Pesan Rahbar

Home » » Tuhan Menurut Al-Qur'an; Bab II: Isu-isu Metafisika

Tuhan Menurut Al-Qur'an; Bab II: Isu-isu Metafisika

Written By Unknown on Monday, 24 October 2016 | 21:53:00


Metafisika Aristoteles

ARISTOTELES mengawali bab metafisikanya dengan melakukan pengujian atas pandangan-pandangan para pendahulunya menyangkut prinsip-prinsip fenomena alamiah dan sebab-sebab pertama mereka. Dalam bukunya Alpha Minor, Aristoteles menunjukkan bahwa pencapaian pengetahuan akan realitas bukanlah tugas yang mudah.

Untuk menguji realitas merupakan sesuatu yang di satu sisi mudah dan di sisi lain sulit. Bukti atas pernyataan ini merupakan fakta bahwa tak seorang pun berhasil sepenuhnya memahami realitas atau realitas sepenuhnya tersembunyi dari siapapun. Ketika kita menilai setiap orang yang telah membincangkan alam, kita menyaksikan bahwa sebagian dari mereka gagal total meraih pengetahuan akan kebenaran sementara yang lainnya telah berhasil dalam mengetahui sebagian kecil darinya. Namun demikian, jika kita benar-benar menggabungkan semua bit dan kepingan pemahaman ini, hal itu terhitung sebagai kumpulan yang renting. Dengan demikian, meraih pengetahuan akan kebenaran dalam arti ini adalah mudah (dan mudah diakses oleh semuanya). Dengan referensi kepada fakta ini, kita lazimnya mengatakan: “Setiap orang mengetahui pintu rumah ini”.

Bagaimanapun, sebab-sebab kesulitannya adalah mustahil kiranya dapat mengetahui seluruh kebenaran atau memahami sebagian besar darinya. Hal ini mungkin ada dua sebab [7]. Pertama, kesulitan itu bersumber dari dalam diri kita sendiri. [8] Ia tidak terkait dengan realitas-realitas dunia eksternal yang menyangkut segmen alam yang betul-betul jelas dan tidak tertutupi. Akal kita laksana mata kelelawar di depan matahari. [9]

Selanjutnya, Aristoteles mengatakan bahwa bagaimanapun juga kita berutang kepada para pendahulu kita karena perkembangan intelektual kita. Ini disebabkan merekalah para perintis sains; atau mereka berbuat untuk menjaga buah penelitian dan upaya ilmiah mereka sendiri dan yang lainnya menyampaikannya kepada kita. Sebab itu, kita harns berterima kasih kepada dan menghargai mereka serta karya-karya mereka. Dalam bukunya Alpha Minor, Aristoteles mengatakan:

Rantai sebab-akibat pastinya memiliki titik awal. Pada titik ini, kita mesti memiliki sesuatu yang merupakan sebab tanpa merupakan akibat dari sebab lain.

Dalam buku ketiganya, Beta, Aristoteles membahas pandangan-pandangan yang berlawanan dengan idenya sendiri.

Dalam buku keempatnya, Gamma, ia memberi kita argumen-argumen logis yang dibutuhkan untuk diskusi ini. Khususnya mendiskusikan pertentangan tersebut secara terperinci.

Dalam buku kelimanya, Delta, ia menguraikan makna istilah yang digunakan dalam diskusi yang mengikutinya sehingga tiada lagi kesalahpahaman menyangkut makna setiap istilah khusus, dan tiada lain apa yang dimaksudnya harus dipahami oleh mereka.

Dalam buku keenam metafisikanya, Epsilon, Aristoteles mendiskusikan wujud aktual, wujud mental, dan wujud aksidental. Sementara dalam buku ketujuh dan kedelapan, ia membahas masalah-masalah seperti substansi, aksiden, prinsip-prinsip, dan makna data-data substansi.

Dalam buku kesembilannya, Theta, ia membahas masalah-masalah seperti unitas dan multiplisitas serta problem-problem yang terkait dengan itu semua.

Dalam buku kesepuluh, ia menjawab persoalan tentang gerakan dan mendiskusikan konsep-konsep terbatas dan mutlak.

Dalam buku kesebelas, Kappa, ia menyatakan kembali beberapa bagian tertentu dari buku ketiga, keempat, dan keenam berkenaan dengan topik-topik tertentu di bidang sains-sains alami untuk menyiapkan pikiran pembaca pada diskusi utama yang disusul wacana selanjutnya, yakni, buku keduabelas.

Selanjutnya, dalam buku keduabelas, subjek kajiannya adalah prinsip pertama atau sebab dari semua sebab. Dalam buku ketigabelas dan keempatbelas, secara kritis ia menguji pandangan-pandangan para pendahulunya menyangkut prinsip-prinsip alam.

Melalui rujukan ringkas ini kepada kandungan buku keempatbelas, ini berarti bahwa di antara semua subjek yang diperhatikan oleh Aristoteles dalam buku-bukunya, satu yang paling fundamental adalah pertanyaan tentang sebab pertama semua wujud yakni Tuhan. Tuhan merupakan sumber tunggal di mana rantai panjang sebab-akibat berasal dan berawal. [10]

Sebab pertama ini adalah substansi yang tidak bisa dilihat dan sumber keberadaan dari semua substansi lain baik yang bisa dilihat maupun yang tidak. Secara berulang-ulang, Aristoteles membahas nilai dan kedudukan tinggi dari bagian filsafat yang tujuannya membahas prinsip pertama dan sebab pertama. Di satu tempat, ia menyebutnya “yang paling suci” [11] dan “semulia-mulianya ilmu.” [12]


Originologi (Penyelidikan atas Sumber Ultimat Segala Sesuatu) Problem Pokok Metafisika

Menyusul diskusi sebelumnya, kita bisa menyimpulkan bahwa problem pokok dari metafisika menurut Aristoteles dan Ibn Sina adalah menemukan asal-usul dunia. Sementara masalah lainnya bersifat tambahan (subsidiary).


Apakah Eskatologi Merupakan Iso Metafisika?

Tiada satu diskusi pun tentang eskatologi dijumpai dalam metafisika Aristoteles. Lebih jauh, dalam naskah filsafat lainnya yang diinspirasi atau didasarkan pada filsafat Aristoteles, masalah-masalah pokok menyangkut hari akhir diperlakukan dalam ranah psikologi yang bagian dari sains alam. Isu pokok ini mencakup masalah. kenonmaterian (immaterialness) dan keabadian jiwa. Masalah-masalah itu tidak disinggung dalam pasal-pasal yang membahas metafisika. Misalnya, dalam bukunya al-Syîfâ, Ibn Sina telah mendiskusikan masalah-masalah ini dalam keahlian keenam dan mengaitkannya dengan sains alam. Shadr al-Muta’allihin (Mulla Shadra, w.1360 M) dalam kata pengantarnya untuk bukunya al-Mabda’ wa al-Ma’ad (Awal dan Akhir) secara jelas menyatakan bahwa eskatologi berkaitan erat dengan “fisika” (yakni sains alam):

Aku menganggap lebih baik bahwa buku ini harus meliputi dua keahlian yang berharga yang amat mendasar, dan hasilnya adalah dua ilmu besar: pertama, teologi (Rubbubiyyat) dan substansi-substansi terpisah (mufaraqat) yang diafiliasikan kepada ontologi dan filsafat umum, yang keduanya disebut etologi. [13] Kedua, psikologi yang terkait dengan fisika (sains alam). Kedua ilmu ini merupakan landasan pengetahuan dan kearifan, dan memasabodohkan keduanya berpengaruh kepada manusia di Hari Kebangkitan. [14]

Dengan demikian, dalam pandangan Mulla Shadra juga, eskatologi tidak digolongkan kepada metafisika. Kita akan melanjutkan persoalan bagaimana pandangan ini bisa diterima. Kita akan mencurahkan bagian terpisah untuk isu ini. Kini, mari kita lanjutkan diskusi kita tentang, dan penyelidikan atas, persoalan sumber ultimat dan sebab wujud.


Referensi:

7. Ia tidak terkait dengan ketidaktepatan si penyaksi atau perhatian perceptum.
8. Yakni, kekurangan fakultas kesadaran kita dalam memahami kebenaran.
9. Aristoteles, Metaphysics, hal.3-4.
10. Aristoteles telah menyebutkan beberapa kali noktah ini. Misalnya, dalam bagian pertama dan buku pertama serta kedua juga buku keduabelas.
11. Ross (terjemahan), Metaphysics, hal.293.
12. Menyangkut masalah ini, Ibn Sina membuat pernyataan berikut dalam bukunya al-Syifâ sebagai berikut:
“... dan itu merupakan filsafat pertama yang membahas realitas yang paling universal yakni wujud dan unitas. Dan itu merupakan sebuah hikmah yang ada di dalam realitas pengetahuan tertinggi ten tang subjek yang paling berbobot. Ini disebabkan pengetahuan tersebut merupakan bentuk pengetahuan yang paling berharga.
Adalah jelas pengetahuan yang paling mulia dari segala sesuatu adalah (pengetahuan tentang) Tuhan dan sebab-sebab sekunder dari Zat Ilahi (Divine Essence). Oleh sebab itu, sesungguhnya ini merupakan pengetahuan mengenai sebab yang paling fundamental dari eksistensi dunia dan pengetahuan Tuhan. Dan cara di mana ilmu ketuhanan didefinisikan, yakni: pengetahuan tentang realitas-realitas yang eksistensinya terlepas dari materi, yang sesuai dengannya” (Al-Syifâ, Ketuhanan, 10 dan 11).
Di tempat lain ia mengatakan:
“... ilmu ini disebut juga ‘ilmu ketuhanan’ lantaran hasil akhir dari pengetahuan ini adalah pengetahuan tentang Yang Mahakuasa... dengan demikian tampak jelas bahwa ilmu ini adalah tingkat ilmu yang paling tinggi dan sempuma dan tujuan fundamentalnya ialah meraih pengetahuan suatu wujud yang sepenuhnya terpisah dari alam.” (Al-Syifâ, Ketuhanan, 15 dan 16).
13. Versi Arab dari teologi bermakna “pengetahuan tentang Tuhan” atau “pengetahuan yang dikaitkan dengan Tuhan (lâhut).”
14. Mulla Shadra, Al-Mabda' wa al-Ma'ad, hal.4.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: