Pesan Rahbar

Home » » 19 Poin Salafi Obyek-Obyek Isu Kesesatan Syiah, Gencar memfitnah Syi’ah… Tapi semua tuduhan mereka mampu kami patahkan

19 Poin Salafi Obyek-Obyek Isu Kesesatan Syiah, Gencar memfitnah Syi’ah… Tapi semua tuduhan mereka mampu kami patahkan

Written By Unknown on Tuesday, 31 March 2015 | 04:25:00

Televisi Wahabi

Ada beberapa poin yang sering dituduhkan para pembenci Syiah untuk memprovokasi kaum muslimin agar turut mengikuti langkah mereka dengan menyebarkan fitnah-fitnah terhadap Syiah.


Obyek-Obyek Isu Kesesatan Syiah.

Ada beberapa poin yang sering dituduhkan para pembenci Syiah untuk memprovokasi kaum muslimin agar turut mengikuti langkah mereka dengan menyebarkan fitnah-fitnah terhadap Syiah. Di sini, kita akan sebutkan beberapa obyek yang sering dijadikan bahan untuk penyesatan Syiah besrta jawaban ringkasnya;

1. Syiah menyelewengkan al-Qur’an

Ulama Syiah dari dulu hingga sekarang menolak pendapat tentang berlaku penyelewengan dalam bentuk seperti berlaku perubahan/tahrif, lebih atau kurangnya ayat-ayat Qur’an sama ada dari kitab-kitab Syiah atau Ahlul Sunnah.

Mereka berpendapat jika hujah berlakunya perubahan ayat-ayat Qur an diterima maka Hadith sohih Nabi Muhammad SAW yang bermaksud, ” Aku tinggalkan kamu dua perkara supaya kamu tidak akan sesat selama-lamanya iaitu al-Qur an dan Sunnah/Ahl Bayt,” tidak boleh dipakai lagi kerana al-Qur an yang diwasiatkan oleh Nabi SAW untuk umat Islam sudah berubah dari yang asal sedangkan Syiah sangat memberatkan dua wasiat penting itu dalam ajaran mereka.Lagi pun Hadith-hadith yang diriwayatkan dalam kitab-kitab Syiah berkaitan dengan tahrif keatas al-Qur an yang berjumlah kira-kira 300 itu adalah Hadith-hadith dhaif. Begitu juga dalam kitab-kitab Sunnah seperti Sahih Bukhari turut menyebut tentang beberapa Hadith tentang perubahan ayat-ayat Qur an misalnya tentang ayat rejam yang dinyatakan oleh Umar al-Khattab, perbedaan ayat dalam Surah al-Lail dan sebagainya. Bukahkah Allah SWT telah berfirman dalam al-Qur’an (Surah 15:9),: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Zikr (al-Qur’an), dan sesungguhnya Kami memeliharanya.” Sekiranya seseorang itu menerima pendapat bahawa al-Qur’an telah diselewengkan oleh sesuatu golongan maka di sisi lain orang ini sebenarnya telah menyangkal kebenaran ayat di atas. Oleh itu semua pendapat tentang kemungkinan berlakunya tahrif dalam ayat-ayat Qur an sama ada dari Syiah atau Sunnah wajib ditolak sama sekali.

Imam Ja’far al-Sadiq AS meriwayatkan sebuah Hadith dari datuknya Rasulullah SAW: “Setiap Hadith yang kamu terima dan bersesuaian dengan Kitab Allah tidak diragukan datangnya dari aku dan Hadith-hadith yang kamu terima yang bertentangan dengan Kitab Allah, sesungguhnya bukan datang dariku.” [Al-Kulaini, al-Kafi, Jilid I, Hadith 205-5].

2. Nikah Mut’ah

Berhubung dengan isu hangat yaitu Nikah Mut’ah yang dikaitkan dengan zina, pendapat ini menimbulkan kemusykilan yang amat sangat. Ini karena menyamakan Mut’ah Nikah dengan zina membawa maksud seolah-olah Nabi Muhammad SAW pernah menghalalkan zina dalam keadaan-keadaan darurat seperti perang Khaibar dan pembukaan kota Mekah. Pendapat ini tidak boleh diterima karena perzinaan memang telah diharamkan sejak awal Islam dan tidak ada rokhsah dalam isu zina.

Sejarah menunjukkan bahwa Abdullah bin Abbas diriwayatkan pernah membolehan Nikah Mut’ah tetapi kemudian menarik balik fatwanya di zaman selepas zaman Nabi Muhammad SAW.

Kalau mut’ah telah diharamkan pada zaman Nabi SAW apakah mungkin Abdullah bin Abbas membolehkannya?

Sekiranya beliau tidak tahu [mungkinkah beliau tidak tahu?] tentang hukum haramnya mut’ah apakah mungkin beliau berani menghalalkannya pada waktu itu?

Fatwa Abdullah bin Abbas juga menimbulkan tanda tanya karena tidak mungkin beliau berani membolehkan zina [mut’ah] dalam keadaan darurat seperti makan bangkai, darah dan daging babi kerana zina [mut’ah] tidak ada rokhsah sama sekali walaupun seseorang itu akan mati jika tidak melakukan jimak. Sebaliknya Abdullah menyandarkan pengharaman mut’ah kepada Umar al-Khattab seperti tercatat dalam tafsir al-Qurtubi meriiwayatkan Abdullah bin Abbas berkata, ” Sekiranya Umar tidak mengharamkan mut’ah nescaya tidak akan ada orang yang berzina kecuali orang yang benar-benar jahat.” (Lihat tafsiran surah al-Nisa: 24).

Begitu juga pengakuan sahabat Nabi SAW yaitu Jabir bin Abdullah dalam riwayat Sohih Muslim, ” Kami para sahabat di zaman Nabi SAW dan di zaman Abu Bakar melakukan mut’ah dengan segenggam korma dan tepung sebagai maharnya, kemudian Umar mengharamkannya karena Amr bin khuraits.”

Jelaslah mut’ah telah diamalkan oleh para sahabat Nabi Muhammad SAW selepas zaman Rasulullah SAW wafat. Oleh itu hadith-hadith yang meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW telah mengharamkan mut’ah nikah sebelum baginda wafat adalah hadith-hadith dhaif.

Dua riwayat yang dianggap kuat oleh ulama Ahlul Sunnah yaitu riwayat yang mengatakan nikah mut’ah telah dihapuskan pada saat Perang Khaibar dan pembukaan kota Mekah sebenarnya hadith-hadith yang dhaif. Riwayat yang mengaitkan pengharaman mut’ah nikah pada ketika Perang Khaibar lemah karena seperti menurut Ibn al-Qayyim ketika itu di Khaibar tidak terdapat wanita-wanita muslimah yang dapat dikawini. Wanita-wanita Yahudi (Ahlul Kitab) ketika itu belum ada izin untuk dikawini. Izin untuk mengahwini Ahlul Kitab seperti tersebut dalam Surah al-Maidah terjadi selepas Perang Khaibar. Tambahan pula kaum muslimin tidak berminat untuk mengawini wanita Yahudi ketika itu karena mereka adalah musuh mereka.

Riwayat kedua diriwayatkan oleh Sabirah yang menjelaskan bahwa nikah mut’ah diharamkan saat dibukanya kota Mekah (Sahih Muslim bab Nikah Mut’ah) hanya diriwayatkan oleh Sabirah dan keluarganya saja tetapi kenapa para sahabat yang lain tidak meriwayatkannya seperti Jabir bin Abdullah, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud?

Sekiranya kita menerima pengharaman nikah mut’ah di Khaibar, ini bermakna mut’ah telah diharamkan di Khaibar dan kemudian diharuskan pada peristiwa pembukaan Mekah dan kemudian diharamkan sekali lagi. Ada pendapat mengatakan nikah mut’ah telah dihalalkan 7 kali dan diharamkan 7 kali sehingga timbul pula golongan yang berpendapat mut’ah nikah telah diharamkan secara bertahap seperti pengharaman arak dalam al-Qur’an tetapi mereka lupa bahwa tidak ada ayat Qur’an yang menyebutkan pengharaman mut’ah secara bertahap seperti itu. Ini hanyalah dugaan semata-mata.

Yang jelas nikah mut’ah dihalalkan dalam al-Qur’an surah al-Nisa: 24 dan ayat ini tidak pernah dimansuhkan sama sekali. Al-Bukhari meriwayatkan dari Imran bin Hushain: “Setelah turunnya ayat mut’ah, tidak ada ayat lain yang menghapuskan ayat itu. Kemudian Rasulullah SAW pernah memerintahkan kita untuk melakukan perkara itu dan kita melakukannya semasa beliau masih hidup. Dan pada saat beliau meninggal, kita tidak pernah mendengar adanya larangan dari beliau SAW tetapi kemudian ada seseorang yang berpendapat menurut kehendaknya sendiri.”.

Orang yang dimaksudkan ialah Umar. Walau bagaimanapun Bukhari telah memasukkan hadith ini dalam bab haji tamattu.

Pendapat Imam Ali AS adalah jelas tentang harusnya nikah muta’ah dan pengharaman mut’ah dinisbahkan kepada Umar seperti yang diriwayatkan dalam tafsir al-Tabari: “Kalau bukan kerana Umar melarang nikah mut’ah maka tidak akan ada orang yang berzina kecuali orang yang benar-benar celaka.”

Sanadnya sahih. Justeru itu Abdullah bin Abbas telah memasukkan tafsiran (Ila Ajalin Mussama) selepas ayat 24 Surah al-Nisa bagi menjelaskan maksud ayat tersebut adalah ayat mut’ah (lihat juga Syed Sobiq bab nikah mut’ah).

Pengakuan Umar yang menisbahkan pengharaman mut’ah kepada dirinya sendiri bukan kepada Nabi SAW cukup jelas bahawa nikah mut’ah halal pada zaman Nabi SAW seperti yang tercatat dalam Sunan Baihaqi, ” Dua jenis mut’ah yang dihalalkan di zaman Nabi SAW aku haramkan sekarang dan aku akan dera siapa yang melakukan kedua jenis mut’ah tersebut. Pertama nikah mut’ah dan kedua haji tamattu”.

Perlulah diingatkan bahwa keharusan nikah mut’ah yang diamalkan oleh Mazhab Syiah bukan bermaksud semua orang wajib melakukan nikah mut’ah seperti juga kehalalan kawin empat bukan bermaksud semua orang wajib kawin empat. Penyelewengan yang berlaku pada amalan nikah mut’ah dan kawin empat bukan disebabkan hukum Allah SWT itu lemah tetapi disebabkan oleh kejahilan seseorang itu dan kelemahan akhlaknya sebagai seorang Islam. Persoalannya jika nikah mut’ah sama dengan zina, apakah bentuk mut’ah yang diamalkan oleh para sahabat pada zaman Nabi Muhammad SAW dan zaman khalifah Abu Bakar? [catatan: Nikah muta’ah memang tidak sama dengan zina].

3. Syiah Kafir?

Dakwaan Syiah golongan kafir menimbulkan kemusykilan kerana pada setiap tahun orang-orang Syiah mengerjakan ibadat haji misalnya pada tahun 1996, 70,000 jemaah haji Iran mengerjakan haji. Oleh itu bagaimanakah boleh terjadi orang kafir (Syiah?) dibenarkan memasuki Masjidil Haram sedangkan al-Qur’an mengharamkan orang kafir memasuki Masjidil Haram?

4. Syiah Yahudi?

Dakwaan Syiah adalah hasil ajaran Yahudi dan Nasrani juga tidak dapat diterima oleh akal yang sehat. Sebagai contoh, pada masa ini pejuang Hizbollah (Syiah) berperang dengan Yahudi di Lebanon. Banyak yang gugur syahid. Semua orang tahu Israel memang takut dengan pejuang Hizbollah sebab itu mereka sengaja mengebom markas PBB pada tahun 1996 untuk menarik negara-negara barat mencari jalan menghentikan peperangan dengan Hizbollah itu. Fakta Abdullah bin Saba yang dikatakan penggagas ajaran Syiah adalah kisah khayalan saja. Cerita Abdullah bin Saba hanya dikutip oleh ahli-ahli sejarah seperti al-Tabari dari seorang penulis khayalan yang bernama Saif bin Umar al-Tamimi yang ditulis pada zaman Harun al-Rasyid. Jika seseorang itu meneliti hadith-hadith tentang kelebihan Ali atau hadith tentang Ali sebagai wasyi selepas Rasulullah SAW yang dikatakan ajaran Abdullah bin Saba – sebenarnya tidak terdapat riwayat yang mengutip dari Abdullah bin Saba. Sebaliknya banyak hadith-hadith tentang kelebihan Ali datangnya dari Rasulullah SAW. Umar bin al-Khattab pula sewaktu mendengar berita kewafatan Rasulullah SAW enggan mempercayai kewafatan Rasulullah SAW tetapi Umar percaya Rasulullah SAW tidak wafat sebaliknya baginda SAW pergi menemui TuhanNya seperti yang berlaku kepada Nabi Musa AS menghadap Tuhan selama 40 hari dan hidup selepas itu. Menurut Umar Rasulullah SAW hanya naik ke langit. Lihat Tabari, Tarikh al-Muluk wal Umman, Jilid III,halaman 198]. Kisah seperti ini tidak ada dalam catatan Hadith-hadith Nabi SAW tetapi mengapakah kita tidak menuduh Umar terpengaruh ajaran Yahudi?

