Pesan Rahbar

Home » » Kekaguman Imam Khomeini Sebagai Pahlawan Islam

Kekaguman Imam Khomeini Sebagai Pahlawan Islam

Written By Unknown on Tuesday, 31 March 2015 | 05:58:00


Imam Khomeini diakui dunia namun di hujat wahabi dungu !!


Tergoncangnya sendi-sendi kekuasaan pemikiran ateisme dan materialisme di dunia modern dan mengalirnya pengaruhnya revolusi Islam yang digulirkan Imam Khomeini mendorong para tokoh dan pemikir dunia untuk berkomentar tentang fenomena besar ini, baik figur sang pemimpin maupun revolusi yang dipimpinnya. Tak diragukan bahwa Imam Khomeini memiliki peran yang sangat besar dalam melahirkan revolusi agung di Iran, negara yang selama puluhan tahun tenggelam dalam penindasan rezim despotik.

Sementara revolusi itu sendiri memiliki makna yang khas karena dipimpin oleh seorang figur ulama kharismatik yang pemberani. Hal itu menyadarkan umat manusia bahwa insan modern tidak dapat menerima kezaliman dan ketidakadilan. Kemampuan melawan kezaliman dapat diperoleh berkat bantuan ilahi.


Tak sedikit tokoh dan pemikir yang meyakini bahwa revolusi Islam Iran yang dipimpin Imam Khomeini membuka lembaran baru bagi sejarah dunia Islam bahkan dunia spiritual secara umum. Mereka percaya bahwa seruan suci yang disampaikan Imam Khomeini berhasil mengguncang dunia. Pemikiran dan perilakunya, Imam mengenalkan Islam kepada dunia. Pengaruh gerakan revolusi Imam Khomeini dirasakan juga di daratan Eropa.

Revolusi Islam Iran diyakini telah menumbuhkan semangat spiritual dan keagamaan di dunia. Gereja menemukan spirit baru, dan kehidupan keagamaan kembali bergairah di Eropa. Jutaan pengikut Kristen menantikan kedatangan kembali Yesus. Pengaruh revolusi ini tidak terbatasi pada wilayah Iran. Umat Islam bahkan di wilayah Asia selatan dan Afrika hingga Balkan dan Kaukasus diterpa oleh pengaruhnya pula.
Berikut ini adalah pernyataan dan komentar para tokoh dan pemimpin dunia tentang Imam Khomeini dan revolusi Islam Iran;

Presiden Kuba Fidel Castro:
“Revolusi Islam di Iran adalah peristiwa yang luar biasa. Pengorbanan dan keberanian Anda sangat menakjubkan. Kalian telah memberikan pelajaran baik kepada kami tentang pengorbanan, keberanian, … Pandangan kalian tentang Islam telah terekspor ke kawasan kami. Kalian telah mengekspor revolusi ke seluruh dunia. Iran dengan tenaga agamawan dan rakyatnya memiliki kemampuan yang besar dalam menghadapi semua tipu daya.”

Mohammad Hasnein Heykal, Penulis Terkenal Arab:
“Seakan satu figur besar penuh pengalaman di era awal Islam terlahir lagi ke dunia dengan mukjizat. Figur yang memimpin pasukan Ali setelah kelompok Umawi membantai Ahlul Bait.”

Abdollah Widat, Pemimpin Pemuda Muslim Afrika Selatan:
“Imam Khomeini bukan hanya milik kalian. Semua bangsa tertindas di selatan Afrika akan tergetar hatinya ketika mendengar nama beliau. Dunia hendaknya tahu bahwa Imam Khomeini adalah tumpuan harapan bagi seluruh bangsa tertindas di dunia.”

Roger Garoudy, cendekiawan besar Prancis:
“Revolusi Islam Iran mengenalkan model baru bagi kesempurnaan manusia dan masyarakat. Model ini sejalan dengan kejiwaan bangsa-bangsa dunia, dan inilah alasan permusuhan Barat dengan revolusi ini.”
“Ayatolah Khomeini memberikan makna kepada kehidupan bangsa Iran.”

Mufti Al-Azhar:
“Imam Khomeini adalah sosok muslim sejati. Beliau adalah saudara muslim kami. Muslim meski berbeda madzhab adalah saudara bagi muslim yang lain. Mereka akan bergerak bersama Imam Khomeini di bawah panji Islam yang satu.”

Uskup Kapuchi, Uskup Beitul Maqdis:
“Hati bangsa-bangsa yang mendamba kebebasan dan mereka yang tertindas bergetar karena Imam Khomeini. Beliau bukan hanya milik bangsa Iran tetapi milik semua bangsa tertindas, muslim atau bukan muslim. Beliau adalah pemimpin penyelamat.”

Dr. Mohammad Ali, dosen Universitas Jibvala Meksiko:
“Imam Khomeini menunjukkan bahwa negara-negara adi daya bukan pemilik dunia. Alternatif yang lebih baik dari mereka adalah Islam.”

Promakov, cendekiawan kenamaan Rusia:
“Ayatollah Khomeini telah mengubah makna kepemimpinan dalam tatanan kehidupan sosial. Dia meruntuhkan dinding rasa takut dan menggiring rakyat ke arah fitrah ketuhanan.”
“Revolusi Islam di seluruh dunia selalu lekat dengan nama Khomeini. Sebab dialah yang memimpin rakyat Iran melahirkan revolusi besar dunia. Seperti layaknya para nabi, dia dengan kehadirannya, agama, politik, revolusi, Tuhan dan rakyat diikat dalam satu ikatan yang terpisahkan lalu mengenalkannya kepada insan pemikir. Kebangkitannya mengingatkan semua orang akan kebangkitan para nabi utusan Tuhan.”
“Slogannya yang terkenal, ‘tidak timur, tidak barat’ telah menjadi pondasi utama berdirinya pemerintahan Islam dan itu terjadi tanpa dapat dicegah oleh adi daya dunia.”

Kalim Siddiqi, Ketua Parlemen Muslim Inggris saat itu:
“Imam Khomeini adalah contoh satu-satunya figur pejuang Islam dalam menghadapi hegemoni politik, ekonomi dan budaya Barat.”

Robin Wood:
“Dia (Imam Khomeini) adalah messiah masa kini. Dia benar-benar pancaran keteguhan Isa.”

Oriana Fallaci, Penulis dan Jurnalis Kenamaan Italia:
“Pengaruh besar dari kewibawaan, kebesaran, kesabaran dan keagungan Ayatollah Khomeini sangat terasa dalam pertemuan pertama dengannya.”

Abdur Razzaq Ahmad, Deputi Menteru Tenaga Kerja Ethiopia:
“Revolusi Iran pimpinan Imam Khomeini adalah titik awal bagi lahirnya identitas Islam dalam bentuk negara-negara Islam. Sebab, Islam tanpa pemerintahan yang tidak mampu menerapkan hukum syariat, tidak lebih baik dari agama Kristen. Ini adalah titik awal dan poin yang menonjol dari revolusi Imam Khomeini.”
“Di pentas internasional, peran Imam Khomeini tidak kecil. Beliau telah menyadarkan umat Islam pada umumnya, khususnya warga Afrika, juga memberi spirit kepada bangsa Palestina untuk berjuang demi kebebasan melawan kaum zionis. Ini adalah contoh dari pengaruh itu.”

Profesor Hamid Mavlana, dosen dan direktur pusat penelitian di Amerika Serikat:
“Imam Khomeini adalah sosok figur yang dapat menyihir rakyat dengan kata-katanya. Beliau berbicara dengan bahasa awam, dan memberikan semangat dan rasa percaya diri kepada kaum lemah dan fakir. Imam Khomeini meyakinkan mereka untuk menyingkirkan siapa saja yang menghalangi gerak maju mereka. Bahkan tidak perlu gentar menghadapi negara adi daya seperti AS. Menurut saya, di abad 20 Masehi tidak ada suara yang lebih jelas daru suara Imam Khomeini yang mampu mengguncangkan dunia. Setelah perang dunia kedua, Imam adalah sosok pemimpin pertama yang memecah kebungkaman dalam menghadapi taghut dan tirani. Jika kebungkaman ini tidak dipecah, saat ini Uni Soviet masih eksis.”

Michael Gorbachev, Presiden Terakhir Uni Soviet:
“Dia (Imam Khomeini) berpikir lebih maju dari zamannya, dan tidak terbatas pada tempat tertentu. Dia berhasil meninggalkan warisan yang besar untuk sejarah dunia.”

Ahmad Huber, Penulis dan Pemikir Swiss:
“Beliau datang dari masa lalu dan hidup di masa kini, namun dia menampakkan masa depan. Hari ini di Eropa terasa bahwa runtuhnya tembok Berlin terjadi berkat revolusi Islam Iran. Pengaruh dari kebangkitan Islam ini dapat dirasakan di Eropa.”

Henry Kessinger, mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat dan penasehat strategis AS 1970-an yang beragama Yahudi:
“Ayatollah Khomeini telah menghadapkan dunia Barat pada tantangan besar. Keputusan-keputusannya bagaikan petir menyambar yang tak memberikan kesempatan kepada para teoretis dan politikus untuk berpikir.”
“Tak ada yang dapat menduga keputusan apa yang bakal dia buat. Dia berbicara dan bertindak tidak dengan model-model yang dikenal dunia secara umum. Seakan ia menerima ilham dari tempat lain. Permusuhan Ayatollah Khomeini dengan Barat bermuara pada ajaran ilahi. Dalam bermusuhan dia sangat tulus.”

Talal Atrisi, dosen di salah satu perguruan tinggi Lebanon:
” Kepemimpinan Imam Khomeini dan kemenangan revolusi Islam menjadi penggerak agi peradaban dunia saat ini.”

Massimo Finni, jurnalis Italia:
“Hakikat dari revolusi Islam dan pemikiran Ayatollah Khomeini sangat dalam. Barat tak mampu memahaminya.”

Mohammad Al-Ashi, mantan Imam Masjid Washington:
“Imam Khomeini mengguncangkan sendi-sendi Barat dan Timur. Dia meninggalkan pusaka yang hingga kini masih hidup dan aktif.”.

Salute! buat Iran!

Teknologi Iran Makin Maju, Barat Panik
Negara-negara Barat mengkhawatirkan berhasilnya peluncuran satelit buatan Iran, Selasa (3/2). Amerika Serikat, Perancis, dan Inggris menyatakan, roket yang membawa satelit tersebut juga bisa digunakan untuk menembakkan senjata nuklir.

Dalam bahasa Persia, satelit tersebut bernama Omid, yang artinya harapan. Menurut Pemerintah Iran, satelit tersebut dirancang untuk kebutuhan penelitian dan telekomunikasi. Sudah lama negara-negara Barat mencurigai Iran sedang berusaha membuat senjata nuklir. Dengan alasan tersebut, negara-negara Barat dan PBB menerapkan berbagai sanksi pada Iran.

Hari ini, Rabu (4/2/12), Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Perancis, Jerman, dan China akan berkumpul membicarakan masalah program nuklir Iran.

Juru Bicara Gedung Putih Robert Gibbs mengatakan : “Aksi ini tidak meyakinkan kami bahwa Iran bertindak bertanggungjawab untuk mewujudkan stabilitas atau keamanan di wilayah ini.”

Pejabat Departemen Luar Negeri AS Robert Wood mengatakan aktivitas Iran kemungkinan bisa mengarah pada pengembangan misil balistik dan ini, menurutnya, mencemaskan.

Juru Bicara Deplu Perancis Eric Chevallier juga menegaskan Perancis sangat prihatin dengan peluncuran satelit itu. “Kami tidak bisa membantu tetapi kaitan ini sangat memprihatinkan tentang pengembangan kemampuan nuklir militer,” katanya.

Menlu Inggris Bill Rammel juga mengungkapkan keprihatinan senada. “Ada dua aplikasi untuk teknologi peluncuran satelit dalam program rudal balistik Iran,” katanya.

Imam Khomeini Pahlawan Dunia Islam


SEMOGA ALLAH MEMULIAKAN KITA DENGAN SYAHADAH
SANG PENEGAK REVOLUSI ISLAM
SANG PEJUANG HAM SEJATI
SANG PEMBEBAS KAUM TERTINDAS
AL-IMAM RUHULLAH AL-MUSAWI AL-KHOMEINI RA

Imam Khomeini adalah figur yang mampu memadukan berbagai dimensi. Namun dalam tulisan ini saya hanya ingin menyoroti—melalui mata saya yang sempit ini—dua dimensi utama beliau, yaitu dimensi politik dan dimensi kearifan (‘irfan).

DR. Hamid Algar dalam sebuah artikelnya menyatakan bahwa Imam Khomeini dinilai oleh kalangan Barat dan muslimin sebagai pemimpin revolusi yang luar biasa. Semua yang secara dekat mengenal beliau maupun yang hanya sebentar bertemu beliau memberikan kesaksian bahwa beliau memiliki pandangan yang melampaui batas politik. Keterkaitan politik dalam (dimensi) kearifan inilah yang mungkin merupakan sisi khusus Imam Khomeini.[1]

Dimensi Politik
Seperti yang telah diketahui bahwa Imam Khomeini adalah seorang mujahid yang berhasil menegakkan sebuah revolusi Islam, yang dampaknya begitu besar bagi terangkatnya kehormatan (‘izzah) kaum tertindas di bumi ini.

Tak satu negara pun di dunia ini yang pernah melakukan revolusi sebagaimana revolusi Islam beliau. Sebagai contoh, Revolusi Perancis. Pemberontakan rakyat Perancis terhadap kezaliman raja Louise memang telah menghasilkan sebuah perubahan pada model pemerintahan, dari bentuk monarki ke bentuk republik. Namun kenyataannya nasib rakyat (atau sebagian rakyat) masih tetap tertindas. Sehingga, yang terjadi sebenarnya bukan sebuah revolusi, melainkan hanya pergantian bentuk dan personil pemerintahan.

Tetapi, revolusi Islam Imam Khomeini benar-benar menampilkan sebuah perubahan yang sangat krusial. Rakyat Iran yang telah sekian lama ditindas dan dibodohkan oleh rezim Pahlevi—yang didalangi oleh Amerika dan Israel—dihantarkan oleh Imam Khomeini menuju kebebasan, kemerdekaan, dan kelayakan hidup sebagai manusia. Kekuatan-kekuatan thaghut dunia pun dihancurkan dan dipermalukan di depan masyarakat dunia.

Namun demikian “suara keadilan” revolusi Islam tidak hanya bergaung di seputar rakyat Iran, melainkan juga merambah negara-negara lain. Kaum muslimin tertindas di belahan lain bumi ini seperti Mesir, Palestina, Libanon, Moro, dan lain-lain menjadi bangkit, berani, dan terdukung dalam meneriakkan perlawanan terhadap kezaliman para thaghut dunia yang dimotori oleh Amerika dan Israel serta sekutu-sekutu mereka.

Bahkan kaum non-muslim pun tak luput dari gaung “suara keadilan” revolusi Islam itu. Ketika dulu kaum kulit hitam Afrika Selatan tertindas oleh politik apartheid, Iran adalah negara pertama atau mungkin malah satu-satunya negara yang memutuskan hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Afrika Selatan. Bahkan kepada Rafsanjani—presiden Iran saat itu—ketika berkunjung ke Pretoria tahun 1996, Nelson Mandela menyampaikan pidato kehormatan: “Setelah kemenangan Revolusi 1979, negara anda telah banyak berkorban dalam mendukung upaya kami. Iran menolak untuk memuluskan sistem yang dianggap oleh dunia sebagai kejahatan kemanusiaan. Hal itu telah menjadi kebijakan anda terhadap Afrika Selatan, hingga apartheid runtuh. Karena itu, meskipun kami telah menyampaikan rasa terima kasih melalui delegasi anda pada peresmian pemerintahan kami, namun saya masih merasa wajib untuk menyatakan sekali lagi kepada bangsa Iran: “Terima Kasih”.”[2]

Semua ini tak hanya membuat gerah para thaghut, tetapi juga menjadikan mereka gusar, marah, dan benci atas keberhasilan Imam Khomeini, yang benar-benar telah menampar muka mereka. Akhirnya mereka gunakan segala macam cara licik demi menghancurkan revolusi Islam; yang sayangnya justru didukung juga oleh beberapa orang—yang mengaku muslim—yang merasa dirugikan kepentingannya dengan bergulirnya revolusi Islam ini, sehingga mereka pun rela menjadi antek kaum imperialis dunia.

Penghinaan demi penghinaan dan fitnah demi fitnah mereka lakukan terhadap Imam Khomeini. Bahkan mereka juga memanfaatkan kebencian kaum wahabi atas syi’ah sebagai salah satu cara untuk memuluskan keinginan mereka dalam menghancurkan revolusi Islam. Sehingga pernah terjadi sebuah buku Imam Khomeini—yang berjudul “Kasyful Asrar”— diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan penuh distorsi dari buku aslinya, demi membentuk kebencian kaum muslimin terhadap beliau.[3]

Tantangan-tantangan seperti itulah atau bahkan lebih berat dari itu, yang selalu menemani kehidupan seorang Imam Khomeini. Namun hal itu tak sedikitpun membuat beliau gentar. Beliau tetap berani dan konsisten dalam mengumandangkan suara keadilan dan perlawanan terhadap kezaliman, hingga akhir hayat beliau.
Tina Conlon, seorang tokoh nasrani Canada, bahkan tak mampu menyembunyikan perasaannya: “Saya tak banyak mengenal Imam Khomeini, namun saya telah banyak mempelajari (tentang beliau) sejak enam belas tahun yang lalu. Saya menganggap beliau sebagai salah satu pemimpin spiritual saya. Beliau memperjuangkan urusan Tuhan dengan menentang penindasan. Beliau melawan kezaliman demi rakyat Iran yang menderita di bawah penindasan Syah. Beliau melawan kezaliman rezim apartheid atas warga kulit hitam Afrika Selatan. Beliau melawan kezaliman atas warga Palestina, yang hingga saat ini tak terlindungi dari kejahatan hanya karena mereka ingin kembali ke rumah mereka.”[4]

Dimensi Kearifan (‘Irfan)
Imam Khomeini selalu menjadikan Allah sebagai tujuan. Semua perjuangan dan gerakan beliau hanya demi meraih keridhaan-Nya. Beliau pun hanya menggantungkan harapan kepada Allah. Oleh karena itu, dalam upaya menggulirkan revolusi Islam, beliau tak pernah mempedulikan ada atau tidak adanya pendukung. Beliau hanya melihat Allah.

Hal ini terlihat dalam jawaban beliau kepada Yasser Arafat, ketika ia menemui beliau pada tanggal 18 Februari 1979. Saat itu Yasser Arafat menyatakan bahwa Israel dapat berlindung dan bergantung kepada Amerika, sementara Palestina juga bisa bersandar kepada bangsa Iran. Namun, Imam Khomeini menjawab: “Tempat perlindungan yang tidak lemah, alias berdaya, adalah Allah. Allah adalah tempat kita berlindung. Saya nasihati Anda, rakyat saya, dan rakyat Anda untuk selalu berpaling kepada Allah, bukan pada kekuatan-kekuatan (dunia) itu. Jangan bergantung pada sesuatu yang bersifat material, tetapi pada yang bersifat spiritual. Kekuatan Allah lebih besar ketimbang semua kekuatan-kekuatan (dunia) itu. Sehingga, kita melihat sebuah bangsa yang lemah dan bertangan kosong mampu mengalahkan seluruh kekuatan (dunia), dan insyaAllah akan terus demikian.”[5]

Ketundukan dan kerendahan diri beliau di hadapan Allah tak diragukan lagi. Beliau tak pernah meninggalkan shalat malam (tahajjud), meski dalam kondisi lelah atau sakit sekalipun. Beliau habiskan malam dengan menangis dan bermunajat kepada Allah. Diriwayatkan oleh Hujjatul Islam Ashtiyani bahwa suatu ketika salah seorang keluarga Imam memasuki kamar beliau di rumah sakit sebelum masuk waktu subuh. Ia mendapati Imam tengah menangis tersedu-sedu—hingga wajah beliau basah oleh air mata—sembari bermunajat kepada Allah.[6]

Beliau pun selalu menganggap ibadah shalat lebih penting dari urusan lainnya. Karena itu beliau selalu melakukan shalat di awal waktu, meskipun sedang berada dalam perjalanan, dalam penjara, di pengasingan, dan bahkan ketika tergolek lemah karena sakit parah. Diriwayatkan oleh Firishte I’rabi bahwa sejak satu jam sebelum masuk zhuhur, beliau selalu bertanya kepada siapa saja yang menjenguk beliau di rumah sakit: “Berapa lama lagi masuk waktu zhuhur?”, agar beliau dapat melaksanakan shalat di awal waktu. Bahkan ketika kondisi beliau kritis dan tak sadarkan diri, saat dokter membisikkan bahwa waktu maghrib telah tiba, beliau pun meresponnya dan kemudian melakukan shalat dengan gerakan isyarat tangan dan alis.[7]

Diriwayatkan pula oleh Sayyid Ahmad Khomeini bahwa Imam pernah menghentikan pidato (pada saat-saat akhir pengasingan beliau di Perancis), hanya karena hendak melaksanakan shalat di awal waktu. Padahal itu merupakan momen besar dan efektif, dimana saat itu revolusi telah mencapai titik kemenangan yang ditandai dengan kaburnya Syah. Apalagi pidato ini diliput oleh sekitar 150 juru kamera dari berbagai penjuru dunia dan direlai oleh stasiun-stasiun televisi Internasional seperti CNN, BBC, dan lain-lain; juga oleh semua wartawan berita seperti Associated Press, United Press, dan Reuters; termasuk pula oleh para wartawan media cetak dan radio.[8]

Kearifan dan penghambaan kepada Allah inilah yang menghantarkan beliau menjadi pejuang sejati, yang selalu mengangkat nilai-nilai kemanusiaan dan kepedulian pada sesama, serta menolak segala macam kezaliman dan pelanggaran hak sekecil apapun.

Diriwayatkan oleh Ayatullah Qarhi bahwa ketika Imam berada di pengasingan Najaf, rumah kecil beliau selalu menjadi tempat shalat berjama’ah zhuhur dan asar. Banyak yang mengikuti shalat berjama’ah ini, hingga memenuhi rumah dan halaman. Saat Imam memasuki ruangan, beliau begitu berhati-hati dalam melangkah. Hal ini demi agar beliau tidak menginjak sepatu atau jubah orang lain. Sungguh luar biasa, hingga seperti inilah cara beliau menghormati hak orang lain.[9]

Diriwayatkan pula bahwa Imam pernah menolak ketika rumah mungil beliau hendak dipasangi pendingin ruangan, sementara saat itu sedang musim kemarau yang begitu panas. Ketika ditanya mengapa beliau menolaknya, beliau menjawab bahwa saat itu warga Afghanistan—yang tengah dijajah oleh Rusia—sedang mengalami kepanasan yang sama.[10]

Inilah dua dimensi utama pada diri Imam Khomeini, yang telah sedemikian berfusi dan tak akan pernah berpisah. Dimensi yang hanya bisa dimiliki oleh mereka yang hanya menjadikan Allah sebagai tujuan, yang hanya bergantung pada kekuatan Allah, memiliki kepekaan sosial yang tinggi, dan menghormati hak orang lain.

Saya yakin, tulisan ini sangat jauh dari keagungan dan kemuliaan pribadi Imam Khomeini yang sesungguhnya. Karena ini hanyalah upaya untuk semaksimal mungkin melihat dan meneladani beliau, meskipun melalui mata yang begitu sempit.

Sebagai penutup, saya ingin mengutip beberapa pendapat tokoh dunia tentang Imam Khomeini dan Revolusi Islam beliau:
1. Michel Foucault (seorang filosof), ketika meletus Revolusi Islam Iran, menyatakan: “Pemerintahan Islam dapat memprakarsai sebuah spiritulitas politik baru dan mempropagandakan perubahan dunia. Hal yang tak lagi dikenal oleh Barat, semenjak munculnya modernitas.”[11]
2. Roger Garaudy (seorang intelektual Perancis) menyatakan: “Revolusi Islam Iran menampilkan contoh baru dari manusia dan masyarakat sempurna. Ini merupakan alasan di balik permusuhan Barat terhadapnya. Khomeini telah memberikan makna baru bagi kehidupan bangsa Iran.”[12]
3. William Wersey (seorang penulis dan jurnalis Amerika) menyatakan: “Revolusi Islam Iran adalah mulia, karena dia merupakan teriakan yang berasal dari nurani Imam Khomeini.”[13]
4. Paus Johannes Paulus II menyatakan: “Ia adalah seorang yang dapat mengekpresikan pandangannya, mengingat apa yang telah ia lakukan terhadap negaranya dan dunia, dengan kehormatan besar dan pemikiran yang dalam.”[14]
5. Norman Mailer (seorang penulis) menyatakan: “Khomeini telah menawari kita kesempatan untuk menyembuhkan agama kita yang lemah ini.”[15]
6. Ernesto Cardinal (pejuang Nikaragua) menyatakan: “Para pencinta kebebasan di dunia berduka atas wafatnya Imam Khomeini.”[16]
7. Rajiv Gandhi menyatakan: “Ia seorang pemimpin besar, yang telah menggulirkan kemenangan revolusi Islam dengan keyakinannya dan berhasil meruntuhkan rezim Syah.” [17]
8. Muhammad Haikal (penulis dan ulama sunni) menyatakan: “Ia adalah orang besar, yang datang dari periode yang lain.”[18]
9. Robert Mugabe menyatakan: “Ia membimbing bangsa Iran dalam sebuah revolusi terbaik, yang unik di dunia.”[19]

Referensi:
[1] DR. Hamid Algar, “The Fusion of The Gnostic and The Political in The Personality and Life of Imam Khomeini”.
[2] “Address by President Nelson Mandela at A Banquet in Honour of President Rafsanjani of Iran”, Pretoria, 12 September 1996; Mohsen Pak Ayin, “A Look at The History of Relations Between Iran & African States”, The Journal of African Studies (Quarterly), vol. 1, hal. 13-28, Summer 1994.
[3] DR. Ibrahim Dasuki Syata, “Kasyful-Asrar Khomeini: Antara Bahasa Arab dan Bahasa Parsi”, Yayasan As-Sajjad, Jakarta.
[4] Tina Conlon, “What I Think of Imam Khomeini”, Al-Haqq Newsletter, vol. 5, issue 7.
[5] The Institute for The Compilation and Publication of The Works of Imam Khomeini, “Palestina Dalam Pandangan Imam Khomeini”, hal. 182, Pustaka Zahra, Jakarta.
[6] Association of Learning and Human Resource Research Office, “Tranquil Heart”, bab 11.
[7] Abu Muhammad Zaynul ‘Abidin, “Soaring to The Only Beloved”, bab 9.
[8] Ibid.
[9] Association of Learning and Human Resource Research Office, “Tranquil Heart”, bab 22.
[10] Kisah dari seorang teman, yang pernah belajar di Hauzah Qum, Iran.
[11] Wikipedia, “Ruhollah Khomeini”.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Islamic Republic of Iran Broadcasting (IRIB), “Imam From Official’s Point of Views”.
[18] Ibid.
[19] Ibid.

