Pesan Rahbar

Home » » Tahlilan: Tradisi Islam dan Tidak Syirik. Tahlilan, Menurut Wahabi Berasal dari Kitab Hindu, Menurut Umat Islam Tidak

Tahlilan: Tradisi Islam dan Tidak Syirik. Tahlilan, Menurut Wahabi Berasal dari Kitab Hindu, Menurut Umat Islam Tidak

Written By Unknown on Thursday 21 July 2016 | 03:05:00


Kebencian yang ada didalam hati dan dada segelintir umat Islam terhadap amaliyah umat Islam seperti Tahlilan mengantarkan mereka pada perbuatan yang sangat buruk dan keji. Diantaranya menuduh Tahlilan sebagai ajaran Hindu sebagaimana disebarkan disosial media dan situs milik orang-orang Wahhabi.

Biasanya orang-orang Wahabi -umumnya orang-orang yang tidak membidangi ilmu-ilmu keislaman- dengan pemikiran sempitnya menuduh Tahlilan sebagai ajaran Hindu dengan membawa ‘dalil’ dari salah satu kitab Hindu. Misalnya terkait waktu Tahlilan yang biasa dilakukan masyarakat. Wahabi mengutip:

“Termashurlah selamatan yang diadakan pada hari pertama, ketujuh, empat puluh, seratus dan seribu” (Kitab Manawa Dharma Sastra Weda Smerti hal. 99, 192, 193).

Membantah wahhabi yang membawakan isi kitab Hindu untuk menyerang amaliyah umat Islam sebenarnya sama saja dengan mengajari mereka tentang agama Islam dari paling dasar. Butuh waktu mengajari ilmu pada mereka, belum lagi tingkat kemampuan mencerna mereka yang berbeda-beda sehingga ada yang paham dan ada yang tidak, bahkan sulit paham.

1. Bila semisal ada kesamaan antara unsur amaliyah umat Islam dengan apa yang berlaku pada umat Hindu, maka bukan berarti umat Islam mengikuti ajaran Hindu.

Bila ada umat Islam yang berpuasa, bukan berarti umat Islam puasa meniru umat lain. Bila umat Islam berdo’a, bukan berarti umat Islam berdo’a dalam rangka mengikuti agama lain. Bila khutbah Jum’at pakai bahasa Indonesia, bukan berarti umat Islam meniru khutbah yang dilakukan umat lain (pendeta, biksu, dll). Demikian pula Umat Islam yang mengamalkan menggelar Tahlilan TIDAK dalam rangka mengikuti ajaran Hindu.

2. Umat Islam melakukan amaliyahnya dengan berdasarkan pada sumber-sumber hukum Islam. Sumber hukum Islam adalah Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Tidak menjadikan kitab Hindu sebagai sumber hukum amaliyah mereka. Sedangkan penuduh yang menjadikan kitab Hindu sebagai dalil mereka untuk menyerang umat Islam sama saja mereka telah menambah-nambah sumber hukum dalam Islam.

3. Selamatan (dalam kitab Hindu tersebut) tidak sama dengan Tahlilan atau Selamatan Kematian yang dilakukan oleh umat Islam. Perbedaan ini sangat jelas. Umat Islam bertauhid sedangkan Hindu tidak. Selamatan (yang ada dalam ajaran Hindu) juga kita tidak pernah tahu. Karena kita tidak tahu ajaran Hindu maka kita ber-amaliyah bukan meniru Hindu.

Sedangkan Tahlilan bagi umat Islam hakikatnya adalah do’a dan ihdatust tsawab (menghadiahkan pahala). Kita berkumpul dalam rangka berdzikir kepada Allah kemudian dihadiahkan kepada orang yang meninggal. Kita berdo’a dan memohon kepada Allah karena kita umat Islam, sehingga bila ada yang menuduh Tahlilan sebagai ajaran Hindu berarti mereka telah menuduh umat Islam berdo’a kepada selain Allah.