5. Syiah memaksumkan imam-imam mereka

Mereka berhujah dengan ayat Quran 33:33: “Sesungguhnya Allah hendak mengeluarkan dari kalian kekotoran [rijsa] wahai Ahlul Bayt dan menyucikan kalian sebersih-bersihnya.”.

Istilah Ahlul Bayt menurut Hadith Rasulullah SAW merujuk kepada lima orang iaitu Rasulullah SAW, Fatimah, Ali, Hassan dan Husayn seperti yang diriwayatkan dalam Sohih Muslim. Perkataan rijsa [kekotoran] sudah tentu bukan kotor dari segi lain seperti najis dan sebagainya tetapi merujuk kepada dosa-dosa dan apabila Allah ‘hendak secara berterusan’ [yuridu] menyucikan mereka sebersih-bersihnya tidak boleh diragukan lagi ia merujuk kepada penyucian total dari semua dosa yang dalam istilah lain bermaksud mereka adalah maksum.

Tambahan pula banyak ayat-ayat Qur’an yang menjelaskan perintah Allah SWT supaya manusia berbuat ma’ruf dan meninggalkan perbuatan dosa. Apabila Allah SWT memerintah manusia berbuat ma’ruf dan meninggalkan dosa sudah tentu Allah SWT tahu bahwa manusia itu memang mampu meninggalkan dosa kerana Allah SWT tidak akan membebankan manusia dengan suatu perintah yang manusia tidak mampu buat.

Oleh itu sekiranya Syiah mengatakan imam mereka maksum yaitu tidak berbuat dosa serta Allah SWT memelihara mereka daripada perbuatan dosa berdasarkan Surah 33:33 itu, adakah ia bertentangan dengan al-Qur’an? Adakah mereka yang tidak maksum layak menduduki maqam Imam ummah?

6. Syiah didakwa mengkafirkan para sahabat Nabi SAW

Syiah mendiskreditkan sahabat-sahabat “besar” Nabi SAW seperti Abu Bakar dan Umar. Abu Bakar adalah sahabat Nabi Muhammad SAW dalam gua ketika peristiwa hijrah dan merupakan khalifah yang pertama. Begitu juga Umar al-Khattab adalah sahabat Nabi SAW dan khalifah kedua.

Sesiapa yang mencaci sahabat digolongkan sebagai kafir serta keluar dari Islam (Nabi SAW menyatakan siapa yang mencaci seorang muslim adalah fasiq dan membunuhnya adalah kafir [Sahih Bukhari, Jilid I Hadith 48]).[Nota: Syiah tidak mencaci sahabat-sahabat Nabi SAW tetapi menunjukkan perbuatan ‘beberapa orang’ dari mereka yang menyalahi al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW seperti yang tercatat dalam kitab-kitab sejarah dan Hadith. Mereka menilai dan mengkritik perangai setengah sahabat dengan dasar al-Qur’an dan Hadith Nabi SAW.] Dan jangan lupa! Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda bahawa terdapat sahabat yang masuk neraka seperti dalam riwayat Sahih Muslim dan Sahih Bukhari [akan dijelaskan di bawah].Istilah sahabat telah digunakan dalam al-Qur’an untuk Abu Bakar dan ini tidak serta-merta menunjukkan beliau terjamin masuk syurga dan tidak melakukan kesalahan.

Apakah kita lupa istilah sahabat juga digunakan dalam al-Qur an untuk teman Nabi Yusuf yang bukan beriman kepada Allah SWT ketika dalam penjara? Silakan baca Surah Yusuf untuk memuaskan hati kita (istilah sohibi al-Sijni digunakan=sahabatku dalam penjara [nota:beliau bukan Islam dan bersama Nabi Yusuf AS dalam penjara]). Memang Nabi Muhammad SAW mempunyai sahabat-sahabat yang baik seperti Ammar bin Yasir, Abu Dzar al-Ghifari, Salman al-Farisi dan sebagainya tetapi di Madinah juga ada golongan munafiq yang dipanggil “sahabat” oleh Nabi SAW seperti Abdullah bin Ubay bin Salool. Dalam Sohih Bukhari juga diriwayatkan bahawa ada segolongan “sahabat” yang bakal masuk neraka ketika berjumpa Nabi Muhammad SAW di al-Haudh. Nabi SAW memanggil mereka dengan istilah ‘ashabi’ [sahabatku].

Silakan rujuk Sahih Bukhari [Sahih Al-Bukhari, Jilid 4, hlm.94-96]; Sahih Muslim, Jilid IV, hadith 2133,2440.] Sahabat yang baik memang kita hormati , sanjungi dan ikuti tetapi sahabat yang jahat seperti Muawiyah yang menentang Imam Ali AS dan mencaci Ali AS di atas mimbar patutkah kita berdiam diri?

Bukankah pasukan Muawiyah terlibat membunuh Amar bin Yasir dalam Perang Siffin? Nabi SAW pernah menyatakan sebuah hadith dalam Sahih Bukhari menyifatkan orang yang terlibat dalam pembunuhan Amar adalah golongan pemberontak dan Rasulullah SAW bersabda [terjemahan]:…Kamu (Amar) mengajak kelompok itu menuju ke Jannah tetapi kelompok itu mengajak ke neraka.” [Sahih Bukhari, Jilid II,Hadith 462].

Al-Qur’an memerintahkan kita taat kepada Ulil Amri – pada ketika itu Imam Ali AS sebagai khalifah yang sah dan wajib ditaati. Adakah tindakan Muawiyah itu selaras dengan ajaran al-Qur’an dan tidak boleh dikritik?

Kita ikuti ‘sahabat yang baik’ dan kita tinggalkan contoh sahabat yang jauh dari ajaran al-Qur’an dan Hadith Nabi SAW. Sejarah menunjukkan bahwa seorang sahabat bernama al-Walid bin Utbah dikaitkan dengan asbabul nuzul ayat 6 Surah al-Hujurat yang menyatakan beliau seorang fasiq. Qudamah bin Maz un seorang sahabat Badar dihukum had pada zaman khalifah Umar karena minum arak seperti dalam riwayat Sahih Bukhari.

Jika ada orang yang masih teguh dengan pendirian bahawa semua sahabat adalah ‘adil maka apakah hukumnya Muawiyah mencaci Ali di atas mimbar? Apakah ijtihad Muawiyah boleh sampai mencaci Ali? Sebaliknya orang yang mengkritik Muawiyah dikatakan mencaci sahabat Nabi SAW? Jika seseorang yang menolak kekhalifahan Abu Bakar dianggap kafir, apakah pula hukumnya orang yang menolak perlantikan Ali setelah ada Hadith al-Ghadir yang menetapkan Ali AS sebagai khalifah selepas Nabi SAW wafat? Bolehkah umat Islam memilih selain dari yang telah ditetapkan oleh Rasulnya?

Alllah SWT berfirman dalam Surah Hud:113,: “Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh oleh api neraka…”

Dan banyak lagi ayat-ayat al-Qur’an yang menyuruh manusia berbuat adil, dan melarang mereka dari berbuat zalim [nota: standard “adil”atau sebaliknya adalah berpandukan Kitab Allah Azza Wa-Jalla dan tidak ada siapapun dikecualikan hatta para “sahabat” sekalipun]. Balasan Allah SWT di akhirat kelak berasaskan segala amalan manusia ketika hidup di dunia – yang baik ke syurga dan yang buruk ke neraka.

Ini bermakna istilah “sahabatku”dalam Hadith Nabi SAW tidak bermakna merujuk kepada semua sahabat [sekiranya jumlah yang hadir pada Haji Wida’ sebanyak 140,000 atau 90,000 orang] adalah adil belaka. Sahabat yang adil memang ada seperti Abu Dzar al-Ghiffari yang dinyatakan sendiri oleh Nabi Muhammad SAW [terjemahan]:”Tidaklah langit menaungi seseorang dan tidak bumi membawa seseorang yang lebih jujur daripada Abu Dzar RA.”[Sunan al-Tirmidzi, Hadith 3889]. Begitu juga terdapat segolongan sahabat yang ingkar mengikut perintah Nabi SAW terutama selepas Nabi SAW wafat dan menjadi seteru Ahlul Bayt AS [keluarga Nabi SAW] seperti yang tercatat dalam kitab-kitab sejarah. Nabi SAW bersabda seperti yang diriwayatkan dalam Sunan al-Tirmidzi, hadith 3878,[terjemahan]: “Cintailah Allah karena nikmat-nikmatNya yang diberikan kepadamu dan cintailah aku karena cinta kepada Allah dan cintailah keluargaku karena cinta kepadaku.”

Oleh sebab itu siapa yang memusuhi Ahlul Bayt AS memang menjadi musuh Rasulullah SAW dan Allah SWT. Bukankah Allah SWT telah melaknat golongan yang zalim dalam al-Qur’an? “Ingatlah, laknat Allah (ditimpakan) ke atas orang-orang yang zalim.” [Qur’an: 11: 18].

7. Syiah didakwa bukan mengikuti ajaran Ahlul Bayt Nabi SAW

Imam Ja’far al-Sadiq bukan Syiah tetapi Ahlul Sunnah. Sebaliknya semenjak kita belajar Ahlul Sunnah nama Imam Ja’far al-Sadiq tidak dikenal langsung tetapi golongan Syiah sering mengutip hadith-hadith dari beliau dalam pelbagai aspek ajaran Islam. Malahan semua sarjana fiqh bersepakat bahwa Jaafar al-Sadiq pengasas fiqh Madzhab Syiah Ja’fariyyah. Oleh itu dakwaan di atas dibuat atas dasar emosi dan tidak berasaskan akademik.

8. Syiah percaya kepada kepada al-Bada’

Tuduhan: Ilmu Allah Berubah-ubah Mengikut Sesuatu Peristiwa Yang Berlaku Kepada Manusia (al-Bada’).

Ulama Syiah tidak pernah menganggap Allah tidak mengetahui seperti tuduhan-tuduhan yang sengaja menyelewengkan maksud sebenarnya.

Al-Bada’ tidak bermaksud kejelasan yang sebelumnya samar dinisbahkan kepada Allah SWT.

Al-Bada’ yang difahami oleh ulama Syiah ialah adalah Allah berkuasa mengubah sesuatu kejadian dengan kejadian yang lain seperti nasikh dan mansukh sesuatu hukum syariah yang tercatat dalam al-Qur’an tetapi al-Bada’ menyangkut tentang sesuatu kejadian [takwini] seperti hidup dan mati dan seumpamanya.

Misalnya kisah penyembelihan Nabi Ismail AS tetapi kemudian Allah Azza Wa-Jalla menggantikannya dengan seekor kibas.

Alllah SWT berfirman dalam al-Qur’an 13:39: “Allah menghapus apa yang Ia kehendaki dan menetapkan [apa yang Ia kehendaki] dan di sisinya terdapat Umm al-Kitab [Lauh al-Mahfuzh].”

Sebuah hadith yang dipetik dari al-Kulaini dalam Kitabul Tauhid, Usul al-Kafi, hadith 373.:”Allah tidak menerbitkan [bada’] pada sesuatu melainkan ianya berada dalam ilmuNya sebelum [Allah menetapkan] berlakunya [bada’ tersebut].”

Hadith 374 menegaskan:” Sesungguhnya Allah tidak menerbitkan Bada’ dari kejahilan[Nya]“.

Syeikh al-Mufid menulis dalam bukunya Awail Maqalat: ” Apa yang saya fatwakan tentang masalah al-bada’ ialah sama dengan pendapat yang diakui oleh kaum muslimin dalam menanggapi masalah nasakh [penghapusan] dan sebagainya seperti memiskinkan kemudian membuat kaya, mematikan kemudian menghidupkan dan menambah umur dan rezeki kerana ada sesuatu perbuatan yang dilakukan. Itu semua kami kategorikan sebagai bada’ berdasarkan beberapa ayat dan nas-nas yang kami dapatkan dari para Imam.”.

9. Syiah mengamalkan taqiyah

Mereka mendakwa taqiyyah bermaksud berpura-pura dan sinonim dengan perbuatan golongan munafiq. Syeikh Muhammad Ridha al-Muzaffar menulis dalam bukunya Aqidah Syiah Imamiyyah: “Taqiyah merupkan motto Ahlul Bayt AS bermotifkan untuk melindungi agama, diri mereka dan pengikut mereka dari bencana dan pertumpahan darah, untuk memperbaiki keadaan kaum muslimin serta penyelarasan mereka, dan memulihkan ketertiban mereka.”.

Mengikut Alamah Tabatabai’ dalam bukunya Islam Syiah bahawa sumber amalan taqiyah ini merujuk juga kepada al-Qur’an seperti Surah 3:28,: “Jangan sampai orang-orang beriman menjadikan orang-orang kafir sebagai teman-teman mereka selain orang-orang beriman. Barang siapa yang melakukan hal itu maka tidak ada pertolongan dari Allah kecuali untuk menjaga diri terhadap mereka [orang-orang kafir] dengan sebaik-baiknya. Allah memperingatkan kalian [agar selalu ingat] kepadaNya. Dan kepada Allahlah kalian kembali.”

Ungkapan menjaga diri terhadap orang-orang kafir dengan sebaik-baiknya diterjemahkan dari tattaquu minhum tuqatan dan kata tattaquu dan tuqatan mempunyai akar kata yang sama dengan taqiyah.

Ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan peristiwa taqiyah Amar bin Yasir yang mencari perlindungan dengan mengaku kafir di hadapan musuh-musuh Islam iaitu dalam Surah 16:106: “…kecuali orang yang terpaksa, padahal hatinya tetap tenang dalam beriman…”.

Jelaslah bahwa taqiyah bukan membawa maksud berpura-pura seperti yang sering didakwa oleh orang yang berpura-pura berilmu pengetahuan tetapi sarat dengan kejahilan dan niat yang buruk.

10. Mengapa Syiah sujud di Tanah Karbala?

Soal mengapa pengikut Syi’ah bersujud di atas tanah Karbala tidak bertentangan dengan hukum fiqh dari semua madzhab.

Solat adalah perbuatan ibadah yang cara-caranya terikat kepada amalan Rasulullah SAW. Kaedah ini diterima oleh semua madzhab dan tidak ada yang berani mempertikaikannya atau dia akan keluar dari status “Muslim”.

Hadith Nabi SAW yang mulia menjelaskan tentang cara-cara bersujud seperti yang tercatat dalam Sahih Muslim, misalnya hadith nomor 469, [terjemahan]…. Dan di mana saja kamu berada, jika waktu solat telah tiba, maka solatlah, karena bumi ialah tempat bersujud (masjid).

Atau hadith nomor 473, [terjemahan] “….Bumi dijadikan suci bagiku [nota: misalnya debu tanah boleh digunakan untuk bertayammum] dan menjadi tempat sujud [wa ju’ilat ila-l-ardh tuhura wa-masjidan].

Dan memang orang-orang Syiah mengikut contoh Imam-imam mereka seperti Imam Ali Zainal Abidin AS dan seterusnya, yang meletakkan tanah Karbala sebagai tempat untuk bersujud.

Yang patut diingatkan bahawa Syiah tidak sujud kepada tanah Karbala. [nota: perbuatan ini tentunya syirik] tetapi di atas tanah Karbala untuk merendahkan diri di hadapan Allah SWT.Imam Ja’far al-Sadiq AS ketika ditanya perkara tersebut berkata: “….karena sujud adalah untuk merendahkan diri di hadapan Allah, oleh karena itu adalah tidak wajar seseorang itu bersujud di atas benda-benda yang dicintai oleh manusia di dunia ini.” [Wasa’il al-Syi’ah, Juzuk III, hlm.591].

Dalam hadith yang lain Imam Ja’far al-Sadiq AS menjelaskan bahwa: “Sujud di atas tanah lebih utama karena lebih sempurna dalam merendahkan diri dan penghambaan di hadapan Allah Azza Wa-Jalla.” [Al-Bihar, Juzuk, 85, hlm.154]

11. Mengapa Syiah tidak boleh menerima Madzhab Ahlul Sunnah Wal-Jama’ah?

As-Sayyid Syarafuddin al-Musawi al-’Amili seorang ulama Syi’ah dengan tegas menjelaskan: ” Bila dalam kenyataannya kami kaum Syiah tidak berpegang kepada Madzhab Asy’ari dalam hal usuluddin dan madzhab yang empat dalam cabang syari’at, maka ini sekali-kali bukan kerana kami taksub; bukan pula kerana meragukan usaha ijtihad para tokoh-tokoh madzhab tersebut.Dan juga bukan kerana kami menganggap mereka itu tidak memiliki kemampuan, kejujuran, kebersihan jiwa atau ketinggian ilmu dan amal, tetapi sebabnya ialah bahawa dalil-dalil syari’ah telah memaksa kami untuk berpegang hanya kepada madzhab Ahlul Bayt AS, ahli rumah Rasulullah SAW, pusat Nubuwwah dan Risalah, tempat persinggahan para malaikat, dan tempat turunnya wahyu al-Qur’an. Maka hanya dari merekalah kami mengambil cabang-cabang agama dan aqidahnya, usul fiqh dan kaedahnya.Pengetahuan tentang al-Qur’an dan al-Sunnah. Ilmu-ilmu akhlak, etika dan moral. Hal itu semata-mata kerana tunduk pada hasil kesimpulan dalil-dalil dan bukti-bukti. Dan sepenuhnya mengikuti petunjuk dan jejak penghulu para Nabi, Rasulullah SAW.” [As-Syarafuddin al-Musawi,al-Muruja’at (Dialog Sunnah-Syi’ah, Penerbit Mizan,hlm.17-18].

Imam Ja’far al-Sadiq AS berkata: “Hadith-hadith yang aku riwayatkan adalah dari ayahku. Dan semua hadith tersebut adalah riwayat dari datukku. Dan semua riwayat datukku adalah dari hadith datukku al-Husayn AS. Dan semua riwayat al-Husayn AS adalah dari hadith al-Hasan AS. Dan semua hadith al-Hasan AS.

dari datukku Amirul Mu’minin Ali AS; dan semua hadith Amirul Mu’minin Ali AS adalah dari hadith Rasulullah SAW. Dan hadith-hadith Rasulullah SAW adalah Qaul Allah Azza Wa-Jalla.” [Al-Kulaini,al-Kafi, Juzuk I, hadith 154-14].

Bagi Syiah, tidak ada dalil bagi seseorang itu untuk menerima selain dari Mazhab Ahlul Bayt AS karena perkara itu telah diputuskan oleh Allah SWT.

12. Imam Mahdi AS hidup lebih dari 1000 tahun.

Mereka mendakwa kepercayaan bahawa Imam Mahdi AS masih hidup sejak peristiwa ghaib kubra pada tahun 329H adalah sesuatu kepercayaan yang karut. Mengapa mereka lupa bahwa Allah SWT telah menghidupkan nabi-nabi terdahulu dengan umur yang panjang seperti Nabi Nuh AS dan Nabi Adam AS? Malahan umat Islam percaya Nabi Isa AS masih hidup hingga kini sejak beliau diangkat ke langit oleh Allah SWT dalam peristiwa beliau diselamatkan dari pembunuhan pengikut-pengikutnya. Ini bermakna beliau as telah hidup lebih seribu tahun. Pemuda-pemuda Ashabul Kahfi di bangkitkan oleh Allah SWT setelah ditidurkan dengan begitu lama. Begitu juga umat Islam percaya Nabi Khidir as masih hidup hingga kini. Malahan iblis syaitan la’natullah alahi masih hidup sejak makhluk ini engkar kepada Allah SWT. Ini bermakna iblis syaitan telah hidup lebih lama dari 1,000 tahun. Tidakkah kisah-kisah ini menunjukkan bahawa umur panjang bagi Imam Mahdi AS bukanlah sesuatu yang mustahil kerana Allah SWT Maha Berkuasa bagi perkara yang sekecil itu.

13. Aqidah Raja’ah

Al-Allamah al-Safi menjawab tentang masalah rajaah seperti berikut: ” Qaul tentang raja’ah itu merupakan qaul dari itrah Rasulullah SAW yang suci. Perbahasan tentang masalah ini telah beredar dikalangan mereka dan selain dari mereka. Pedoman mereka dalam masalah ini adalah ayat-ayat Qur’an dan hadith-hadith yang mereka riwayatkan dengan sanad yang turun temurun dari datuk-datuk mereka sampai kepada datuk Rasulullah SAW.

Kenyataan yang tidak mungkin diingkari oleh para peneliti masalah-masalah keislaman adalah bahwa sumber aqidah raja’ah itu adalah imam-imam Ahlul Bayt AS yang telah ditetapkan kewajiban berpegang teguh kepada mereka dengan keterangan dari hadith al- tsaqalain dan lain-lainnya.

Pihak syiah mengatakan tentang raja’ah secara global. Mereka membandingkan hal ini dengan kejadian-kejadian para ummah terdahulu seperti yang diceritakan oleh Allah Ta’ala dalam firmanNya,: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-beribu (jumlahnya) kerana takut; maka Allah berfirman kepada mereka:” Matilah kamu,” kemudian Allah menghidupkan mereka (kembali)…” (Al-Baqarah: 243).

Ayat yang lain,: “Atau apakah (kamu tidak mepmerhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atasnya. Dia berkata:” Bagaimanakah Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah ia roboh?” Maka Allah mematikan orang itu selama seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali….” (Al-Baqarah: 259).

Dan boleh juga mengambil teladan dari firman Allah Ta’ala dalam ayat berikut: “Maka Kami pun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada pada dirinya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami melipatgandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah.” (Al-Anbiya: 84).

Mereka golongan syiah mengatakan bahawa hal itu tidak mustahil akan terjadi kepada umat ini berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Dan (ingatlah) hari (ketika) Kami kumpulkan dari tiap-tiap umat segolongan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, lalu mereka dibagi-bagikan (dalam kelompok-kelompok).” (Al-Naml: 83).

Hari yang disebutkan Allah SWT dalam ayat di atas, tentu bukan Hari Qiamat, karena pada Hari Qiamat Allah membangkitkan semua umat manusia, sebagaimana yang difirmankanNya dalam ayat berikut: “Dan Kami kumpulkan seluruh manusia dan tidak Kami tinggalkan seorang pun dari mereka.” (Al-Kahfi:47)

Dalam dua ayat di atas, Allah SWT menyatakan bahawa Hari Kebangkitan itu ada dua. Kebangkitan umum dan kebangkitan khusus. Hari yang dibangkitkannya segolongan orang-orang dari tiap-tiap umat itu bukan Hari Qiamat, jadi ia tidak lain adalah Yaumul Raja’ah.

Adapun tentang perincian Yaumul Raja’ah itu tidak ada hadith-hadtih sahih yang menyatakannya. Hadith-hadith yang menyebutkan tentang perincian Yaumul Raja’ah adalah hadith-hadith dhaif sama ada dari segi dalalahnya ataupun sanadnya. Pendapat ini juga dinyatakan oleh Lutfollah Saafi Golpayegani dalam bukunya yang bertajuk “Aqidah Mahdi dalam Syiah Imamiyyah” menyatakan bahawa hadith-hadith perincian tentang Yaumul Raja’ah adalah hadith-hadith dhaif dan ditolak oleh ulama hadith syiah.

Aqidah Raja’ah mempunyai asas ajaran dalam al-Qur’an dan dinyatakan oleh para Imam Ahlul Bayt AS, oleh itu apakah wajar kita menolaknya?

14. Isu-isu al-Qur’an, Mushaf, dan Wahyu kepada Fatimah AS

Apabila dibicarakan tentang persamaan antara sunnah dan syiah berarti di situ pasti ada perbedaannya.
Permasalahannya apabila ada perbedaan, apakah pegangan kepada satu mazhab menjadi penilai kebenaran dalam mengukur mazhab yang lain atau dikembalikan kepada Al Quran dan hadis dan mengukurnya secara rasional yang bebas dari ketasuban bermazhab?

Fitnah terhadap syiah bukan satu yang baru dan sepertinya tidak akan berahkir. Setelah membaca banyak buku yang menyalahkan syiah, kami melihat hal ini disebabkan oleh beberapa perkara:
1- Menilai kebenaran berdasarkan mazhab tertentu.
2- Menafsir sendiri riwayat syiah tanpa melihat penfsiran ulama syiah tentang hadis tersebut, sehingga natijah yang diambil berdasarkan selera sendiri.
3- Mengambil kata-kata ulama sebagai sandaran tanpa menilai kembali pandangan mereka dan suasana mereka mengeluarkan fatwa.
4- Menungkilkan hadis separuh-separuh hingga menyebabkan maknanya berubah.
5- Menanggap apa saja yang tertulis dalam kitab-kitab hadis muktabar syiah itu sahih sebagai mana Ahlu suunah menanggap semua yang ada dalam Bukhari itu sahih.

Kami berterima kasih kepada penulis ABC kerana komentarnya atas artikel ‘persamaan dan perbedaan antara sunnah dan syiah’. Izinkan kami di sini untuk mengomentar kembali tilisannya berdasarkan ukhwah islamiah dan perbahsan ilmiah tulen yang menjadi pemangkin kepada pendekatan antara mazhab2 islam untuk saling mengenali hingga tidak tibul tuduhan liar.

1- Al Quran

a- makna mushaf
Kebanyakan umat Islam menanggap bahwa perkataan ‘mushaf’ itu sinonim ‘Al Quran’. Sedangkan dalam lisan Al Quran dan hadis Rasul tidak demikian. Mushaf itu artinya kumpulan tulisan dan selepas wafat Rasul digunakan untuk ayat2 al quran dikumpulkan oleh para sahabat dan juga tulisan2 hadis.

Oleh karena itu jika ada perkataan mushaf dalam riwayat syiah jangan terus menanggap ia adalah Al Quran. Penulis ABC juga ada menukilkan riwayat dari Al Kafi yang menunjukan bahawa mushaf Fatimah bukan Al Quran tetapi kumpulan khabar yang di sampaikan oleh Jibril.

b- Wahyu untuk Fatimah as
Persoalannya di sini apakah ia mungkin atau tidak? Pertama kita perlu mengenal maqam Fatimah as terlebih dahulu. Tiada yang mengingkari bahwa ia adalah penghulu wanita, yang paling mulia antara 4 wanita yang termulia.

Kedua apakah Jibril boleh menurunkan wahyu untuk selain nabi. Yang mengatakan tidak berarti ia jahil tentang Al Quran. Dalam surah Ali Imran ayat 42 hingga 45 menceritakan pembicaraan jibril dengan Mariam. Dan Fatimah as lebih mulia dari Mariam. Riwayat tentang turunnya Jibril pada Fatimah banyak dalam kitab-kitab syiah. Sudah tentu mereka yang menjauhinya tidak akan meriwayatkan peristiwa tersebut.

15. Mazhab Ahlu Sunnah

a- Seperti penulis ABC setuju bahawa mazhab ahlu sunnah terbentuk secara evolusi. Malah pengikutnya hari ini pun tidak mengamalkan fatwa Imam2 mereka baik dari segi fiqih maupun akidah secara murni. Tetapi permasalahnnya bukan di sini tapi pada sumber hukum. Mereka mengenepikan Imam2 Ahlu Bait as. baik dalam fiqih maupun akidah. Bagaimana hati boleh aman dengan apa yang di amalkan sedangkan bahtera penyelamat umat Muhammad SAW ditinggalkan. Bukankah mereka sebagaimana sabda Ar Rasul SAW. Umpama ahlu baitku di dalam umatku seperti bahtera Nuh siapa yang menaikinya selamat siapa yang meninggalkannya akan tenggelam.

b- Para pemerintah yang zalim ketika itu mengambil kesempatan untuk menyebarkan fatwa para mujtahid tersebut dan menakutkan orang ramai dari mendekati Imam2 ahlu bait dan ulama mereka.

c- Penutupan pintu ijtihad oleh khalifah yang zalim bukan satu yang pelik tetapi yang pelik adalah apabila para ulama besar ahlu sunnah juga merelakan hal ini seperti Al Ghazali, Sayuti. Ibnu Hajar dll dan akhirnya percobaan membuka pintu ijtihad dianggap dosa besar sebagaimana penulisan hadis pada kurun pertama hijrah dan tidak melaknat Imam Ali pada hari jumaat pada 80 tahun pertama pemerintahan bani umaiyah. Sedangkan proses ijtihad terus subur dalam mazhab syiah dan tidak timbul kekalutan dalam permasalahan mujtahid palsu. Dan para muqalid sentiasa bertaqlid kepada mujtahid yang hidup pada setiap waktu.

16. Ahlul Sunnah Wa l-Jama’ah dan Ahlu Bait AS.

Syiah menerima bahawa ahlu sunnah mencintai dan memuliakan ahlu bait, tetapi apakah mereka benar-benar meletakkan ahlu bait pada posisi yang Allah SWT telah letakkan? Apakah tiada hikmah mengapa mereka disucikan dan diwajibkan kecintaan ke atas mereka dan solat dan selawat tidak diterima tanpa menyebut mereka.

Jika ahlu sunnah benar2 menghormati mereka sepatutunya mereka juga perlu menghormati orang2 yang mengikuti mereka, bukan menuduh dengan hal2 yang tidak benar. Kita diwajibkan untuk mengikuti Al Quran, apakah tidak wajib kita mengikuti mereka yang disucikan untuk menjaga Al Quran dan mendampingi Al Quran.

17. Ilmu Para Imam AS

Hadis dari Imam Jaffar as Sadeq itu jelas menunjukkan, ilmu yang mereka miliki adalah kurnia Allah bukan mereka memiliki dengan sendiri, karena ini akan mendatangkan syirik.

Di dalam surah yunus ayat 20 dan an An’am jelas menunjukan bahawa yang mengetahui hal yang ghaib itu hanya Allah. Dan dalam surah az zhuruf ayat 4, al Buruj ayat 22, ar radh ayat 39, menunjuk bahwa ilmu Allah itu.

terletak di kitab almknun, kitabun mubin, umul kitab, luh mahfuz. Ia juga dipanggil Imamul mubin “kulu sha’ain ahsaina hu fi Imamul mubin” walau namanya berbeda ia memiliki hakikat yang sama yaitu khazahna ilmu Allah yang Allah berikan kepada orang2 yang tertentu (surah aj jin ayat 27) dan tidak akan menyentuhnya kecuali yang disucikan (al waqih’ah ayat 79) dan kita semua tahu yang disucikan hanya ahlu bait (al ahzab ayat 33).

Jadi jika ada yang masih tidak faham yang ahlu bait mengetahui yang ghaib atas izin Allah dengan mengunakan dalil-dalil Al Quran yang jelas bererti orang tersebut mau meletakkan dirinya pada jalan kedegilan dan ketasuban.

18. Maqam Para Imam AS

a- Di dalam Al Quran membicarakan tugas para Rasul hanya sebagai hanya untuk menyampaikan saja (iblaq) dan tidak lebih dari itu. “ma ala Rasul ilal balaq” dan juga surah An Nissa, ayat 165 dan As Syura, ayat 3 dll.

Selain dari itu ada ayat2 yang membicarakan satu lagi maqam selain maqam Rasul dan memiliki tugas yang lain dengan tugas rasul iaitu maqam Imam ‘kami jadikan mereka Imam untuk memberi hidayah dengan urusan kami ketika mereka bersabar dan yakin dengan ayat2 kami’ surah as sajadah ayat 24.

Ayat di atas jelas menunjukkan sebagian Rasul di angkat menjadi Imam, satu maqam yang lebih tinggi dari maqam Rasul. Tugas Imam di sini berbeda dengan tugas Rasul yaitu sebagai pemberi hidayah.

Nabi Ibrahim sebagaimana dalam surah al Baqarah ayat 124 diangkat menjadi Imam selepas ia menjadi Rasul. Jelas di sini menunjukan maqam Imam lebih tinggi dari maqam Rasul. Persoalanya sekarang apakah maqam Imam ini berterusan? Sudah tentu selagi manusia wujud di atas muka bumi ini selagi itu manusia perlu kepada hidayah dan ini tugas Imam. Dalam surah di atas Allah juga mengangkat zuriah Ibrahim sebagai Imam sebagimana Ibrahim. Dalam surah Ar Radh, ayat tujuh, Allah SWT. berfirman “Sesungguhnya kau (Muhammad) pemberi peringatan dan untuk setiap kaum ada yang memberi hidayah”.

Kami ulangi lagi bahawa tugas memberi hidayah adalah tugas Imam dan hanya Allah yang melantik Imam bukan manusia. Dan ayat ini jelas menunjukan Imam yang dilantik oleh Allah itu berterusan dan maqamnya lebih tinggi dari maqam Rasul. Apakah kita lupa pada satu hadis yang mahsyur yang bermaksud “ulama umatku lebih afdhal dari para nabi bani israel” atau kita menanggap hadis ini daif. Atau hadis yang mengatakan bahawa Nabi Isa as. akan solat dibelakang Imam Mahdi juga tidak benar.

b- Apakah pelik apabila kita mengatakan para Imam itu lebih mulia dari Malaikat sedangkan Abu Basyar Adam as. merupakan khalifah pertama dari sekian kahlifah Allah mendapat didikan langsung dari Allah (syarat khalifah Allah) dan menjadi guru kepada para Malaikat dan menjadi sujutan Malaikat, apakah ini tidak menunjukan bahawa maqam insan lebih mulia dari maqam malaikat? apakan lagi maqam imam. Apakah ini berarti mendewakan mereka atau meletakan mereka pada tempat yang sewajarnya?

Apakah menjadikan semua sahabat itu adil dan tidak boleh disentuh dan dikritik bukan pendewaan? Dan bila keisalaman dan kekufuran seseorang diukur dengan sahabat? Apakah ini bukan pendewaan terhadap mereka? Apakah segala perubahan yang dilakukan oleh khalifah pertama, kedua, ketiga tidak mengubah hukum Allah? Dan apabila menerima perbuatan mereka dan menolak hukum Allah bukan pendewaan?

19. Maqam Imam ‘Ali AS

Mereka menyatakan Syiah mempercayai Saidina Ali as separuh Tuhan, menganggap guruh dan petir itu suara Ali, mempercayai imam-imam 12 itu lebih baik dari para malaikat yang muqarrabun kepada Tuhan, menggunakan mushaf al-Quran lain dari mushaf Uhtman dan lain-lain.


Di dalam Usul al-Kafi oleh al-Kulaini dilaporkan bahwa Abu Basir seorang kepercayaan Imam Jaafar telah datang berjumpa dengan Imam Jaafar. Abu Basir bertanya kepada Imam Jaafar berhubungan dengan ilmu dan kelebihan Saidina Ali dan imam imam syiah… didalam buku tulisan Al Kualaini tersebut Imam Jaafar telah dikatakan menjawab sedemikian.. “Kita juga ada Mushaf Fatimah dan apakah yang orang ramai tahu tentang Mushaf Fatimah ? Ianya adalah sebuah Mushaf yang tiga kali lebih besar dari Al Quraan dan tidak ada satu ayat Al Quraan mereka didalam nya. (Usul al-Kafi oleh al-Kulaini ms 146)

Seterusnya Imam Jaafar bila ditanya lagi oleh Abu Basir berhubung dengan Mushaf Fatima , Abu Basir menyatakan Imam Jaafar menyebut : “ Apabila Allah menaikkan Rasul Nya dari dunia (wafat) … Fatimah menjadi terlalu sedih yang teramat sangat dan berduka cita yang hanya diketahui oleh Allah saja. Allah kemudian menurunkan malaikat untuk membujuknya semasa kesedihan tersebut dan malaikat tersebut telah berbicara dengan Fatimah. Fatimah menceritakan peristiwa tersebut kepada Ali dan Ali meminta Fatimah memberitahunya apabila malaikat tersebut datang. Setiap kali malaikat datang Ali telah mencatatkan segala yang disebut oleh malaikat tersebut… dan Inilah yang di panggil mushaf Fatimah. Usul al-Kafi oleh al-Kulaini ms 147).

Al Kulaini seterusnya di dalam kitab yang sama menyatakan bahawa Jabir Al Jufi berkata “aku telah mendengar Muhammad Al Baqir berkata “ Seseorang tidak akan mengatakan bahawa Al Quraan telah diturunkan sekelompok kecuali dia itu pendusta. Tiada seorang pun yang mengumpul dan menghafal semuanya yang di turunkan Nya kecuali Abi bin Abi Talib dan para pengikut sesudahnya. “ muka surat 228.


Komentar:

Kesimpulan dari paparan di atas… bagaimana mungkin seorang ahli sunnah tidak menyatakan keheranannya diatas isu adanya orang-orang syiah yang berpahaman ujudnya satu kitab Al Quraan yang selain nya dari mushaf Othman…. Apabila perkara sedemikian memang tertulis didalam salah sebuah kitab pokok rujukan Syiah iaitu Usul al-Kafi oleh al-Kulaini. Nota: Permasalahannya ialah pihak Ahlul Sunnah tidak dapat membedakan antara hadith yang sahih atau sebaliknya dalam kitab-kitab Syiah. Menurut Imam Ja’far al-Sadiq AS hadith yang bertentangan dengan al-Qur’an hendaklah ditolak samasekali. Imam Ja’far al-Sadiq AS meriwayatkan sebuah Hadith dari datuknya Rasulullah SAWA [bermaksud]: ” Setiap Hadith yang kamu terima dan bersesuaian dengan Kitab Allah tidak diragukan datangnya dari aku dan Hadith-hadith yang kamu terima yang bertentangan dengan Kitab Allah, sesungguhnya bukan datang dariku.” [Al-Kulaini, al-Kafi, Jilid I, Hadith 205-5.

Pengertian umum, Ahlul Sunnah ialah siapa yang mengikut Sunnah Nabi SAW kemudian ia dihimpun kepada empat madzhab fiqh yang diketuai oleh Imam Malik yang lahir pada tahun 95 Hijrah dan meninggal tahun 179 Hijrah, Abu Hanifah yang lahir tahun 80 Hijrah dan meninggal tahun 150 Hijrah, Syafie yang lahir tahun 150 Hijrah dan meninggal tahun 204 Hijrah, dan Ibnu Hanbal yang lahir tahun 164 Hijrah dan meninggal tahun 241 Hijrah.

(Syiahali/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: