setelah itu, menentukan kuiditas objek yang dibahas. Dan apa yang dimaksud dengan kuiditas di sini adalah esensi dan jumlah kualitas yang manusia pandang dalam objek partikular ini namun gagal menjumpai, entah semua ataupun sebagian, dalam objek-objek lain.
Noktah yang menarik di sini adalah bahwa dalam setiap konfrontasi dengan realitas aktual, pengetahuan manusia akan eksistensinya, aktualitas, dan realitas, sama-sama jelas dan pasti kecuali ia terjerat dalam tarikan sofistik, sementara penangkapan seseorang akan kuiditas suatu objek bisa melibatkan ketidakpastian. Misalnya, ketika Anda melihat sesuatu dari jarak beberapa kilometer, Anda tak meragukan keberadaannya dan penangkapan Anda akan realitasnya adalah jelas dan pasti. Akan tetapi, pengetahuan Anda akan kuiditasnya tetap tidak jelas, dan Anda harus menunggu objek tersebut sampai Anda lebih dekat dengannya atau melihatnya melalui teropong, sebelum mendapatkan persepsi akan kuiditasnya secara relatif.
Pengetahuan Kita akan Wujud Hanya Mungkin Melalui Pengetahuan Langsung (Ilm al-Hudhuri)
Ketika kita mendapatkan sebatang pohon secara kebetulan, kita menyaksikan keberadaannya. Selain persepsi ini, kita mencerap secara relatif jatidirinya. Bagaimanapun, pencerapan kita akan jatidiri pohon tersebut pasti selalu disertai dengan sebuah gambaran yang sempurna atau tanpurna (imperfect) dari pohon tersebut yang ditanamkan dalam pikiran kita. Gambaran ini memberitahu kita akan jatidiri pohon itu dan melambangkan pengetahuan kita dan pengetahuan orang lain akan hal itu. Hubungan gambaran mental ini dengan pohon yang dibicarakan seperti sebuah gambar yang diambil oleh kamera dan pohon aktual itu sendiri, atau antara pohon dan gambar pohon yang dilukis dengan secara hati-hati. Setiap kali gambaran mental ini muncul dalam pikiran Anda secara relatif ia akan memberitahu Anda akan jatidiri dari objek yang kepadanya ia dirujuk. Akan tetapi ia tidak bisa secara otomatis memberitahu Anda akan eksistensi dan aktualitasnya kecuali ia membangun kembali hubungan “pencerapan langsung” antara Anda dan pohon tersebut. Dan melalui hubungan ini Anda akan mengingat eksistensi pohon tersebut sebelumnya. Apabila hubungan ini tidak dibangun kembali dan ingatan akan pohon tersebut tidak dibangkitkan dalam pikiran kita, dengan sendirinya Anda akan meragukan eksistensi pohon itu sendiri dan akan bertanya: “Apakah pohon ini ada?”
Kita bisa menyimpulkan dari hal ini bahwa gambar itu tidak secara otomatis menunjukkan eksistensi objek tersebut. la diduga melambangkan dan pengetahuan kita akan objek-objek tersebut hanya jika diperoleh melalui pencerapan. dan pengetahuan langsung.
Kini setelah butir-butir tersebut dijelaskan, mari kita kembali kepada masalah yang diajukan oleh Shadr al-Muta’allihin. la menyebutkan, hal pertama yang kita cerap adalah wujud (existence) itu sendiri, berdasarkan syarat bahwa kita tidak mencampuradukkan pikiran kita dengan perselisihan pseudo-filosofis.
Merenungkan pengetahuan wujud kita yang diperoleh melalui pencerapan langsung, secara mudah kita bisa menemukan fakta bahwa nirwujud (non-being) tidak pernah memasuki esensi wujud. Dengan kata lain, eksistensi senantiasa dan tidak akan pernah bisa menjadi non-eksistensi. Inilah mengapa wujud senantiasa merupakan wujud wajib (Necessary Existence) (karena nirwujud tidak pernah bisa berperan serta).
