Khotbah Shalat Idulfitri 1438 H yang berlangsung di Masjid Istiqlal, Jakarta, Minggu (25/6/2017) pagi, disampaikan oleh pakar tafsir Al-Qur’an kenamaan, Prof. Quraish Shihab. Selaku khatib, Quraish mengajak masyarakat Indonesia, terutama kaum Muslimin, untuk senantiasa memupuk rasa cinta Tanah Air dan memegang teguh prinsip Bhinneka Tunggal Ika, dengan berpedoman pada nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Dasar Negara, Pancasila.
Berikut isi khotbah tersebut selengkapnya.
***
Allah Akbar, Allah Akbar, Wa Lillahil Hamd.
Dengan takbir dan tahmid, kita melepas Ramadhan yang insya Allah telah menempa hati, mengasuh jiwa serta mengasah nalar kita. Dengan takbir dan tahmid, kita melepas bulan suci dengan hati yang harus penuh harap, dengan jiwa kuat penuh optimisme, betapa pun beratnya tantangan dan sulitnya situasi. Ini karena kita menyadari bahwa Allah Maha Besar. Allahu Akbar! Allahu Akbar!
Semua kecil dan ringan selama kita bersama dengan Allah. Kita bersama sebagai umat Islam dan sebagai bangsa, kendati mazhab, agama atau pandangan politik kita berbeda. Karena kita semua ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Kita semua satu bangsa, satu bahasa dan satu Tanah Air dan kita semua telah sepakat ber-Bhineka Tunggal Ika, dan menyadari bahwa Islam, bahkan agama-agama lainnya, tidak melarang kita berkelompok dan berbeda. Yang dilarang-Nya adalah berkelompok dan berselisih.
Maksudnya: “Janganlah menjadi serupa dengan orang-orang yang berkelompok-kelompok dan berselisih dalam tujuan, setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan. Mereka itulah yang mendapatkan siksa yang pedih.” Demikian Allah berfirman dalam QS. Ali ‘Imran ayat 105.
Saudara, keragaman dan perbedaan adalah keniscayaan yang dikehendaki Allah untuk seluruh makhluk, termasuk manusia.
Seandainya Allah menghendaki niscaya kamu dijadikannya satu umat saja, tetapi (tidak demikian kehendak-Nya). Itu untuk menguji kamu menyangkut apa yang dianugerahkan-Nya kepada kamu. Karena itu berlomba-lombalah dalam kebajikan (QS. Al-Maidah ayat 48).
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Wa Lillahil Hamd!
Saudara, kini kita beridul fitri. Kata fithri atau fithrah berarti “asal kejadian”, “bawaan sejak lahir”. Ia adalah naluri. Fitri juga berarti “suci”, karena kita dilahirkan dalam keadaan suci bebas dari dosa. Fithrah juga berarti “agama” karena keberagamaan mengantar manusia mempertahankan kesuciannya. Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama (Islam) dalam keadaan lurus.
Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atasnya. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. Ar-Rum ayat 30).
Dengan beridul fitri, kita harus sadar bahwa asal kejadian kita adalah tanah: Allah Yang membuat sebaik-baiknya segala sesuatu yang Dia ciptakan dan Dia telah memulai penciptaan manusia dari tanah. (QS. AsSajadah ayat 7)
Kita semua lahir, hidup dan akan kembali dikebumikan ke tanah. Dari bumi Kami menciptakan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu untuk dikuburkan dan darinya Kami akan membangkitkan kamu pada kali yang lain. (QS. Thaha ayat 55).
Kesadaran bahwa asal kejadian manusia dari tanah, harus mampu mengantar manusia memahami jati dirinya. Tanah berbeda dengan api yang merupakan asal kejadian iblis. Sifat tanah stabil, tidak bergejolak seperti api. Tanah menumbuhkan, tidak membakar. Tanah dibutuhkan oleh manusia, binatang dan tumbuhan — tapi api tidak dibutuhkan oleh binatang, tidak juga oleh tumbuhan. Jika demikian, manusia mestinya stabil dan konsisten, tidak bergejolak, serta selalu memberi manfaat dan menjadi andalan yang dibutuhkan oleh selainnya.
