Nama pustaka samawi yang diturunkan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw adalah al-Qur’an. Penamaan tersebut terlihat di dalam beberapa ayat al-Qur’an, di antaranya: “Dan al-Qur’an ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai al-Qur’an (kepadanya).” (Q.S. al-An’âm [6], ayat 19)dan “Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin.” (Q.S. al-Isrâ’ [17], ayat 9) dan “Tidaklah mungkin al-Qur’an ini dibuat oleh selain Allah.” (Q.S. Yunus [10]:37) dan “Alif, laam, raa. (Surat) ini adalah (sebagian dari) ayat-ayat al-kitab (yang sempurna), Yaitu (ayat-ayat) al-Qur’an yang memberi penjelasan.” (Q.S. al-Hijr [15]: 1)
Ungkapan “inilah al-Qur’an” pada dasarnya mengisyaratkan akan hakikat matlab yang terkandung di dalam lafazh, kalimat, dan jumlah kata khusus yang diucapkan Rasul Saw yang kemudian sampai di telinga para pendengarnya, yang kemudian atas perintah beliau disimpan dalam lembaran-lembaran dalam bentuk khath (goresan) dan simbol-simbol khusus. Semua ini bersumber dari kalbu mulia Rasul Saw yang merupakan pusat wahyu dan pancaran ilmu-ilmu Ilahi.
Nuzul Al-Qur’an
Ayat-ayat suci al-Qur’an menjelaskan bahwa kitab al-Qur’an ini turun dari sisi Allah Swt. Sebagai contoh ayat yang berbunyi:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran.” (Q.S. an-Nisâ [4]: 105)
“Yang demikian itu adalah karena Allah telah menurunkan al-Kitab dengan membawa kebenaran.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 176)
“Dan ini (al-Qur’an) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya.” (Q.S. al-An’âm [6] :92).
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (Q.S. an-Nahl [16]: 89)
Kata-kata:inzal,tanzil dan derivasinya dalam kaitannya dengan kitab (al-Qur’an) yang disebutkan dalam ayat di atas dan ayat-ayat lainya, semuanya mempunyai arti turun.
Râghib menulis: Nuzul menurut arti kata aslinya adalah turun dari makam yang tinggi.[1]
Pada dasarnya nuzul itu mempunyai arti turunnya suatu benda (materi) dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Akan tetapi Nuzulul Qur’an tidak berarti demikian. Hal tersebut dikarenakan Allah Swt adalah satu dzat non-materi yang tidak bertempat (tidak terbatasi oleh ruang), karena itu Nuzulul Quran haruslah diartikan dengan makna lain.
Sebagian ayat menjelaskan bahwa eksistensi al-Qur’an itu adalah berupa lafazh dan tulisan-tulisan yang didahului oleh satu eksistensi yang lebih tinggi darinya. Dengan artian bahwa al-Qur’an ini mempunyai satu eksistensi yang berada dalam makam yang tinggi, yang dari sanalah dia diturunkan.
Dalam al-Qur’an surah al-Wâqi’ah, ayat 77-80 tertulis:
“Sesungguhnya al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia. Pada kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh). Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. Diturunkan dari Rabbil ‘alamiin.”
Ayat di atas mengandung makna bahwa al-Qur’an itu ada dan tersimpan di dalam sebuah kitab maknun, kendatipun kata ‘kitab maknun’ di sini tidak ada penjelasannya.
Didalam ayat lain tertulis:
“Haa Miim. Demi kitab (al-Qur’an) yang jelas. Sesungguhnya Kami menjadikan al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya). Dan sesungguhnya al-Qur’an itu dalam Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah.” (Q.S. az-Zukhruf [43]: 1-4)
Ayat tersebut juga mengandung arti bahwa al-Qur’an Arabi (yang bertuliskan Arab) itu dahulunya di sisi Allah adalah satu eksistensi yang sangat mulia lagi terjaga yang tersimpan dalam Ummul Kitab, dan eksistensi mulia tersebut kemudian dijadikan dalam bentuk al-Qur’an Arabi yang kemudian diturunkan (kepada Nabi Muhammad Saw), akan tetapi di sini juga tidak dijelaskan akan arti dari Ummul Kitab itu sendiri.
Di ayat lain juga disebutkan:
“Bahkan yang didustakan mereka itu ialah al-Qur’an yang mulia. Yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh.” (Q.S. Al-Burûj [85]: 21-22)
Ayat tersebut di atas juga menjelaskan bahwa al-Qur’an yang mulia itu ada dalam Lauh Mahfudz. Akan tetapi tidak dijelaskan apa arti Lauh Mahfuzh itu sendiri.
Di ayat lain Allah Swt berfirman:
“Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Mahatahu.” (Q.S. Hûd [11]: 1)
Dari keterangan ayat-ayat tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa al-Qur’an sebelumnya ada pada satu tempat yang kokoh dan terjaga yang masih berbentuk basith (simpel) dan belum mendetail, yang kemudian diturunkan secara mendetail.
Allâmah Thabâthabâi berkaitan dengan ayat-ayat tersebut mengatakan: “Setelah mendalami beberapa ayat (tersebut) bisa diambil kesimpulan bahwa al-Qur’an malfuzh dan maktub (berupa lafazh dan tulisan) yang bermetode bahasa Arab dan turun kepada nabi Muhammad Saw secara berangsur-angsur selama 23 tahun, dan ia sebelumnya mempunyai satu eksistensi yang berada dalam satu makam yang tinggi. Di tempat (tinggi) tersebut tidak ada yang namanya tafsil (mendetail) dan tadrij (berangsur-angsur), arab ataukah non-arab. Ia juga tidak mempunyai makna dan mafhum i’tibari, akan tetapi dia mempunyai hakikat lain yang jauh dari penalaran dan pemahaman umumnya kita. Tidak ada yang bisa mengetahui kedudukan tersebut kecuali hanyalah manusia-manusia suci yang bebas dari dosa dan maksiat.”
Makam mulia ini kadang diibaratkan oleh al-Qur’an dengan sebutan:
“Dan sesungguhnya al-Qur’an itu dalam Ummul Kitab di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah.” (Q.S. az-Zukhruf [43]: 4)
Dan kadang dengan ibarat:
“Bahkan yang didustakan mereka itu ialah al-Qur’an yang mulia, Yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh.” (Q.S. al-Buruj [85]: 21 dan 22)
Dan kadang pula dikatakan dengan:
“Sesungguhnya al-Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh). (Q.S. al-Waqi’ah [56]: 77-78).
Ayat-ayat tersebut mengabarkan akan satu hakikat dan satu kebenaran bahwa Allah Swt menurunkan Kitab Maknun (al-Qur’an yang terpelihara) dengan gaya bahasa arab yang dijabarkan dalam beberapa ayat dan surat yang diturunkan ke dalam kalbu Rasulullah Saw supaya ia bisa dipahami oleh manusia. Dan inilah maksud dari Nuzul al-Qur’an.[2]
Akan tetapi Sadrul Muta’allihîn dalam mengartikan Nuzul al-Qur’an mengisyaratkan akan adanya makam yang berbeda-beda, dia menuturkan: “Al-Qur’an dan Ayat-ayat yang turun itu, pada satu makam adalah ayat-ayat Kalâmiah ‘Aqliyah itu sendiri, di makam lainnya adalah kitab-kitab Lauhiyah, di sisi lain pula ia berupa ’ain maujud khalqi, di suatu makam lain lagi ia berupa lafazh yang bisa terdengar oleh indra ataupun berupa sketsa yang bisa dilihat oleh mata.[3]
Ungkapan yang dikemukakan oleh Mulla Sadra tersebut membutuhkan penjelasan panjang yang bisa didapatkan di dalam kitab Al-Asfar dan juga kitab-kitab lainnya. Jika ingin mengetahuinya secara mendalam bisa merujuk pada beberapa kitab yang berkaitan dengannya.
Oleh karena itu, Nuzul al-Qur’an, sekalipun tidak diartikan dengan turun dari satu tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah, akan tetapi ia mempunyai arti nuzul (turun) yang hakiki. Hal tersebut dikarenakan arti nuzul di sini adalah dari satu tempat yang mempunyai makam tinggi yaitu makam basith (simpel) dan tajarrud (non-materi) ke makam yang lebih rendah yaitu makam tafsili (mendetail) dan materi. Oleh karena itu, dapat diambil kesimpulan bahwa peletakan kata-kata: nuzûl, inzâl, dan tanzîl dalam kaitannya dengan al-Qur’an adalah mempuyai arti yang hakiki, bukan majazi, hal ini sebagaimana yang telah dikatakan oleh sebagian ulama.[4]
Bagaimana Turunnya al-Qur’an?
Al-Qur’an tidaklah turun dengan cara tajâfi, dengan artian bahwa ketika diturunkan maka kedudukan atau makam aslinya yang tadinya berada dalam makam yang tinggi, kini hilang disebabkan penurunannya yang berbentuk tafsil (mendetail).
Akan tetapi pada hakikatnya tanzîl al-Qur’an (turunnya al-Qur’an) itu berupa tajalli. Dengan artian bahwa kalam Ilahi yang awalnya berada dalam makam tajarrud (non-materi), sesudah diturunkan kini menjelma ke dalam makam tabiat (materi), dimana penjelmaan tersebut sama sekali tidak menghilangkan eksistensinya yang asli. Al-Qur’an adalah satu fenomena ilmu yang bersumber dari ilmu Ilahi yang tidak terbatas yang kemudian turun dan memanifestasi, seperti halnya sinar matahari yang menyinari bumi. Sebab, fenomena-fenomena alam yang ada ini, baik yang bersifat ilmu ataukah tidak, yang berperantara ataukah tidak, semuanya bersumber dari wujud Tuhan Yang Maha Suci. Dia adalah satu wujud sempurna yang tidak terbatas dimana seluruh kesempurnaan bersumber dan turun dari sisi-Nya yang mulia. Dialah yang memberikan kesempurnaan kepada seluruh fenomena-fenomena yang ada.
Oleh karena itu, al-Qur’an yang turun dalam alam tabiat (materi), berupa satu kitab yang terdiri dari beberapa ayat dan surah, itu juga ada di dalam “alam maknun” (alam yang sangat terjaga) dan di “ummul kitab” yang tentunya berupa sesuatu yang basith (simple), mujarrad (non-materi) dan dalam satu kumpulan tertentu. Oleh karenanya di dalam alam tersebut kata-kata seperti ayat, surah, muhkam dan mutasyâbih, nâsikh dan mansukh, khas dan ‘am, Arabi dan non-Arabi, semuanya tidak dikenal. Hal ini karena nama-nama tersebut melazimkan hubungannya dengan alam tabiat (materi).
Dalam kaitannya dengan nuzul al-Qur’an, apabila ia diartikan dengan turunnya dari makam non-materi ke alam materi yaitu dengan berbentuk lafazh dan kalimat-kalimat, maka ada satu permasalahan yang harus dijawab yaitu:
Al-Qur’an di dalam alamnya yang tinggi adalah satu eksistensi yang bersifat basith (simple) dimana eksistensi tersebut kemudian turun ke alam bawahnya dengan berbentuk mafahim (komprehensi-komprehensi) dan kalimat-kalimat. Dan untuk menunjukkan mafahim dan kalimat-kalimat tersebut dibutuhkan kepada dalalah i’tibari (kesepakatan yang kemudian dijadikan ketentuan) yang secara otomatis dalalah tersebut terpisah dengan alam takwini. Dari sinilah permasalahan baru akan muncul, yaitu setiap kaum (untuk memahaminya) pasti akan menggunakan satu kalimat khusus sesuai dengan yang mereka pahami. Pertanyaan yang muncul disini adalah: “Bagaimana bisa satu hakikat ilmi dan takwini berubah kedalam satu hal yang bersifat i’tibari dan wadh’i? Sementara dalam hal ini ada kemestian yang mengatakan bahwa turunnya satu hakikat itu harus dibarengi dengan compatibility (penggabungan) antara satu status (makam) dengan status lainnya.
Dalam menjawab masalah ini, allâmah ustadz Jawadi Amuly menulis: Dalam menjawab permasalahan ini bisa dikatakan: “Sekalipun di sana diharuskan akan adanya penggabungan antara silsilatul ’ilal (rentetan sebab-sebab) dengan waqi’iyyatul mutanazzil (kenyataan yang turun), akan tetapi hakikat-hakikat yang bisa dipikirkan oleh akal akan senantiasa diletakkan oleh manusia ke dalam bentuk mitsal (ide), yang kemudian dari sanalah ia akan menerapkan fi’il i’tibari (perbuatan sahih dan muktabar) ataukah qaul i’tibari (ucapan sahih dan muktabar) ke dalam bentuk dasar tabiat. Seluruh analisa ilmi dari hakikat-hakikat basith (simple) dengan pengucapan dan tulisan itu tidak lain adalah turunnya umur ’aqli (perkara rasional) dan takwini dalam bentuk umur i’tibari (perkara kesepakatan dan kontrak sosial). Hal ini karena karakter manusia menempatkan antara perkara-perkara takwini dan i’tibari itu ke dalam satu pemahaman yang sama. Baik dalam masalah nuzul (turun), dimana hal ini telah kita jelaskan ataukah di dalam masalah su’ûd (naik), dimana dengan adanya hubungan antar perkara i’tibari dengan membaca dan mendengar, perkara takwini bisa diperoleh dan dirasakan. Dan berangkat dari dimensi ini kemudian ia akan menemukan arti ’aqlinya (rasionalitasnya) yang kemudian akan memisah dari i’tibar dan menuju takwini.
Ada kemungkinan bahwa dalam turunnya wahyu yaitu dari makam takwini kedalam makam i’tibari tersebut melalui satu jalan dimana dalam jalan tersebut terdapat satu otoritas antara keduanya.
Penjelasan di atas bisa dikatakan bahwa takallum (berbicara) dan penulisan wahyu adalah salah satu dari asma’ fi’liyah Tuhan bukan dari asma’ dzatiyah-Nya. Sedangkan sifat fi’liyah itu terabstraksikan dari makam fi’il (perbuatan) dan bukan dari makam dzat. Adapun fi’il Allah Swt dalam kaitannya dengan turunnya wahyu itu terkombinasi dari takwini dan i’tibar yang mana keduanya adalah karakter dari dzat Allah Swt. Dari sini maka pengaruh sekecil apapun yang berasal dari selain Allah Swt akan ternafikan, sebagaimana firman-Nya didalam Q.S. az-Zuhkruf, ayat 3 dan 4:
“Sesungguhnya Kami menjadikan al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya). Dan sesungguhnya al-Qur’an itu dalam ummul kitab di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi dan sangat banyak mengandung hikmah.”
Sebagaimana halnya dalam pengadaan hakikat wahyu Ilahi adalah fi’il Allah Swt dimana fi’il tersebut disisi-Nya adalah fi’il (perbuatan) yang sangat tinggi (la’aliyyun) dan amat banyak mengandung hikmah (hakîm), maka penurunan hakikat tersebut ke dalam gaya Bahasa Arab (arabiyyan) juga termasuk fi’il Allah Swt. Dan dari sini berarti pula bahwa bukan hanya makna kalam Ilahi sajalah yang turun ke dalam kalbu Rasulullah Saw yang selanjutnya beliau merangkai dan menyusunnya ke dalam bentuk lafazh, karena kalau demikian halnya maka karakteristik dari sebuah mukjizat akan terhapus dan hilang.
Setelah jelas kita ketahui bahwa dua fi’il tersebut di atas adalah fi’il Allah Swt, maka kita katakan: Satu-satunya penghubung yang layak dan bisa menghubungkan antara makam takwini dan i’tibari hanyalah pribadi Rasulullah Saw, itu semua tidak lain disebabkan karena ruh beliau yang suci, yang tidak terikat kepada satu ikatanpun kecuali kepada-Nya, ditambah dengan amalan-amalan ibadah beliau yang tidak mengenal wajib dan mustahab (keduanya bagi Rasul adalah satu ibadah wajib), maka dari sini apa saja yang beliau dengar dan lihat tidak lain adalah dengan pendengaran dan penglihatan Ilahiah. Melalui jalan inilah, hakikat takwini akli mengalami tanazzul dan masalah-masalah i’tibari nakli akan bertajalli. Sekalipun pada dasarnya hal-hal i’tibari dan takwini alam tabiat dengan jalan ini pulalah bisa naik dan bermikraj. Dari sini maka bisa dikatakan kalau seandainya di sana ada satu jalan seperti halnya diri Rasul Saw yang suci, yang bisa menggabungkan antara hal-hal takwini dan i’tibari maka jawabannya pun akan bisa terselesaikan dengannya.[5]
Dalam menjawab permasalahan tersebut, ilmuan di atas ingin mengaitkan antara perkara takwini dengan perkara i’tibari malalui diri suci Rasul, dimana diri beliau bebas dan tidak terikat sedikitpun pada perkara selain perkara yang benar dan beliau sudah sampai pada satu makam yang di sana ibadah-ibadah mustahab menjadi wajib baginya. Dari satu sisi ilmuan tersebut mengenalkan diri Rasul (nafs Rasul) sebagai satu jalan umum dimana nafs Rasul tersebut disamping sebagai penurun hakikat akli dan takwini ke makam i’tibari, juga pengangkat makam i’tibari kemakam hakikat akli. Dari sisi lain ilmuan tersebut ingin mengenalkan bahwa pengetahuan yang diperoleh Rasul dengan melihat, mendengar, dan mengucapkan, itu semua sama dengan penglihatan, pendengaran dan ucapan Allah Swt. Kesimpulannya bahwa lafazh dan kalimat-kalimat al-Qurân sekalipun terucap melalui lisan Nabi, ia juga bisa dinisbahkan kepada Allah Swt. Wallahu a’lamu bisshawâb.