Butir lain yang disampaikan di sini, dan itu ada dalam persentuhan pertama kita dengan realitas, adalah apa yang kita lihat sebagai “wujud wajib” dan penangkapan kita akan “wujud mungkin” (contingent) diperoleh hanya muncul setelah kita menyaksikan eksistensi segala sesuatu yang, berkat kebajikan wujud, muncul dari ketiadaan (nothingness) dan menjaga bentuk-bentuk yang akrab yang disebut segala sesuatu: segala sesuatu yang merupakan tanda-tanda, manifestasi-manifestasi dan pantulan wujud. Dan apabila wujud ini tidak ada, segala sesuatu ini akan menjadi sia-sia dan tak-substantif (insubstansial). Diskusi yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa dalam metode pencarian Shadr al-Muta’allihin akan sebab original, tidak perlu untuk membenamkan diri kita sendiri pada konsep wujud atau bersandar pada ketidakabsahan daur atau tasalsul.
Setelah suatu diskusi ekstensif ihwal wujud mungkin dan hubungannya dengan wujud wajib dan setelah menjawab semua pertanyaan dan masalah yang dimunculkan dalam hal ini, Shadr al-Muta’allihin berkata:
...Oleh karena itu, eksistensi Wujud Wajib terbukti melalui argumen ini, sebagaimana keunikannya juga terbukti. Karena eksistensi merupakan sebuah realitas dalam esensi yang tidak menyisakan ruang kekurangan ataupun kelemahan. Watak nirwatas (limitless) dan mutlak wujud tidak meminjamkan dirinya sendiri kepada dualitas ataupun pluralitas. Lagi pula, melalui argumen yang sama, pengetahuan eksistensi kepada dirinya sendiri dan kehidupannya berikut apapun yang ada di baliknya adalah mungkin, karena pengetahuan dan kehidupan sinonim dengan eksistensi. Selain hal-hal tersebut, kekuasaan dan Kehendak Wujud Wajib juga terbukti karena dua hal ini merupakan syarat kehidupan dan pengetahuan. Swawujud-Nya (self existence) membuktikan bahwasanya suatu wujud yang ada dalam keadaan ultimat dan sempurna pastilah sumber semua wujud yang ada di bawahnya. Dengan demikian, Wujud Wajib tidak lain adalah Tuhan, Yang Maha Mengetahui, Mahakuasa, Maha Berkehendak, Mahahidup, Maha Menciptakan, Maha Berilmu, dan Mahakuasa. Dan karena semua tingkatan yang lebih rendah dari eksistensi dengan sendirinya mengikuti Wujud Wajib sesuai dengan level martabat dan kekuatan mereka, maka fakta bahwa Dia adalah Pencipta, Tuhan, dan Pemilik adalah terbukti.
Kesimpulan yang bisa ditarik adalah bahwa metode yang telah kami tuntut lebih kuat, lebih sederhana, dan lebih baik ketimbang metode lain yang digunakan untuk menyelidiki sebab pertama. Siapa saja yang mengikuti metode ini untuk memperoleh pengetahuan Tuhan, Zat, Sifat, dan Perbuatan-Nya tidak perlu bersandar kepada segala sesuatu selain Allah, atau ketakabsahan daur dan tasalsul untuk membuktikan eksistensi-Nya. Ia bisa mengenal Tuhan dan keunikan-Nya melalui wujud- Nya sendiri: Allah sendiri menyaksikan tiada tuhan selain Dia... (QS Ali Imran: 18), dan mendapatkan pengetahuan segala sesuatu yang lainnya dalam pola ini: Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya menyaksikan segala sesuatu (QS Fushshilat: 53)
Metode ini mencakupi ahli kesempurnaan (the people of perfection) dalam penyelidikan mereka akan Kebenaran, Sifat-sifat, dan perbuatannya. Tetapi karena setiap orang tidak punya kemampuan untuk menarik banyak kesimpulan dari satu prinsip tunggal, kita tidak punya pilihan selain mengajukan metode lain untuk membimbing para pencari kepada pengetahuan kebenaran, meski metode ini boleh jadi tidak memiliki kekuatan dan efisiensi dari metode pertama dalam mengarahkan para pencari Tuhan. [57]
Apakah Burhan Shiddiqin adalah Argumen yang Benar?
Dari apa yang telah kami katakan sampai noktah ini jelaslah sudah bahwa argumen shiddiqin telah diajukan dalam dua cara yang berbeda. Pertama, cara yang diajukan oleh Ibn Sina, Nashir al-Din ath-Thusi, dan ahli pikir lainnya, sementara cara kedua diusung oleh Mulla Shadra. Dalam komentarnya atas Isyârât Ibn Sina, Nashir al-Din al-Thusi menyebut versi argumen shiddiqin Ibn Sina sebagai burhan inni (a priori argument).
Burhan Inni (Argumen A Priori) dan Burhan Limmi (Argumen A Posteriori)
Meski istilah “argumen a priori” dikenal oleh semua mereka yang akrab dengan filsafat, perlu kiranya untuk menjelaskannya di sini sehingga kita bisa menjelaskan diskusi kita dengan kejelasan yang memadai.
Dalam penalaran a priori, sebagai lawan penalaran a posteriori, pertama-tama kita mencerap eksistensi sebab dan pencerapan ini mengantarkan kita untuk mengafirmasi eksistensi akibat. Karena apabila sebab ditemukan ada, eksistensi akibat dengan sendirinya mengikuti. Dalam penalaran a posteriori, masalahnya adalah sebaliknya. Di sini kita mencerap eksistensi akibat awalnya dan kemudian mengafirmasi eksistensi sebab, karena tidak ada akibat tanpa kehadiran sebab. Mari kita kutip sebuah contoh.
Kita melihat langit dan menyaksikan bahwa awan gelap bergerak di kejauhan. Selanjutnya kita katakan bahwa pasti ada hujan di daerah sana. Apa yang menjadikan kita mengenal eksistensi awan di langit dalam jarak tersebut adalah pandangan langsung indrawi kita atasnya. Lagipula, karena kita mengetahui hubungan sebab akibat antara jenis awan dan hujan ini, kita menyimpulkan dua pencerapan ini dan menghasilkan penangkapan ketiga yakni ada hujan di sana. Dengan demikian, inilah apa yang kami maksudkan dengan argumen a priori. Yakni, penangkapan eksistensi akibat melalui penangkapan eksistensi sebab.
Sekarang kita lihat kasus lain. Katakanlah ini terjadi di malam yang dingin di musim dingin. Kita tengah duduk di sebuah ruangan, ditutupi semua pintu dan jendela, dan diselubungi tirai-tirai. Tiba-tiba, kita mendengar tetesan air yang mencurahi atap rumah. Sesaat kita saksikan hujan pun turun. Kita juga tahu bahwa awan mendung tengah melintasi rumah kita. Ini merupakan satu contoh argumen a posteriori. Yakni, mengenal eksistensi sebab melalui penangkapan eksistensi akibat.
Sejauh pengetahuan kita akan sumber orisinal diperhatikan, jika kit a kemudian mendapatkan pengetahuan akan eksistensinya pertama-tama dengan menangkap makhluknya dan menyusul penangkapan ini, membayangkan sebuah gagasan bahwa makhluk-makhluk ini mesti mempunyai pencipta yang mempunyai sifat demikian dan demikian. Proses kognitif ini, yang bergerak dari pengetahuan akibat ke afirmasi eksistensi sebab, merupakan bentuk penyimpulan logis. Dan ini, tentu saja, merupakan penalaran a posteriori. Di sisi lain, apabila kita pertama-tama mengenal Allah dan Sifat-sifat-Nya melalui pengetahuan langsung, kita menyimpulkan dari pengetahuan semacam itu bahwa Tuhan yang memiliki sifat-sifat tersebut pasti memiliki ciptaan-ciptaan demikian dan demikian, meski kita tidak punya pengetahuan langsung bahwa makhluk-makhluk tersebut sesungguhnya benar-benar ada, maka kita telah menangkap eksistensi mereka melalui pengetahuan eksistensi sebab. Ini pun merupakan sebentuk penyimpulan logis, yakni penalaran a priori.
Nashir al-Din al-Thusi mengatakan bahwa jalan yang ditempuh oleh Ibn Sina menyangkut pengetahuan “yang asli” (origin) dalam ‘Isyârat, yakni argurnen shiddiqin, sebenarnya merupakan penalaran a priori. Allamah Hilli, dalarn Kasyf al-Murâd fi Syarh al-Tajrîd al-I’tiqâd, [58] juga telah mengatakan bahwa “argumen shiddiqin” Ibn Sina merupakan penalaran a priori.
Akan tetapi, Shadr al-Muta’allihin sama sekali tidak menganggap argumen shiddiqin sebagai sebuah argumen dan oleh sebab itu tidak mendiskusikan persoalan bentuknya, entah a priori atau a posteriori.
Dalarn Asfar-nya, setelah menyebutkan sejumlah contoh argumen filosofis yang mengajukan bukti keberadaan Tuhan, ia mengatakan:
Sebagaimana telah dikatakan menyangkut bukti eksistensi Wujud Wajib, tidak ada argumen yang sesungguhnya bisa disebut argumen. Dan apapun yang dinyatakan sebagai sebuah pembuktian tidak terkait secara langsung untuk membuktikan eksistensi Wujud Wajib. Berkenaan dengan pembuktian eksistensi Tuhan, ada satu argumen[59] yang mirip dengan argumen a posteriori.
Pada catalan kaki tentang bagian di atas dari Asfar, Allamnah Thabathaba’i berkata:
...dan bersama ini butir yang secara jelas ditunjukkan kepada pemahaman bahwa eksistensi Wujud Wajib merupakan prinsip penting dan tak tertolak; dan argurnen yang diajukan untuk membuktikan eksistensi Wujud. Wajib (Necessary Being)
sesungguhnya merupakan sejenis pengingat (dan bukan bukti)... [60]
Bagaimanapun juga kita percaya tentang pengujian yang cermat akan “argumen shiddiqin”, sekalipun versi Shadr al-Muta’allihin menunjukkan bahwa rumusan ini bukan argumen sepenuhnya ataupun seutuhnya bukan suatu argumen. Karena sesungguhnya masalahnya adalah bahwa “argumen shiddiqin” memiliki tiga aspek yang masing-masing aspek harus dibahas secara independen. Inilah tiga aspek berikut:
A. Pengetahuan akan eksistensi sumber (Tuhan) melalui pemahaman lebih baik akan “wujud”.
B. Pengetahuan akan eksistensi sumber (Tuhan) melalui pemahaman sempurna akan “wujud”.
C. Pengetahuan akan tanda-tanda dan akibat-akibat dari Sumber melalui pengetahuan ekstensif akan eksistensi.
Sejauh aspek pertamna dan kedua ini diperhatikan, tugas intelektual kita adalah mendapatkan pengetahuan wujud yang lebih jeluk (deeper) tanpa mencoba membuktikan eksistensi sesuatu melalui pencerapan eksistensi sesuatu yang lain.
Akan tetapi menyangkut aspek ketiga, tugas intelektual kita adalah menemukan akibat pertama-Nya; yakni (emanasi pertama) melalui pengetahuan yang akurat dan luas akan sumber (Tuhan), sehingga menangkap realitas objektif. Selanjutnya dengan memperluas jangkauan metode ini pada akibat-akibat dan tindakan-tindakan lainnya kita bisa mengetahui mereka satu demi satu. Sesungguhnya, kita melibatkan sebuah argumen dalam bagian ini yang sama-sama disebut argumen a priori, karena kita menangkap eksistensi sebuah akibat dan turunan- turunannya melalui pengetahuan komprehensif akan sebabnya.
Oleh sebab itu, argumen shiddiqin Shadr al-Muta’allihin sebanyak mungkin terkait dengan pengetahuan akan eksistensi sumber (sebab pertama) dan sifat- sifat-Nya. Ia dikembangkan dari sebuah pengetahuan akan objek yang telah kita ketahui, yakni konsep eksistensi meskipun ia tidak bisa disebut sebuah argumen. Namun bagian yang menyangkut pengetahuan akan sumber dan sifat-sifat serta perbuatan-perbuatan-Nya –yakni bukti keberadaan intelek dan jiwa universal dalam arti filosofis serta rahmat suci dan paling suci dalam pengertian mistis– tak pelak lagi merupakan suatu argumen yang melaluinya kita menangkap eksistensi akibat melalui pengetahuan akhir akan sebab. Dengan demikian, argumen ini disebut argumen a priori (burhân limmî).
Bukti Eksistensi Tuhan yang Lebih Dekat dengan Pendekatan al-Quran
Dalam karya-karya teologis dan mistis, para sarjana Muslim secara relatif tertarik untuk mengenalkan pandangan umum para filosof dan gagasan-gagasan filsafat mereka pada topik-topik tertentu yang disesuaikan dengan ajaran-ajaran al-Quran. Seolah-olah mereka ingin meningkatkan kredibilitas pandangan-pandangan mereka atau setidaknya menyelamatkannya dari lawan karena pandangan- pandangan yang anti-agama.