Ihdauts Tsawab (menghadiahkan pahala) bukan meniru ajaran diluar Islam (Hindu, Buddha, dll) tetapi Ihdaus Tsawab adalah murni ajaran Islam yang terang bederang. Pembahasan mengenai Ihdauts Tsawab banyak didalam kitab ulama Islam. Orang yang tidak mengetahui mengenai Ihdauts Tsawab sudah bisa dipastikan orang yang tidak pernah menyentuh kitab-kitab ulama, dan kemungkinan besar memang orang yang bodoh tulen, tidak bisa disangkal lagi, harus diakui.

4. Adakah dalam ajaran Hindu membaca bacaan Tahlilan?. Orang yang menuduh Tahlilan berasal dari Hindu itu karena mereka mendefinisikan Tahlilan hanya dengan istilah 7, 40, 100 hari dan lainnya. Sedangkan Tahlilan bagi umat Islam itu hakikatnya adalah Ihdauts Tsawab (menghadiahkan pahala) untuk orang yang meninggal dunia.

5. Oleh karena itu, dalam Tahlilan umat Islam melakukan dzikir (seperti kalimat thayyibah La Ilaha Ilallah, dll), baca al-Qur’an, baca do’a kepada Allah, baca shalawat kepada Nabi, bershadaqah dan sebagainya lalu menghadihkan kepada orang yang meninggal sambil berdo’a “Ya Allah sampaikan pahala bacaan ini kepada Fulan”. Ulama sepakat sampai kepada yang meninggal dunia. Apakah ini ada dalam ajaran Hindu?. Gunakanlah akal sehat bila tidak sakit, tetapi bila sakit, semoga cepat sembuh… !

6. Terkait dengan penentuan hari, umat Islam mendasarkannya pada kaidah-kaidah hukum Islam, bukan ajaran Hindu. Pihak penuduh kerap kali ngotot dengan tuduhannya meskipun sudah dijelaskan berulang-ulang. Mengapa ngotot? karena kebencian yang ada dalam di hati mereka.


Menentukan Hari Menurut Ulama

Perlu kembali di ingat, Tahlilan hakikatnya adalah ihdauts tsawab/ menghadiahkan pahala. Ihsauts Tsawab bisa dilakukan kapan saja, sendirian atau bersama-sama, dimana saja (rumah, masjid, mushalla, kosan, dan sebagainya). Contoh: Umat Islam yang selesai shalat sendirian, lalu kirim Fatihah, dzikir dan berdo’a untuk keluarganya yang meninggal atau umat Islam lainnya, itu juga bisa termasuk Tahlilan.

Lalu bagaimana kalau menentukan hari (waktu)?. Kaidah hukum menentukan hari ini diperbolehkan didalam Islam, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (Ahli Hadits/ Amirul Mukminin fil Hadits). Apa dasar bolehnya menentukan hari (waktu) untuk beramal kebajikan? Yaitu hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِي مَسْجِدَ قُبَاءٍ كُلَّ سَبْتٍ مَاشِيًا وَرَاكِبًا وَكَانَ عَبْدُ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَفْعَلُهُ. رواه البخاري

“Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu mendatangi Masjid Quba’ setap hari sabtu, dengan berjalan kaki dan berkendaraan.” Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu juga selalu melakukannya. (HR. al-Bukhari, [1193]).

Hadits di atas menjadi dalil bolehnya menetapkan waktu-waktu tertentu secara rutin untuk melakukan ibadah dan kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan hari Sabtu sebagai hari kunjungan beliau ke Masjid Quba’. Beliau tidak menjelaskan bahwa penetapan tersebut, karena hari Sabtu memiliki keutamaan tertentu dibandingkan dengan hari-hari yang lain. Berarti menetapkan waktu tertentu untuk kebaikan, hukumnya boleh berdasarkan hadits tersebut. Karena itu al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata:

وفي هذا الحديث على اختلاف طرقه دلالة على جواز تخصيص بعض الأيام ببعض الأعمال الصالحه والمداومه على ذلك وفيه أن النهي عن شد الرحال لغير المساجد الثلاثه ليس على التحريم

“Hadits ini, dengan jalur-jalurnya yang berbeda, mengandung dalil bolehnya menentukan sebagian hari, dengan sebagian amal saleh dan melakukannya secara rutin. Hadits ini juga mengandung dalil, bahwa larangan berziarah ke selain Masjid yang tiga, bukan larangan yang diharamkan.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, Fath al-Bari, juz 3 hlm 69).

Ibnu Hajar al-Asqalani terkait hadits al-Bukhari (1149), Muslim (6274) tentang sahabat Bilal bin Rabah juga memberikan penjelasan sebagai berikut:

ويستفاد منه جواز الاجتهاد في توقيت العبادة لأن بلالا توصل إلى ما ذكرنا بالاستنباط فصوبه النبي صلى الله عليه و سلم

“Dari hadits tersebut dapat diambil faedah, bolehnya berijtihad dalam menetapkan waktu ibadah. Karena sahabat Bilal mencapai derajat yang telah disebutkan berdasarkan istinbath (ijtihad), lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membenarkannya.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, Fath al-Bari, juz 3 hlm 34).

Itulah yang umat Islam jadikan dasar menentukan hari untuk ber-amal kebajikan seperti Tahlilan, kajian Islam, dan sebagainya, bukan kitab agama lain. Umat Islam tidak menjadikan kitab agama lain sebagai dasar amaliyah mereka. Mengapa umat Islam tahu tentang bolehnya menentukan hari untuk beramal kebajikan? Karena mereka belajar Islam dari ulama yang tepat.
______________________________________

Tahlilan: Tradisi Islam Indonesia Berbasis Tauhid


Tahlilan, adalah sebuah tradisi yang berupa kumpul-kumpul antar warga untuk membaca do’a, yang biasa dilakukan pada saat ada anggota warga yang kesusahan karena ada keluarganya yang meninggal, atau untuk memperingati meninggalnya seseorang. Tahlilan merupakan tradisi khas muslim Indonesia. Dalam acara kumpul-kumpul ini diisi dengan membaca ayat-ayat al-Qur’an dan kalimah thayyibah, mulai dengan bacaan surat al-ikhlash, al-muawwidzatain, ayat kursi, bacaan shlawat, tahlil, tasbih, dan istighfar. Urutan bacaan telah disusun sedemikian rupa sehingga sudah sedemikian mentradisi. Jika ada varian bacaan di sana sini, perbedaan tersebut tidak terlalu jauh.

Mencermati fenomena tradisi tahlilan, kurang tepat jika hanya dilihat secara hitam putih apakah tradisi itu boleh atau tidak boleh. Lebih-lebih jika logikanya terlampau disederhanakan bahwa karena tradisi seperti ini tidak pernah ada di masa Nabi Muhammad Saw, lalu dihukumi sebagai praktik bid’ah yang sesat dan haram. Kemudian dijustifikasi dengan dalil-dalil yang dimaknai secara tekstual bahwa setiap yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan adalah neraka.

Lalu, untuk memantapkan argumen menolak tradisi tahlililan, maka dipaksa mengasosiasikannya dengan tradisi genduri dalam agama Hindu. Dengan agak melecehkan, tradisi tahlilan yang berisikan membaca ayat al-Qur’an dan kalimah thayyibah, disamakan dengan pujian terhadap dewa-dewa. Jika setiap praktik tradisi yang tidak ada di masa Nabi Muhammad Saw kesemuanya harus dihukumi sebagai bid’ah yang sesat yang harus ditinggalkan, niscaya Islam akan hanya berisi tradisi kuno karena setiap hal baru harus disingkirkan, padahal kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan dengan tradisi. Tradisi akan terus berkembang dan mengalami modifikasi seiring dengan perkembangan sosial budaya masyarakat.

Pada kenyataannya. Islam bukanlah bolduser yang akan membrangus terhadap semua budaya dan tradisi yang berkembang di masyarakat. Hanya budaya dan tradisi yang salah saja yang akan dihilangkan oleh Islam. Dalam hal ini para ulama telah merumuskan kaidah fiqhiyyah “al-âdat al-muhakkamah mâ lam tukhâlif al-syar’a”.

Banyak contoh tradisi yang lahir kemudian, yang sebelumnya tidak pernah ada, baik yang muncul murni dari tradisi masyarakat Islam, atau berasal dari tradisi di luar Islam, tetapi telah diislamkan (mengalami Islamisasi). Contohnya, Musabaqah Tilawat al- Qur’an (MTQ) yang terus mengalami perkembangan dan inovasi, adalah sebuah fenomena yang sekarang ini sudah menjadi tradisi di negara-negara Muslim. Fenomena MTQ ini jelas tidak ada di masa nabi Muhammad Saw.

Contoh lain, di berbagai wilayah negara-negara Muslim telah berkembang berbagai macam tradisi yang berbeda-beda yang telah menjadi bagian hazanah tradisi Islam, seperti tradisi menyambut Ramadhan, tradisi silaturrahim idul fitri (tradisi unjung-unjung), tradisi i’tikaf di masjid-masijid bersejarah ketika sepuluh hari terakhir di bulam Ramadhan yang masing-masing daerah mempunyai variasi cara melakukannya, tradisi semaan al-Qur’an, tradisi aqiqah yang dilakukan dengan berkumpul membaca maulid, dan lain sebagainya.

Islam mengandung seperangkat nilai dan norma yang disebut syari’at Islam, yang merupakan tolok ukur untuk menilai sesuatu apakah baik atau tidak baik, boleh atau tidak boleh. Dengan adanya syari’at sebagai tolok ukurnya, Islam berkembang ke berbagai penjuru dan berinteraksi dengan berbagai peradaban lain di luar Islam. Islam telah telah berartikulasi dengan berbagai kondisi di berbagai wilayah dengan karakter yang berbeda-beda. Dengan kemampuan artikulasinya itu Islam telah mampu mensintesis budaya baru yang khas di masing-masing daerah sehingga menjadi bagian dari budaya masyarakat Islam setempat. Budaya itu diterima oleh masyarakat setempat sebagai bagian dari kehidupannya tanpa adanya perlawanan.

Budaya baru inilah yang melahirkan tradisi yang bisa saja tradisi itu memang baru sama sekali atau tradisi itu sudah ada tapi diperbaharui. Dalam sejarah, Islam telah berhasil membangun peradaban yang besar dan mencapai kejayaannya selama berabad-abad yang sampai saat ini masih meninggalkan bekas-bekas kejayaan itu. Dalam proses kelahiran peradaban itu tidak lepas dari adanya asimilasi dan sintesis budaya. Proses asimilasi dan sintesis budaya baru inilah kalau meminjam bahasa Prof. Naquib al-Attas disebut sebagai Islamisasi.

Beberapa ajaran Islam pun dari aspek tradisinya dalam beberapa hal ada kemiripan dengan tradisi pra Islam. Ibadah haji misalnya mempunyai kemiripan dengan tradisi ziarah ke baitullah yang sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Arab pra Islam., masyarakat Arab pra Islam di jaman jahiliah telah mewarisi tradisi berhaji kebaitullah dari Nabi Ibrahim as. Namun kemudian, ibadah haji yang berasal dari ajaran Nabi Ibrahim as ini mengalami pergeseran yang pada akhirnya tercampur dengan tradisi berbau syirik. Ketika Islam datang tradisi ziarah tidak dilenyapkan, tetapi aspek kesyirikan dalam tradisi jahiliyah dihilangkan sama sekali. Dengan syari’at ibadah haji, masyarakat Arab masih tetap mengamalkan tradisi ziarah ke batullah, namun isi kegiatannya berbeda sama sekali. Maka tidak bisa dikatakan bahwa ibadah haji adalah mewarisi tradisi Arab jahiliyah.

Ajaran menghormati bulan-bulan haram pun telah menjadi tradisi bagi masyarakat Arab pra Islam. Mereka telah mengenal adanya keempat bulan yang diharamkan perbuatan zalim tersebut. Bulan Dzulqa’dah adalah bulan ketika orang-orang mulai bersiap untuk berangkat ziarah ke baitullah. Bulan Dzulhijjah adalah waktu pelaksanaan ziarah itu sendiri. Bulan Muharram merupakan bulan para peziarah kembali kekampung dan komunitas mereka masing-masing. Sedangkan bulan Rajab adalah pertengahan tahun waktu orang berkesempatan ziarah atau umrah. Atas dasar inilah, pada empat bulan itu tidak pantas terjadi kezaliman ataupun huru-hara. Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw tidak melenyapkan tradisi ini, bahkan menegaskan kembali tradisi yang telah berjalan ini. Dalam surat al-Baqarah [2] ayat 217 Allah Swt berfirman:

Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan (haram) adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.

