Sebelum kemenangan Revolusi Islam Di Iran pun, isu “Islam dan Pembangunan” sudah digulirkan dalam peta politik Barat tersebut. Para perancang konspirasi ini mengklaim bahwa Islam adalah agama qona’ah dan penghematan, sementara pembangunan adalah cermin kemajuan dan pemanfaatan kekayaan sebanyak mungkin. Oleh karena ini, Islam tidak bisa kompromi dengan pembangunan. Islam tidak akan mampu menampung ide pembangunan dan kemajuan. Dan, karena kita mau tidak mau harus berkembang dan maju, maka Islam atau setidaknya bagian-bagian tertentu dari Islam yang bertentangan dengan ide dan proses pembangunan harus kita bekukan.
Dalam hal ini, diangkatlah isu ‘Korelasi Budaya dan Tehnologi’. Yakni, isu yang berusaha menciptakan opini bahwa setiap tehnologi itu menyimpan budaya yang khas. Dan, dimana saja tehnologi itu masuk ke suatu negara, secara otomatis budayanya pun turut masuk ke dalamnya. Maka itu, kita hanya mempunyai dua pilihan; menerima tehnologi dengan segenap budaya yang dikandungnya, atau sama sekali menolak secara mutlak tehnologi berikut budayanya. Dan, karena tehnologi itu diperoleh dari dunia Barat, maka mau tidak mau budaya pun harus datang dari sana pula.
Isu pembangunan dan pengembangan politik (politic development), yang pada awal mulanya diketengahkan oleh kaum elite lalu digunakan oleh kalangan ahli ekonomi dan pemikir, telah merebut posisi penting dalam bidang politik. Kenyataannya, isu ini masih menyimpan begitu banyak kerancuan dan keterselubungan. Bahkan, bisa kita katakan bahwa isu pembangunan politik tidak terdefinisikan secara cermat dan tegas. Kendati demikian, perlu diingatkan di sini bahwa isu ini terdiri atas dua kata; pembangunan dan politik, dimana masing-masing pengertiannya bisa memperjelas maksud dari isu tersebut.
Pembangunan (development) yaitu suatu kerja yang dilakukan oleh seseorang atau suatu badan atau seluruh masyarakat dengan memanfaatkan sarana-sarana, alat-alat yang terbaik, dengan mendasarkan pada perencanaan yang matang, sehingga bisa tercapai tujuan secepat dan sebaik mungkin.
Setidaknya, ada dua aspek dalam pengertian di atas; aspek kualitas dan aspek kuantitas. Kata ‘secepat mungkin’ mengisyaratkan aspek kuantitas, yakni jangka waktu pencapaian tujuan, dimana kesamaan kepentingan kita dengan kepentingan masyarakat akan melahirkan partisipasi massa seluas mungkin untuk mencapai kepentingan itu. Adapun kata ‘sebaik mungkin’ menunjuk kualitas, yakni cara pencapaian tujuan, dimana kualitas ini akan bermakna dalam kaitannya dengan perangkat-perangkat dan dengan sisi normatif penggunaannya serta tujuan yang dimaksudkan.
Politik yaitu kepemimpinan secara damai ataupun paksa atas lalu lintas hubungan antarindividu, kelompok, partai, kekuatan-kekuatan sosial dan fungsi-fungsi pemerintahan di dalam sebuah negara, juga hubungan-hubungan antarnegara dalam skala internasional untuk mencapai tujuan dan kepentingan masing-masing negara sebuah bangsa atau kelompok tertentu.
Oleh karena ini, pembangunan di bidang pilitik adalah kepemimpinan dan kepengaturan atas hubungan-hubungan antarindividu dan kelompok serta fungsi-fungsi pemerintahan, dan hubungan-hubungan luar negeri antarnegara yang dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Jelas, kendati adanya kesamaan dalam sebagian persoalan, tujuan-tujuan masing-masing negara ini lumrah berbeda-beda. Umpamanya di negara kita, Iran, tujuan itu ialah memenuhi kesejahteraan materi dan ekonomi yang disertai dengan pertumbuhan budaya dan pembangunan spitirualitas serta dominannya nilai-nilai Islam. Lebih singkatnya, memenuhi kesejahteraan duniawi dan ukhrawi warga yang bisa direalisasikan dengan menjalankan hukum-hukum dan batasan-batasan Islam.
Atas dasar itu, postulat gagasan pengembangan politik terletak pada aspek kualitas dan aspek kuantitas, yaitu partisipasi rakyat sebanyak mungkin dalam kegiatan politik dan pemahaman mereka sebaik mungkin akan urusan-urusan politik. Hanya saja, pengertian ini pada jaman sekarang, sebagaimana slogan-slogan lainnya, telah dijadikan alasan dan pembenaran oleh Imperialisme, dimana mereka dengan menyodorkan definisi dan ciri-ciri khas tertentu dari pengembangan politik ini, berusaha mencerabut identitas dan jati diri kebangsaan dari negara-negara yang merdeka dan mempunyai budaya dan ideologi yang khas, khususnya ideologi Islam, dan menyiapkan peluang untuk operasi penyerangan budaya.
Adapun isu pembangunan politik yang merupakan gabungan dari dua kata; pembangunan dan politik, adalah konsep abstraksial yang bisa didefinisikan sesuai dengan ciri-ciri khasnya. Ciri-ciri khas ini menunjukkan bahwa sebuah negara bisa menilai bahwa dirinya itu berada di tingkat apa dalam pencapaian pembangunan politiknya; berada pada tingkat pertumbuhan lembaga-lembaga kemayarakatan ataukah berada pada tingkat pembangunan yang labil dan keruntuhan lembaga-lembaga.
Sebagian ahli politik, seiring dengan penekanannya atas peran partisipasi politik dalam proses pembangunan, menjadikan pelembagaan dan strukturisasi sebagai standar tunggal pembangunan politik. Atas dasar ini, sebagian sistem politik dinyatakan telah berkembang jika telah melengkapi dirinya dengan lembaga-lembaga yang sudah stabil dan terstruktural. Oleh karena itu, salah satu dari ciri-ciri khas utama dari sistem yang berkembang ialah adanya lembag-lembaga sosial yang kuat dan mapan.
Proses pengembangan politik ini memberikan banyak hasil, sebagaimana yang disebutkan oleh Leonard Binder, di antaranya:
1. pergeseran identitas; dari identitas agamis menjadi identitas kebangsaan, dari identitas daerah menjadi identitas nasional.
2. pergeseran legalitas; dari satu sumber transcendental ke satu sumber nontransendental.
3. perubahan dalam partisipasi politik; dari elite ke akar rumput, dari keluarga ke golongan.
4. perubahan kriteria jabatan; dari kekeluargaan menjadi swakarya dan kecakapan individu.
Setelah cukup jelas pengertian pembangunan politik, tiba saatnya kita mengulang kembali pertanyaan terdahulu, apakah pembangunan politik itu sesuai dengan agama dan sistem sosial Islam ataukah tidak? Sebagaimana yang telah lalu, bahwa pembangunan politik adalah sebuah pengertian abstraksial yang didefinisikan sesuai dengan ciri-ciri khasnya.
Dari satu sudut pandang, ciri-ciri khas pembangunan politik bisa dibagi kepada dua tahapan: legalitas dan kompetensi (kesanggupan). Dengan begitu, berkembangnya sebuah negara ditentukan oleh kemajuan dan pembangunannya di dua aspek utama tersebut.
Legalitas yaitu rasionalitas seseorang untuk memerintah atas orang atau kelompok lain. Dengan kata lain, legalitas adalah akumulasi jawaban atas sebuah pertanyaan; mengapa seseorang atau sekelompok manusia mempunyai wewenang memerintah atas selainnya? Semakin jawaban atas pertanyaan ini cermat dan rasional, maka pemerintahannya pun dari aspek legalitas semakin berkembang dan maju.
Di tempat lain, ada sejumlah dasar legalitas yang pernah kami paparkan. Dalam mengkritisi dasar-dasar tersebut, di sana telah kami tegaskan pula bahwa dasar legalitas yang paling unggul adalah wewenang Tuhan dalam memerintah dan mengatur umat manusia. Karena, wewenang ini berasal dari dzat-Nya sebagai Yang Maha Penguasa, Yang Maha Pemilik Mutlak, Sang Otoritas Penuh dalam kepengaturan cipta (rububiyyah takwiniyyah) dan kepengaturan tinta (rububiyyah tasyri’iyyah) atas sekujur wujud manusia dan segenap urusan hidupnya.
Berdasarkan kebijaksaanan-Nya yang maha sempurna, ilmu-Nya yang tak terbatas, dan kemurahan-Nya yang tak terhingga, Allah swt. telah menetapkan aturan-aturan dan arahan-arahan yang mendatangkan kemaslahatan dan kesejahteraan manusia, di dunia maupun di akherat. Oleh sebab ini, sistem pemerintahan yang melandaskan legalitasnya di atas pandangan dunia yang demikian ini adalah sistem sosio-politik yang paling maju dan berkembang.
Lain dari pada itu, ada sejumlah dasar dan dampak pembangunan yang implikasinya mengesampingkan alasan ketuhanan yang transcendental dari aspek legalitas, dan malahan mengacu pada dasar-dasar lainnya. Dasar dan dampak yang demikian ini bertolak belakang dengan Islam dan sistem sosialnya. Maka itu, tidak bisa diterima sama sekali oleh Islam.
Adapun pada tahapan kompetensi, yang di dalamnya terdapat sebagian ciri-ciri khas pembangunan dan ngembangan politik, pandangan dunia ilahi menuntut bahwa kita harus bergerak di dalam batas-batas hukum Tuhan. Dengan kata lain, manakala sekumpulan ciri-ciri khas itu atau sebagian elemen dari satu ciri khas itu melazimkan peneledoran hukum-hukum yang pasti dan tetap Islam, maka hukum-hukum dan undang-undang Tuhan harus didahulukan. Dan hal-hal yang bertentangan dengan agama mesti dikesampingkan.
Misalnya dan umumnya, salah satu dari postulat dan ciri khas pembangunan adalah sekularisasi, yakni mentidak-agamakan budaya. Jelas di sini bahwa postulat dan ciri khas ini sama sekali tidak bisa diterima oleh Islam. Atau kebebasan pers. Yang kedua ini dapat diterima Islam sejauh tidak menyebabkan penghancuran dan pemberangusan dasar-dasar agama, nilai-nilai kehormatan dan kepentingan umum serta ketertiban bangsa. Sebagaimana semaraknya kegiatan-kegiatan politik sama sekali tidak bisa dijadikan pembenaran atas upaya merongrong kesatuan dan integritas bangsa serta mendongkel sistem pemerintahan Islam.
Dari sisi lain, sekilas melirik kembali usia 20 tahun Revolusi Islam Iran menunjukkan bahwa banyak dari ciri-ciri khas pembangunannya merupakan buah berkah revolusi Islam, dimana sistem Republik Islam ini telah dikenal sebagai sebuah sistem pemerintahan yang paling populis, paling merakyat dan paling berpolitis di antara sistem-sistem politik di dunia. Hal itu tampak dengan bertambahnya hak suara, banyaknya pemilu yang bebas, bertambahnya partisipasi politik warga dalam berbagai bidang, juga dalam lembaga-lembaga pengambil keputusan, serta adanya kekebasan pers yang memadai. Semua itu merupakan berkah-berkah Revolusi Islam yang besar.
Di samping itu, sense of obedience (rasa taat) pada kewajiban-kewajiban agama merupakan faktor yang begitu kuat dan motif yang berlipat ganda untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan politik seperti; demonstrasi, pemilu, menjalankan tugas-tugas jabatan pemerintahan, memberikan bantuan materi dan moril, berperang dan bertahan di front-front peperangan. Rasa taat itu adalah faktor yang muncul dari kepercayaan rakyat pada citra keilahian dan keislaman pemerintahan mereka. Tentunya, manakala citra keilahian dan keislaman itu sudah hilang atau memudar, ketika itu pula mereka tidak akan menemukan lagi alternative lain.
Begitupula, independensi lembaga-lembaga yang berarti tidak terlibatnya agama dan ideologi dalam kerangka aktivitas dan tujuan lembaga-lembaga itu, tidak akan dijumpai dalam masyarakat agamis, karena menganggap agama sebagai sebuah aspek yang terpisah dari ruang lingkup lembaga tersebut sehingga kita secara total terlepas dari agama dalam bekerja di lembaga-lembaga itu, dan agama semata-mata dipandang sebagai satu lembaga yang sejajar dengan lembaga-lembaga lainnya, anggapan ini sama sekali tidak sejalan dengan Islam, karena ia adalah agama yang dalam segenap urusan hidup manusia mempunyai hukum, aturan, dan undang-undang yang sesuai dengan tujuan penciptaan mereka.
Oleh karena itu, Islam adalah agama yang tidak hanya mendukung pembangunan, pengembangan dan kemajuan di berbagai bidang, tetapi ia pun menuntut setiap hari yang dilalui umat manusia lebih baik dari hari sebelumnya. Hanya saja, pembangunan dan kemajuan ini harus berlangsung dalam kerangka prinsip, batasan, dan hukum Islam. Karena pada dasarnya, kesejahteraan hakiki manusia di dunia ini, selain juga kesejahteraan di akheratnya, bisa diperoleh hanya dengan jalan ini. Jika tidak demikian, bukankah kerusakan dan kebejatan yang begitu beragam, baik yang bersifat kejiwaan, moral, ataupun pemikiran di Barat sekarang ini, dengan segenap pembangunan dan kemajuan yang mereka capai, adalah hal yang tidak bisa ditutup-tutupi.
Bukti konkret atas gambaran tadi adalah Spanyol pada masa pemerintahan Islam di sana. Berdasarkan pengakuan orang-orang Barat sendiri, jika Islam tidak meninggalkan warisan peradabannya di sana, tentu mereka sampai sekarang dalam keadaan setengah buas dan liar, mereka sama sekali tidak akan bisa membangun industri dan kemajuan yang ada.
Oleh karena itu, sekelompok yang getol menampilkan agama sebagai penentang dan penghambat proses serta upaya pembangunan, menyisipkan nama agama dalam isu-isu seperti pertentangan antara tradisi dan modernitas, lalu menarik kesimpulan bahwa pembangunan dan medernitaslah yang harus diterima, dan agamalah yang harus dikesampingkan. Atau, komit pada agama dengan konsekusensi tertinggal dari kafilah kemajuan dan pembangunan. Sesungguhnya mereka tidak memahami Islam, atau mereka bahkan hendak menghancurkan agama dan keberagamaan, setidaknya dalam sektor-sektor sosial, serta mengusahakan dominasi sekuralisme.
Perlu dicamkan disini bahwa postulat pengembangan politik adalah relativitas pengetahuan. Artinya, tidak ada seorang pun dan tidak ada pemikiran yang mutlak benar. Atas dasar ini, seharusnya bersikap toleran terhadap pemikiran yang berbeda, karena setiap aliran dan arus pemikiran membawa sebagian dari kebenaran. Begitupula, pemahaman kita terhadap agama dan teks-teksnya tidak terkecualikan dari kaidah ini, sebagimana yang digelindingkan oleh istilah qaroathoye mukhtalif (keragaman pemahaman agama). Untuk itu, karena sangat tidak realistis atau berbau kental fanatisme, maka tidak perlu lagi bersikeras membela ha-hal yang dianggap sebagai prinsip-prinsip dan nilai-nilai agama yang tidak bisa berubah dan diganggu gugat.
Menjawab peraguan di atas ini perlu ditegaskan bahwa prinsip-prinsip dan hukum-hukum pasti dan aksiomatis Islam adalah hal-hal yang tetap dan mutlak. Dan, berdasarkan sahihnya dalil-dalil yang menunjukkan atas semua di atas itu, maka tidak lagi menyisakan satu peluang pun untuk pemahaman yang beragam. Bahkan, pada prinsipnya, jika kita pandang Islam tidak mempunyai serangkaian prinsip dan hokum yang mutlak dan tetap, maka sesungguhnya tidak akan ada lagi yang bisa disebut Islam.
Rangkaian Konspirasi Budaya Pembangunan
Pertanyaan yang perlu diangkat di sini adalah, adakah maksud terselubung dan konspirasi sebagian pihak dibalik isu pembangunan politik ataupun isu-isu semacamnya di masa sekarang? Untuk memperjelas hakikat upaya-upaya di atas, begitupula siasat-siasat untuk mencapai tujuan-tujuan di balik semua itu, mula-mula saya akan mengingatkan sedikit latar belakang dari transformasi dan perjalanan Barat setelah revolusi industri.
Semangat penjajahan Barat pada dasarnya bisa diusut dari jaman revolusi industri di sana, kendati sebelum itu, di Eropa ataupun di antara bangsa-bangsa di dunia terdapat kecondongan upaya penaklukan dan penguasaan atas bangsa lain. Yaitu, jaman di mana mereka telah mampu menciptakan perangkat, sarana dan alat-alat modern di bawah hubungan segitiga; ilmu, industri dan teknologi.
Pada jaman itu, mereka mampu memproduksi aneka ragam barang perlengkapan dan peralatan yang begitu murah dari segi pembiayaan produksi. Dan dengan menjual barang-barang itu dengan harga mahal, mereka mampu meraup keuntungan dan kekayaan yang melimpah. Dengan meningkatnya laba dan pada gilirannya modal, sektor investasi untuk kegiatan produksi pun semakin marak. Dan ini menjadi sebuah faktor untuk mendapatkan laba dan modal lebih banyak lagi. Dengan begitu, lewat perputaran modal dan produksi, gudang kekayaan mereka semakin sesak dari hari ke hari.
Tetapi dari sisi lain, dengan meningkatnya produksi (penawaran barang) muncul masalah besar; kekurangan bahan-bahan mentah untuk produksi, dan kurangnya tingkat permintaan dibandingkan dengan penawaran produk. Dua faktor ini membuat negara-negara Barat berfikir untuk melakukan ekspansi dan penjajahan atas negara lain, sehingga dengan demikian mereka bisa mendapatkan bahan-bahan mentah dan membuka pasar-pasar baru.
Watak penjarahan dan penjajahan ini berlangsung sejak abad ke delapan belas sampai abad ke sembilan belas. Pada masa itu, orang-orang Barat mulai dibenturkan lagi dengan persoalan lain, yaitu kurangnya sumber-sumber alam dan lemahnya daya beli negara-negara jajahan mereka. Dari sisi lain, tehnologi dan alat canggih yang diimport memerlukan ahli-ahli untuk tehnik pengggunaan tehnologi dan alat tersebut.
Untuk itu, mereka memutuskan untuk meningkatkan daya beli juga taraf pengetahuan dan keahlian negara-negera jajahan. Dalam rangka itu, mereka melakukan dua langkah: pertama; mereka memberikan utang, fasilitas, dan kemudahan ekonomi kepada negara jajahan itu dan mendirikan lembaga keuangan semacam IMF, dan kedua: merekrut putra-putra bangsa negara jajahan dan membeasiswakan mereka ke pusat-pusat pendidikan Barat seperti Inggris, Jerman, dan Prancis.
Langkah kedua ini dilakukan dengan motif membina teknisin-teknisin yang mampu menggunakan jenis-jenis peralatan dan perlengkapan importir. Sebagaimana langkah pertama dimaksudkan untuk meningkatkan daya beli masyarakat di negara-negara jajahan, sehingga produk-produk mereka bisa diimport dan dipasarkan lebih banyak lagi di negara-negara itu. Dengan begitu, pasar-pasar Barat pun bisa tetap bertahan marak sebagaimana sebelumnya.
Tetapi, startegi ini tidak selalunya menguntungkan penjajahan. Karena, sebagian dari pelajar-pelajar jebolan Barat yang kembali ke negaranya malah memikirkan kemerdekaan dan perjuangan. Mereka menuntut penjajahan asing agar secepatnya hengkang, dan inilah sebagai babak baru perlawanan yang mulai menggelinding sejak akhir abad sembilan belas dan memuncak pada abad ke dua puluh.
Berbagai macam perjuangan semangat kemerdekan itu telah dilakukan dan, pada akhirnya, Barat sampai pada kesadaran bahwa sebaiknya bersikap agak realistis. Lalu, mereka menyodorkan ide “hubungan” ketimbang “penjajahan”. Dengan cara itu, mereka mampu mencuri kesempatan dan peluang dari Negara-negara jajahan itu di masa-masa kemudian. Di antara intrik-intrik itu ialah pembentukan Negara-negara persemakmuran (Common Wealth) yang ditawarkan oleh Inggris, sehingga negara-negara jajahan inggris itu yang sekarang mendapatkan kemerdekaannya menjadi ‘kawan’ Inggris di bawah nama tersebut. Dengan demikian, penjajahan sesungguhnya tetap berlangsung meski dengan modus lain.
Walhasil, semangat perjuangan kemerdekaan semakin memanas dan bergejolak dari hari ke hari. Tentunya, keadaan ini menuntut Imperialisme merumuskan strategi yang lebih cerdas lagi guna mempertahankan hegemoninya. Di sinilah tampak jelas bagaimana penjajahan terbuka mengganti jubahnya dengan penjajahan terselubung.
Salah satu dari rangkaian strategi mutakhir mereka ialah menciptakan unsur-unsur dan partai-partai politik di dalam negara-negara jajahan yang telah merdeka, atau sedemikian rupa mereka turut andil dalam proses pembentukkan sebagian partai, ormas dan lembaga-lembaga sosial, sehingga bahkan orang-orang partai itu sendiri tidak merasakan adanya campur tangan-tangan asing dan upaya mengendalikan mereka.
Dengan mengangkat slogan-slogan anti Imperialisme dan kepenjajahan, mereka berusaha mengumpulkan masa di sekitar mereka. Dengan slogan itu pula, partai pun menjadi eksis kokoh. Berikutnya, orang-orang partai itu sendiri yang memulai mengulurkan tangan kepada tuan-tuan asing mereka. Dengan demikian, kepentingan-kepentingan pihak-pihak asing dipenuhi oleh putra-putra bangsa itu sendiri.
Dengan berlalunya masa dan bertambahnya pengalaman, orang-orang Barat sampai pada kesimpulan bahwa kelanggengan dan pengakaran kepenjajahan serta penyalahgunaan hubungan-hubungan dengan negara-negara lain bergantung pada dinamika budaya dan ideologi negara-negara tersebut; dimana tidak hanya pola pikir dan cara pandang individu itu berubah, yang diikuti dengan merebaknya gaya hidup individualis, konsumeris, dan kapitalis sebagaimana yang berlaku di Eropa dan Amerika, juga bahkan sistem pemerintahan yang berkuasa di negara-negara tersebut diusahakan untuk bergantung penuh pada penggunaan dan pengandalan peralatan-peralatan dan tehnologi-tehnologi dunia Barat, belum lagi mentalitas rakyatnya dibuat minder dan kerdil di hadapan pembangunan dan kemajuan mereka.
Jika dua tujuan di atas ini bisa dicapai, kekuasaan mereka niscaya terjamin kelanggengannya. Namun, salah satu dari faktor penghambat pencapaian tujuan itu di dunia Timur adalah budaya Timur yang berlandaskan pada kecenderungan zuhud dan semangat kebersamaan. Untuk ini, mereka menyiapkan senjata penyerangan budaya yang sedemikian rumit.
Dalam hal ini, diangkatlah isu ‘Korelasi Budaya dan Tehnologi’. Yakni, isu yang berusaha menciptakan opini bahwa setiap tehnologi itu menyimpan budaya yang khas. Dan, dimana saja tehnologi itu masuk ke suatu negara, secara otomatis budayanya pun turut masuk ke dalamnya. Maka itu, kita hanya mempunyai dua pilihan; menerima tehnologi dengan segenap budaya yang dikandungnya, atau sama sekali menolak secara mutlak tehnologi berikut budayanya. Dan, karena tehnologi itu diperoleh dari dunia Barat, maka mau tidak mau budaya pun harus datang dari sana pula.
Kenyataannya isu ini telah menunjukkan kegagalannya di Jepang. Mengapa? Karena orang-orang Jepang kendati secara terbuka masih menerima serangan-serangan budaya Barat, mereka tetap menjaga dan mempertahankan adat istiadat, nilai-nilai ketimuran, serta budaya bangsanya. Dengan begitu, mereka telah mampu mencapai kemajuan yang luar biasa pesatnya, bahkan mampu melampaui pencapaian orang-orang Barat sendiri.
Sebelum kemenangan Revolusi Islam Di Iran pun, isu “Islam dan Pembangunan” sudah digulirkan dalam peta politik Barat tersebut. Para perancang konspirasi ini mengklaim bahwa Islam adalah agama qona’ah dan penghematan, sementara pembangunan adalah cermin kemajuan dan pemanfaatan kekayaan sebanyak mungkin. Oleh karena ini, Islam tidak bisa kompromi dengan pembangunan. Islam tidak akan mampu menampung ide pembangunan dan kemajuan. Dan, karena kita mau tidak mau harus berkembang dan maju, maka Islam atau setidaknya bagian-bagian tertentu dari Islam yang bertentangan dengan ide dan proses pembangunan harus kita bekukan.
Pada hari-hari ini pun, suara-suara parau senada ini kerap kita dengar dalam forum ceramah ataupun dalam media cetak. Suara-suara yang menekankan pola pikir dan pemikiran demikian ini yakni upaya menampilkan Islam sebagai penentang ide dan proses pembangunan. Upaya-upaya yang mengangkat isu-isu seperti; pertentangan antara tradisi dan modernitas, keniscayaan kritik atas tradisi, dan semacamnya, semua itu digelindingkan dalam rangka mengusung pemikiran itu.
Kendati kajian terperinci atas hubungan Islam dan pembangunan membutuhkan ruang yang khusus, tetapi perlu ditegaskan di sini bahwa Islam tidak hanya menyambut pembangunan dan kemajuan, tetapi juga menuntut hari-hari umatnya lebih baik dari hari sebelumnya. Hanya persoalannya, pembangunan dan kemajuan yang diinginkan oleh Islam itu yaitu kemajuan dan pembangunan yang berjalan di dalam batas-batas nilai dan hukum cemerlang Islam, sehingga dapat menjamin kesejahteraan dunia dan akherat manusia.
Maka, sama sekali tidak ada keharusan logis antara pembangunan dan menerima budaya Barat. Sebagai contoh, di masa barbarisme Barat yang buas, umat Islam ketika itu tampil sebagai pelopor ilmu pengetahuan dan pembangunan di dunia. Bahkan, sebagaimana yang diakui oleh orang Barat sendiri, jika Islam tidak meninggilkan warisan peradabannya di sana, sebagiamana yang dijumpai di Spanyol, mereka sekarang ini hidup setengah buas dan liar. Mereka sama sekali tidak akan mencapai kejayaan dan kemajuan teknologi seperti sekarang ini.
Kini, terdapat kalangan-kalangan yang mendukung pemikiran yang berusaha menampilkan sikap anti Islam terhadap pembangunan. Meraka berusaha dengan cara yang sangat terselubung menebarkan pemikiran ini di tengah masyarakat Islam, bahwa pembangunan dan kemajuan ekonomi selalunya disertai dengan pembangunan politik dan budaya.
Di sini, kami menemukan persepsi yang khas dari isu pembangunan politik dan budaya di atas, yang berdasarkan persepsi ini, fungsi isu ini sejalan dengan haluan dan tujuan sistem sosial Islam. Tetapi, apa yang dimaksudkan oleh sebagian dari penulis dan penceramah dari istilah-istilah tersebut ialah memaksakan dan menunggangkan budaya Barat atas budaya Islam. Pembombardiran media-media massa atas opini dan mentalitas publik muslim, serta buku-buku dan teori-teori ilmiah di pusat-pusat pendidikan tinggi dari satu sisi, dan kanalisasi pemikiran siswa-siswa jebolan luar negeri yang telah menamatkan pendidikannya di berbagai bidang seperti; Ekonomi, Sosiologi, Hukum dan ilmu-ilmu politik, untuk kemudian kembali ke negaranya dengan mentabligkan pemikiran-pemikiran Barat dengan bahasa ibunya dari sisi lain, semua itu adalah bagian dari penyerangan budaya Barat dan upaya menggiring negara mereka kembali pangkuan penjajahan.
Begitu juga, dengan berbagai metode dan cara telah disosialisasikan dua pilihan; yakni tertinggal dari pembangunan dan kemajuan peradaban atau mengesampingkan sentimen dan fanatisme agama, dan bersikap lunak dan toleran, acuh tak acuh dalam permasalahan ekonomi, politik yang kadangkala agama menjadi pengganjal dalam bidang-bidang itu, sebagaimana yang selalu di tekankan dan diyakinkan oleh mereka.
Dalam pada itu, Negara-negara bekas jajahan itu mendapatkan pinjaman sedemikian besar dari IMF dan Bank Dunia. Dan, dengan menyediakan peluang untuk penanaman modal luar negeri dan membuka sektor-sektor bebas, mereka mendapatkan modal yang cukup untuk kegiatan produksi. Lantaran lembaga-lembaga keuangan dan ekonomi dunia itu tidak begitu saja meminjamkan ataupun menanamkan modal di suatu Negara; tanpa syarat-syarat tertentu yang mengikat, mereka harus mengendorkan semangat komitmen pada sebagian prinsip-prinsip dan nilai, untuk kemudian bisa mendapatkan fasilitas dan kemudahan-kemudahan ekonomi dari pihak-pihak asing.
Dalam persoalan-persoalan budaya pun, disosialisasikan sikap toleran dan lapang dada. Karena, dengan cara inilah kita bisa berintegritas dan masuk dalam pergaulan masyarakat internasional, dan mendapatkan kedudukan di tengah mereka. Jika tidak demikian, maka sesungguhnya sikap bersikeras, mempertahankan prinsip dan nilai mutlak kita di dunia ini, malah akan mengasingkan dan mengucilkan diri kita sendiri di dunia ini.
Oleh karena itu, dogmatisme harus dikesampingkan dengan mengedepankan sikap lunak dan liberal, serta berusaha menghindar dari cara berfikir absolutistik, sehingga jika ada segolongan orang yang melecehkan hal-hal yang kita percayai sebagai kebenaran, tidak seharusnya kita menunjukkan reaksi sebegitu tegas. Padahal dalam Islam, yakin menempati posisi yang tinggi. Dalam ayat dan riwayat, para peyakin diangkat sampai pada kedudukan yang paling luhur. Sebaliknya, ragu dan skeptisme yang merupakan salah satu dari nilai-nilai dunia Barat sekarang adalah hal yang tercela dan terlarang dalam padangan Islam. Konsekuensinya, komitmen pada prinsip-prinsip dan asas-asas Islam merupakan salah satu nilai tertinggi manusia muslim.
Maka itu, isu-isu seperti pembangunan politik telah menjadi salah satu senjata penyerangan budaya musuh-musuh untuk pemecahbelahan, dan sebuah celah untuk membabat habis nilai-nilai Islam dan revolusi serta mengikis rata sentimen dan kepekaan religius dan revolusioner rakyat, sehingga seiring dengan hancurnya akherat mereka, dunia merekapun kembali di bawah imperialisme Barat.
Di sini, tepat sekali untuk diusahakan secermat mungkin mengetangahkan isu dan istilah ini demi mencapaian tujuan-tujuan sistem pemerintahan Islam oleh pihak-pihak yang tulus, dan oleh mereka pula dijelaskan dengan motif pencapaian tujuan-tujuan tersebut, tanpa meneledorkan langkah-langkah preventif atas penyalahgunaan isu dan istilah semacam ini lewat kajian-kajian khusus dan mendalam.
Di era globalisasi ini salah satu tugas berat yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim adalah berjuang dan tiada perjuangan yang lebih utama disaat ini kecuali berjuang untuk mempertahankan kebudayaan Islam yang terus menerus digerus oleh Barat. Dalam konsep perjuangan Islam ada beberapa perjuangan yang dikhususkan untuk pria saja seperti perjuangan fisik membela negara. Akan tetapi ketika modus perjuangannya adalah mempertahankan budaya Islam, maka hal itu adalah taklif ilahi bagi pria dan wanita, dimana hukumnya sama dengan perjuangan melawan hawa nafsu (jihad annafs) yaitu wajib aini (kewajiban atas setiap individu).
Era Kebangkitan Islam dan Kaum Muslimin
Setiap pergesekan yang terjadi di berbagai bidang -khususnya dalam budaya- secara alami sedikit banyak pasti akan berpengaruh pada komunitas muslim yang mengakibatkan lemahnya pengaruh budaya Islam. Dan akhirnya bermuara pada semakin menipisnya keyakinan keagamaan dan sensifitas mereka terhadap norma-norma agamis yang ada dalam syariat. Juga rasa kurang percaya diri yang merata dan acuh tak acuh terhadap agama. Di penghujung abad-20, isu tentang gejolak kebangkitan Islam semakin santer. Hal ini ditandai dengan banyaknya kelompok muslim melakukan berbagai aktivitas demi tercapainya era kebangkitan yang tentu sangat diidam-idamkan setiap muslim diseluruh penjuru dunia. Disisi lain, isu kebangkitan Islam ini digambarkan oleh Barat dan musuh-musuh Isalm dengan drakula penghisap darah yang akan mengancam kemapanannya. Kebangkitan yang selalu menghantui Barat ini dirasakan akan mengancam dan merongrong kelangsungan hidup budaya yang mereka hasilkan dari jerih payah mereka sepanjang zaman dalam mengais sampah-sampah budaya-budaya Yunani klasik.
Jerih payah Barat adalah menghidupkan kembali budaya-budaya Yunani klasik lalu mengadopsinya sebagai budaya mereka sampai sekarang ini. Itu semua mereka lakukan karena mereka merasa bahwa budaya asli yang mereka miliki -sejak awal abad pertengahan sampai menjelang era renaisans- tidak dapat membawa mereka pada kemajuan berfikir dan berkreasi. Entah apakah karena kecemburuan ataukah kedengkian mereka terhadap Islam, yang budayanya masih tetap terjaga dengan baik dan pernah jaya, sebagaimana diakui Well Durant, dalam bukunya “Sejarah peradaban” (The History of Civilization), Barat telah banyak belajar dari hal tersebut.
Serangan kebudayaan yang dilakukan Barat dengan melontarkan berbagai persoalan-persoalan yang menjadi pekerjaan rumah umat Islam, mengindikasikan ada interest kuat untuk menggoyahkan dan memberikan keraguan atas keyakinan kaum muslimin tentang eksistensi, esensi manusia dan kehidupan. Mereka berusaha untuk meragukan norma dan akidah Islam yang benar dan sesuai dengan ajaran para kekasih Ilahi (as) dengan sesuatu yang berlandaskan nafsu hewani mereka.
Perlu diingat bahwa budaya Islam terdiri dari dua hal. Pertama, berhubungan dengan prinsip keyakinan. Kedua, norma-norma keagamaan yang berhubungan dengan perilaku individual dan sosial manusia. Karena memang dua hal inilah yang paling berkesan dalam kehidupan manusia. Musuh-musuh Islam berusaha mengkonsentrasikan diri mereka untuk merusak keimanan kaum muslimin -berkaitan dengan dua perkara diatas- dengan melontarkan keraguan dan subhat hingga kaum muslimin kehilangan sensifitas dan kecemburuan mereka akan Islam. Dengan memberikan perubahan bertahap dalam norma-norma agamis yang ada dalam syariat Islam dengan norma-norma yang lain. Mereka memilih metode ini, karena mereka tahu bahwa komunitas muslim diseluruh penjuru dunia sangat menjunjung tinggi norma-norma keislamannya hingga pada batas kesyahidan (martyrdom).
Dalam konsep globalisasi, dunia yang luas ini telah berubah menjadi seperti satu perkampungan sesak dengan penduduk dimana sistem informasi dan transportasi lebih mudah dan lebih dapat dijangkau. Yang berdampak semakin rentannya pergesekan dalam bidang ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. Gesekan dan benturan ini diakui oleh Samuel Huntington dengan teori “The Class of Civilization“, akan berakhir pada pergesekan besar antara budaya Islam dan kristen (Barat).
Setiap pergesekan yang terjadi di berbagai bidang -khususnya dalam budaya- secara alami sedikit banyak pasti akan berpengaruh pada komunitas muslim yang mengakibatkan lemahnya pengaruh budaya Islam. Dan akhirnya bermuara pada semakin menipisnya keyakinan keagamaan dan sensifitas mereka terhadap norma-norma agamis yang ada dalam syariat. Juga rasa kurang percaya diri yang merata dan acuh tak acuh terhadap agama.
Untuk membuktikan hal tersebut kita bisa bandingkan generasi Islam sekarang ini dengan generasi terdahulu. Kita dapat saksikan, ada berapa banyak para “pemikir muslim” yang memiliki kecendrungan kebarat-baratan dengan mengadopsi teori pemikiran humanisme, liberalisme, sekularisme, sosialisme, dan lain-lain. Informasi yang mereka berikan, dikemas sedemikian rupa sehingga dapat meyakinkan masyarakat bahwa semua itu sesuai dengan ajaran Islam. Padahal jika kita telaah lebih dalam, sesungguhnya budaya pemikiran tersebut tumbuh dan berkembang murni di dunia Barat dan tidak memiliki background kultur dan syariat Islam. Hanya saja hasil rekayasa sebagian “pemikir muslim” tersebut menjadi sasaran empuk permainan budaya-budaya Barat, dan sebetulnya inilah yang dikehendaki Barat atas Islam dan muslimin.
Penjajahan budaya ini mampu mengasingkan kaum muslimin dari norma-norma agamanya sendiri, sampai sebagian dari mereka menganggap itu semua sesuai dengan penafsiran mereka tentang ajaran Islam. Artinya Islam telah mengajarkannya, dan sebagian lain beranggapan; “karena ajaran Islam tidak mencakup semua hal positf tersebut, maka apa salahnya kalau kita mengadopsinya, bukankah Islam mengajarkan ‘Ambillah hikmah walau dari orang kafir sekalipun!’(al-Hadis)”. Mereka memiliki proses berfikir liar hingga tidak lagi mengindahkan batasan-batasan logika, keyakinan (akidah) dan norma-norma Islam.
*****
Di era globalisasi ini salah satu tugas berat yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim adalah berjuang dan tiada perjuangan yang lebih utama disaat ini kecuali berjuang untuk mempertahankan kebudayaan Islam yang terus menerus digerus oleh Barat. Dalam konsep perjuangan Islam ada beberapa perjuangan yang dikhususkan untuk pria saja seperti perjuangan fisik membela negara. Akan tetapi ketika modus perjuangannya adalah mempertahankan budaya Islam, maka hal itu adalah taklif ilahi bagi pria dan wanita, dimana hukumnya sama dengan perjuangan melawan hawa nafsu (jihad annafs) yaitu wajib aini (kewajiban atas setiap individu).
Dengan gencarnya serangan budaya Barat yang bertubi-tubi seakan tiada henti maka kaum muslimin harus tetap siaga dan mempersenjatai diri mereka dengan keilmuan dan pengetahuan dengan didasari logika yang baik dan benar dalam menerapkan kaidah-kaidahnya, dan terus melatih diri dalam forum-forum diskusi ilmiah.
Sebagaimana dalam perjuangan fisik, diperlukan berbagai sarana yang berfungsi untuk mempertebal mental dan percaya diri sekaligus berfungsi menjatuhkan mental lawan. Maka perjuangan membela budaya Islam pun memerlukan hal tersebut dengan usaha penyebaran ajaran Islam yang sesungguhnya. Usaha ini akan membangkitkan rasa cemburu dan sensitifitas agamis kaum muslimin atas Islam. Penting dilakukan juga, usaha membuka forum dialog dan menggalang persatuan kaum muslimin, yang merupakan bentuk otentik dari sarana yang kita maksud.
Oleh karenanya, selain penggalakan toleransi sosial antar umat beragama, penumbuhan identitas religius sebagai dasar kerukunan umat beragama harus ditekankan. Hanya dengan identitas religius, suatu bangsa akan dapat menahan serangan budaya asing yang selalu menggerus dan menggoyah kebudayaan bangsa. Identitas religius adalah identitas esensi manusia. Dengan kembali kepada identitas ini berarti kembali kepada esensi kemanusiaan. Inilah makna keadilan yang diimpikan semua umat manusia.
“Kedamaian di dunia tak mungkin akan dicapai tanpa adanya persatuan antar agama. persatuan antar agama tak mungkin dapat terwujud tanpa adanya dialog antar agama” (Huns Kung).
I. Pendahuluan
Indonesia adalah sebuah negara yang plural. Pluralitas negara kesatuan republik Indonesia (NKRI) bisa dilihat dari keanekaragaman ras, suku, bahasa (daerah), adat istiadat dan agama bangsa Indonesia. Bisa jadi keberagaman ini menjadi sebuah kekayaan. Namun, kekayaan ini jika tidak dikelola dengan baik dapat menjadi ancaman yang berakibat fatal. Berbagai keberagaman yang ada di NKRI pun dapat menjadi ancaman bagi keutuhan dan kelangsungan NKRI, karena kelangsungan dan keutuhan suatu negara bergantung pada stabilitas negara yang bersangkutan. Keberagaman dapat dijadikan amunisi untuk memecah persatuan yang bisa berakhir pada hancurnya stabilitas negara. Munculnya usaha untuk disintegrasi di berbagai wilayah RI menjadi bukti konkrit dari problem ini.
Beberapa tahun lalu bahkan sampai saat ini, di Indonesia banyak kejadian yang salah satu pemicunya disebabkan kasus SARA. Peristiwa Ambon, Poso, Sampit, Aceh sampai kasus dukun santet di Jawa Timur, semua diisukan bersumber dari SARA, lebih khusus masalah agama. Agama adalah obyek yang paling gampang untuk dijadikan kambing hitam. Bentrok antar pendukung partai berbasis agama yang pernah terjadi di beberapa daerah, agama pun dianggap sebagai biang keroknya. Perkara kriminalitas yang dengan jelas disebabkan murni politik, namun agama dijadikan sasaran pengkambinghitaman
Indonesia bukan negara agama atau mazhab, namun Indonesia adalah negara agamis. Dalam arti, tatanan kenegaraan NKRI tidak didasari oleh ideologi agama atau mazhab tertentu, namun negara dan bangsa Indonesia sangat menjunjung tinggi norma-norma keagamaan. Sehingga, segala pemikiran dan usaha untuk menggeser norma-norma agama akan tersingkir dari lubuk bangsa. Disisi lain, bangsa Indonesia memiliki corak dan watak masyarakat Timur yang kental dengan toleransi, teposeliro (tenggang rasa) dan gotong-royong antar sesama. Oleh karenanya, segala bentuk tindak kriminal, kekerasan dan arogansi baik dengan kemasan premanisme, intelektualisme, maupun spiritualisme agama sekalipun akan mendapat reaksi keras dari berbagai lapisan masyarakat. Dapat kita saksikan, betapa keras reaksi masyarakat Indonesia terhadap munculnya berbagai aliran pemikiran liberal berkedok agama yang dalam banyak hal tiada lagi mengindahkan batas-batas norma dan sakralitas keagamaan. Sebagaimana dapat disaksikan reaksi keras masyarakat atas tindak kekerasan dan prilaku arogansi atas kasus-kasus tertentu, terkhusus dengan mengatasnamakan agama.
Disisi lain, usaha pihak-pihak tertentu dalam memunculkan bentrok antar masyarakat dengan isu SARA sering dijumpai dalam banyak kasus di Tanah Air. Baik dari luar, maupun dari dalam negeri yang mendapat dukungan luar. Mereka berusaha untuk memecah belah persatuan dan kesatuan RI dengan menggoyah stabilitas nasional, dengan alasan apapun. Gerakan reformasi pun dijadikan alasan dan sarana untuk itu. Perbedaan agama adalah obyek menarik buat kalangan itu untuk membikin keonaran di Nusantara.
Melihat fenomena-fenomena di atas tadi, banyak para pakar menawarkan wacana pluralisme agama dan mazhab sebagai alternatif dan solusi untuk mengatasi probem di atas. Namun, bukan berarti permasalahan bisa selesai, namun wacana ini masih menyisakan banyak pertanyaan. Seperti; apa yang di maksud dengan pluralisme agama? Adakah pluralisme agama berarti pengakuan akan kebenaran semua agama/mazhab sebagaimana yang diungkapkan oleh pendirinya, meskipun doktrin beberapa agama/mazhab saling kontradiktif? Apakah hanya berbekal pluralisme agama akan dapat menyelesaikan permasalahan? Adakah solusi lain yang dapat diterapkan dalam menyelesaikan problem tersebut? Makalah ini paling tidak akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.
II. Sejarah Kemunculan Pluralisme Agama
Plural dari sisi bahasa berarti beragam. Istilah ini -sebagaimana banyak istilah lain dalam ranah sosial, politik, filsafat dan teologi- diproduksi Barat. Melalui proses interaksi antara Barat dengan negara-negara dunia ketiga, pengdopsian pemikiran pun dilakukan oleh pemikir dan intelektual negara-negara dunia ketiga. Menurut istilah filsafat agama, pluralisme sering diartikan sebagai keyakinan akan kebenaran semua agama yang ada. Sebelum muncul konsep pluralisme agama, lebih dahulu berkembang ke permukaan berbagai pluralisme lain; pluralisme sosial, pluralisme budaya dan pluralisme etika. Pluralisme sosial yang diartikan sebagai penyesuaian terhadap berbagai pandangan dan keyakinan lain secara normal (tidak keluar dari dua titik ekstrim) dengan mengedepankan jiwa toleransi. Pluralisme etika diartikan sebagai relatifitas norma-norma etika dan penafian atas tolok ukur yang bersifat konstan dalam menentukan norma-norma etika yang ada. Sedang pluaralisme budaya berarti pengakuan akan kebenaran semua budaya yang ada dan penafian dominasi budaya tertentu. Meskipun terdapat perbedaan jika ditinjau dari sisi fungsinya, namun terdapat kesamaan antara semua bentuk pluralisme tadi, yaitu keyakinan akan relativitas epistemologis. Dari sinilah, muncullah konsekuensi bahwa segala bentuk parameter, rujukan dan penafsiran yang tetap dan tunggal dinafikan.
Istilah pluralisme agama pertama kali muncul di dunia Barat pada abad ke dua belas, pada masa Yohanes Damasyki. Akan tetapi pada saat itu, istilah pluralisme ini belum terlalu populer. Hingga pada akhirnya, pada tahun 1854 pusat gereja Katolik mengeluarkan statemen resmi bahwa selain agama Kristen, hanya Islam (agama di luar Kristen) yang tidak meyakini ketuhanan al-Masih dinyatakan memiliki muatan kebenaran. Di tahun yang sama (1854), John Hick mengeluarkan pernyataan dan memprotes keputusan pihak gereja Katolik tersebut dengan menyatakan; kenapa hanya satu agama saja? Bukankah agama yang lain pun memiliki hak yang sama? Bukankah setiap pengikut agama jika mengikuti suara tulus hati nurani (fitrah) mereka tidak termasuk kategori pendosa? John Hick memandang perlu adanya pengakuan gereja atas agama-agama semuanya, tanpa terkecuali. Kritisi John Hick atas pandangan pihak gereja inilah yang sekaligus membidani lahirnya pemikiran baru tentang konsep pluralisme agama yang kemudian dalam istilah teologi dikenal dengan Revolusi Coopernicus.[3]
Menurut bapak pluralisme agama, Jonh Hick, keyakinan keagamaan masyarakat dalam kaitannya dengan hubungan antar pengikut agama (atau mazhab) lain terbagi atas tiga kelompok. Pertama, eksklusivisme, yang meyakini bahwa hanya terdapat satu agama yang memiliki muatan kebenaran. Dengan meyakini agama yang satu tersebutlah manusia akan mendapat kebahagiaan dan keselamatan sejati. Karl Barth, Emil Brunner dan Hendrik Kraemer, diantara para teolog Protestan yang mewakili pemikiran ini. Mereka menyatakan hanya pada al-Masih Tuhan mempunyai penjelmaan utuh. Oleh karenanya hanya melalui Kristiani manusia akan mendapat penjelmaan mutlak Tuhan. Kedua, Pluralisme. Meskipun pluralisme memiliki berbagai pengertian akibat perluasan makna, namun secara umum mereka mengartikan pluralisme agama sebagai pengakuan kebenaran atas semua agama, dimana setiap agama dapat menghantarkan pengikutnya menuju kepada kebahagiaan dan keselamatan sejati, sebagaimana yang didefinisikan oleh pendirinya. Ketiga, inklusivisme, yang seakan merupakan gabungan antara eksklusivisme dan pluralisme. Mereka meyakini hanya ada satu agama yang memiliki kapasitas kebenaran dan dapat menjamin para pengikutnya untuk mendapatkan kebahagiaan abadi. Dari sisi ini mereka sama seperti kaum eksklusivisme. Namun, dari sisi lain mereka juga meyakini bahwa kasing sayang dan pertolongan Tuhan mencakup semua pengikut agama-agama yang ada. Meskipun ajaran agama yang benar belum mereka dapatkan, atau bahkan sama sekali belum mereka dengar. Sebagaimana yang digagas Karl Rahner (teolog Katolik) tentang teori Anonymous Christians, bagi yang berbuat kebaikan tapi tidak memeluk agama Kristen.
Kendala adanya pemikiran eksklusivisme inilah yang dianggap sebagai penghalang terwujudnya ketentraman dan perdamaian antar umat beragama. Ya, walaupun inklusivisme dalam beberapa hal sama seperti apa yang diyakini eksklusivisme, namun keyakinan akan cakupan kasih sayang Tuhan itulah yang menyebabkan mereka masih dapat hidup tentram dan damai bersama para pengikut ajaran agama/mazhab lain.
John Hick bukan hanya tidak menerima pemikiran eksklusivisme, namun ia juga dengan tegas menolak inklusivisme. Dia mengatakan, “berpikiran inklusivisme saja tidak cukup, harus ada pengakuan akan kebenaran agama-agama lain”.[4]
III. Pluralisme Agama dan Mazhab
Jika melihat realita kehidupan masyarakat, keberadaan agama dan mazhab dengan berbagai bentuknya merupakan fenomena yang tidak dapat dipungkiri. Berangkat dari sini, para intelektual agama diharuskan memberikan pandangannya atas keberadaan berbagai agama dan mazhab tadi, sehingga jelas reaksi apa yang bakal dilakukan oleh penganut agama yang bersangkutan atas penganut agama lain. Di sisi lain, dapat dilihat bahwa pengetahuan dan pemahaman para intelektual agama (ruhaniawan) dalam memahami konteks agama sangat beragam. Dari sinilah akhirnya muncul berbagai pertanyaan yang berakhir pada keyakinan relativitas pemahaman yang berakhir pada relativitas kebenaran. Sesuai dengan apa yang disampaikan oleh pendiri pemikiran pluralisme agama, plualisme agama berarti pengakuan akan kebenaran setiap agama.
Jika dianalisa secara teliti ada dua macam bentuk pluralisme; pluralisme eksternal agama dan pluralisme internal agama. Pluralisme eksternal agama adalah keyakinan akan kebenaran semua agama, baik dalam kapasitas yang sama maupun dengan kapasitas kebenaran yang berbeda-beda. Sedangkan pluralisme internal agama adalah keyakinan akan kebenaran semua sekte/mazhab dalam satu agama tertentu, dimana letak perbedaan antar sekte/mazhab adalah disebabkan oleh perbedaan penafsiran (hermeneutika) terhadap konteks agama. Pluralisme internal agama muncul akibat keyakinan akan kebenaran semua bentuk penafsiran, walaupun satu sama lain secara zahir saling bertentangan. Hal itu, untuk menghindari terjadinya pertikaian antar pengikut sekte/mazhab dalam kehidupan bermasyarakat.
Kedua bentuk pluralisme di atas (internal dan eksternal agama) memiliki beberapa kemungkinan pengertian yang berbeda. Pertama, pluralisme diartikan sebagai pandangan atas agama/mazhab sebagai satu hakikat namun dengan berbagai rupa dan bentuk. Kedua, pluralisme diartikan sebagai esensi hakikat memiliki berbagai bentuk yang terjelma dalam berbagai agama/mazhab. Ketiga, pluralisme diartikan bahwa hakikat terdiri dari berbagai unsur yang masing-masing dari unsur yang ada tersimpan dalam sebuah agama/mazhab. Dan keempat, pluralisme diartikan sebagai saling menghormati antar pengikut umat beragama/bermazhab, toleransi sosial antar umat beragama/bermazhab. [5]
Tentu, antara konsep dan praktek memiliki hubungan yang sangat erat. Masing-masing arti dari empat alternatif pemahaman di atas sangat berpengaruh pada sikap pribadi pemilik konsep. Singkat kata, setiap arti apapun yang dipilih pada empat pengertian di atas masing-masing memiliki konsekuensi logis yang berpengaruh pada prilaku empunya. Kesalahan dalam memahami konsep pluralisme agama akan menyebabkan kesalahan dalam bertindak. Jika pluralisme diartikan sebagai pengakuan akan kebenaran setiap agama, atau tercecernya kebenaran ataupun adanya gradasi kebenaran, maka hal itu akan memunculkan berbagai paradoksi dalam logika seseorang. Akal sehat manusia tidak akan bisa menerima bahwa dua hal yang saling paradoks sama-sama memiliki muatan kebenaran. Ketika dijumpai dua ajaran yang saling kontradiksi, mustahil keduanya dihukumi benar. [6]
III.1 Problem Konsep Pluralisme Agama
Melihat sejarah kemunculan dan fenomena yang terjadi di Barat, konsep pluralisme agama, yang juga menjadi diskursus pemikiran di Indonesia, berangkat dari dua faktor utama. Pertama, faktor epistemologi. Faktor ini berangkat dari keyakinan akan relativitas kebenaran, atau keyakinan akan ketidakmampuan dan kelemahan manusia dalam meraih kebenaran sejati. Para pendukung pemikiran ini selalu melihat sesuatu dengan kacamata skeptisisme. Dalam dunia Kristen, para pendukung pemikiran pluralis, mereka bukan hanya meragukan kebenaran agama Kristen, dalam banyak hal mereka ragukan, sampai-sampai keberadaan (dalam sejarah) Isa al-Masih pun mereka ragukan. Sebagaimana mereka juga meragukan kitab suci Injil yang mereka katakan sebagai hasil karya para sahabat dari sahabat al-Masih, dengan syarat kalaulah al-Masih pernah ada di dunia.
Kedua, faktor politik dan budaya masyarakat. Walaupun faktor ini bukan faktor dasar terbentuknya pluralisme agama, yang berarti kebenaran semua keyakinan dan agama, namun, sedikit banyak mempunyai pengaruh dalam konsep itu. Konsep sekularlisme yang banyak dipengaruhi oleh faktor diatas, bukan pluralisme agama.
Melihat dari dua faktor di atas, pada dasarnya ada tiga poin yang harus dibahas dalam permasalahan pluralisme agama yang berkaitan dengan problem epistemologis. Pertama, pembahasan teoritis. Masalah utama dalam pembahasan ini bersumber dari pertanyaan, adakah satu diantara sekian banyak agama dan sekte yang dapat mewakili kebenaran mutlak, sehingga dapat menjadi parameter benar-salah golongan lain? Ataukah proses menimbang kebenaran dan kesalahan setiap golongan merupakan suatu hal yang relatif, sehingga tidak ada satu agama dan mazhab pun yang dapat mewakili kebenaran secara utuh? Kesimpulan terakhir yang diambil adalah tidak ada satu agama dan mazhab pun yang dapat mewakili kebenaran mutlak. Inilah yang dipakai sebagai dasar para pendukung pluralisme agama dan mazhab.
Kedua, pembahasan keselamatan abadi. Problem utama dalam pembahasan ini bersumber dari pertanyaan; apakah pengikut yang taat dalam setiap agama dan aliran akan mendapat kebahagiaan abadi? Ataukah hanya pengikut yang taat pada agama atau mazhab tertentu yang dapat menikmati kebahagiaan abadi? Tentu, para pendukung pluralisme agama akan menjawab bahwa pelaku ketaatan pada setiap agama akan mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan abadi. Hal itu dikarenakan keyakinan akan kebenaran semua agama/mazhab dan tiada satupun dari agama/mazhab tersebut yang mewakili kebenaran mutlak.
Ketiga, pembahasan praktis (hidup rukun dan damai antar sesama umat beragama). Titik penting pembahasan ini yakni; mungkinkah masyarakat yang berbeda agama dan mazhab akan dapat hidup rukun dan damai saling berdampingan? Ataukah kehidupan rukun dan damai hanya dapat terealisasi jika masyarakat menganut satu agama/mazhab?
Para pendukung pluarisme agama –berdasarkan dua pemikiran sebelumnya- akan menjawab positif. Mereka akan mengatakan bahwa dengan bekal pluralisme agama ( dengan arti yang disebutkan oleh pendirinya) hidup rukun dan damai antar umat beragama akan dapat terwujud.[7] Perlu dicatat bahwa bukan hanya para pendukung pluralisme agama saja yang menjawabnya dengan jawaban positif, namun para pengkritisi konsep pluralisme agama pun menjawabnya dengan positif.
Para pendukung pluralisme beranggapan bahwa tiga poin di atas saling berkaitan, sehingga dengan menolak salah satunya akan gugur semuanya. Mereka menyatakan, jika seseorang telah meyakini pluralisme agama yang berarti pengakuan akan kebenaran semua agama/mazhab (pada poin pertama), maka ia akan meyakini bahwa setiap pemeluk agama/mazhab lain, jika mereka taat atas ajaran-ajarannya, niscaya bakal mendapat keselamatan dan kebahagiaan abadi (pada poin kedua). Jika keyakinan pada poin kedua tadi sudah melekat pada jiwa seseorang, maka ia akan selalu berjiwa toleran terhadap semua orang yang berlainan agama/mazhab. Padahal tidak ada konsekuensi logis antara ketiga poin di atas tadi. Bisa saja seseorang menolak salah satu dari tiga poin tadi -misalnya menolak sisi teoritis karena ketidak-logisannya- namun ia mengambil poin yang lain –sisi praktisnya- karena lebih dapat diterapkan.[8] Disini, tidak ada konsekuensi jika menerima sisi praktis maka secara otomatis pasti menerima sisi teoritisnya.[9]
Sebagaimana yang telah dibahas di atas, faktor epistemologislah yang lebih dominan dalam pelontaran konsep pluralisme agama, bisa dikatakan pluralisme agama adalah kelanjutan dari skeptisisme dan sophisme Yunani klasik dengan sedikit modifikasi- yang meyakini relativitas kebenaran. Oleh karenanya, pluralisme berkaitan erat dengan konsep-konsep rasional, bukan eksperimental. Konsep-konsep rasional dalam pokok pembahasan agama secara khusus dibahas dalam pembahasan teologi dan filsafat. Yang dimaksud dengan rasio di sini adalah pendeteksi di luar indera, imajinasi (khayalan) dan prasangka[10], atau biasa disebut dengan akal demonstratif (aql burhani) yang menghasilkan konklusi dari proposisi-proposisi universal, dimana mayor dan minor dalam proses pendeduksiannya dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
III.2 Kritik Konsep Pruralisme
Ada beberapa hal yang menjadi dasar utama pemikiran pluralisme agama yang harus dikritisi, sehingga jika ditemukan banyak kelemahan dalam argumentasinya maka secara konseptual ide tersebut tidak layak di implementasikan begitu juga sebaliknya.
Pertama, metode dalam mengenal hakikat agama. Banyak ilmuwan dalam meneliti fenomena keagamaan menggunakan metodologi yang sesuai dengan latar belakang pendidikan mereka. Tidak jarang metodologi yang mereka terapkan tidak menjurus kepada hakikat (esensi) agama yang mereka teliti, tetapi hanya tertuju pada fenomena zahir suatu agama.
Ada tiga metode yang sering dipakai oleh para ilmuwan[11]. Sosiolog berkesimpulan bahwa agama merupakan fenomena sosial yang beragam. Jelas, mengetahui esensi agama dan kaitannya dengan benar-salah suatu ajaran agama tidak dapat dideteksi secara teliti melalui metode sosiologi ini. Begitu juga dengan sebagian psikiolog yang beranggapan bahwa agama terwujud dari ciri khas kejiwaan setiap pribadi manusia. Menurutnya, setiap individu memiliki cara dan sarana untuk berhubungan dengan eksistensi jiwanya. Dengan sarana tersebut akhirnya individu tadi menjadi individu agamis. Meskipun metode semacam ini secara mutlak tidak dapat disalahkan karena dapat membantu manusia dalam proses pencarian agama, akan tetapi, metode semacam ini tetap tidak dapat mengenal secara detail ciri khas agama yang benar. Lain halnya dengan penelitian sejarah dan geografis yang pada batas-batas tertentu sangat bermanfaat, namun tetap tidak dapat menilai secara obyektif kebenaran sebuah ajaran agama/mazhab.
Metode yang tepat dalam mengenal agama dan menentukan kebenaran ajaran suatu agama/mazhab hanya dapat dilakukan melalui metode intelektual. Tentu metode ini tidak bersifat membumi, dalam arti, hanya pribadi-pribadi tertentu saja yang dapat menalar dan mempraktekannya. Menganut ajaran agama yang benar adalah ajakan abadi esensi dasar manusia (fitrah) dan akal sehat manusia. Ajakan fitrah dan akal sehat manusia untuk selalu mengikuti agama yang benar dikarenakan, hanya agama yang dapat memenuhi segala kebutuhan spiritual manusia.[12] Adapun hal-hal rasional yang sesuai dengan akal sehat manusia hanya dapat diraih melalui metode yang diajarkan oleh ajaran filsafat dan teologi. Melalui metode filsafat dan teologi seorang pribadi dapat meraih keyakinan sejati yang sesuai dengan realita, bukan keyakinan sosiologis, psikologis atau sejarah. Tidak semua keyakinan bersifat ilmiyah yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, terkadang keyakinan juga bersifat psikologis yang muncul akibat doktrin yang dilakukan secara berulang.[13]
Kedua, relatifitas pemahaman dan kaitannya dengan keragaman. Mereka meyakini bahwa tidak ada satupun yang ada di alam realita ini yang secara menyeluruh dapat diketahui oleh manusia. Mereka berdalil, semua yang ada di semesta bersifat tidak terbatas (absolut), sedang akal manusia bersifat terbatas. Lantas, bagaimana mungkin yang terbatas akan mengetahui secara detail hal-hal yang tidak terbatas? Oleh karenanya, setiap pemahaman manusia akan sesuatu –yang sesuai dengan kadar masing-masing individu- membawa nilai kebenaran.[14]
Konsep ini, harus dipertanyakan terlebih dahulu, manakah realita yang tidak terbatas? Jika yang dimaksud dengan realitas yang tidak terbatas adalah wujud mumkin (possible existence) maka pernyataan ini tidak dapat dibenarkan, mengingat semua kenyataan alam realita bersifat terbatas sebagaimana yang telah ditetapkan dalam filsafat dan teologi.[15] Jika yang dimaksud dengan tidak terbatas adalah gabungan penciptaan alam semesta secara keseluruhan maka hal ini dapat diterima, namun tidak seorang pun yang mengaku bahwa pemahamannya mencakup semua hakikat baik yang berkaitan dengan zaman dahulu, sekarang dan akan datang. Atau jika yang dimaksud dengan tidak terbatas adalah eksistensi Tuhan, maka jelas tiada seorang pun yang mengaku telah mampu melingkupi-Nya.
Mungkin saja dapat dikatakan bahwa tidak seorangpun dapat meraih hakikat absolut, akan tetapi ungkapan tadi tidak dapat diambil kesimpulan bahwa semua yang dipahami oleh setiap orang atau kelompok adalah memiliki muatan kebenaran. Tentu, akal tidak akan membenarkan ungkapan yang mengatakan, “ungkapan seorang pakar kedokteran tentang masalah penyakit A belum tentu mutlak benar, namun ungkapan si X yang tidak pernah belajar sedikitpun tentang penyakit dan kedokteran- dalam masalah penyakit A juga memiliki muatan kebenaran”.[16] John Hick, berkaitan dengan hal ini menyandarkan argumentasinya dengan analogi Jalaluddin Rumi (maulawi) penginderaan beberapa orang terhadap gajah di dalam ruangan gelap gulita.
Padahal, Maulawi Rumi tidak mengatakan bahwa semua persepsi manusia tentang gajah di dalam kamar gelap itu dinyatakan betul. Namun, ia mengatakan bahwa persepsi semua orang tentang gajah adalah salah. Akan tetapi, karena mereka pada situasi gelap tanpa ada cahaya penerang sedikitpun, maka kesalahan mereka masih bisa ditolerir. Mereka harus tetap berusaha untuk mencari lampu penerang sehingga dapat mengindera gajah sebagaimana mestinya. Jika ada seseorang –setelah mendapat lampu penerang- dengan sengaja pergi ke dalam kegelapan untuk mengindera gajah, dan jika ia terjerumus kedalam kesalahan, niscaya kesalahannya tidak lagi dapat ditolerir. Hanya dengan cahaya makrifat yang terpancar dari akal demonstratif manusia akan mendapat kebenaran sejati yang bersifat tunggal, tidak berbilang.
Ketiga, reaksi pemahaman manusia terhadap realita. Sebagian beranggapan bahwa perubahan pemahaman manusia sangat dipengaruhi oleh perubahan realitas diluar. Mereka berdalil, kebenaran bukanlah sesuatu yang berada dalam pikiran manusia. Pendeteksian alam realita tergantung kepada sel-sel saraf otak setiap individu yang kemudian diolah menjadi pengetahuan individu tersebut. Oleh karenanya, pengetahuan setiap individu sangat bergantung kepada kemampuan penginderaan sel-sel saraf yang terdapat pada otak masing-masing. Bagi sebagian ilmuwan, pemikiran semacam ini bukan hanya berkaitan dengan alam natural saja, namun juga dapat diterapkan pada pemahaman manusia terhadap agama.
Pemikiran ini tentu tidak dapat diterima, mengingat pengetahuan manusia tidak hanya bergantung kepada sel-sel saraf otak yang bersifat materi. Dalam istilah filsafat, sel-sel saraf otak berkaitan dengan pengetahuan manusia hanya sebagai alat atau sebab pemberi sarana (preparing cause) saja. Pengetahuan manusia bersumber dari kemampuan berfikir dan esensi manusia penghasil keyakinan ilmiah sekaligus semangat pengamalan sebuah konsep. Semua itu bersifat non-materi. Oleh karenanya, boleh jadi otak yang terdapat pada badan materi manusia berposisi pada satu kotak tertentu, namun kemampuan berpikir manusia bisa melalangbuana kesegala penjuru dunia, bahkan alam semesta. Itulah salah satu ciri eksistensi non-materi, tidak dipengaruhi ruang dan waktu. Meskipun masing-masing individu memiliki ciri khas tersendiri dalam sistem sel saraf otak sebagai sarana penghasil pengetahuan, akan tetapi perbedaan fasilitas, sistem dan sarana yang ada bukan berarti juga menyebabkan perbedaan kemampuan berfikir (untuk mencapai pengetahuan). Jika perbedaan sel-sel saraf manusia menjadi dasar utama perbedaan pengetahuan (terkhusus dalam menentukan benar-salah), lantas bagaimana cara seseorang melakukan proses pemindahan pengetahuan melalui kegiatan belajar-mengajar dalam sebuah kelas? Bagaimana seorang guru dapat menyalahkan jawaban seorang murid yang salah dan tidak sesuai dengan apa yang diajarkannya? Maka, otak adalah sarana untuk memahami bukan pemahaman itu sendiri.
Semenjak usia kanak-kanak manusia terbiasa dengan penggunaan inderanya. Hal itu akhirnya menyebabkan kecenderungan manusia terhadap pemakaian indera dalam menilai banyak hal semakin bertambah. Eksperimen merupakan bentuk penelitian inderawi. Eksperimen tidak akan pernah berlaku dalam hal-hal yang berkaitan dengan benar-salah sebuah agama/mazhab. Karena banyak ajaran agama/mazhab yang tidak dapat dideteksi melalui proses eksperimen karena bersifat supra-natural. Jelas, sesuatu yang tidak dapat dieksperimenkan, maka untuk mengetahui kebenaran dan kesalahannya pun tidak dapat melalui jalur eksperimen. Masalah keyakinan-keyakinan dasar agama seperti ketuhanan, kehidupan setelah mati, surga-neraka dan sebagainya tidak mungkin dieksperimenkan. Kalaupun terdapat permasalahan etika dan hukum-hukum agama yang dapat dieksperimenkan, hal itu hanya berkaitan dengan hal-hal duniawi belaka, efek inderawi. Sedangkan hubungan etika dan hukum tadi dengan kehidupan pasca kematian, sama sekali tidak dapat dieksperimenkan. Oleh karenanya, untuk mengetahui pandangan dunia keagamaan maupun ajaran-ajaran agama hanya dapat dideteksi melalui jalur rasionalitas ajarannya. Kalaupun dikatakan bahwa hanya melalui eksperimen kebenaran ajaran agama/mazhab dapat diketahui kebenarannya, niscaya hal itu akan membutuhkan banyak waktu untuk mengetahuinya, mengingat banyaknya agama dan mazhab dengan berbagai bentuk ajarannya yang satu persatu harus diteliti.[17]
Dalam kaitannya dengan konsep pluralisme agama/mazhab, harus ditekankan bahwa ada hubungan erat antara disiplin ilmu humaniora dengan pengetahuan agama. Mengingat bahwa fungsi agama adalah untuk menghantarkan manusia menuju kebahagiaan dan keselamatan abadi. Tanpa mengenal esensi manusia beserta kebutuhan-kebutuhan, serta mengenal sarana rasional yang harus ditempuh dalam memenuhi segala kebutuhan untuk mendapat kebahagiaan sejati dari cara hidup rasional, mustahil suatu ajaran dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Jika dalam ilmu humaniora telah ditetapkan bahwa manusia memiliki satu esensi utama yang tidak berubah sepanjang zaman (yang biasa disebut dengan ruh) sedang yang selalu berubah adalah sisi materi diri manusia saja, maka asas-asas agama (ushuluddin)[18] yang berfungsi memenuhi kebutuhan sesuatu yang tidak berubah juga harus tetap, tidak berubah. Sedang yang berubah adalah yang berkaitan dengan cabang-cabang agama (furu’uddin)[19] dimana penekanannya banyak memenuhi kebutuhan sisi materi manusia, yang penentuannya sesuai dengan situasi dan kondisi waktu dan tempat.
Meskipun tetap ada hubungan erat antara dua sisi tadi, karena dua sisi (materi dan non-materi) manusia juga tidak bisa dipisahkan, namun karena sisi non materi manusia (ruh) tidak berubah[20] dengan pengaruh waktu dan tempat, maka hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhannya pun tidak akan pernah berubah. Sedang karena sisi materi sangat dipengaruhi oleh waktu, tempat, situasi dan kondisi maka wajar saja jika terdapat perubahan pada hal-hal yang berkaitan dengan sisi-sisi materi tersebut. Tentu pernyataan ini bukan berarti membenarkan konsep pluralisme agama/mazhab, sebab jika hal tersebut diartikan sebagai pluralisme yang berarti semua ajaran benar sesuai dengan tuntutan zamannya, maka akan terjadi paradoks. Dikarenakan beberapa hal yang beragam, namun dari sudut yang sama adalah satu, ataupun sebaliknya, adalah hal yang kontradiktif dan tidak dapat diterima oleh akal sehat. Oleh karenanya, dikarenakan ruh dan fitrah manusia adalah satu dan tidak pernah berubah -sehingga disebut berbilang-, maka agama yang sebagai pembimbing dan pemimpin esensi manusia pun harus satu pula[21]. Maka dari itu, perbedaan syariat antar agama samawi hanya terletak pada sisi zahir saja yang mampu menerima perubahan, disesuaikan dengan tuntutan zaman. Namun dari sisi esensi agama samawi adalah satu, konsep tauhid dengan arti yang sebenarnya.[22]
Sebagian para sosiolog agama berpendapat, perbedaan antara agama dan mazhab yang ada bersifat gradual dimana sebagian disifati dengan kesempurnaan, sedang yang lain bersifat lebih sempurna. Perbedaan antara agama dan mazhab yang ada bersifat relatif, bukan paradoks. Pernyataan semacam ini tidak dapat diterima karena relativitas sesuatu bisa dinilai dari dua hal; adanya sesuatu yang lain untuk dijadikan pembanding (tanpa adanya pembanding relativitas sesuatu tidak dapat ditentukan), dan perubahan lingkungan yang akan berpengaruh terhadap perubahan obyek.
Relativitas –dengan dua syarat tadi- tidak mungkin barkaitan dengan realitas di luar. Mengingat realitas di luar (realitas luaran) sebagaimana adanya adalah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Sebagaimana realitas luar tidak dapat dihukumi relatif, pengetahuan manusia pun tidak dapat dinyatakan relatif. Sebab, setiap pengetahuan manusia yang sesuai dengan realitas luar akan dapat dinyatakan benar, sedang jika tidak sesuai maka dinyatakan salah. Karena hanya ada satu realitas di luar, maka kebenaran pun tunggal, tidak berbilang.[23] Benar, gradasi dapat berlaku pada realitas luar, juga pada pemahaman manusia. Jika pemahaman manusia berkaitan pada tingkatan tertentu pada tahapan gradasi tersebut maka dapat dinyatakan benar pada posisinya, namun jika tidak -melesat keluar dari garis lurus dan poros gradasi- maka dapat dipastikan kesalahannya.
Dalam sebuah gradasi kebenaran mensyaratkan empat unsur; keragaman sejati, kesatuan sejati, kembalinya keragaman pada kesatuan sejati dan kembalinya kesatuan kepada keragaman sejati.[24] Keberagaman agama/mazhab bukan sesuatu yang bersifat relatif –baik relativitas kebenaran maupun pemahaman- namun sesuatu yang bersifat gradasi. Gradasi kebenaran ajaran syariat terletak pada sudut pandang penyesuaian atas kebutuhan masyarakat setiap zaman, maupun pada sudut pandang persesuaian syariat dengan tuntutan hakikat kebenaran zaman itu. Hal itu berkaitan dengan cabang agama. Berbeda dengan asas dasar agama –sekali lagi- tidak tergantung dengan hakikat tuntutan zaman dan situasi dan kondisi apapun.
Meskipun pembahasan di atas banyak menyinggung tentang pluralisme agama secara umum, namun inti masalah lebih banyak menjawab pluralisme antar agama samawi.
Pluralisme Internal Agama
Munculnya pemikiran pluralisme internal agama -sebagaimana pluralisme eksternal agama- berangkat dari sebuah keraguan (ragu akan kebenaran). Penerimaan pemikiran pluralisme internal agama[25] dapat ditinjau dari beberapa asas pemikiran. Pertama, dalam sudut pandang yurisprudensi (ushul fiqih), asas pemikiran yang mendasarinya terbagi pada dua hal yang utama mushowwibah dan mukhthi’ah.[26] Bagi pakar yang meyakini mushowwibah, pluralisme mazhab harus bisa ia terima, namun sebaliknya pada yang meyakini mukhthi’ah. Kedua, jika hakikat kebenaran diyakini sebagai hal yang relatif, maka para pendukung pemikiran ini harus menerima kenyataan adanya pluralisme mazhab. Akan tetapi bagi yang meyakini bahwa kebenaran bersifat mutlak (bukan relatif) dan untuk meraih kebenaran mutlak merupakan suatu yang tidak mustahil, maka pluralisme mazhab tidak bisa diterima.[27]
Ketiga, jika dalam satu mazhab terdapat beberapa pakar yang berbeda dalam memahami teks (istinbath), perbedaan adalah hal wajar dalam kehidupan. Jika masing-masing pakar dalam usaha memahami teks menggunakan asas dan metode yang dibenarkan, maka dengan hal itu kesalahannya bisa ditolerir. Dikarenakan hal tersebut hanya akan menghasilkan perbedaan-perbedaan dalam hal-hal yang bersifat partikular (far’i), tidak prinsipal.[28] Karena dalil yang mereka pakai, selama ada kejujuran ilmiah dan spiritual, akan menjadi argumentasi (hujjah) bagi dirinya di hadapan Allah. Jika seseorang yang bukan hanya tidak menggunakan asas dan metode yang benar, namun ia juga dengan sengaja dan lalai dalam mengeluarkan hukum (berfatwa), maka kesalahan yang dilakukannya pun tidak dapat ditolerir dan akan mendapat dosa dan cela.
Dari semua penjelasan di atas, jelaslah bahwa pembenaran atas konsep pluralisme agama ataupun mazhab akan dapat menjerumuskan seseorang pada relativisme, sementara relativisme tidak dibenarkan dengan argumentasi akal yang sehat sesuai dengan kaidah-kaidah logika yang ada. Oleh karenanya sebagian pemikir, untuk menghindari problem-problem yang muncul mereka menghindari penggunaan istilah pluralisme agama yang berarti pengakuan atas kebenaran semua agama.[29] Kecuali, jika pluralisme agama diartikan sebagai hidup rukun dan damai saling bertoleransi secara sosial keagamaan, yang tentunya hal itu berbeda pengertian dengan apa yang digagas John Hick.[30]
III.3 Penyalahgunaan Konsep Pluralisme Agama:
Kehidupan damai antar pengikut umat beragama bukanlah sekedar basa-basi hubungan sosial-politik.[31] Kehidupan tentram antar umat beragama tidak dapat didefinisikan bahwa setiap pengikut satu keyakinan selain harus meyakini kesesatan kelompok lain, namun diwaktu yang sama mereka terpaksa untuk hidup berdampingan dengan pemeluk keyakinan lain (yang dianggap sesat). Karena, walaupun setiap pemeluk keyakinan tertentu menyatakan kesesatan pemeluk keyakinan yang lain, namun bukan berarti pemeluk keyakinan yang dianggap sesat dapat dipastikan bahwa mereka adalah penghuni neraka. Tidak ada konsekuensi diantara keduanya. Tidak semua pemeluk kesesatan dapat dipastikan sebagai penghuni neraka, karena boleh jadi kesalahan mereka terletak pada penentuan obyek kebenaran.[32] Atau mereka masih berada ditengan jalan pencarian dan belum sampai kepada kebenaran sejati.[33] Jika seseorang telah berusaha optimal untuk mencari kebenaran akan tetapi salah dalam penentuan obyek riil kebenaran, maka walaupun ia dapat dipastikan tidak mendapat pancaran cahaya kebenaran, namun belum tentu ia masuk kategori penghuni neraka.[34]
Parameter utama dalam mewujudkan kehidupan tentram dan damai antar umat beragama adalah dengan melihat kesamaan antar agama yang ada.[35] Namun hal ini bukan berarti pluralisme agama dapat dibenarkan. Karena agama yang benar adalah agama yang tidak terdapat paradoksi dalam semua ajarannya, terutama dalam masalah ke-Esaan Tuhan. Hanya agama yang benar-benar mengajarkan ke-Esaan Tuhan dengan arti yang sesungguhnya saja yang dipastikan kebenarannya dan hal itu tidak akan pernah berbilang. Oleh karenanya dalam sejarah disebutkan bahwa setiap nabi yang datang membawa suatu ajaran selalu menyatakan kesalahan ajaran yang lain. Jika seorang nabi tidak menetapkan kebenaran ajarannya dan membatalkan ajaran selainnya niscaya orang tidak akan meninggalkan ajaran yang selama ini dipeluk untuk mengikuti ajaran nabi tersebut, karena belum terbukti kebenaran ajaran sang Nabi dan kesalahan ajaran nenek moyangnya.
Perlu diingat, dalam kaitan dengan permasalahan kesempurnaan sejati manusia hanya ada satu jalan yang harus ditempuh agar sampai kepada tujuan yang dikehendaki, bukan berbilang sebagaimana keyakinan pendukung pluralisme agama. Akan tetapi, bagi seorang pejabat pemerintah yang harus mendapat pandangan dan informasi dari berbagai pihak –meskipun pengikut agama lain- untuk menyesuaikan kebijakan-kebijakan umum yang akan dikeluarkannya, maka tentu ia tidak boleh memonopoli pikiran seseorang sehingga dengan sesuka hati mengatakan “semua pandangan, kebijakan dan ketentuan saya dijamin kebenarannya”.[36] Bermusyawarah adalah sesuatu yang baik. Meskipun bermusyawarah berarti mengumpulkan beragam pendapat, akan tetapi bukan berarti menyatakan kebenaran semua jenis pendapat yang beragam. Kebenaran bersifat tunggal, bermusyawarah adalah mengumpulkan keberagaman dari sisi konsep dan bertukar pikiran. Salah satu cara mendapat kebenaran yang tunggal adalah dengan bermusyawarah. Boleh jadi melalui musyawarah kesalahan seseorang akan nampak sedang pihak lain dalam kebenaran, sehingga kebenaran itulah yang dapat dilaksanakan dan diterapkan.[37]
Beberapa pihak yang tidak bertanggungjawab selalu berusaha dengan berbagai cara untuk menteror stabilitas kelompok yang dianggap rivalnya. Berbagai sarana dipakai untuk aksi tersebut, tidak terkecuali dengan konsep pluralisme agama dan mazhab. Dengan mendefinisikan konsep pluralisme agama dan mazhab dengan hal-hal yang bertentangan dengan rasio sehat manusia dan fitrah suci manusia cukup sebagai bahan untuk meragukan ketulusan tujuan penyebaran konsep tersebut. Adanya usaha penjajahan kebudayaan dan ekspansi hegemoni pemikiran tertentu di dunia adalah salah satu target utama yang ingin mereka capai. Target tersebut tentu tidak akan dapat secara langsung mereka dapatkan kecuali melalui fase-fase sebagai berikut, antara lain; menjauhkan ‘kepedulian’ penganut agama atas kelangsungan hidup agamanya, menghilangkan ‘kesensitifan’ penganut agama tertentu atas agamanya dan berusaha ‘mengintervensi’ norma-norma ajaran suatu agama, untuk memasukkan ide dan pandangan mereka.
Jika diteliti dan dicermati lebih dalam, ketiga fase di atas telah mereka laksanakan dan pada batas-batas tertentu telah menampakkan hasil. Pemikiran modernisme yang dilanjutkan dengan pelontaran pemikiran post-modernisme adalah salah satu sarana -dari berbagai sarana yang ada[38]- untuk menggoyahkan keyakinan beragama. Hal itu merupakan jenis kolonialisme dan imperalisme baru yang mereka lancarkan. Jelas tujuan utamanya adalah negara-negara dunia ketiga yang sedang berkembang.[39] Namun patut disayangkan, banyak bangsa negara berkembang yang tidak menyadari hal tersebut, sehingga mereka terlebih dahulu silau dengan janji semu para imperalis itu tanpa meneliti dahulu tujuan dibalik permasalahan yang ada, atau mereka merasa bangga dengan pemikiran yang diimpor dari bangsa lain yang dianggap lebih maju.[40]
IV. Urgensi Masyarakat Religius
Jelas sekali, manusia adalah makhluk sosial. Ia tidak bisa hidup tanpa bermasyarakat. Bermasyarakat merupakan salah satu kebutuhan hidupnya. Sedang masyarakat tersusun dari individu-individu yang kemudian berkomunitas. Suatu komunitas akan mendapatkan bentuk kehidupan yang bagus jika setiap individu tidak bermasalah, adanya persesuaian. Persesuaian tidak mesti berartikan kesamaan. Hal itu dikarenakan kesamaan secara mutlak dalam bermasyarakat mustahil terwujud. Setiap pribadi dalam masyarakat musti memiliki perbedaan, perbedaan dari sisi background pendidikan, status sosial, kemampuan ekonomi dan sebagainya, yang mengakibatkan munculnya perbedaan. Perbedaan alami dan wajar bersifat positif. Akan tetapi individu yang bermasalah akan menjadi kendala bagi masyarakat sekitarnya, perbedaan non-alami yang negatif. Semakin minim keberadaan individu bermasalah dalam sebuah komunitas akan semakin stabil pula komunitas tersebut.
Untuk mengatasi problem keberadaan manusia yang bermasalah, ataupun menahan menyebarnya virus yang bersumber dari sampah masyarakat di tengan-tengah masyarakat sehat, maka perlu dilakukan penyehatan lingkungan. Trik dalam rangka menyehatkan lingkungan memiliki banyak metode yang dapat diterapkan. Menjaga kesehatan lingkungan atau mengobati penderita gangguan kesehatan adalah cara global untuk mewujudkan hal tersebut. Tentu, untuk menjaga kesehatan lingkungan dari gangguan masyarakat yang bermasalah ataupun mengobati virus yang menghinggap pada seseorang harus bekerjasama dengan aparat keamanan setempat, dan bertindak sesuai hukum yang berlaku, tidak bermain hakim sendiri. Dalam proses mengobati individu bermasalah –secara umum- ada dua cara bentuk pengobatan. Mengingat penyakit terkadang disebabkan oleh kurang atau kelebihan suatu zat tertentu dalam tubuh, maka perlu ada rehabilitasi guna menstabilkannya sesuai dengan kebutuhan yang ada. Namun, jika penyakit itu sudah mencapai tahap akut, terkadang harus diadakan pengorbanan untuk penyembuhannya. Pemotongan (amputasi) asdalah pilihan pahit yang harus dilakukan untuk menjaga kelangsungan hidup. Mengorbankan bagian tubuh masyarakat demi kelangsungan hidup bermasyarakat -yang bersih dari penyakit penyebab masalah dalam kondisi tertentu harus dilakukan.[41]
Konsep pluralisme agama hanya dapat menyelesaikan kendala kerukunan antar umat beragama. Namun faktor internal manusia belum tentu akan tuntas dan terselesaikan dengan konsep tadi. Mengingat bahwa dua faktor itu –eksternal dan internal- saling berkaitan erat, maka mengatasi keduanya harus seimbang. Kerukunan akan terealisasi jika pemahaman dan kesadaran beragama telah menyebar ke semua lapisan masyarakat. Tanpa adanya pemahaman dan kesadaran beragama pada masyarakat, arogansi dan premanisme akan terus menjalar bagaikan api dalam sekam yang sewaktu-waktu akan muncul kepermukaan. Yang ada hanyalah kerukunan relatif dan semu (nisbi). Oleh karena itu, konsep pluralisme agama dan mazhab harus bertumpu pada pemahaman dan kesadaran agama yang akan memunculkan identitas agama. Ketika agama dengan berbagai ajaran dan normanya telah menjadi identitas bangsa, maka saling menghargai, menghormati dan toleransi antara sesama -yang ditekankan oleh ajaran setiap agama- akan terealisasi dengan baik. Tidak satu agama pun yang membolehkan -apalagi mengajarkan- mengadakan kerusuhan, merusak rumah ibadah agama lain, penganiayaan, aksi teror yang dapat menyebabkan manusia-manusia tak berdosa turut menanggung dosa.
Manusia memiliki dua dimensi utama; dimensi material dan non-material. Meski kedua dimensi tadi berbeda dari sisi eksistensi, namun keduanya memiliki kaitan yang sangat erat. Sebagaimana dimensi materi manusia dapat bermasalah, dimensi non-materi pun begitu pula. Sebagaimana dimensi materi memiliki berbagai kebutuhan yang harus dipenuhi, dimensi non-materi juga memilikinya. Tentu, kendala dan kebutuhan setiap dimensi disesuaikan dengan eksistensi dimensinya. Dikarenakan dimensi non-material tidak kasad mata (inderawi), sedang umumnya manusia terbiasa dengan hal-hal yang inderawi, maka kebanyakan mereka lalai akan kendala dan kebutuhan sisi non-materi dirinya. Kendala dan kebutuhan non-materi manusia adalah kesehatan dan kesejahteraan spiritual. Kesehatan dan kesejahteraan spiritual hanya bisa didapat melalui jalur agama. Tanpa beragama, manusia akan mengalami masalah kesehatan batin dan kemiskinan spiritual, walau boleh jadi secara zahir (material) tergolong individu yang berada.[42] Dengan kata lain, karena dalam jiwa (baca: Fitrah) setiap manusia terpendam kecenderungan ber-Tuhan dan keinginan beragama (jiwa religi), dan dikarenakan jiwa manusia adalah esensi manusia itu sendiri, maka jika ada usaha untuk menyembunyikan kecenderungan dan jiwa religi tersebut berarti sama halnya usaha untuk menyembunyikan esensi kemanusiaan seseorang. Hal itu mustahil terjadi.[43]
Negara ideal adalah negara yang dapat menjamin kesehatan dan kesejahteraan bangsanya. Dikarenakan bangsa setiap negara terdiri dari jenis manusia, maka bukan hanya kesehatan dan kesejahteraan material saja yang harus dipenuhi oleh suatu negara, akan tetapi kesehatan dan kesejahteraan spiritual juga harus diusahakan untuk dipenuhi. Jadi, negara ideal adalah negara yang berusaha memenuhi kesehatan dan kesejahteraan material dan spritual bangsanya. Hancurnya negara sosialis bukan dikarenakan kehebatan negara kapitalis. Karena negara kapitalis pun memiliki kandala yang sangat besar. Bangsa dari negara kapitalis merasakan dahaga spiritual yang sangat parah, yang kebutuhan itu tidak dapat dipenuhi oleh sistem kapitalisme. Hanya kesejukan air religiusitas keagamaan yang dapat menghilangkan dahaga spiritual manusia. Religiustitas keagamaan adalah kebutuhan primer dalam kehidupan manusia.[44]
Namun, walau pada kenyataannya, sulit mempraktekkan konsep sebuah masyarakat religius. Hal itu selain dikarenakan minimnya tingkat religiusitas bangsa secara umum, juga dikarenakan munculnya banyak aliran pemikiran dalam mensikapi para pengikut agama/mazhab lain. Namun perbedaan yang ada bisa diatasi dengan diadakannya dialog antar umat beragama, sehingga saling pengertian akan keyakinan masing-masing bisa terwujud dengan baik. Dengan dialog toleransi sosial umat beragama akan dapat dicapai, bahkan kebenaran suatu agama akan mudah didapat. Selain, tingkat religiusitas bangsa juga harus ditingkatkan, dengan cara membangkitkan identitas religius mereka.
V. Penutup
Meskipun Indonesia bukan sebagai negara agama dan mazhab namun Indonesia –berdasarkan UUD 45 dan Pancasila- adalah negara yang menjunjung tinggi norma-norma agama. Ini merupakan modal dasar untuk penerapan konsep masyarakat religius pada bangsa Indonesia. Oleh karena itu semua gerakan dan pemikiran yang mengarah kepada agama-setisme tidak sesuai dengan kepribadian bangsa dan negara Indonesia.
Indonesia bukanlah negara agama dan menjunjung tinggi nilai-nilai keberagamaan, namun begitu bukan berarti berbagai bentuk agama, sekte, mazhab ataupun aliran kepercayaan boleh begitu saja masuk ke wilayah Indonesia. Hal itu dikarenakan tidak semua golongan pemikiran agama atau sekte memuat kebenaran dan sesuai dengan semangat keberagamaan bangsa.
Berdasarkan apa yang telah dibahas dalam makalah ini, pluralisme agama dan mazhab bukan berarti keyakinan akan kebenaran semua agama dan mazhab. Dengan tidak meyakini pluralisme agama dengan arti tadi –sebagaimana yang dicanangkan oleh John Hick, pendiri istilah ini- bukan berarti mengumumkan perang terhadap agama atau golongan lain di luar golongan tertentu, karena tidak adanya konsekuensi diantara keduanya.
Setiap negara berhak untuk menyeleksi aliran dan pemikiran apapun yang akan masuk ke negara yang bersangkutan, tidak terkecuali Indonesia. Oleh karenanya harus ada lembaga tertentu yang memiliki otoritas dan kompetensi untuk menentukan aliran dan pemikiran yang dianggap sesuai. Tentu proses penyeleksian aliran bukan sekedar boleh atau tidak tanpa didasari argumentasi dan bukti yang otentik. Namun, proses penyeleksian harus didahuli dengan berbagai tahapan-tahapan logis, termasuk diskusi dengan mendatangkan pihak-pihak yang mewakili dari obyek sekte yang akan diseleksi, bukan pengadilan in-absentia. Karena jika tahapan-tahapan logis itu tidak dilalui atau bahkan begitu saja diabaikan, bisa dipastikan lembaga itu tidak akan mempunyai wibawa intelektual dan tidak akan mendapat simpati rakyat. Bagaimanapun juga kepercayaan rakyat adalah kunci penerimaan (maqbuliyah) rakyat akan lembaga tersebut. Hanya agama dan mazhab (sekte) yang diakui oleh pemerintah saja yang dilindungi oleh pemerintah. Tentu, pengakuan pemerintah tidak berarti kepastian akan kebenaran agama dan mazhab tersebut. Pengakuan ini berarti agama dan mazhab yang secara resmi diakui oleh pemerintah, berhak untuk mendapat perlindungan. Tentu, dikarenakan setiap ada hak disitu pula terdapat kewajiban, maka agama/mazhab tersebut berkewajiban untuk membangun kehidupan beragama yang baik dan usaha untuk turut serta membangun dan menciptakan stabilitas nasional.
Hanya pluralisme agama/mazhab yang berartikan toleransi sosial saja yang dapat diterima oleh akal sehat manusia.[45] Namun, hanya berbekal pluralisme sosial kebaragamaan saja tidak akan dapat menjamin terwujudnya keserasian dan kerukunan umat beragama. Toleransi sosial antar umat beragama tanpa dilandasi dengan semangat menumbuhkan identitas religius akan menghasilkan kerukunan semu yang mudah tergoyah. Oleh karenanya, selain penggalakan toleransi sosial antar umat beragama, penumbuhan identitas religius sebagai dasar kerukunan umat beragama harus ditekankan. Hanya dengan identitas religius, suatu bangsa akan dapat menahan serangan budaya asing yang selalu menggerus dan menggoyah kebudayaan bangsa. Identitas religius adalah identitas esensi manusia. Dengan kembali kepada identitas ini berarti kembali kepada esensi kemanusiaan. Inilah makna keadilan yang diimpikan semua umat manusia.
Mengingat mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam maka sebaik-baik contoh bagi kaum muslimin adalah apa yang dilakukan oleh Rasulullah saww di negara Madinah.[46] Negara Madinah yang dipimpin oleh Rasulullah saww, adalah negara teladan bagi umat Islam. Meskipun masyarakat Madinah mayoritas beragama Islam, namun bukan berarti agama lain tersisihkan. Pemeluk agama lain yang hidup di Madinah, selain mereka memiliki hak-hak yang ditampung dan dilindungi oleh pemerintah, mereka juga berkewajiban untuk menjaga stabilitas Madinah. Apakah Indonesia mampu meniru negara Madinah Nabi? Jawabannya ada di hati setiap anak bangsa, terkhusus generasi muda.
Wallahu a’lam
Amirulmukminin Imam Ali bin Abi Thalib as bersabda: “Sesungguhnya kebenaran tidak dapat dikenali melalui seorang pribadi. Kenalilah kebenaran niscaya kamu akan mengetahui dimana kebenaran itu berada”
(Majma’ al-Bayan Jil:1 Hal: 211)
________________________________________
Referensi:
[3] Ghadrdhan Gharamleki, Muhammad Hassan, Phylosophical Theology (Parsi Edition), Wutsuq, I ,1383 H S, P 99-102
[4] Peterson, Michael L, Reason and Religius Belief: An Introduction to the Philosophy of Religion, Oxford University Press, 1991, P 420
[5] Yazdi, Ayatullah M Taqi Misbah, Pursyes-ha wa Posyukh-ha Bakhsye Pluralism Dini, Intisyarat-e Muassese-e Omuzesy wa pezuhesy Imam Khumaini ra-Qom
[6] Dua pandangan yang paradoks tidak mungkin bisa diterima kedua-duanya, karena satu pandangan menafikan pandangan lainnya. Dalam ilmu logika arestotelian disebutkan, sebagaimana bertemunya dua hal paradoks dihukumi mustahil, maka penolakan keduanya pun dihukumi mustahil (istihalah ijtima’ an-Naqidhain wa irtifa’uhuma). Jadi hanya satu yang memiliki kapasitas kebenaran, bukan berbilang.
[7] Golpaygani, Ali Rabbani, Makrefat-e Dini az Manzar-e Makrefat Syenosi, Kanun Andisye-e Jawon, I, 1378 H S P 204-206
[8] Yazdi, Ayatullah M T Misbah, Pursyes-ha wa Posyukh-ha bakhsye Pluralism-e Dini, Pezuhesy wa Omuzash Imam Khumaini ra
Qom
[9] Contoh paling jelas adalah yang dilaksanakan oleh Rasulullah saww di negara Madinah. Penduduk Madinah kala itu terdiri dari beragam agama, bukan hanya Islam. Dibawah naungan pemerintahan Islam yang dipimpin oleh Rasul masyarakat non muslim hidup tentram dan damai (pluralisme praktis). Namun apakah hal itu (pelaksanaan pluralisme praktis) berarti Rasul juga mengakui kebenaran Yahudi dan Nasrani (pluralisme teoritis) dan sekaligus beliau meyakini relatifitas kebenaran Islam? Berdasarkan bukti sejarah dan argumentasi rasional serta tekstual agama (Qur’an dan Hadis) hal itu tidak dapat dibenarkan. Hal di atas inilah yang sekarang diterapkan oleh Republik Islam Iran berkaitan dengan agama non-Islam dan mazhab non-Syiah Imamiyah.
[10] Islam sendiri menyatakan bahwa sangkaan tidak akan menghasilkan apapun sebagaimana yang disinyalir dalam surat Yunus ayat 36 atau surat an-Najam ayat 28. [11] Hick, John, Philosophy of Religion (Parsi Edition), Transleted by Behzad Salik, Intasyarat al-Huda, III, 1381 H S, P 17
[12] Jakfari, Ayatullah M.Taqi, Falsafe-e Din, DR Abdullah Nashri, Pezuhesygoh-e Farhang wa Andisye-e Islami, II, 1378 H S, P 506-508
[13]Segala prinsip logika untuk menjadi kebenaran pasti harus kembali kepada tata cara penerapan silogy (qiyas) dengan bentuk demonstratif (burhan) sedang silogy demonstratif itu sendiri premis-premisnya (mayor-minor) harus dari sesuatu yang necessary (badihiaat) –sehingga hal tersebut bisa dijamin kebenarannya- dimana premis necessary ini bertumpu pada kemustahilan bertemunya dua hal paradox (ijtima’ an-naqidzain) yang masuk kategori necessary preponderances (badihiaat-awwaliyaat). Hal itu ini terkadang bersifat jelas (bayyin) terkadang bersifat penjelas (mubayyin). Untuk penjelasan lebih detail permasalahan, silahkan telaah buku-buku yang berkaitan dengan hal tersebut.Semua itu telah dibahas secara rinci dalam buku-buku logika, bagi yang berminat menelaah secara terperinci silahkan merujuk buku-buku logika. Hal itu ini terkadang bersifat jelas (bayyin) terkadang bersifat penjelas (mubayyin). Untuk penjelasan lebih detail permasalahan, silahkan telaah buku-buku yang berkaitan dengan hal tersebut.
[14] Hick, John, Philosophy of Religion (Parsi Edition), Transleted by Behzad Saliki, Intisyarat al-Huda, Tehran, III, 1381 H S, P 284-290. Perlu dicatat, ada tiga argument teologis mendasar yang dipakai untuk menguatkan konsep pluralisme agama; pertama pengalaman spiritual ( Religious Experience), kedua simbolisasi bahasa teks agama (pandangan Paul Tillich) dan ketiga pemisahan antara intisari agama dan anggapan kedekatan kepada Tuhan sebagai intisari agama tanpa melihat selainnya. Tanggapan atas argument di atas perlu tulisan tersendiri tentang; Religious Experience, Sementology agama dan esensi agama.
[15] Misalnya jika air bersifat tidak terbatas maka ia akan memenuhi segala sesuatu sehingga eksistensi lain tidak lagi memiliki kesempatan untuk memiliki wujud nyata.
[16] Al-Qur’an dalam menyanggah pemikiran ini mengatakan: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakal yang dapat menerima pelajaran” (Q S az-Zumar :9)
[17] Amuli, Ayatullah Abdullah Jawadi, Din Syenosyi,Isra’, 1381 H S, P 207-310
[18] Oleh karena itu, dalam al-Qur’an semua ajaran tauhid yang dibawa oleh para nabi disebut dengan Islam (sebagai contoh lihat surat al-Haj ayat 78) namun apakah Yahudi dan Nasrani sekarang ini masih murni bertauhid? Jawabannya ada pada al-Qur’an surat aal-Imran ayat 67
[19] Ungkapan ini mengisyaratkan apa yang telah disampaikan al-Qur’an dalam
surat al-Maidah ayat 48 tentang pebedaan syariat Ilahi sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zamannya.
[20] Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh al-Qur’an dalam surat ar-Ruum ayat 30 : “Tiada perubahan dalam ciptaan Allah”
[21] Oleh karenanya dalam ajaran Islam tidak diperkenankan membeda-bedakan para nabi karena walaupun mereka secara sisi materi karena tuntutan waktu dan tempat berbeda namun ajaran inti mereka adalah satu, tauhid. (lihat Q S al-Baqarah :285)
[22] Oleh karenanya, al-Qur’an sangat menekankan kepada para ahli kitab untuk kembali ke jalan tauhid. Untuk membuktikan penerapan konsep tauhid dengan apa yang para ahli kitab yakini selama ini perlu adanya dialog antar agama, terkhusus antar agama samawi. Manakah dari sekian agama itu yang benar-benar mengajak kepada keyakinan monoteis?
[23] Dalam hal ini al-Qur’an menyatakan: “maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan” (Q S Yunus :32). Dan sebagaimana banyak ayat-ayat al-Qur’an menyebutkan bahwa cahaya (nur) mesti disampaikan dengan kata tunggal, sedang kesesatan (dhalalah) ataupun kegelapan (dhulumaat) -yang merupakan lawan dari cahaya/kebenaran- mesti disebutkan dengan kata jamak.
[24] Lihat kembali karya-karya tentang Filsafat Transtendental Islam seperti: Bidayah al-Hikmah dan Nihayah al-Hikmah karya Allamah Sayyid M Husein Thaba’thaba’i atau al-Hikmah al-Muta’aliyah karya Mulla Shadra berkaitan dengan pembahasan Tasykik al-Wujud (gradasi wujud).
[25] Jika berbicara tentang argument tekstual agama Islam, terlampau banyak ayat maupun riwayat yang mengingkari pluralisme mazhab, salah satu hadis yang dengan jelas menentang pluralisme ini adalah hadis tentang perpecahan Islam menjadi 73 kelompok (dalam riwayat lain 72 golongan) dimana hanya satu kelompok yang ditanggung kebenaran dan keselamatannya. Hadis ini diriwayatkan dalam kitab-kitab standar Sunni dan Syiah.
[26] Mushowabah adalah keyakinan bahwa kebenaran tidak memiliki ketentuan yang jelas. Dalam arti, kebenaran sesuai dengan pemahaman seorang mujtahid. Apa yang dipahami oleh seorang mujtahid itulah kebenaran. Sedang mukhthi’ah adalah keyakinan bahwa kebenaran sudah ditentukan, namun manusia harus berusaha untuk menyingkapnya walau tak jarang ia terjerumus ke dalam kesalahan. Karena kebenaran yang telah ditentukan adalah satu, maka pemahaman tentang kebenaran pun tunggal. Mayoritas mutlak kaum Syiah imamiyah pengikut pemikiran mukhthi’ah.
[27] Problem utama epeistemolgi kaitannya dengan masalah ini adalah; 1- Adakah sesuatu yang bernama kebenaran absolut? 2- Kebenaran abolut tunggal ataukah berbilang? 3- Mungkinkah manusia dapat menggapai kebenaran absolut? 4- Apakah tolok ukur kebenaran absolut? 5- Sarana apa saja yang dapat menghantarkan manusia kepada kebenaran absolut? Pembahasan secara detail silahkan telaah kembali buku-buku yang berkaitan dengan epistemology Islam, seperti: al-Manhaj al-Jadid Fi Ta’lim al-Falsafah bagian Epistemology karya Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi atau Tafsir Maudhu’i (Subject Commentary on The Holy Quran) Jil: 13 karya Ayatullah Jawadi Amuli tentang epistemology dalam prespektif al-Qur’an (Epistemology in Quran).
[28] Dalam ajaran Islam, seorang mujtahid jika dengan asas dan metode yang benar telah berusaha optimal untuk memahami teks agama guna menyingkap sebuah hokum syariat, jika ia ternyata salah dan tidak sesuai dengan kebenaran yang nyata maka di ganjar dengan satu pahala, yaitu pahala usaha ilmiah. Jika apa yang diusahakan selama ini benar dan sesuai dengan realita kebenaran, maka ia mendapat dua pahala; pahala usaha ilmiah dan pahala mengamalkan apa yang telah ia dapat. (lil mushib ajraani wa lil mukhthi’ ajrun wahid)
[29] Baca tulisan Dr. Alwi Syahab (Menko Kesejahteraan Rakyat) yang berjudul Menyikapi Pluralisme Agama dan Pluralisme Bersyarat Teladan Nabi dalam http://www.republika.com .
[30] Sebagaimana yang disebutkan oleh Prof. Richards Glyn dalam karyanya Towards a Theology of Religions yang menyebutkan beberapa pengertian tentang praktek pluralisme agama, dimana sebagian masih bersifat ambigu dan memilki banyak kemungkinan arti.
[31] Islam mengajarkan bahwa orang non-muslim selama tidak memusuhi dan memerangi maka setiap muslim harus berbuat baik dan adil kepada mereka. (lihat Q S al-Hujurat:10)
[32] Sebagaimana dalam fikih Islam manusia jahil (tidak mengetahui) terbagi dua: jahil qoshir dan jahil muqosshir, tentu tidak bias dihukumi sama diantara dua jenis kebodohan tersebut.
[33] Dalam Islam –sesuai dengan ajaran keadilan Ilahi- Allah mustahil menghukum orang yang belum mendapat al-Hujjah at-Tammah, sebagaimana argumentasinya telah ditetapkan dalam teologi Islam.
[34] Dalam hal ini al-Qur’an menyatakan: “Dan ada (pula) orang-orang lain yang ditangguhkan sampai ada keputusan Allah; adakalanya Allah akan mengazab mereka dan adakalanya akan menerima taubat mereka. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” ( Q S at-Taubah:106)
[35] Sebagaimana apa yang diajarkan al-Qur’an dalam mengajak para ahli kitab untuk menyembah Tuhan Yang Esa tanpa menyekutukan-Nya. (lihat QS AliImran: 64)
[36] al-Qur’an dalam al ini menyatakan: “Dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah” (QS AliImran: 64) karena egoisme dan monopoli pandangan adalah bentuk penyekutuan Allah, maka selayaknya bagi seorang pejabat pemerintah untuk mengambil pandangan terbaik walaupun dari pengikut agama/mazhab lain.
[37] Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya sangat menekankan musyawarah, lantas dalam ayat lain menyatakan: “Sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya” (Q S az-Zumar: 17-18)
[38] Disamping konsep-konsep epistemology materialisme, demokrasi (liberal), liberalisme, humanisme dan pemikiran lain yang tidak sesuai dengan ajaran dan semangat agama, terkhusus Islam.
[39] Terkhusus negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
[40] Oleh karenanya, berapa banyak kita jumpai para intelektual muslim terburu silau dengan pemikiran tadi atau kurang peka dengan fenomena tersebut, disamping belum siap jika dibilang kurang mengikuti perkembangan zaman dikarenakan mengesamping teori-teori tadi. Akhirnya tak jarang dari mereka memaksakan teks-teks agama untuk menyesuaikan dengan teori-teori diatas, termasuk memaksakan al-Qur’an dan hadis sehingga sesuai dengan konsep pluralisme agama dan mazhab.
[41] Pelaksanaan proses penyembuhan ini dalam Islam dibahas dalam konsep amar makruf nahi munkar. Jika amar makruf dengan dosis ringan tidak berjalan dengan baik maka dalam kondisi-kondisi khusus amar makruf dosis tinggi atau bahkan proses amputasi harus dilakukan yang dalam istilah Islam lebih dikenal dengan konsep Jihad. Logika jihad inilah yang paling ditakuti oleh musuh-musuh Islam. Oleh karenanya, mereka berusaha untuk menghapus konsep ini dari setiap benak umat muslim dengan cara apapun termasuk dengan mempropagandakan bahwa jihad identik dengan fundamentalis, teroris, bertentangan dengan jiwa kemanusiaan dan sebagainya.
[42] Kadzimi, DR Sayyid Ali Asghar, Buhran-e Jame-e Modern, Daftar Nasyr Farhang-ge Islami, I, 1377H S, P103-106
[43] Oleh karenanya, sebagaimana yang disebutkan dalam lagu kebangsaan kita “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia raya” mengarah kepada pembangunan jiwa –yang merupakan sisi non-materi manusia- dari sisi spiritual dan regiusitas bangsa, untuk mengimbangi pembangunan material bangsa.
[44] Reza Dezokom, Dar Omadi bar Jame-e Syenosi Din, Ma’arif, I, 1380, P105-108
[45] Karena Islam cakupan ajarannya bersifat samhah wa sahlah bukan tasahul wa tasamuh, oleh karenanya, toleransi dalam ajaran agama sangat tidak diperkenankan dalam ajaran Islam, sebagaimana yang disinyalir oleh al-Qur’an dalam surat al-Kafirun.
[46] Sangat mengherankan jika ada seorang muslim mengatakan bahwa Islam tidak mengajarkan teori berbangsa dan bernegara. Orang yang berpandangan semacam itu harus kembali membaca sejarah Rasulullah saw, terkhusus pasca hijrah Rasul. Apa yang dilakukan Rasulullah saww di Madinah telah memenuhi syarat untuk disebut negara. Tentu kelembagaan negara bergantung kepada wilayah teritorial, tuntutan zaman dan kebutuhan masyarakat. Dikarenakan pada zaman Rasul semua itu (wilayah, tuntutan dan kebutuhan) sangat terbatas maka bentuk negara pada saat itu pun sangat sederhana pula.
(Islam-Alternatif/Syiah-Ali/Republika/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email