Akan tetapi, jenis pembenaran dan pengakuan tersebut tidak sesuai dengan pengertian umum dari ayat-ayat al-Quran. Yaitu, dalam banyak hal ia hanya merupakan interpretasi mereka sendiri. Di antara pelbagai argumen ihwal eksistensi Tuhan sebagaimana disebutkan di atas, argumen Aristoteles dan para pemikir lain yang mendukungnya sesuai dengan ajaran-ajaran al-Quran. Pasalnya, argumen ini didasarkan pada ketergantungan yang membutuhkan (the needy) pada yang mandiri (independent), entah gerakan kepada penggerak, akibat kepada sebab, objek kepada Pencipta objek, dan kontingensi kepada kemestian.
Apabila penggunaan istilah argumen itu benar dari sudut pandang originologi, ia harus disebut argurnen a posteriori (burhân inni). Bagaimana halnya dengan metode Mulla Shadra? Haruskah kita menyebut eskatologi filosof ini sama seperti pendekatan al-Quran? Shadr al-Muta’allihin mendukung argumennya dengan mengutip beberapa ayat berikut dari al-Quran:
Allah menyaksikan bahwasanya tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang memelihara penciptaan-Nya dengan keadilan. Demikian pula para malaikat dan mereka yang memiliki pengetahuan (memberi kesaksian demikian). Tiada tuhan selain Dia Yang Mahakuasa Mahabijaksana (QS Ali Imran: 18)
Menurut Mulla Shadra, kesaksian Allah akan keunikan-Nya merupakan bukti lain dari lambang “eksistensi” tentang keunikan dan kemestian swamaujud (self-existent). Ini merupakan hal yang sama di mana Shadr al-Muta’allihin memasukkannya dalam argumen shiddîqîn-nya (burhân shiddîqîn) .
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar: Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis). Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS An-Nûr: 35)
Dengan demikian, Allah menerangi dunia ini. Eksistensi cahaya-Nya amatlah jelas dan bisa dirasakan dan segala sesuatu pun harus bisa diketahui dalam sorotan cahaya yang menerangi itu. [61] Rumi berkata:
Matahari yang tampak
Bukti dari mentari yang sama
Jika engkau mencari bukti
Janganlah engkau memalingkan wajahmu darinya
Bagaimana kita menangkap keberadaan Tuhan? Jawabannya adalah bahwa kita melihat-Nya secara objektif dan kemudian menangkap-Nya. Bahkan kita menyaksikan dan menangkap maujud-maujud lain dalam cahaya matahari.
Kami akan menunjukkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Quran itu adalah benar Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu (QS FushshiIat: 53)
Ibn Sina, Nashir al-Din Thusi, Allamah Hilli, Shadr al-Muta’allihin dan para pemikir serupa lainnya, percaya bahwa: bagian terakhir ayat ini menyangkut pengetahuan sumber (sebab pertama) adalah mungkin melalui konsentrasi terhadap konsep eksistensi yakni argumen shiddîqîn yang sama sebagaimana yang telah kami diskusikan sebelumnya.
Di antara ayat-ayat al-Quran, ayat Nur (QS an-Nur: 35), sampai tingkat tertentu, relevan dengan argumen ini. Sudah tentu, ini tersedia untuk memberikan wawasan mendalam ke dalam ayat ini guna memahami dan menggunakannya sebagai burhan shiddîqîn.
Dalam ayat 18 surah Ali Imran disebutkan, “Allah menyaksikan bahwa tidak ada tuhan (yang pantas disembah) selain Dia.” Ada masalah kesaksian[62] Tuhan tentang keunikan-Nya sehingga ia perlu mengingat beberapa pengertian untuknya. Pengertian ini mungkin sama sebagaimana yang terdapat argumen shiddîqîn:
Dan jikalau Kami jadikan al-Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain bahasa Arab tentulah mereka mengatakan: “Mengapa tidak dijelaskan ayat- ayatnya?...” (QS Fushshilat: 44)
Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Musa Taurat lalu diperselisihkan tentang Taurat itu. Kalau tidak ada keputusan yang telah terdahulu dari Tuhanmu, tentulah orang-orang kafir itu sudah dibinasakan. Dan sesungguhnya mereka terhadap al-Quran benar-benar dalam keragu-raguan yang membingungkan. (QS Fushshilat: 45)
Katakanlah: “Bagaimana pendapatmu jika (al-Quran) itu datang dari sisi Allah, kemudian kamu mengingkarinya. Siapakah yang lebih sesat daripada orang yang selalu berada dalam penyimpangan yang jauh?”. (QS Fushshilat: 52)
Kami akan menunjukkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa (al-Quran) itu adalah benar (QS Fushshilat: 53)
Menyangkut rangkaian ayat tersebut, persoalan ini bisa mengemuka tentang apakah kata ganti “ia” dalam kalimat “itu adalah benar” yang dirujuk kepada al-Quran adalah Tuhan ataukah sesuatu yang lain. Sebagaimana dikutip dari Qatadah dan para mufasir lainnya dalam hal ini, dengan demikian, ayat ini terkait dengan kebenaran al-Quran, dan bukan Tuhan. Oleh sebab itu, ayat tersebut terkait dengan isu lain dari ajaran Islam, bukan metode tentang pengetahuan sumber.
Kesimpulan
Mengenai diskusi di atas, kita akhirnya sampai pada kesimpulan-kesimpulan berikut:
1. Isu tentang bukti keberadaan Tuhan diajukan dalam al-Quran dalam suatu pola yang sederhana;
2. Pada saat yang sama, al-Quran tidak mengabaikan keraguan atas eksistensi Tuhan;
3. Dengan demikian, ia hanya terbatas kepada sejumlah persoalan yang membangkitkan sehingga membebaskan manusia dari keraguan tentang eksistensi Tuhan;
4. Dalam sorotan keterjagaan dan kewaspadaan semacam itu, manusia bisa menangkap eksistensi Tuhan melalui pemusatan pikiran terhadap ketergantungan semua maujud kepada Tuhan;
5. Dalam proses perjalanan (mistis), manusia bisa bersandar pada persepsinya (alamiah) yang paling sederhana dan tidak perlu melibatkan dirinya sendiri pada argumen-argumen teknis;
6. Jalan al-Quran ini menyangkut konsep Tuhan secara relatif sesuai dengan sikap banyak ulama terhadap dunia baik secara langsung (melalui penafsiran) maupun tidak langsung;
7. Sejumlah ayat al-Quran yang terpampang dalam buku-buku filosofis dan mistis, menyangkut bukti eksistensi Tuhan tidak relevan dengan diskusi teologis seperti ayat 53 surah Fushshilat ataupun tidak terkait dengan isu-isu lain.
Setelah Bukti Keberadaan Tuhan
Sekarang, di akhir pembahasan ini, persoalan yang muncul adalah apakah manusia, menyangkut konsep “Sumber” (mabda’), hanya bisa mengetahui eksistensi Tuhan yakni mengakui bahwa adanya pencipta dunia ini ataukah ia bisa melampaui tahapan ini dan memperoleh sebuah ide yang jelas tentang Tuhan? Isu ini telah didiskusikan secara mendetail dalam filsafat dan teologi Islam (kalâm) dan kita akan mendiskusikan lebih jauh dalam pasal-pasal lain di buku ini.
Apa yang bisa dikatakan tentang sudut pandang al-Quran adalah bahwa manusia diminta untuk memiliki pengetahuan yang komprehensif tentang Tuhan dan isu utama dalam pengetahuan komprehensif ini merupakan isu keesaan Tuhan (tauhîd) dan keunikan-Nya yang disandarkan kepada al-Quran.
Referensi:
15. A.J. Arberry, Reason and Revelation, hal.9.
16. Upanishad, hal.419.
17. AllamahThabathaba’i, Al-Mizân, hal.12: 2,3.
18. Mulla Shadra, Al-Mabda’ wa al-Ma’ad, hal.16.
19. Dalam kitab tafsirnya, Al-Mizân, ketika menafsirkan ayat tentang watak fitriah agama ini, Allamah Thabathaba’i telah mengambil suatu perspektif yang lebih luas dan mengungkapkan pendapat bahwa semua ajaran dan agama berdasarkan pada sistem keyakinan dan praktik serta semua kebutuhan fitriah manusia.
20. Silakan rujuk kitab tafsir al-Kabîr karya Imam Fakhr al-Razi, jilid 15, hal.40-49; Ma’jam al-Bayân, jilid 4, hal.497-8; dan al-Mizân, jilid 8, hal.338-346.
21. Salah satu mufasir tersebut adalah Sayyid Quthb dalam tafsir Fi Zhilâl al-Qur’ân, jilid 3, hal.670.
22. Silakan rujuk tafsir Majma’ al-Bayân, jilid 4, hal.498, dan tafsir al-Kabîr Imam Fakhrurrazi, jilid 15, hal.46-52.
23. Pengetahuan yakin merupakan pengetahuan yang jelas menembus setiap keraguan dan ambiguitas. Pengetahuan langsung, pengetahuan intuitif merupakan contoh-contoh dari pengetahuan pasti. Sebaik-baiknya cara untuk meraih pengetahuan semacam itu terletak pada amal. Karena di sinilah orang bisa berhadapan dengan realitas objektif dan kebal dari subjektivitas. Subjektivitas terletak di luar dunia riil dan merintangi manusia dari memahami realitas.
24. QS al-Jatsiyah: 24.
25. Ulûl albâb.
26. qawm yatafakkarûna...
27. qawm yatadzakkarûna...
28. Dari halaman ini sampai halaman 200, diskusi bersifat filosofis dengan memanfaatkan orang-orang yang berkarya di bidang teologi. Mereka yang tidak akrab dengan filsafat, bisa mengabaikan bagian ini.
29. Yakni dewa-dewa dalam mitologi Yunani yang sepenuhnya merupakan khayalan imajinasi manusia. Kelemahan intelektual manusia dalam mengenal asal-usul dari segala sesuatu yang ultimat bertanggung jawab dalam menggantikan Allah dengan dewa-dewa. Di bidang sains alam menggunakan hal itu dengan menggantikan sebab-sebab dan faktor-faktor alamiah. Akibatnya, kesalahan terdapat di bidang teologi maupun sains alam.
30. Aristoteles, Metaphysics, hal.247.
31. Ibid., hal.713.
32. Ibid., hal.1000
33. Ibid., buku Alpha dan Lambda.
34. Ibn Sina, Al-Isyârât wa al-Tanbihât, hal.109-115.
35. Pernyataan asli dari Ibn Sina dalam ‘Isyârât-nya menyangkut masalah ini adalah sebagai berikut:
“Renungkanlah ihwal bagaimana pernyataan kami untuk menguji eksistensi yang pertama (Pencipta), keunikan-Nya (ketunggaIan), dan keterbebasannya dari setiap ketanpurnaan dan kekurangan tidaklah membutuhkan apapun selain perhatian atas eksistensi itu sendiri dan tidak membutuhkan perhatian wujud-wujud ciptaan-Nya. Meskipun, hal itu bukti bagi kesaksian (testification), tetapi cara perhatian pertama lebih “otentik dan berharga.”
Yakni, jika kita memperhatikan keadaan eksistensi dan hal ini menunjukkan eksistensi-Nya karena ia merupakan eksistensi yangjelas dan nyata. Ia merupakan bukti kebenaran yang kokoh bagi seluruh tingkatan eksistensi dan wujud berikut. Al-Quran telah menunjukkan fakta ini dengan mengatakan, “Kami akan menunjukkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Quran itu adalah benar...” (QS Fushshilat: 53). Saya menyatakan bahwa ungkapan ini dimaksudkan bagi sekelompok orang. Al-Quran selanjutnya mengatakan, “Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu.” (QS Fushshilat: 53). Adapun pernyataan ini ditujukan segolongan manusia lainnya, yang merupakan hamba-hamba Allah yang benar (ash-shiddiqûn) yang menjadikan-Nya sebagai bukti untuk membenarkan segala sesuatu selain-Nya. Bukan sebaliknya.
36. Ibn Sina, Al-‘Isyârât wa al-Tanbihât, hal.123.
37. Ibid., hal.123.
38. Nashir al-Din al-Thusi, Tajrid al-I’tiqâd, hal.172.
39. Allamah Hilli, Kasyf al-Murâd fi Syarh Tajrîd al-I’tiqâd.
40. Yakni sebuah realitas yang tidak membutuhkan asal-usul.
41. Yaitu eksistensi yang terbukti sebagai suatu maujud (existent) yang terlepas dari sebab.
42. Jika kita meneruskannya, kita tidak bisa sampai pada suatu maujud yang terlepas dari sebab.
43. Berdasarkan pendekatan ini, melalui proses dan keraguan antara Wujud Wajib dan Wujud Mungkin, kita mendapatkan Wujud Wajib. Itulah mengapa argumen yang didiskusikan di sini disebut argumen kemestian dan kemungkinan (necessity and contingency argument).