Bagaimana dengan tradisi kumpul-kumpul yang disebut dengan tahlilan? Masyarakat Nusantara pra kedatangan Islam telah mengenal tradisi kumpul-kumpul untuk berbela sungkawa para tetangga mereka yang sedang kesusahan karena ditinggal mati keluarganya. Mungkin ketika berkumpul mereka juga membaca mantra-mantra sebagai do’a. Para da’i yang menjadi juru da’wah ketika itu diantaranya para wali, tidak serta merta melenyapkan atau mebrangus tradisi seperti ini. Di dalam ajaran Islam sendiri tradisi ini ada kemiripan dengan ajaran untuk ta’ziyah (berbele sungkawa terhadap yang kesusahan).

Maka tradisi kumpul-kumpulnya tetap dipelihara, namun isinya diubah. Bacaan-bacaan mantra dan persembahan untuk para leluhur dan dewa-dewa dihilangkan sama sekali diganti dengan bacaan ayat al-Qur’an dan kalimah thayyibah. Lalu dipilihnya nama yang pas untuk tradisi ini yaitu tahlilan. Penyebutan nama tahlilan untuk acara ini bukan tanpa sengaja. Acara ini tidak dinama fatihaah (patikahan) padalah di dalamnya dibaca surat al-Fatihah, atau ayat kursian karena di dalamnya juga dibacakan ayat kursi, atau istighfaran karena dibaca pula istighfar, atau shalawatan (slawatan), padalah di dalanya juga dibaca shalawat. Kata tahlilan diambil dari kata tahlil yak’ni bacaan kalimah tauhid “laa ilaaha illa Allah”. Bacaan ini merupakan salah satu saja dari sekian bacaan yang dibaca pada tradisi tahlilan. Tapi kemudian nama bacaan ini yang dipilih sebagai nama dari tradisi ini sehingga menjadi tahlilan. Hal ini menunjukkan bahwa tauhid menjadi ruh dari tradisi ini. Kalimah tauhid yang dalam al-Qur’an disebut dengan kalimah sawa’ menjadi intisari dari tradisi tahlilan.

Para da’i yang menyebarkan Islam di Nusantara ini memang sangat bijak dalam menyikapi tradisi yang berkembang di masyarakat. Tidak semua tradisi yang berkembang di masyarakat dihapuskan. Bahkan beberapa tradisi telah diubah sedemikian rupa untuk selanjutnya digunakan sebagai media da’wah. Contoh yang paling sering disampaikan adalah wayang. Masyarakat Nusantara pra kedatangan Islam telah mengenal kisah-kisah dalam pewayangan karena kisah-kisah ini awalnya bersumber dari buku Mahabarata yang konon ditulis oleh resi Byasa dan buku Ramayana yang ditulis oleh resi Walmiki. Masyarakat yang bercorak Hindu sangat menyukai kisah-kisah ini dan kisah-kisah ini mereka gunakan sebagai sarana untuk menyampaikan pesan-pesan moral seperti kejujuran, kesetiakawanan, menepati janji, dan sebagainya.

Dalam sejarah perkembangan agama Hindu di Indonesia, kisah ini disadur kembali oleh pujangga Hindu Nusantara seperti Empu Sedah yang menulis buku Baratayuda dan Empu Kanwa yang menulis buku Arjunawiwaha. Para wali yang menjadi da’i di Nusantara sangat memahami karakter masyarakat ini sehingga mereka tidak melenyapkan semua kisah yang ada dalam Mahabarata. Tokoh-tokoh dalam kisah Mahabarata seperti Pandawa serta keluarganya dan juga Kurawa tetap dipertahankan, namun kisahnya dimodifikasi. Aspek kepahlwanan dari tokoh-tokohnya tetap dipertahankan, namun nuansa Hindunya yang dihilangkan dan kemudian ditampilkan tokoh baru. Sebagai contoh Gatut Kaca putra Bima atau Wrekudara ditampilkan menjadi tokoh sakti yang mempunyai mantra yang disebut Kalimasada yakni kalimah tauhid atau kalimah syahadat. Kembelai lagi tauhid menjadi inti dari da’wah mereka.

Inilah yang menyebabkan Islam di Indonesia tidak mudah dilenyapkan meskipun negeri ini pernah dikuasai penjajah yang beragama Nasrani selama 350 tahun lebih, karena tradisi Islam telah menyatu dengan tradisi masyarakat Nusantara. Hal ini sangat berbeda dengan kasus yang terjadi di Spanyol misalnya yang pernah dikuasai oleh Bani Umayyah, atau yang lebih dekat pagi Pilipina yang sebenarnya juga pernah dikuasai oleh pemerintah Islam, namun sekarang bekas-bekas tradisi itu hampir tidak ada.

Pertanyaan yang sering disodorkan adalah apakah tradisi seperti tahlilan tidak termasuk perbuatan menciptakan syari’at baru. Tidak ada perbedaan di kalangan para ulama bahwa merubah tata cara ibadah yang telah diajarkan tata caranya oleh Rasulullah Saw secara rinci, merupakan perbuatan bid’ah yang terlarang dan termasuk perbuatan yang tertolak. Sebagai contoh, ibadah shalat harus dikerjakan apa adanya sebagaimana Nabi Saw mengajari tata cara shalat. Maka menciptakan tata cara shalat sendiri seperti shalat dengan dua bahasa adalah perbuatan yang tercela.

Di sisi lain terdapat banyak aktivitas yang termasuk ibadah, namun tidak ditunjukkan kaifiyah (tata cara) nya secara rinci kecuali hanya kriteria umum saja. Ta’ziah kepada tetangga yang kesusahan adalah perbuatan yang diajarkan oleh syari’at, menjalankannya termasuk ibadah. Bagaimana tata caranya tidak disampaikan secara rinci kecuali hanya bersifat umum saja.

Demikian pula membaca al-Qur’an, berdo’a, membaca shalawat, dan membaca kalima thayyibah adalah termasuk ibadah yang tidak dijelaskan tata caranya secara rinci. Mentradisikan kegiatan yang berkaitan dengan hal ini, misalnya tradisi seman al-Qur’an berkeliling, tradisi perayaan hari besar Islam dan juga tahlilan, tidaklah termasuk sebagai tradisi yang tercela yang dilarang, sekalipun tidak dilakukan di masa Nabi Saw dan para sahabatnya dan tidak bisa disebut bertentangan dengan ajaran Nabi Saw.

Dalam suatu riwayat yang dikumpulkan oleh Imam al-Nasa’i dan Ibnu Sunni dan dikutip oleh Imam al-Nawani dalam al-Adzkar berasal dari Sa’ad bin Abi Waqas diceritakan bahwa seorang laki-laki shalat berjama’ah di belakang Rasulullah Saw. Ketika sampai di shaf, laki-laki itu berdo’a: “Allahumma aatinii afdhala maa tu’tii ibaadaka al-shaalihiin” (Ya Allah berilah aku apa yang terbaik dari yang Engkau berikan kepada hamba-hamba-Mu yang shalih). Seusai shalat Rasulullah Saw tidak memarahi laku-laki itu karena melakukan amalan yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah sendiri. Rasulullah juga tidak menegurnya, misalnya dengan kalimat: “hai kenapa kalian melakukan amalan yang tidak aku ajarkan”.

Andai saja ini perbuatan tercela niscaya Nabi Saw akan menegurnya karena dalam riwayat lain Nabi Saw telah bersabda: “Man ahdatsa fii amrinaa hadzaa maa laisa minhu fahuwa raddun” (Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (berasal) darinya, maka dia tertolak). Yang terjadi malah sebaliknya. Rasulullah memberi apresiasi pada laki-laki itu dan mendoakannya: “jika demikian kudamu akan disembelih dan kamu mati syahid di jalan Allah”. Wallahu a’lam bis shawab

(Muslimedia-News/Inpas-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: