Iman Khomeini pernah berkata: Revolusi Kita tidak terbatas pada Iran saja. Revolusi bangsa Iran sebagai titik pertama dari revolusi agung di dunia Islam…” dan “Revolusi Kita akan Kita eksport ke segenap penjuru Dunia.” Barat dan kekuatan Adi Daya yang ada adalah kelompok yang pertama kali dirugikan dengan adanya revolusi ini, karena itu akan menganggu status quonya (terkhusus USA), setelah itu semua penguasa zalim di dunia ini. Kita lihat, apa maksud Imam dari ‘Eksport Revolusi’ tersebut?
Imam Khomaini: Revolusi Islam ini Akan Kami Eksport ke Segenap Penjuru Dunia (Dalam rangka memperingati 30 Tahun Revolusi Islam di Iran)
30 tahun revolusi Islam di Iran telah berlalu. Dahulu, banyak yang memperkirakan bahwa revolusi ini tidak akan langgeng, hanya berusia kurang dari sepuluh tahun. Namun kenyataannya tidak seperti yang mereka perkirakan. Barat selalu mempropagandakan revolusi itu sebagai hal yang negatif. Namun Barat tidak hanya sendiri. Ia juga memakai kalangan yang berbaju Islam untuk turut menggembosi semangat revolusi yang hendak di eksport ke segenap penjuru dunia oleh pendirinya, Imam Khumaini RA.
Barat dan kekuatan Adi Daya yang ada adalah kelompok yang pertama kali dirugikan dengan adanya revolusi ini, karena itu akan menganggu status quonya (terkhusus USA). Oleh karenanya Imam Khumaini pernah menyatakan:
“Revolusi Islam telah menemukan hakekatnya di dunia, dimana semua kekuatan Adi Daya merasa ngeri dengannya” (Sahifeh-e Nur Jil: 15 Hal: 223)
Mungkin sebagian orang akan bertanya, ‘Amanat Revolusi Imam Khumaini’, adakah sudah dilaksanakan ataukah sudah disimpangkan oleh pengantinya, Ayatullah Sayid Ali Khamene’i? Untuk menjawab itu maka tergantung pada dua hal di bawah ini:
1. Kita harus tahu tujuan (target) yang ingin dicapai Imam Khumaini.
2. Kita harus sedikit banyak-tahu tentang situasi dan kondisi dunia sekarang ini, sesuai realitanya, bukan propaganda/pemberitaan Barat. Dan tentu, plus, jauh dari jiwa emosional kaum awam.
Dari situ kita akan tahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan semacam: Kenapa Imam Khumaini pasca kemenangan Revolusi Islam di Iran lantas melakukan referendum, dan tidak menentukan langsung bentuk pemerintahannya sebagai ‘Pemerintahan Islam’? Kenapa Hizbullah di Lebanon (dukungan Iran) yang memiliki kekuatan bersenjata begitu kuat tidak mengambil alih pemerintahan (kudeta/revolusi) dan merobahnya menjadi ‘Pemerintahan Islam’? Kanapa dan kenapa?
Untuk itu, kita akan melihat dan membuka-buka kembali inseklopedia transkrip ceramah Imam Khumaini dari Pra-Revolusi hingga akhir hayat beliau, yang terkumpul dalam buku inseklopedia yang berjudul ‘Sahife-e Nur’ (Lembaran Cahaya, edisi bahasa Persia). Secara global, ada tiga target yang ingin diraih Imam Khumaini dalam pelaksanaan revolusi Islamnya:
‘Target jangka pendek dan lokal revolusi Imam Khumaini’ adalah:
“Bangsa yang mulia dan pengikut kebenaran Imam (Husein AS) melalui tetesan darahnya mampu mengubur silsilah Iblis Pahlavi di pekuburan sejarah, serta mampu mengibarkan bendera Islam di seluruh negeri, bahkan di seantero dunia.” (Sahifeh-e Nur Jil: 4 Hal: 9)
Namun, ‘target jangka menengah revolusi Imam Khumaini’ adalah:
“Revolusi Kita akan kita eksport ke segenap penjuru Dunia.” (Sahifeh-e Nur Jil: 11 Hal: 266)
“Secara bertahap, sebagaimana adanya, revolusi Kita harus kita eksport ke luar (negeri).” (Sahifeh-e Nur Jil: 13 Hal: 68 )
Namun, Barat dengan perang medianya ingin menghalang-halangi hal tersebut dengan hanya menyebut ungkapan Imam di atas tadi tanpa menyebut apa maksud dari tujuan pembicaraan Imam. Sehingga semua negara –tidak terkecuali negara-negara berpenduduk muslim, seperti Indonesia sekalipun- merasa ketakutan dan melakukan tindakan antisipasi, sebelum terjadi hal pahit tersebut. Ini akibat propaganda Barat terhadap penguasa dunia.
Kita lihat, apa maksud Imam dari ‘Eksport Revolusi’ tersebut?
“Sewaktu Kita katakan bahwa Kita akan mengeksport revolusi kita ini adalah kita ingin….spiritualitas yang telah didapat oleh Iran inilah yang harus dieksport. Kita tidak menginginkan mengangkat pedang, senjata atau melakukan manuver penyerangan.” (Sahifeh-e Nur Jil: 12 Hal: 283)
“Sewaktu kita katakan bahwa Revolusi Kita ini harus kita eksport adalah, Islam di semua tempat harus dapat tumbuh dan berkembang. Tentu kita tidak memiliki alasan apapun untuk melakukan ekspansi militer.”(Sahifeh-e Nur Jil: 17 Hal: 39)
Jadi jelas bahwa tujuan ‘Eksport Revolusi’ Imam adalah eksport spiritualitas keislaman, bukan sekedar hanya perebutan kekuasaan sebagaimana yang dipropagandakan Barat. Karena buat apa Islam berkuasa tetapi rakyat tidak menghendaki pelaksanaan hukum Islam ditegakkan. Atas dasar itu Imam pernah menyatakan:
“Kita harus memajukan Islam dan mengkesportnya ke segenap penjuru dunia, Insya-Allah.” (Sahifeh-e Nur Jil: 12 Hal: 101)
“Kita semua berkewajiban untuk mengenalkan Islam ke segenap penjuru dunia.” (Sahifeh-e Nur Jil: 18 Hal: 102)
“Saya berharap, Kita dapat mengibarkan bendera Islam dan Republik Islam di segala penjuru dunia.”(Sahifeh-e Nur Jil: 8 Hal: 267)
Lantas buat apa itu semua? Imam Khumaini melihat perlunya penyebaran spiritualitas keislaman masyarakat dunia, sebelum datangnya Imam Mahdi, Ratu Adil yang dinanti-nantikan dan yang akan menegakkan pemerintahan dunia berdasarkan ‘Keadilan Ilahi’. Ini adalah ‘target jangka panjang revolusi Imam Khumaini’.
Dalam ungkapan lain, Imam Khumaini ingin menjelaskan semua tujuan (jangka pendek, menengah dan panjang) yang ingin beliau capai melalui ‘Revolusi Islam’-nya dengan menyatakan:
“Islam akan meratakan dengan tanah semua Adi Daya yang ada. Islam akan menyingkirkan semua penghalang baik internal maupun eksternal koridornya, serta akan menaklukkan semua benteng kekuatan dunia” (Sahifeh-e Nur Jil: 20 Hal: 32)
“Dengan menyebarkan revolusi kita yang pada hakekatnya adalah penyebaran revolusi sejati dan menjelaskan ajaran Muhammad, akan mampu mengakhiri hegemoni penzalim dan lintah darat dunia. Dan dengan pertolongan Ilahi (revolusi) kita akan berujung pada kedatangan juru selamat dunia (Imam Mahdi AJ)” (Sahifeh-e Nur Jil: 20 Hal: 132)
“Revolusi Kita tidak terbatas pada Iran saja. Revolusi bangsa Iran sebagai titik pertama dari revolusi agung di dunia Islam dimana Allah telah menghendaki bahwa panji Imam Al-Hujjah (Al-Mahdi AJ) akan berkibar di hadapan segenap kaum muslimin dan penduduk dunia. Semoga kedatangannya akan segera muncul di era sekarang ini.” (Sahifeh-e Nur Jil: 21 Hal: 108 )
Kita lihat ungkapan Imam Khumaini selanjutnya:
“Kita berharap, kebangkitan ini, dan Revolusi ini akan berujung pada kemunculn Imam Zaman (Al-Mahdi AJ). Dan Kita berharap, Revolusi ini akan tertular kepada semua masyarakat dunia dan kaum yang tertindas (mustadzafin).” (Sahifeh-e Nur Jil: 13 Hal: 21)
“Kita berharap, Revolusi ini menjadi revolusi dunia sehingga menjadi mukadimah bagi kemunculan Baqiyatullah (Imam Mahdi AJ)” (Sahifeh-e Nur Jil: 16 Hal: 88 )
“Ya Tuhan, anugerahkan kepada Kami dan jadikanlah Revolusi Kami ini sebagai mukadimah dari runtuhnya semua istana angkaramurka dan jatuhnya usia gemilang para penzalim di semua penjuru dunia.” (Sahifeh-e Nur Jil: 20 Hal: 118 )
Di akhir tulisan ini, kita akan lihat harapan terakhir Imam Khumaini dari keberlangsungan Revolusi ini. Beliau mengatakan:
“Masa depan sebegitu cerah. Kita semua dalam penantian untuk melihat Mentari itu (Imam Mahdi)”(Sahifeh-e Nur Jil: 20 Hal: 59).
Revolusi Iran dan Revolusi Imam Shadiq as
Di hari itu, seluruh rakyat Iran turun ke jalan-jalan. Tak peduli anak-anak, wanita dan orang tua, semuanya dengan semangat menyala meneriakkan yel-yel Allahu Akbar, Khomeini pemimpin kami. Teriakan yang menggelegar itu membuat bumi seakan-akan goyah. Di hari itu, mahasiswa, dosen, guru, ulama, pedagang, pejabat dan pekerja bersama-sama turun ke jalan mengungkapkan kecintaan mereka terhadap Imam Khomeini.
Di setiap mata mereka tersirat cahaya kebanggaan dan kehormatan. Tangan-tangan mereka membawa sekuntum bunga dan beriringan menjemput kedatangan pemimpin mereka. Ketika matahari muncul di ufuk timur, tampak sesosok tubuh keluar dari pintu pesawat. Ketika warga melihatnya serentak mereka meneriakkan yel-yel “Khomeini wahai pemimpin”. Dialah Imam Khomeini yang baru saja tiba di Iran dari tempat pengasingannya di Perancis. Ulama sekaligus pemimpin karismatik ini menyambut luapan kegembiraan rakyat Iran dengan tersenyum.
Itulah hari ke 12 di bulan Bahman 1357 H.S bertepatan dengan 1 Februari 1979. bersamaan dengan kedatangan Imam Khomeini ke Iran, seorang analis Barat menulis, “Kini seorang ulama menjadi pemimpin sejati dan kedudukannya di atas para politikus lainnya”. Koran Times terbitan London ketika mengenalkan pribadi agung ini menulis, “Imam Khomeini sosok yang berhasil menarik simpati berbagai kalangan dengan ucapannya. Beliau berbicara dengan bahasa masyarakat awam dan berhasil memberikan rasa percaya diri kepada pengikutnya. Beliau menunjukkan kepada rakyatnya bahwa ia mampu menghadapi AS”.
Michel Foucault, filosof asal Perancis menyatakan, “Keperibadian Ayatullah Al-Udzma Khomeini mampu meruntuhkan legenda keluarga Pahlevi. Tidak ada pemimpin negara dan politik meski mereka mendapat dukungan penuh media yang berani mengklaim bahwa rakyatnya memiliki hubungan emosional yang tinggi seperti yang dimiliki Imam Khomeini dengan rakyat Iran”.
Imam Khomeini sang pencetus Revolusi Islam bukan sekedar pemimpin politik dan revolusi. Sosok yang tak pernah kenal lelah ini selama bertahun-tahun menghabiskan usianya untuk memberi penerangan kepada rakyat dan menyeru untuk memerangi kezaliman dan ketidakadilan. Keperibadian beliau melampaui batasan manusia biasa yang terkekang dengan fisik kasarnya. Beliau seorang ulama yang mengikuti dan meneruskan jejak para nabi serta senantiasa meneriakkan kebenaran dan keadilan sebagai hakikat penciptaan.
Oleh karena itu, revolusi yang dipimpin Imam Khomeini tidak terbatas pada rakyat Iran. Revolusi Islam bersumber pada Al-Qur’an dan Islam yang mengajak umat manusia ke arah kebenaran dan kebebasan serta keadilan. Nilai-nilai luhur ini bukan hanya dihormati rakyat Iran, namun juga seluruh bangsa di dunia. Dunia modern pun tak luput dari pengaruh revolusi besar ini yang menyerukan kebebasan dan independensi. Dengan cepat revoluisi ini menyebar ke seluruh penjuru dunia dan telah berhasil menyadarkan berbagai bangsa dunia dari tidur panjangnya.
Pribadi Imam Khomeini penuh dengan semangat relijius dan kepercayaan tinggi terhadap diri sendiri. Alvin Toffler, pakar sosiologi dari AS mengatakan, “Ayatullah Khomeini kepada dunia mengatakan, selanjutnya kekuatan arogan dunia tidak menjadi pemain tunggal di pentas internasional karena seluruh bangsa memiliki kekuasaan. Apa yang diucapkan Imam Khomeini kepada kita adalah klaim kekuatan arogan dunia yang mengaku memiliki kekuasaan untuk mengatur dunia sejatinya mereka tidak memiliki hak tersebut”.
Revolusi Islam Iran sebagai revolusi idiologi dan religi terbesar dunia modern memiliki posisi penting. Keistimewaan yang dimiliki revolusi ini yang menjadikannya berbeda dengan revolusi-revolusi dunia lainnya adalah sisi modernisitas yang terkandung di dalamnya. Hal inilah yang menyebabkan revolusi ini hingga kini terus mendapat perhatian para pengamat politik dan sosial meski telah berusia tiga dekade. Meski demikian, kita menyaksikan upaya besar-besaran media Barat untuk mencitrakan bahwa revolusi Islam Iran telah habis masanya dan sistem yang diusung revolusi ini telah usang dan tidak mampu menjawab tantangan zaman.
Revolusi Islam yang kini memasuki dekade ke empat dari usianya berada dalam kondisi khusus. Mengingat revolusi ini bertumpu pada gerakan massa, namun Revolusi Islam adalah benda hidup, kokoh dan dinamis. Revolusi Islam sepanjang sejarahnya berhasil melalui berbagai rintangan yang menghadang dan berhasil mencapai kemajuan dan keagungan. Menurut para pengamat politik, Revolusi Islam di fase terbarunya tetap memiliki semangat seperti pertama kali meletus. Tak hanya itu, revolusi Islam juga mampu menghadapi seluruh rintangan yang menghadang.
Di puncak terdapat seorang pemimpin yang berani, luas pengalaman dan tegas. Pemimpin ini telah menggariskan perjalanan bangsa Iran. Slogan rakyat Iran yang berbunyi, “Metode masa depan bangsa Iran adalah jalan yang telah digariskan Imam Khomeini, revolusi, penentangan terhadap pemaksaan kekuatan arogan dunia, membela kaum tertindas dan mengibarkan bendera Islam di dunia”, sejatinya perjalanan yang telah digariskan Imam semasa hidupnya. Rakyat pemberani dan pejuang Iran sebenarnya juga pendukung utama revolusi Islam. Mereka di saat kritis telah berhasil mengembalikan nilai dan norma revolusi Islam dengan aksi mereka turun ke jalan-jalan. Aksi demo pada sembilan Dey 1388 atau 30 Desember 2009 lalu membuktikan loyalitas warga terhadap nilai-nilai Revolusi Islam. Menurut pernyataan Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam Iran atau Rahbar, Ayatullah Al-Udzma Ali Khamenei, “Selama bangsa ini dengan kesadaran dan iman mereka bertekad mempertahankan hak-haknya maka pasti mereka akan menang”.
Revolusi Islam ibarat mentari pagi hari yang menghapus kegelapan malam. Ia muncul dengan mengusung ide bahwa politik harus bergandengan dengan etika dan agama. Oleh karena itu, yang berhak menjadi pemimpin adalah pribadi cerdik dan bertakwa serta menyerukan keadilan sehingga dunia dipenuhi perdamaian. Revolusi Islam memberikan harapan kepada manusia yang hidup di bawah tekanan kezaliman.
Imam Ja’far as dilahirkan pada 17 Rabiul Awal 83 H di kota Madinah. Ayah beliau adalah Imam Muhammad Al-Baqir as. Era Imam Shadiq as merupakan masa yang penuh dengan peristiwa penting dalam sejarah Islam. Sebab proses peralihan kekuasaan dari dinasti Umayah ke dinasti Abbasiyah di masa itu menyisakan beragam dampak sosial dan politik. Di sisi lain, masyarakat muslim di zaman itu berhadapan langsung dengan perkembangan pelbagai bentuk ideologi dan aliran teologi dan filsafat. Atmosfer kebangkitan ilmiah terasa sangat kental sekali yang dibarengi dengan maraknya penyebaran dan penerjemahan pemikiran filsafat dan teologi dari dunia luar, seperti Yunani dan Persia.
Tentu saja, kebangkitan ilmiah yang demikian pesat itu juga memunculkan beragam penyimpangan pemikiran dan akidah. Kondisi tersebut niscaya membuat misi dakwah Imam Shadiq memikul tanggung jawab yang besar. Dari satu sisi, masyarakat di masa itu mulai condong kepada pemikiran ateisme dan materialisme. Sementara di sisi lain, Imam Shadiq as harus mempertahankan Islam dari pelbagai penyimpangan dan kesalahan interpretasi.
Dalam kondisi yang sangat sensitif inilah, Imam Shadiq as melancarkan gerakan revolusi kultural Islam. Gerakan ini ditandai dengan keberhasilan mencetak lebih dari 4 ribu ilmuan dan ulama terkemuka dalam pelbagai bidang. Masing-masing memiliki spesialisasi dalam bidang keilmuan tertentu. Mereka pun disebar ke berbagai penjuru negeri-negeri muslim. Ibarat kata, murid-murid Imam Shadiq as laksana kobaran pelita yang menerangi sudut-sudut dunia Islam. Gerakan revolusi kultural dan revitalisasi pemikiran Islam oleh Imam Shadiq ini berhasil membuka ufuk baru kebangkitan ilmiah di kalangan masyarakat muslim.
Lewat gerakan revolusi keilmuannya itu, Imam Shadiq as menghimpun pemikiran orisinal Islam, terutama dalam masalah fiqh dan kalam serta mendidik para ilmuan dan ulama. Beragam khazanah ilmiah di bidang ahlak, fiqh, tafsir, dan kalam serta ilmu-ilmu lainnya yang bisa kita akses hingga kini merupakan hasil dari jerih payah dan perjuangan Imam Shadiq. Di mata para pemikir dan ulama dari berbagai mazhab, madrasah pemikiran Imam Shadiq as berdiri di atas landasan yang kokoh. Ulama terkemuka Ahlusunnah, Ahmad Zaki Saleh, menuturkan, “Mazhab Syiah yang dipelopori Imam Ja’far Shadiq as merupakan mazhab pertama yang membangun persoalan keagamaan di atas landasan rasional. Semangat ilmiah di mazhab ini sangat terasa kental melebihi mazhab-mazhab lainnya”.
Salah satu ciri khas gerak dakwah Imam Shadiq as adalah perdebatan ilmiah beliau dengan para pemikir dari berbagai kelompok dan aliran, termasuk kalangan ateis di zaman itu. Penguasaan Imam Shadiq as terhadap pelbagai ilmu pengetahuan, menjadikan beliau sebagai tokoh yang sulit dibantah argumentasi-argumentasi ilmiahnya.
Imam Shadiq as mendidik murid-murid besar di antaranya Hisyam bin Hakam, Muhammad bin Muslim dan Jabir bin Hayan. Sejarah menyebutkan bahwa murid-murid Imam Shadiq as mencapai 4000 orang. Sebagian dari mereka memiliki berbagai karya ilmiah yang tiada tara di zamannya. Misalnya Hisyam bin Hakam, pakar teologi Islam, menulis 31 buku. Jabir bin Hayan yang dikenal sebagai bapak kimia menulis lebih dari 200 buku dan pada abad pertengahan, karya tersebut diterjemahkan ke berbagai bahasa Eropa. Mufadhal juga merupakan salah satu murid terkemuka Imam Shadiq as yang menulis buku “Tauhid Mufadhal”.
Abu Hanifah, pemimpin mazhab Hanafi mengungkapkan kalimat indah tentang keagungan Imam Shadiq as. Abu Hanifah sendiri merupakan cendekiawan yang terkenal di masa itu. Suatu hari Khalifah Mansur yang begitu dengki dengan keagungan Imam Shadiq as mengusulkan kepada Abu Hanifah untuk menggelar ajang debat dengan Imam Shadiq. Khalifah meminta Abu Hanifah merancang pertanyaan yang sulit sehingga dengan cara itu pamor Imam Shadiq as diharapkan akan turun ketika tak bisa menjawabnya.
Abu Hanifah mengatakan, “Aku telah siapkan 40 pertanyaan yang sulit kemudian aku menemui Mansur. Saat itu Imam Shadiq as juga berada dalam pertemuan tersebut. Ketika melihatnya aku begitu terpesona hingga aku tidak bisa menjelaskan perasaanku di waktu itu. 40 masalah aku tanyakan kepada Ja’far bin Muhammad. Beliau menjelaskan masalah tersebut tidak hanya dari pandangannya sendiri namun ia mengungkapkan pandangan berbagai mazhab. Di sebagian masalah ada yang sepakat dengan kami dan sebagian bertentangan. Terkadang beliau menjelaskan pula pandangan yang ketiga. Ia menjawab 40 soal yang aku tanyakan dengan baik dan terlihat sangat menguasainya hingga aku sendiri terpesona oleh jawabannya. Harus kuakui, tidak pernah kulihat orang yang lebih faqih dan lebih pandai selain Ja’far bin Muhammad. Selama dua tahun aku berguru padanya. Jika dua tahun ini tidak ada, tentu aku celaka”.
Malik bin Anas, pendiri mazhab Maliki juga pernah menjadi murid Imam Shadiq as. Malik berkata, Imam Shadiq selalu senyum lembut. Aku tidak pernah melihat beliau mengatakan sesuatu yang sia-sia. Ketakutan kepada Tuhan menyelimuti jiwanya. Setiap kali aku menemuinya, beliau selalu menghamparkan alas tempat duduknya untukku.
Kemuliaan akhlak Imam Shadiq as senantiasa menjadi buah bibir umat Islam di masa itu. Sejarawan Islam, Ibnu Khalakan menuturkan, “Imam Shadiq as merupakan salah seorang keturunan Rasulullah dan tokoh utama Ahlul Bait as. Ia dijuluki dengan gelar Al-Shadiq, sebab setiap apa yang diucapkannya adalah kejujuran dan kebenaran. Keutamaan beliau melebihi apa yang bisa dilukiskan oleh lisan”.
Imam as juga dikenal sebagai sosok yang sangat penyayang dan dermawan. Kefasihan dan ketrampilan beliau dalam bertutur kata, sangat mengagumkan dan memikat siapapun yang mendengarnya. Meski beliau senantiasa menjadi pihak yang unggul dalam setiap perdebatan ilmiah, namun Imam tetap bersikap rendah hati dan sangat bijaksana kepada lawan-lawan debatnya.
Kadang di tengah teriknya musim panas, Imam Shadiq as tetap bertani di ladangnya. Beliau berkata, “Jika dalam keadaan seperti ini, aku menemui Tuhanku, niscaya aku akan bahagia”.
Kendati Imam Shadiq as adalah pemimpin umat dan tokoh yang terpandang, namun kehidupan beliau sangat merakyat. Suatu ketika, kota Madinah dilanda masa kekeringan dan masyarakat mengalami kekurangan gandum. Kepada pembantunya yang bernama Mu’tab, Imam berkata, “Berapa banyak kita punya gandum di rumah?”. Mu’tab menjawab, “Cukup untuk kebutuhan beberapa bulan”. Beliau pun segera memerintahkannya untuk menjual seluruh gandumnya. Mu’tab pun segera menjual seluruh gandumnya ke pasar Madinah. Setibanya di rumah, Imam Shadiq berkata, “Mulai saat ini, buatlah rotiku dari gandum yang dibeli dari pasar. Roti rumah ini harus seperti roti orang kebanyakan, separuh dari gandum dan separuh lagi dari barli (sejenis gandum kualitas rendah).”
Setiap kali ada kesempatan, Imam Shadiq as selalu melakukan perlawanan terhadap pemimpin zalim dengan senjata ilmu dan penanya. Imam berkata, “Barang siapa yang memuji pemimpin zalim dan tunduk di hadapannya agar mendapatkan keuntungan dari pemimpin tersebut, maka ia akan berada dalam kobaran api neraka bersama pemimpin zalim itu”.
Sebagaimana disebutkan dalam sejarah, Imam Shadiq adalah manusia yang paling rendah hati di kalangan masyarakatnya. Kaum papa dengan mudah menyampaikan keperluannya kepada beliau dan beliaupun memenuhi keperluan mereka dengan kasih sayang. Sikap mulia dan merakyat Imam Shadiq ini, makin meningkatkan kesadaran politik dan sosial masyarakat. Tentu saja hal tersebut menyulut kekhawatiran para pemimpin zalim dinasti Abbasiyah. Khalifah Mansur pun merasakan posisinya makin terancam. Lalu, ia meracuni Imam Shadiq as hingga akhirnya beliau pun gugur syahid pada tahun 148 H.
Peringatan Revolusi Islam Iran, Dulu dan Sekarang
Sejak kemenangan Revolusi Islam Iran tanggal 12 Februari 1979, rakyat Iran merayakannya setiap tahun dengan gegap gempita dengan turun ke jalan. Setelah 35 tahun berlalu, suasana heroik dan semangat perlawanan terhadap arogansi dan penjajahan tidak berubah. Rakyat Iran tetap melantangkan satu kalimat yang sama... Marg bar Amrika, Down with USA, Kebinasaan untuk Amerika Serikat...
Iran dan Revolusi yang Belum Selesai
Begitu memasuki bulan Februari, rakyat Iran disibukkan oleh hari-hari peringatan revolusi. Hari Kemenangan revolusi Islam 31 tahun lalu, bertepatan dengan 11 Februari tahun 1979, dalam penanggalan Iran tanggal 22 Bahman 1357 HS. Suasana gegap gempita di mulai dari sepuluh hari sebelumnya, yang merupakan hari kedatangan Imam Khomeini di Iran setelah pengasingannya di Perancis. Di seluruh pelosok negeri rakyat Iran melantunkan senandung kemenangan, Istiqlal, Ozodi, Jumhuri-e Islami (Independensi, Kebebasan dan Republik Islam).
Gerakan massa yang dipimpin Imam Khomeini berhasil menumbangkan kekuasaan Rezim Syah Pahlevi. Kemenangan itu sekaligus membuktikan kekuataan massa tanpa senjata melawan rezim yang terkuat di Timur Tengah kala itu. Kemenangan revolusi Islam membuka lembaran baru bagi negara ini. Rakyat Iran memasang gambar-gambar Imam Khomeini, gambar para syuhada dilengkapi kata-kata perlawanan terhadap berbagai macam kedzaliman dan penindasan. Bendera Iran yang ditengahnya bertuliskan kalimat La ilaha illallah (Tiada Tuhan selain Allah) berkibar dimana-mana.
Suasana revolusi 31 tahun silam memang sangat heroik, dan sulit untuk dilupakan rakyat Iran. Jutaan orang turun ke jalan dalam mobilisasi massa terbesar sepanjang sejarah revolusi-revolusi dunia, berhadapan dengan kekuatan militer terkuat kelima di dunia. Dalam pertempuran demi pertempuran sebelum dan pasca revolusi lebih dari satu juta rakyat Iran yang menjadi syuhada akibat perang Revolusi ini. Kekuatan kolosal kaum ploretar yang tak pernah menjadi perkiraan pengamat politik, menjatuhkan rezim dinasti yang sempat dirayakan hari jadinya yang ke 2.500 tahun 1971 oleh Syah Pahlevi. Revolusi ini juga dikenal dengan sebutan Revolusi Bunga, sebab rakyat Iran menghadapi kekuatan militer Syah dengan lontaran bunga. Pada saat itu, Michel Foucault (cendekiawan Perancis) yang berada di Teheran menulis sebuah artikel berjudul, “Mimpi Apa yang Dibayangkan Warga Iran”. Disebutkannya, “10 bulan rakyat Iran berhadap-hadapan dengan Rezim yang memiliki persenjataan paling lengkap dan personil polisi yang paling mengerikan di dunia. Itupun dengan tangan kosong dan tanpa melakukan perlawanan senjata, serta dengan keberanian dan tekad besar yang akhirnya mampu memukul militer”.
Dalam Revolusi Iran, agama menjadi poros dan motor penggerak perjuangan dan pengorbanan bangsa Iran. Pierre Blanche, Wartawan Perancis yang melihat langsung partisipasi epik masyarakat Iran sekan-akan tidak percaya dan menyebut “Revolusi Iran adalah Revolusi Para Malaikat”. Terkait hal ini, seorang pengamat handal masalah Timur Tengah, Eric Rouleau mengatakan, “Revolusi Iran merupakan satu-satunya revolusi religius yang bahkan kelompok minoritas pun mendukung dan ikut berperan dalam prosesnya”. Islam bagi rakyat Iran, bukan semata-mata kepercayaan akan ritual dan sekumpulan norma etik melainkan juga spirit bagi proses perubahan sosial. Menurut mereka, dasar kepercayaan Islam adalah kekuatan perlawanan dan pembebas. Sebuah kekuatan yang memprakarsai sebuah perjalanan baru sejarah sosial Islam. Islam tidak semata-mata memuat deretan do’a dan ibadah melainkan perlawanan yang bergelora.
Revolusi Iran, Revolusi Islam
Dalam hitungan hari suasana berubah drastis. Dinasti monarki hancur berkeping-keping dan berdirilah Republik Islam Iran. Republik Islam yang terbentuk berkat kemenangan revolusi Islam, adalah sistem pemerintahan baru yang dikenalkan bangsa Iran kepada dunia. Sebuah sistem pemerintahan yang tidak pernah tertulis dalam kamus politik manapun. Sistem yang menjadikan agama Islam sebagai pilar utama bagi membangun struktur politik, sosial dan budaya. Republik Islam memberikan perhatian besar kepada pembentukan spiritual dan nilai-nilai insaniah,dan inilah yang membedakan Republik Islam dari sistem-sistem pemerintahan lainnya. Memasuki Februari suasana benar-benar berganti. Muharram yang merupakan bulan berduka bagi rakyat Iran telah berlalu, kini kain hitam yang menutupi dinding-dinding rumah digantikan dengan kain berwarna hijau, putih dan merah. Gambar-gambar Imam Khomeini dan suasana revolusi 31 tahun lalu dipasang dimana-mana. Rakyat Iran menyebut 10 hari menjelang peringatan revolusi sebagai “Dah fajar mubarak” yang artinya sepuluh hari yang penuh keberkahan.
Hari kedatangan Imam Khomeini 1 Februari 1979 dari pengasingannya di Perancis dianggap hari keberkahan. Selama 10 hari ini rakyat Iran mengisinya dengan berbagai peringatan. Mimbar-mimbar masjid yang biasanya digunakan para ustadz dan da’i berkhutbah selama 10 hari ini digantikan oleh persaksian tokoh-tokoh yang terlibat dalam revolusi, materi khutbah digantikan dengan kisah-kisah kepahlawanan mereka tentang peristiwa revolusi yang spektakuler terrsebut. Mereka diberi gelar Syahid Zendeh (para syahid yang hidup) dan didaulat untuk bercerita tentang hari-hari menjelang revolusi. Mereka yang ditangkapi, disiksa oleh kaki tangan Syah yang anti revolusi.
Di saat-saat mereka bercerita, kadang diselingi oleh pekikan takbir dari jama’ah. Setiap malam semua stasiun TV menyuguhkan film-film dokumenter yang berlatar belakang hari-hari kejatuhan Syah Pahlevi ataupun film-film yang menceritakan kisah-kisah para tokoh revolusioner. Khutbah-khutbah perlawanan Imam Khomeini kembali diperdengarkan, diantaranya yang paling sering adalah khutbah tahun 1963 yang membuatnya harus terbuang ke Turki, “Demi Allah, berdosalah orang yang tidak mau protes! Demi Allah, berdosa besar orang yang tidak mau berteriak, Adakah yang lebih buruk dari keterjajahan?” begitupun ceramah-ceramah Syahid Murtadha Muthahari diperdengarkan lewat loudspeaker di jalan-jalan utama.
Puncak peringatan pada hari 11 Februari, semua rakyat Iran bertumpah ruah di jalan raya. Mereka membuat karnaval yang terpanjang dan terbesar di dunia. Di Teheran tidak henti-hentinya rakyat Iran berziarah di makam Imam Khomeini, tokoh yang telah memimpin jalannya revolusi. Sedangkan di Qom dipusatkan di bekas rumah Imam Khomeini yang pernah didiaminya selama menjadi santri dan pengajar di Hauzah Ilmiyah Qom. Untuk menyebut rumah tersebut sebagai rumah Imam Khomeini sebenarnya kurang tepat, sebab rumah tersebut bukan milik pribadi melainkan status kontrakan. Rakyat Iran berjubelan di lorong kecil menuju bekas rumah kontrakan sang Imam. Tidak sedikit dari mereka yang menangis terisak, mengenang kesederhanaan Imam, yang meninggalkan negara yang dipimpinnya dengan harta pribadi berubah beberapa helai baju, beberapa buku, pemotong kuku, sisir dan kacamata. Meski telah berlalu puluhan tahun, Imam Khomeini tetap hidup di hati dan pikiran rakyat Iran. Yang menarik lainnya, di jalan-jalan bukan lagi seruanMark bar Syah yang di lantangkan, sebagaimana 30 tahun lalu melainkan seruan-seruan yang sesuai konteks sekarang, Mark bar Amriko, Mark bar Israel (kebinasaan buat Amerika, kebinasaan buat Israel) dan seruan persatuan ummat Islam. Perjuangan rakyat Iran memang belum selesai, bagi mereka kedzaliman dan penindasan harus selalu di lawan.
Dirgahayu Revolusi Islam
Revolusi Islam Iran Pertanda Kedatangan Imam Mahdi Peringatan Sepuluh Fajar Kemenangan Revolusi Islam Iran dimulai sejak pekan ini. Sepuluh Fajar Kemenangan Revolusi Islam Iran adalah peringatan sepuluh hari dari kedatangan Imam Khomeini ra ke Iran hingga kemenangan Revolusi Islam Iran pada tanggal 11 Februari 1979 yang menurut penanggalan Iran, hari itu bertepatan dengan tanggal 12 Bahman 1357. Hari Sabtu lalu yang merupakan hari pertama peringatan Sepuluh Fajar Kemenangan Revolusi Islam Iran, Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam Iran atau Rahbar, Ayatollah Al-Udzma Sayid Ali Khamenei, berziarah ke makam suci Pendiri Revolusi Islam Iran, Imam Khomeini ra dan membacakan surat Al-Fatehah.
Pekan lalu, Rahbar, hari Ahad (1/2), menemui Ketua Biro Politik Gerakan Perjuangan Islam Palestina (Hamas), Khaled Meshaal. Dalam pertemuan tersebut Rahbar mengajak muqawamah supaya bersikap waspada. Beliau juga menekankan kewaspadaan dalam segala kondisi, termasuk persiapan untuk menghadapi perang baru. Dalam pertemuan tersebut, Khaled Meshal menyampaikan laporan lengkap mengenai perang 22 hari di Jalur Gaza, kemenangan muqawama Islam dan tranformasi politik yang berkaitan dengan perang tersebut.
Kini, perang di Gaza berakhir untuk sementara waktu dengan kekalahan di pihak tentara Rezim Zionis Israel. Dalam perang tersebut, Tel Aviv bertujuan melenyapkan Hamas dan menghancurkan pertahanan muqawama Palestina. Namun, rezim ini gagal meraih satu pun ambisinya dan terpaksa mengumumkan gencatan senjata sepihak. Sebaliknya, muqawamah Hamas dan pengorbanan rakyat tertindas Palestina berhasil mengalahkan tentara Rezim Zionis Israel yang dilengkapi persenjataan canggih.
Tentara rezim Zionis yang telah kalah secara memalukan ini, tidak lain adalah pasukan militer yang telah mengalahkan tentara tiga negara Arab dalam perang enam hari dan menduduki sebagian besar kawasan Mesir, Yordania dan Suriah. Setelah tentara Zionis kalah telak dalam perang di Gaza, Tel Aviv kini berupaya menebusnya dengan menyulut perang politik, propaganda dan urat syaraf. Untuk itu, Rahbar menegaskan bahwa perang belum berakhir, karena Israel terus melancarkan propaganda yang berupaya mengesankan bahwa Hamas kalah dalam perang ini.
Para pejabat teras rezim agresor Israel, sekutu Baratnya dan sejumlah pemimpin negara-negara Arab berupaya mencitrakan bahwa Hamaslah biang kerok dimulainya perang 22 hari di Jalur Gaza agar rakyat Palestina menjauh dari pemerintah de jure Palestina, Hamas. Namun, konspirasi segitiga Zionis, Barat dan sejumlah negara Arab tidak akan pernah mencapai sasaran. Karena, anak-anak, wanita dan warga sipil Gaza lainnya merasakan kebenaran sejati dengan kulit, daging dan darah mereka sendiri; rezim Zionis dengan persenjataan AS telah menjadikan Gaza sebagai tempat pembantaian bangsa Palestina.
Memori sejarah bangsa Pelestina selamanya tidak akan pernah melupakan kejahatan rezim Zionis Israel. Meskipun pemerintah Barat dan sejumlah negara Arab mendukung Zionis dalam tragedi Gaza, namun publik internasional dan mayoritas politisi dunia mengecam kebrutalan Isarel di Jalur Gaza dan mendesak penghentian tekanan terhadap pemerintah de Jure Palestina, Hamas.
Republik Islam Iran sebagai poros kebangkitan Islam di dunia, menyebut dukungan terhadap rakyat Gaza dan muqawama Islam Palestina sebagai kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan. Sebagaimana ditegaskan Rahbar dalam pertemuan dengan Khaled Meshal bahwa Iran Islami senantiasa mendampingi bangsa Palestina. Iran senantiasan mendukung rekonstruksi Gaza. Rahbar juga mendesak digelarnya pengadilan internasional untuk mengadili dan menghukum para pemimpin Rezim Zionis Israel yang membunuh dan menciderai rakyat Palestina dalam jumlah besar serta memporak-perandakan Gaza.
Pekan lalu, Perdana Menteri pilihan rakyat Palestina, Ismail Haniyah, dalam pesannya yang ditujukan kepada Rahbar, hari Sabtu mengatakan, “Ini merupakan kebanggaan bagi saya yang dapat mewakili pemerintah dan bangsa Palestina yang terluka, tapi tetap menang dalam menghadapi kezaliman. Kami mengucapkan terima kasih atas sikap berani dan islami Rahbar yang merupakan bukti ketinggian jiwa Pemimpin Iran Islam dan keberanian bangsa Iran.”
Presiden Republik Islam Iran, Mahmoud Ahmadinejad, dalam kunjungannya ke Kermanshah, pekan lalu, menjelaskan hubungan Iran dan AS di periode kepresidenan Barack Obama. Dikatakannya, “Iran akan mempelajari kinerja AS dengan detail. Jika Washington melakukan perubahan substansial, Tehran akan menyambut baik perkembangan baru tersebut.” Obama selama kampanye menjanjikan mengubah kebijakan dalam negeri dan luar negeri. Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton, juga menyatakan bahwa masalah nuklir Iran merupakan salah satu masalah utama dalam diplomasi Gedung Putih. Bahkan Obama sendiri menyatakan bahwa kebijakannya soal Iran berbeda dengan kebijakan Bush. Namun sikap Iran sangatlah tegas seperti yang disampaikan Ahmadinejad di hadapan masyarkat Kermanshah. Selama satu dekade lalu, pejabat AS telah melakukan sejumlah kekeliruan seperti kebijakan militeristik dan pendudukan di kawasan Timur Tengah. Sepanjang kehadiran AS di kawasan bukannya menyelesaikan masalah terorisme, tapi malah menyuburkan gerakan-gerakan radikal. Bahkan, Bush menyulut peperangan di dua negara Islam, Irak dan Afghanistan. Selama delapan tahun menjadi presiden AS, Bush mengambil kebijakan destruktif atas Iran, khususnya program nuklir Iran.
Pekan lalu, Dirjen Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), Mohammad Elbaradei, dalam wawancaranya dengan Koran Washington Post menyampaikan pandangannya soal nuklir Iran. Wawancara detail Elbaradei juga dipublikasika oleh media-media Iran. Dalam wawancara tersebut, Elbaradei kembali menegaskan bahwa Tim Inspeksi IAEA yang ditugaskan meninjau situs-situs nuklir Iran, kembali tidak menemukan penyimpangan program nuklir Tehran untuk kepentingan selain sipil. Dikatakannya pula, aktivitas nuklir Iran hingga kini berada dibawah pemantauang IAEA. Elbaradei dengan tegas mengatakan, “Tingkat pengayaan uranium di Iran masih berada di tingkat rendah. Untuk itu, aktivitas Iran hanya bisa digunakan untuk kepentingan sipil.” Menurutnya, selama perselisihan antara Iran dan AS dalam setengah abad terakhir belum dapat diselesikan, isu nuklir Iran tak akan kunjung selesai. Ia juga mengakui bahwa Iran merupakan negara tangguh di kawasan. Untuk itu, Barat harus mengakui realitas tersebut. Elbaradei juga berharap hubungan Iran dan AS membaik di masa kepresidenan Obama.
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Uni Afrika digelar pada tanggal 2 Februari di ibukota Ethiopia, Addis Ababa. Salah satu topik penting dalam pertemuan tersebut adalah lobi-lobi Republik Islam Iran untuk menggelar KTT Uni Afrika-Iran, tahun depan, di Tehran. Untuk itu, Menteri Luar Negeri Republik Islam Iran, Manoucher Mottaki yang juga menjadi anggota pengawas KTT Uni Afrika ikut serta dalam pertemuan tersebut di Addis Ababa. Mottaki juga membawa pesan khusus Presiden Republik Islam Iran, Mahmoud Ahmadinejad, untuk KTT tersebut. Republik Islam Iran adalah negara anggota pengawas Uni Afrika. Dalam KTT sebelumnya yang digelar di Sharm El-Sheikh, Mesir, para pemimpin tinggi Afrika sepakat menyatakan Iran sebagai salah satu mitra strategis Afrika. KTT di Addis Ababa membahas langkah-langkah yang harus ditempuh untuk membangun infrastruktur Afrika. Selain itu, para pemimpin Afrika membahas krisis politik dan ekonomi di Zimbwabe, berlanjutnya konflik internal di Somalia dan Kongo, serta krisis Darfur. Disebutkan pula, kebrutalan Zionis Israel dalam tragegi kemanusiaan di Gaza adalah diantara topik yang dibahas dalam KTT Uni Afrika di Addis Ababa. Terkait hal ini, Uni Afrika juga akan mengeluarkan statemen. Di sela-sela KTT, Menteri Luar Negeri Iran melakukan berbagai pertemuan yang membahas perluasan hubungan Iran dan negara-negara Uni Afrika.
(IRNA/Syiah-Ali/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email