Dalam menjawab permasalahan di atas, ada beberapa jalan yang bisa di tempuh di antaranya kita bisa katakan bahwa: Allah Swt menurunkan al-Qur’an (kitab samawi yang diturunkan untuk terakhir kalinya) dengan cara menurunkan lafazh dan kalimat-kalimat nafsi dengan gaya bahasa arab yang kemudian diturunkan ke dalam kalbu Rasulullah Saw. Kemudian dikarenakan pengetahuan Rasulullah Saw terhadap makna dan arti lafazh dan kalimat-kalimat tersebut melalui dalalah i’tibari, maka dengan perantara itulah beliau tahu akan lafazh dan kalimat-kalimat tersebut dan dengan jalan inilah beliau menerima wahyu Ilahi. Setelah itu barulah Rasulullah Saw menyampaikan lafazh dan kalimat-kalimat tersebut dengan lisannya yang suci sesuai dengan lafazh dan kalimat-kalimat dengan arti aslinya. Dan dari sinilah ia disebut dengan Kalam Ilahi dan juga satu Mukjizat.
Melihat bahwasanya lafazh dan kalimat-kalimat wahyu adalah satu hakikat takwini, sekalipun dalalah keduanya adalah dalalah i’tibari maka dalam kaitannya dengan nuzul al-Qur’an, khususnya untuk menghubungkan antara hal-hal yang bersifat takwini dan i’tibari akan terpecahkan. Sekalipun itu merupakan satu permasalahan yang sangat rumit. Wallahu a’lamu bisshawâb.
Makna Sendiri ataukah Bersamaan dengan Lafazh
Al-Qur’an terdiri dari beberapa lafazh, kalimat dan jumlah khusus yang terangkum dalam bahasa Arab, yang itu semua menunjukkan kepada suatu makna khusus. Dengan artian bahwa makna-makna khusus tersebut terkandung di dalam lafazh-lafazh khusus yang kemudian dinamakan dengan al-Qur’an. Sudah jelas bagi kita bahwa lafazh dan kalimat-kalimat merupakan satu hal yang hakiki dan juga takwini, sekalipun dalalah yang dipakai di sini menunjukan arti khusus, i’tibari dan wadh’i (peletakan).
Pembahasan yang muncul sekarang adalah apakah al-Qur’an yang turun dikalbu Rasulullah Saw itu, apakah makna saja yang turun di kalbu Rasulullah Saw yang kemudian beliaulah yang menyusun makna tersebut ke dalam lafazh dan kalimat-kalimat arab ataukah disamping makna, lafazh dan kalimat-kalimat itu juga ciptaan dan bersumber dari Tuhan? Di sini ada dua pendapat:
Pertama: Kebanyakan ulama menerima pendapat yang kedua yaitu al-Qur’an yang turun itu disamping mempunyai makna juga telah tersusun ke dalam lafazh-lafazh.
Zarqani menulis: “Pada dasarnya apa yang telah diturunkan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Saw adalah berupa lafazh-lafazh al-Qur’an yang terdiri dari surah al-Fatihah sampai surah an-Nâs. Lafazh-lafazh ini tidak lain adalah kalam Ilahi, dimana Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad Saw sama sekali tidak ikut campur dalam pendiktean dan dalam pengaturannya, akan tetapi Allahlah yang mengaturnya. Dari sinilah kemudian al-Qur’an dinamai dengan Kalam Ilahi, sekalipun setelahnya Malaikat Jibril, Nabi Muhammad Saw dan milyaran manusia mengucapkannya dengan mulut mereka, tapi Tuhanlah yang telah mengatur lafazh dan kalimat-kalimat al-Qurân itu sesuai dengan eksistensinya. Sebagaimana kita ketika mengucapkan dan mengungkapkan suatu lafazh, maka lafazh yang kita keluarkan akan sesuai dengan kalam nafsi (apa yang ada dalam benak) kita. Kesimpulannya bahwa kalam (perkataan) itu tidak akan dinisbahkan kepada selain mutakallim, karena mutakallimlah yang pada awalnya mengaturnya (sesuatu yang hendak diungkapkan) didalam pikirannya yang kemudian mengucapkannya sesuai dengan apa yang ada dibenaknya tersebut.
Dengan demikian tidak dibenarkan kepada kita untuk menisbahkan al-Qur’an kapada Malaikat Jibril As ataukah kepada Nabi Muhammad Saw. Tugas Malaikat Jibril As hanyalah menyampaikan dan menukilkan lafazh-lafazh al-Qur’an kepada Hadrat Muhammad Saw, sedangkan Nabi Muhammad Saw tugasnya adalah menjaga lafazh-lafazh al-Qur’an tersebut yang kemudian beliau tafsirkan, diktekan dan sampaikan kepada seluruh manusia.