44. Sebagaimana dinyatakan dalam surah-surah ayat 148.
45. Apa yang menghubungkan premis mayor dan minor satu sama lain dan memudahkan kita untuk mencapai kesimpulan ketiga melalui pengetahuan tentangnya.
46. Menurut Rumi, sinar matahari merupakan bukti adanya matahari, jika engkau ingin bukti, jangan palingkan wajahmu.
47. Wahai Zat Pembimbing kepada dirinya sendiri.
48. Mulla Shadra, Asfâr, hal.26-27.
49. Masalah eksistensi, konsep dan realitasnya senantiasa menjadi salah satu tema filsafat yang paling pelik. Di zaman kita, sebagian dari pengikut Hegel telah memperluas analisis Hegel tentang eksistensi dengan mengacu kepada konsep lain dan realitas objektif yang diturunkan dari, misalnya, buku Hegel, Being and Time terkait dengan isu ini.
50. Dr. ‘Ali Syariat Madari adalah guru besar di Universitas Isfahan.
51. Dr. ‘AIi Syariat Madari, Philosophy, hal.335.
52. Ibid., hal.336-337.
53. Ibid., hal.339.
54. Ibid.
55. Maujud (being) secara tatabahasa merupakan kala kerja pasif (passive participle) dan paling mungkin diturunkan dari kata wajada yang dalam bahasa Persianya adalah yâfteh yakni “telah ada”. Belakangan istilah ini mendapatkan pengertian baru selain kata kerja pasif. Ia merupakan sesuatu yang mendapatkan keberadaan yang nyaris bukan kata kerja pasif. Bahkan kata kerja wajada digunakan dalam arti menjadi ada yang tidak membawa keraguan dan ia seperti kata kerja intransitif. Demikian pula halnya dengan kata Wujud. Istilah tersebut sekarang ini tidak ada kaitan dengan “diperoleh” atau “telah diperoleh” tetapi ia berarti “menjadi” atau “meng-ada” (being).
56. Jika seseorang dinamai Parviz sebelum dia, maka nama ini menjadi miliknya secara khusus.
57. Mulla Shadra, Asfâr, jilid 6, hal.25-26.
58. Allamah Hilli, Kasyf al-Murâd fi Syarh al-Tajrîd al-I’tiqâd, hal.172.
59. Mulla Shadra, Asfâr, jilid 5, hal.28-29.
60. Ibid., jilid 6, hal.15.
61. Untuk komentar yang lebih terperinci ihwal ayat “Cahaya”, silakan rujuk ke ulasan Mulla Shadra, hal.358, 375, Asfâr, 5: 349; Syawâhid, hal.36.
62. Banyak contoh dalam al-Quran yang menunjukkan bahwa Allah memberikan kesaksian seperti: “Allah menyaksikan bahwa tidak ada tuhan (yang pantas disembah) selain Dia.” (QS Ali Imran: 18).
Allah memberi kesaksian bahwa Ia telah menurunkan al-Quran: “tetapi Allah mengakui al-Quran yang diturunkan-Nya kepadamu dengan ilmu-Nya.” (QSAn-Nisa’: 166).
Allah menyatakan bahwa orang-orang munafik adalah para pendusta: “Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.” (QS al-Munafiqun: 1).
Allah memberi kesaksian atas kenabian nabi-Nya: “Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manu.sia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.” (QS an-Nisa’: 79).
Dan Allah menyaksikan atas segala sesuatu (QS al-Maidah: 117) menyangkut referensi isu-isu tersebut kepada Allah merupakan kesaksian-Nya sendiri yang telah muncul di beberapa naskah kitab suci lainnya. Bahkan termasuk dalam kitab-kitab agama non-Ibrahim. Zoroaster, misalnya, menganggap Tuhan sebagai saksi atas kenabian dan kebenarannya akan agamanya. Ia berkata: Wahai manusia, ketika engkau tidak bisa menemukan dan memilih jalan lurus untuk dirimu sendiri, Ahura Mazda menjadikanku Hakim bagi kedua kelompok: penyembah Mazda dan penyembah setan, dan mengutusku kepada kalian, sehingga aku bisa menunjukkan jalan nan lempang bagimu dan kalian semua bisa hidup bersama menurut agama yang benar. Ahura Mazda adalah saksiku dan memberi kesaksian atas agamaku. (2: 41, Avesta).
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email