Bumi di mana tanah berada, beredar dan stabil. Allah menancapkan gunung-gunung di perut bumi agar penghuni bumi tidak oleng – begitu firman-Nya dalam QS. An-Nahl ayat 15. Peredaran bumi pun mengelilingi matahari sedemikian konsisten! Kehidupan manusia di dunia ini pun terus beredar, berputar, sekali naik dan sekali turun, sekali senang di kali lain susah.
Saudara, jika tidak tertancap dalam hati manusia pasak yang berfungsi seperti fungsinya gunung pada bumi, maka hidup manusia akan oleng, kacau berantakan. Pasak yang harus ditancapkan ke lubuk hati itu adalah keyakinan tentang Ketuhanan Yang Maha Esa. Itulah salah satu sebab mengapa idul fitri disambut dengan takbir.
Kesadaran akan kehadiran dan keesaan Tuhan adalah inti keberagamaan. Itulah fithrah atau fitri manusia yang atas dasarnya Allah menciptakan manusia (QS. Ar-Rum ayat 30).
Selanjutnya karena manusia diciptakan Allah dari tanah, maka tidak heran jika nasionalisme, patriotisme, cinta Tanah Air, merupakan fithrah yakni naluri manusia. Tanah Air adalah ibu pertiwi yang sangat mencintai kita sehingga mempersembahkan segala buat kita, kita pun secara naluriah mencintainya. Itulah fithrah, naluri manusiawi. Karena itulah, hubbu al-wathan minal iman, cinta Tanah Air adalah manifestasi dan dampak keimanan. Tidak heran jika Allah menyandingkan iman dengan Tanah Air (Q.S Al-Hasyr ayat 9).
Sebagaimana menyejajarkan agama dengan Tanah Air, Allah berfirman: Allah tidak melarang kamu berlaku adil (memberi sebagian hartamu) kepada siapapun – walau bukan Muslim– selama mereka tidak memerangi kamu dalam agama atau mengusir kamu dari negeri kamu (QS. Al-Mumtahanah ayat 8). Demikian pembelaan agama dan pembelaan Tanah Air yang disejajarkan oleh Allah.
Saudara, (siapa) yang mencintai sesuatu akan memeliharanya, menampakkan dan mendendangkan keindahannya serta menyempurnakan kekurangannya bahkan bersedia berkorban untuknya. Tanah Air kita, yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, harus dibangun dan dimakmurkan serta dipelihara persatuan dan kesatuannya. Persatuan dan kesatuan adalah anugerah Allah yang tidak ternilai.
“Seandainya engkau, siapapun engkau, menafkahkan segala apa yang di bumi untuk mempertautkan hati anggota masyarakat, engkau tidak akan mampu, tetapi Allah yang mempertautkan hati mereka,” begitu Firman-Nya dalam QS. al-Anfal ayat 63.
Sebaliknya, perpecahan dan tercabik-cabiknya masyarakat adalah bentuk siksa Allah. Itulah antara lain yang diuraikan Al-Quran menyangkut masyarakat Saba’, negeri yang tadinya dilukiskan Al-Quran sebagai baldatun thayyibatum wa rabbun ghafur, negeri sejahtera yang dinaungi ampunan Illahi tapi mereka durhaka dengan menganiaya diri mereka, menganiaya negeri mereka.
Maka Kami jadikan mereka buah bibir dan kami cabik-cabik mereka sepenuh pencabik-cabikan. (QS. Saba’ ayat 18).
Saudara, yang dikemukan ayat-ayat di atas adalah sunatullah. Itu adalah hukum kemasyarakatan yang kepastiannya tidak berbeda dengan kepastian “hukum-hukum alam”. Allah berfirman: “Sekali-kali engkau -– siapapun, kapan dan di mana pun engkau — tidak akan mendapatkan bagi sunnatullah satu perubahan pun dan sekali-kali engkau tidak akan mendapatkan bagi sunnatullah Allah sedikit penyimpangan pun.
Itulah yang terjadi di Uni Soviet dan Yugoslavia dan yang prosesnya bisa jadi yang kita saksikan dewasa ini di sekian negara di Timur Tengah.
Allahu Akbar, Allah Akbar, Wa Lillahil Hamd.
Saudara-saudara sekalian, Allah berpesan bahwa bila hari raya fithrah tiba, maka hendaklah kita bertakbir ْKalimat takbir merupakan satu prinsip lengkap menembus semua dimensi yang mengatur seluruh khazanah fundamental keimanan dan aktivitas manusia. Dia adalah pusat yang beredar, di sekelilingnya sejumlah orbit unisentris serupa dengan matahari, yang beredar di sekelilingnya planet-planet tata surya. Di sekeliling tauhid itu beredar kesatuan-kesatuan yang tidak boleh berpisah atau memisahkan diri dari tauhid, sebagaimana halnya planet-planet tata surya — karena bila berpisah akan terjadi bencana kehancuran.
Kesatuan-kesatuan tersebut antara lain. Pertama, kesatuan seluruh makhluk karena semua makhluk kendati berbeda-beda namun semua diciptakan dan di bawah kendali Allah. Itulah “wahdat al-wujud/Kesatuan wujud” – dalam pengertiannya yang sahih.
Kedua, kesatuan kemanusiaan. Semua manusia berasal dari tanah, sejak Adam, sehingga semua sama kemanusiaannya. Semua harus dihormati kemanusiaannya, baik masih hidup maupun telah wafat, walau mereka durhaka. Karena itu: Siapa yang membunuh seseorang tanpa alasan yang benar, maka dia bagaikan membunuh semua manusia dan siapa yang memberi kesempatan hidup bagi seseorang maka dia bagaikan telah menghidupkan semua manusia.“ [QS. al-Maidah ayat 32]
Memang jika ada manusia yang menyebarkan teror, mencegah tegaknya keadilan, menempuh jalan yang bukan jalan kedamaian, maka kemanusiaan harus mencegahnya. Hal ini dikarenakan, menurut QS. Al-Hajj ayat 40: Seandainya Allah tidak mengizinkan manusia mencegah yang lain melakukan penganiayaan niscaya akan diruntuhkan biara-biara, gereja-gereja, sinagog-sinagog, dan masjid-masjid, yang merupakan tempat-tempat yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Tetapi Allah tidak menghendaki roboh-robohnya tempat-tempat peribadatan itu. Karena itu pula kemanusiaan harus bersifat adil dan beradab.
Ketiga, di pusat tauhid beredar juga kesatuan bangsa. Kendati mereka berbeda agama, dan suku, berbeda kepercayaan atau pandangan politik, mereka semua bersaudara, dan berkedudukan sama dari kebangsaan. Karena itu sejak zaman Nabi Muhammad SAW., beliau telah memperkenalkan istilah “Lahum Ma Lanaa Wa ‘Alaihim Maa ‘Alaina”. Mereka yang tidak seagama dengan kita mempunyai hak kewargaan sebagaimana hak kita kaum Muslimin dan mereka juga mempunyai kewajiban kewargaan sebagaimana kewajiban kita.
Dan karena itu pula, pemimpin tertinggi Al-Azhar, Prof. Dr. Ahmad At-Thayyib, berkata: “Dalam tinjauan kebangsaan dan kewargaannegaraan, tidak wajar ada istilah mayoritas dan minoritas karena semua telah sama dalam kewargaan negara dan lebur dalam kebangsaan yang sama.”
Kesadaran tentang kesatuan dan persatuan itulah yang mengharuskan kita duduk bersama bermusyawarah demi kemaslahatan dan itulah makna “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawatan perwakilan”.
Saudara, kesadaran tentang kesamaan dan kebersamaan itu merupakan salah satu sebab mengapa dalam rangkaian idul fithri, setiap Muslim berkewajiban menunaikan zakat fitrah yang merupakan simbol kepedulian sosial serta upaya kecil dalam menyebarkan keadilan sosial. Selain kesatuan-kesatuan di atas, masih banyak yang lain, seperti: kesatuan suami isteri, yakni kendati mereka berbeda jenis kelamin namun mereka harus menyatu. Tidak ada lagi yang berkata “saya” tetapi “kita”, karena mereka sama-sama hidup, sama-sama cinta serta sama-sama menuju tujuan yang sama.
Akhirnya, walau bukan yang terakhir, perlu juga disebut kesatuan jati diri manusia yang terdiri dari ruh dan jasad. Penyatuan jiwa dan raga, mengantar “binatang cerdas yang menyusui” ini menjadi manusia utuh sehingga tidak terjadi pemisahan antara keimanan dan pengamalan, tidak juga antara perasaan dan perilaku, perbuatan dengan moral, idealitas dengan realitas. Akan tetapi, masing-masing merupakan bagian yang saling melengkapi. Jasad tidak mengalahkan ruh dan ruh pun tidak merintangi kebutuhan jasad.
Kecenderungan individu memperkukuh keutuhan kolektif dan kesatuan kolektif mendukung kepentingan individu. Pandangan tidak hanya terpaku di bumi dan tidak juga hanya mengawang-awang di angkasa. Demikian itulah manusia yang ber-‘idul fithri, yang kembali ke asal kejadiannya.
Anda menemukan dia teguh dalam keyakinan. Teguh tetapi bijaksana, senantiasa bersih walau miskin, hemat dan sederhana walau kaya, murah hati dan murah tangan, tidak menghina dan tidak mengejek, tidak menyebar fitnah tidak menuntut yang bukan haknya dan tidak menahan hak orang lain.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Wa lillahil Hamd.
Saudara, kitab suci Al-Qur’an menguraikan bahwa sebelum manusia ditugaskan ke bumi, Allah memerintahkannya transit terlebih dahulu di surga. Itu dimaksudkan agar Adam dan ibu kita Hawa memperoleh pelajaran berharga di sana. Di surga, hidup bersifat sejahtera. Di sana, menurut Al-Qur’an Surah Thaha ayat 118-119, “tersedia sandang, papan dan pangan yang merupakan tiga kebutuhan pokok manusia. Di sana juga tidak terdengar, jangankan ujaran kebencian, ucapan yang tidak bermanfaat pun tidak ada wujudnya. Yang ada hanya damai… damai dan damai.
Mereka tidak mendengar di dalamnya perkataan yang sia-sia dan tidak pula yang menimbulkan dosa, akan tetapi ucapan salam lagi sejahtera. (QS. Al-Waqiaah ayat 25-26).
Situasi demikian, dialami oleh manusia modern pertama itu, bukan saja agar jika mereka tiba di pentas bumi mereka rindu kepada surga sehingga berusaha kembali ke sana, tetapi juga agar berusaha mewujudkan bayang-bayang surga itu dalam kehidupan di bumi ini, yakni hidup sejahtera, terpenuhi kebutuhan pokok setiap individu, dalam suasana damai, bebas dari rasa takut yang mencekam, bebas juga dari kesedihan yang berlarut.
Saudara! Di surga juga keduanya menghadapi tipu daya iblis dan mengalami kepahitan akibat memperturutkannya. Sementara pakar berkata bahwa kata “iblis” terambil dari bahasa Yunani Kuno yakni Diabolos, yang berarti “sosok yang memfitnah, yang memecah belah”. Iblis memfitnah Tuhan dengan berkata bahwa Allah tidak melarang Adam dan pasangannya mencicipi buah terlarang, kecuali karena Allah enggan keduanya menjadi malaikat atau hidup kekal (QS. Al-’Araf ayat 20). Iblis memfitnah, memecah belah, dan menanamkan prasangka buruk.
Dengan beridul fitri, kita hendaknya sadar tentang peranan Iblis dan pengikut-pengikutnya dalam menyebar luaskan fitnah dan hoax serta menanamkan prilaku buruk serta untuk memecah belah persatuan dan kesatuan.
Saudara, Al-Qur’an melukiskan bahwa mempercayai ujaran Iblis, mengakibatkan tanggalnya pakaian Adam dan Hawa. (QS. Al-araf ayat 27). Pakaian adalah hiasan, pakaian juga menandai identitas dan melindungi manusia dari sengatan panas dan dingin sambil menutupi bagian yang enggan diperlihatkan. Selama bulan puasa ini, kita menenun pakaian takwa dengan nilai-nilai luhur.
Nilai yang telah disepakati oleh bangsa kita adalah nilai-nilai yang bersumber dari agama dan budaya bangsa yang tersimpul dalam Pancasila. Itulah pakaian kita sebagai bangsa. Itulah yang membedakan kita dari bangsa-bangsa lain. Itulah hiasan kita dan itu pula yang dengan menghayatinya kita dapat terlindungi — atas bantuan Allah — dari aneka sengatan panas dan dingin, dari aneka bahaya yang mengganggu eksistensi kita sebagai bangsa.
Allah berpesan: Jangan menjadi seperti seorang perempuan gila dalam cerita lama yang merombak kembali tenunannya sehelai benang demi sehelai setelah ditenunkannya (QS. An Nahl ayat 92).
Saudara-saudara, para ‘Â’idîn dan ‘Â’idât, yakinlah bahwa kita memiliki nilai-nilai luhur yang dapat mengantarkan kita ke cita-cita proklamasi. Tetapi agaknya kita kurang mampu merekat nilai-nilai itu dalam diri dan kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai inilah yang membentuk kepribadian anggota masyarakat; semakin matang dan dewasa masyarakat, semakin mantap pula pengejawantahan nilai-nilai tersebut. Masyarakat yang sakit adalah yang mengabaikan nilai-nilai tersebut.
Ada orang atau masyarakat yang sakit tapi tidak menyadari bahwa dia sakit. Sayyidina Ali pernah berucap melukiskan keadaan seseorang atau masyarakat: “Penyakitmu disebabkan oleh ulahmu tapi engkau tidak lihat obatnya ada di tanganmu tapi engkau tak sadar.”
Keadaan yang lebih parah adalah tahu dirinya sakit, obat pun telah dimilikinya, tapi obatnya dia buang jauh-jauh. Semoga bukan kita yang demikian.
Akhirnya, mari kita jadikan ‘idul fithri, sebagai momentum untuk membina dan memperkukuh ikatan kesatuan dan persatuan kita, menyatupadukan hubungan kasih sayang antara kita semua, sebangsa dan se-Tanah Air.
Marilah dengan hati terbuka, dengan dada yang lapang, dan dengan muka yang jernih, serta dengan tangan terulurkan, kita saling memaafkan, sambil mengibarkan bendera as-Salâm, bendera kedamaian di Tanah Air tercinta, bahkan di seluruh penjuru dunia.
“Ya Allah, Engkaulah as-Salâm (kedamaian), dari-Mu bersumber as-Salâm, dan kepada-Mu pula kembalinya. Hidupkanlah kami, Ya Allah, di dunia ini dengan as-Salâm, dengan aman dan damai, dan masukkanlah kami kelak di negeri as-Salâm (surga) yang penuh kedamaian. Maha Suci Engkau, Maha Mulia Engkau, Yâ Dzal Jalâli wal Ikrâm.
(Islam Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email