Dalam al-Qur’an dikatakan: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar diberi al-Qur’an dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (Q.S: an-Naml, ayat 6)
Dan Allah Swt berfirman:
“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata: “Datangkanlah al-Qur’an yang lain dari ini atau gantilah dia”. Katakanlah: “Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat).” (Q.S: Yunus, ayat 15)
Dari ayat yang disebutkan di atas bisa diperoleh penjelasan bahwa lafazh-lafazh al-Qur’an itu turun dari sisi Allah Swt. Kalau seandainya al-Qur’an tidak bersumber dari sisi-Nya bagaimana bisa dia disebut dengan mukjizat? Sementara kita telah ketahui bahwa kalam nabi bukanlah mukjizat. Dan kalau sekiranya lafazh-lafazh al-Qur’an itu tidak turun dari sisi Allah Swt, lalu bagaimana bisa dia dinisbatkan kepada Allah Swt? Sementara kita ketahui bahwa di dalam al-Qur’an disebutkan bahwa:
“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (Q.S. at-Taubah [9] : 6)
Yaitu sudah menjadi suatu kesepakatan bagi Kaum Muslimin bahwa lafazh dan kalimat-kalimat al-Qur’an itu turun dan bersumber dari sisi Allah Swt. Hal tersebut ditambah dengan penjelasan al-Qur’an:
“Sesungguhnya Kami menjadikan al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya). Dan sesungguhnya al-Qur’an itu dalam ummul kitab di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi dan amat banyak mengandung hikmah.” (Q.S. az-Zukhrûf, ayat 3 dan 4)
Dari ayat tersebut juga bisa diperoleh keterangan bahwa Allah Swt menjadikan al-Qur’an dengan memakai bahasa Arab, dari sini menjadi jelas bahwa lafazh itu turun dari sisi-Nya.
Akan tetapi dalam kaitannya dengan permasalahan tersebut ada satu isykalan yang mungkin akan diajukan: Disaat diturunkannya wahyu, makna al-Qur’an saja yang turun di kalbu Rasulullah Saw, disaat itu juga Rasulullah Saw mengubah makna-makna al-Qur’an ke dalam lafazh dan kalimat-kalimat khusus yang kemudian diucapkannya supaya sampai kependengaran masyarakat.
Dalam mengomentari permasalahan yang mengatakan: Kalau seandainya sususan-susunan kata dan jumlah yang ada dalam al-Qur’an itu dibuat oleh Rasulullah Saw, bagaimana mungkin al-Qur’an dikatakan dengan mukjizat, itu bisa kita katakan: Sekalipun lafazh itu berasal dari Rasulullah Saw akan tetapi ia tersusun dengan sedemikian rupa, yang mana seseorang tidak akan mampu untuk menyusun serupa dengannya. Dan mukjizat inilah yang diberikan Allah Swt kepada Rasul-Nya Saw.
Adapun kaitannya dengan ayat yang mengatakan: Sesungguhnya Kami menjadikan al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami (nya), itu bisa kita jelaskan dengan jawaban: Karena makna al-Qur’an itu berasal dan turun dari Allah Swt ke dalam hati Rasulullah Saw, yang kemudian Rasulullah Saw dengan mukjizat yang dimilikinya mengeluarkan makna al-Qur’an tersebut ke dalam bahasa arab maka dikarenakan hal inilah ke-arabiyâ-an al-Qur’an itu hanya dinisbatkan kepada Allah Swt.
Yang jelas, dikarenakan makna al-Qur’an turun dari sisi Allah Swt ke dalam kalbu Rasulullah Saw, ditambah dengan begitu banyaknya penegasan-penegasan yang berasal dari Allah Swt yang terkandung di dalam lafazh, kalimat serta susunan-susunan kata yang ada dalam al-Qur’an maka kitab tersebut sama dengan kalam suci Ilahi (perkataan suci Tuhan) dan hanya kepada-Nya kitab tersebut dinisbatkan.
Pendapat kedua mengatakan: Sebagian ahli kalam berpendapat bahwa makna al-Qur’an saja yang diturunkan di dalam kalbu Rasul Saw, sedangkan lafazh dan kalimat-kalimat (al-Qur’an) semua dari Rasullah Saw (beliaulah yang merangkainya ke dalam bentuk lafazh dan mengutarakannya ke dalam jumlah kalimat). Di dalam kitab Falsafeye Ilme Kalam tertulis: Sebagian mengatakan bahwa apa yang disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Saw hanyalah makna al-Qur’an, kemudian Rasulullah Saw sendiri yang merangkainya ke dalam bentuk lafazh. Pandangan ini dikemukakan oleh sebagian ilmuan di antaranya; Ibnu Kallâb, Wasiyat, Nafsi dan Taftazani. Sedang sebagian yang lain berpendapat bahwa Malaikat Jibril As yang merangkai makna kalam tersebut ke dalam bentuk lafazh. Pendapat ini diutarakan oleh pengikut Asy’ari.[6]
Dalam mengupas permasalahan di atas bisa dikatakan bahwa dalam hubungannya dengan lafazh dan kalimat-kalimat alQur’an, tidak ada bantahan bahwa lafazh dan kalimat-kalimat al-Qur’an itu terucapkan melalui mulut Rasulullah Saw dan dengan cara itulah al-Qur’an kemudian sampai kependengaran orang-orang. Dengan demikian kita bisa simpulkan bahwa ia (lafazh dan kalimat) adalah buatan Rasulullah Saw, sama seperti halnya ketika kita katakan bahwa perkataan-perkataan beliau selain perkataan wahyu adalah perbuatan beliau, demikian juga perbuatan-perbuatan selainnya seperti makan, minum, jalan dan bekerja. Berangkat dari tinjauan ini kita bisa katakan bahwa sesuatu yang telah turun di kalbu mulia Rasul tidak lain hanyalah makna dari ayat-ayat al-Qur’an, kemudian beliau yang menyusunnya ke dalam susunan kata (lafazh- lafazh Bahasa Arab) dan menyampaikannya ke telinga manusia.
Akan tetapi kemungkinan semacam itu juga tidak bebas dari sanggahan. Hal ini didasarkan pada pandangan manusia secara umum yang mengatakan bahwa al-Qur’an yang turun dari sisi Allah Swt itu tidak berupa makna dan mafhum saja akan tetapi berupa ma’âni (makna-makna) dan mafâhim (pemahaman-pemahaman) yang tersusun dalam sebuah lafazh dan kalimat-kalimat khusus (dengan memakai bahasa Arab). Dan pemahaman semacam inilah yang diyakini oleh kaum muslim dipermulaan Islam. Rasulullah Saw pada satu waktu mengatakan bahwa al-Qur’an ini diwahyukan kepada beliau dengan berbentuk lafazh dan kalimat-kalimat.
Perkataan ketiga: Kemungkinan lainnya yang berkenaan dengan masalah di atas adalah al-Qur’an yang turun itu mempunyai dimensi lafazh serta kalimat-kalimat yang disertai dengan makna. Dan yang dimaksud dari lafazh dan kalimat tersebut bukanlah lafazh dan kalimat-kalimat yang diucapkan dengan lisan, akan tetapi disini mempunyai arti kalimât nafsâni. Dengan penjelasan bahwa setiap manusia pasti merasakan dan mendapatkan akan adanya kalimat-kalimat tersebut di dalam dirinya, tepatnya ketika hendak berbicara secara otomatis dia mengetahui lafazh dan kalimat-kalimat yang akan dibicarakannya, dimana disaat berbicara dia akan selalu tergantung dengannya dan berbicara sesuai dengannya. Dari sini kita menamakannya sebagai kalimât nafsani.
Para nabi Ilahi juga mengenali kalimat-kalimat tersebut dengan interaksi yang mereka jalin dengan masyarakat sekitarnya, yang dari sinilah mereka bisa mengenali masyarakatnya. Tentunya setiap Nabi dalam berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya menggunakan bahasa dialog yang berbeda-beda sesuai dengan dialog masyarakatnya, dimana setiap kali mendengarkan pembicaraan-pembicaraan tersebut, secara otomatis bisa memahami arti dan maksud yang dibicarakannya. Adapun yang harus diperhatikan disini bahwa baca dan tulis bukanlah satu-satunya jalan, akan tetapi di sana ada jalan lain yang kita tidak mengetahuinya.
Dalam kaitannya dengan wahyu bisa dikatakan bahwa Allah Swt -baik dengan perantara ataukah tidak- menurunkan ‘ain lafazh (lafazh itu sendiri), kalimat, dan ibarat-ibarat al-Qur’an ke dalam kalbu Rasulullah Saw dan beliau dengan perantara pendengaran maknawinya dapat mendengar dan mengetahui arti yang terkandung di dalamnya. ‘Ain lafazh, kalimat, serta ibarat-ibarat yang turun ke dalam kalbu Rasul tersebut adalah kalimat-kalimat nafsi (bima hiya hiya) dimana sesuatu yang beliau ucapkan bersumber darinya dan juga beliau tidak akan berbicara kecuali sesuai dengannya.
Lafazh dan kaliamt-kalimat ini, sekalipun memiliki petunjuk yang bermakna khusus, akan tetapi semuanya berasal dari hakikat-hakikat takwini yang hadir di dalam kalbu Rasulullah Saw dengan perantara wahyu dan semua perkataan yang keluar dari Rasul bersumber darinya. Oleh karena itu, sebagaimana halnya bahwa makna al-Qur’an berasal dari Allah Swt yang kemudian diturunkan ke dalam kalbu Rasul maka lafazhnya pun berasal dari Allah Swt.
Kesimpulannya, Dia-lah yang menjadikan al-Qur’an itu dengan gaya bahasa dan tulisan Arab sebagaimana firman-Nya: “Sesungguhnya Kami menjadikan al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya).”
Ditambah pula bahwa lafazh dan kalimat-kalimat al-Qur’an itu adalah buatan Allah Swt, maka permasalahan yang terkait soal kemukjizatan al-Qur’an secara otomatis akan terpecahkan. Dan tema inilah yang dimaksudkan serta oleh ‘urf dianggap benar. Wallahu a’lam.
Kitab
“Kitab” mempunyai makna satu kumpulan. Dinamakan demikian karena ia mencakup beberapa khat (goresan) dan sketsa yang masing-masing darinya memiliki satu makna tersendiri. Goresan dan sketsa tersebut sebelumnya digunakan untuk berinteraksi dan berkomunikasi antara sebagian orang dengan orang lain. Yaitu dengan mengungkapkan suatu makna (yang ada dibenak mereka) ke dalam satu goresan ataukah sketsa khusus dimana pada saat orang lain melihatnya maka dia akan mengetahui makna yang terkandung didalamnya. Goresan dan sketsa tersebut yang ditulis dalam suatu lembaran, inilah yang secara literal berarti kitab, akan tetapi sedemikian kuat hubungannya dengan makna yang dikandungnya maka seseorang yang membacanya akan berpikir bahwa ia adalah satu.
Raghib menulis: Kitab dalam pandangan umum masyarakat mempunyai arti bergabungnya satu huruf dengan huruf lainnya dengan perantara goresan. Kadang pula mereka mengartikannya dengan bergabungnya satu huruf dengan huruf lainnya dengan perantara lafazh. Oleh karena itu, asal sebuah tulisan adalah keteraturan dalam (penyusunan) khat. Akan tetapi kalam dan khat kadang diartikan satu, yang dari sini maka mereka menamakan ’Kalam Ilahi’ dengan ’kitab’ sekalipun (pada hakikatnya) ia tidak berbentuk tulisan.[7]
Topik-topik yang didapatkan oleh para Nabi melalui wahyu yang berasal dari Allah Swt, semuanya mereka rekam dan tulis dalam beberapa lembaran-lembaran. Hal ini mereka lakukan tidak lain untuk dapat menjaga dan menyampaikan ketangan para pengikut-pengikutnya. Tulisan-tulisan ini kemudian dinamakan dengan ’kitab samawi’.
Jumlah Nabi yang memiliki kitab dan berapa banyak kitab samawi (yang diturunkan) itu tidak diketahui secara pasti. Akan tetapi Nabi Islam dalam sebuah haditsnya bersabda: “104 buah kitab turun dari sisi Allah, 50 kitab turun kepada Nabi Saits, 30 kitab turun kepada Nabi Idris, 20 kitab turun pada Nabi Ibrahim, kitab Taurat turun kepada Nabi Musa, kitab Injil kepada Nabi Isa dan Zabur turun kepada Nabi Daud dan terkahir adalah Al-Quran.”[8]
Hadits di atas menjelaskan bahwa jumlah kitab samawi yang diturunkan terdiri dari 104 buah kitab yang semuanya turun untuk tujuh nabi Ilahi.
Akan tetapi terdapat beberapa ayat al-Qur’an yang menjelaskan bahwa selain nani-nabi Ilahi yang telah disebutkan di atas, terdapat nabi-nabi lain yang kepadanya diturunkan kitab. Di antaranya adalah nabi Allah Yahya As. Dalam al-Qur’an surat Maryam, ayat 12 menyebutkan:
“Hai Yahya, ambillah Al-kitab itu dengan sungguh-sungguh. Dan Kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak.”
Dalam ayat lain al-Qur’an menyebutkan nama-nama para nabi Ilahi seperti Nabi Ibrahim As, Ishaq As, Ya’qub As, Dawud As, Sulaiman As, Ayyub As, Musa As, Harun As, Zakariya As, Yahya As, Isa As, Ilyas As, Ismail As, Yusa’ As, Yunus As dan Luth As dengan mengatakan: “Mereka Itulah orang-orang yang telah Kami berikan Kitab, hikmah dan kenabian.” (Q.S. al-An’âm [6]: 89)
Dari sebagian penggalan ayat bisa dijelaskan bahwa semua rasul itu mempunyai kitab, seperti ayat: “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.“ (Q.S. al-Hadîd, ayat 25)
Al-Qur’an adalah salah satu kitab samawi yang diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad Saw selama 23 tahun dan atas perintah beliau seluruh ayat (yang turun) tersebut terekam dan tertulis dalam beberapa lauh (lembaran). Dari semenjak itulah seluruh ayat-ayat al-Qur’an yang tertulis dalam lembaran-lembaran dikumpulkan dan kemudian ditulis dalam sebuah kitab yang kemudian dinamakan dengan al-Qur’an.
Nuzul Al-Kitab
Al-Qur’an al-Karim dalam beberapa ayatnya menyebut dirinya dengan“kitab”. Misalnya: “Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 1)
“Thaa Siin, (Surat) ini adalah ayat-ayat al-Qur’an, dan (ayat-ayat) kitab yang menjelaskan.“ (Q.S. an-Naml [27]: 1)
Dan dalam beberapa ayat kata-kata: nuzûl, inzâl dan tanzîl dinisbatkan kepada Kitab ini, di antaranya adalah:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran.” (Q.S. an-Nisâ [4]: 105)
“Yang demikian itu adalah karena Allah telah menurunkan Alkitab dengan membawa kebenaran.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 176)
“Dan ini (al-Qur’an) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan Kitab-Kitab yang (diturunkan) sebelumnya.” (Q.S. al-An’am [6]: 92)
“Dan Kami turunkan kepadamu Alkitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (Q.S. an-Nahl [16]: 89)
Dari ayat-ayat di atas bisa diambil kesimpulan bahwa kitab itu turun dari satu makam yang tinggi, persis seperti halnya al-Qur’an.
Pertanyaan yang timbul sekarang adalah: apakah yang dimaksud dengan kitab, dan bagaimanakah proses turunnya?.
Kitab secara ’urf dan bahasa mempunyai arti kumpulan beberapa khat dan sketsa khusus yang tertulis di dalam lembaran-lembaran, dimana secara wad’i (peletakan) beberapa khat dan sketsa tersebut bisa menyampaikan sebuah makna. Dan dengan legitimasi inilah al-Qur’an disebut dengan “Kitab“. Ayat-ayat yang diturunkan kepada Rasul Saw dibacakan kepada para penulis wahyu. Dan dengan wasiat beliau, mereka kemudian menulisnya ke dalam lembaran-lembaran yang kemudian beliau simpan sendiri supaya sampai kepada umatnya. Setelah Rasulullah Saw wafat, para sahabat mengumpulkan dan menggabungkan lambaran-lembaran tersebut ke dalam sebuah kitab, dan kitab itulah yang sekarang ada ditangan kaum Muslimin.
Dari sudut tinjauan ini maka tidak benar kalau kita katakan bahwa kitab (al-Qur’an) itu pada zaman Rasul Saw adalah hasil dari tulisan para penulis wahyu, dan pada zaman sekarang adalah sebuah kitab yang ditulis oleh satu perusahaan dan percetakan tertentu. Sebagaimana halnya tidak bisa kita katakan pula bahwa kitab adalah sesuatu yang turun dari satu makam yang tinggi, karena (sebagaimana yang telah kita ketahui) kitab tersebut dahulunya tidaklah bertempat disatu tempat tertentu (karena ia adalah non-materi yang tidak bisa dibatasi oleh ruang dan waktu) sehingga Malaikat Jibril As bisa menurunkannya secara tadriji (berangsur-angsur) ataukah daf’i (sekaligus).
Asumsi yang mengatakan bahwa kitab adalah perkataan yang diucapkan oleh Rasulullah Saw, mengandung pengertian bahwa kitab tersebut tidak lain adalah suara dan huruf yang keluar dari lisan Nabi, dimana satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Dengan jalan inilah ia bisa terdengar oleh para penulis wahyu, sebagaimana Marhum Sadr Mutaallihîn dalam kaitannya dengan topik ini mangisyaratkan: Bisa dikatakan bahwa kalam dan kitab itu secara dzat adalah satu hakikat yang dengan satu i’tibar (legitimasi) keduanya menjadi berbeda. Lafazh dan kalimat mempunyai dua hubungan; pertama dalam fâ’il (subyek, pelaku) dan mashdar serta yang lain adalah hubungan yang ada di antara keduanya yaitu Qâbil (obyek, penerima) dan mazhar. Legitimasi pertama dikatakan sebagai kalam sedang yang kedua kitab.“[9]
Tapi asumsi di atas tidak akan lepas dari sanggahan, sanggahan pertama mengatakan bahwa kalau seandainya kitab tersebut diartikan dengannya maka (arti tersebut) tidak sesuai dengan makna lughawinya (secara bahasa). Karena kitab dalam bahasa mempunyai arti sketsa dan goresan yang tersusun secara sistematis dan bukan suatu kalam mantuq (sebuah ucapan). Kedua, kalaupun seandainya mempunyai makna kalam mantuq ada masalah lain yang bakal tidak terjawab, hal itu karena kalam mantuq (ucapan Rasul) adalah salah satu dari perbuatan Rasul yang timbul dari dirinya sendiri dan bukan turun dari satu makam yang tinggi.
Asumsi lain yang bisa dijelaskan di sini adalah dengan mengartikan kitab sebagai khat dan sketsa yang tersusun secara sistematis, yang pada zaman Rasul telah tertulis dalam beberapa lembaran yang terpisah-pisah, kemudian pada satu zaman, khat dan sketsa tersebut ditulis sesuai dengan tradisi tulisan zaman tersebut, yang selanjutnya ditulis dan dicetak ke dalam berbagai kertas (yang kadang pula) dengan huruf yang bermacam-macam. Dan penulisan yang berbeda-beda tersebut sekarang ada di tangan kaum Muslimin. Adapun maksud dari nuzul al-kitab, mesti diartikan dengan turunnya yang bersifat infinitive (tak terbatas), dengan artian bahwa kalam dan lafazh nafsî itulah yang diturunkan ke dalam kalbu Rasul.
Adapun untuk menjawab pertanyaan yang mengatakan bahwa kitab (al-Qur’an) tersebut adalah satu kitab yang senantiasa ditulis oleh manusia dan dari segi turunnyapun secara hakiki tidak bisa langsung dinisbatkan kepada Allah Swt, kita harus katakan bahwa mashdar kitab yang diwahyukan pada kalbu Rasul yang memiliki arti nuzul hakiki dan dari sinilah kemudian kata nuzul bisa kita nisbatkan kepada kitab tersusun (tersusun dari beberapa lafazh dan kalimat) tersebut. Dan dari sinipula kita bisa menamakannya dengan ’Kitabullah’ atau ’Kalamullah’. Dalam menjelaskan hal ini perhatikan contoh berikut:
Apabila seseorang mengarang sebuah kitab, baik dengan cara mendiktekan topik-topik yang hendak ditulis kepada seorang penulis ataukah dia sendiri yang menulisnya kemudian mencetaknya ke dalam sebuah bentuk buku, buku tersebut akan dinisbatkan kepada sipengarang (bukan kepada sipenulis atau sipencetak), hal ini karena dialah yang mengarang isi dan topik yang ada dalam kitab tersebut.
Hal di atas sama persis dengan kitabullah (al-Qur’an), karena topik-topik yang terkandung di dalam lafazh dan kalimat-kalimat al-Qur’an itu datang dari sisi Allah yang kemudian diturunkan di dalam kalbu Rasul, sementara goresan dan sketsa yang ada itu tidak lain hanyalah untuk mengindikasikan bahwa ia datang dari-Nya, dari sini ia disebut dengan “Kalamullah” dan “Kitabullah”. Wallahu A’lam Bishawab.
Catatan Kaki:
[1].Al-Mufradat fi Ghariib al-Qur’an.
[2].Tafsir Al-Mizan, jilid 2, hal. 12-16 dan jilid 18 hal. 82-88 serta jilid 13, hal. 140-141.
[3].Asfâr, jilid 7, hal. 30
[4].Manâhilul ‘Irfan jilid 1, hal 34.
[5].Wahyu wa Rahbari, hal. 76-78.
[6].Falsafeye Ilme Kalam, hal. 312-313.
[7].Al-Mufradât fi Gharib Al-Quran, kutub.
[8].Bihar al-Anwâr, jilid 11, hal. 32.
[9].Al-Asfâr Al-Arba’ah, juz stani min Safar Tsalist, hal. 10-11.
(Al-Hassanain/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email