Jihad Pertahanan Suci (Imam Khomeini vs Saddam Hussein)


Kegigihan Pejuang Sejati Pertahanan Suci
Pada tanggal 14 Khurdad yang tahun ini jatuh pada tanggal 4 Juni, masyarakat revolusioner di dunia, baik di Iran maupun di negara-negara lainnya, memperingati hari wafatnya Imam Khomeini ra yang juga Pendiri Revolusi Islam Iran. Kami  mengucapkan belasungkawa sedalam-dalamnya kepada seluruh ummat Islam dan kalangan independen di seluruh dunia.Tak diragukan lagi, Revolusi Islam Iran menjadi kiblat bagi para pejuang dan masyarakat merdeka di seluruh dunia. Hal ini dibuktikan dalam tiga dekade terakhir ini sejak kemenangan Revolusi Islam Iran yang dipimpin oleh Imam Khomeini. 
Pengamat Sosial dan Budaya Iran, Shaleh Alatas yang saat ini juga berdomisili di Iran untuk mempelajari ilmu agama dan filsafat Islam berbicara pada wartawan. Dalam kesempatan itu, Saleh Alatas mengupas figur Imam Khomeini dan meleknya teknologi. 
Kegigihan Pejuang Sejati Pertahanan Suci
Perang itu menakutkan dan menggelisahkan. Agresi itu sama halnya dengan menelantarkan masyarakat dan membantai mereka, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak. Banyak bangsa yang pernah ditindas dan diduduki menyimpan kenangan pahit yang tak terlupakan. Akan tetapi dalam sejarah moderen, dunia selalu diliputi dengan perang yang tak imbang. Hal ini juga dirasakan oleh bangsa Iran. Bangsa ini yang baru merayakan kemenangan Revolusi Islam Iran dengan tumbangnya Rezim Shah Pahlevi, harus menghadapi agresi mendadak yang dilancarkan oleh Rezim Saddam Hussein. Akan tetapi agresi itu dapat dihadapi bangsa Iran dengan gigih dan berani, bahkan perjuangan bangsa ini mendapat apresiasi penuh dari masyarakat dunia.

Perang Irak-Iran sudah berlalu lebih dari dua dekade. Akan tetapi perjuangan bangsa Iran dalam menghadapi agresi Rezim Saddam Hussein malah menjadi sumber perkembangan penting di negara ini. Para pejuang Iran berhasil mengabadikan nilai-nilai mulia dalam sejarah. Perjuangan bangsa Iran dalam mempertahankan tanah air mereka menjadi cerita heroik yang disampaikan secara turun menurun di sekolah, kampus, pabrik, kebun dan kantor. Semuanya memetik tauladan para pejuang di balik kesadaran dan nasionalisme yang tinggi.

Kepemimpinan Ilahi Imam Khomeini
Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam Iran atau Rahbar, Ayatollah Al-Udzma Sayid Ali Khamenei, mengatakan, “Pekan Pertahanan Suci adalah contoh sederet kebanggaan bangsa Iran dalam membela tanah air dan serangkaian kepahlawanan dalam memperjuangkan Islam dan Al-Quran. Dalam pekan ini, mengenang para pahlawan adalah hal yang paling mulia dan berharga. Mereka adalah para pemuda dan pemberani suci yang mampu menentukan kondisi sensitif dengan kesadaran yang tinggi dan menerima tanggung jawab besar dengan rasa rindu luar biasa dalam berjihad di jalan Allah Swt. Setiap bangsa yang mempunyai para pahlawan dan pemberani, berhak menjadikan mereka sebagai tauladan dalam setiap periode.”

Faktor penting yang menjadikan agresi Rezim Saddam Hussein sebagai hal yang heroik dan sakral, adalah kepemimpinan Imam Khomeini dan kecintaan para pejuang kepada beliau. Rahbar terkait Imam Khomeini ra mengatakan, “Selain masa Nabi Besar Muhammad Saw, Imam Ali as dan masa pendek dari Imam Hasan Al-Mujtaba as, kita tidak lagi menemukan sosok panglima besar yang arif, bijak dan ilahi di dunia ini… Kita di dunia ini baik saat ini maupun masa lalu, tidak menemukan kekuatan militer seperti para pejuang Iran yang mempunyai perasaan kuat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan pada saat yang sama, memiliki ketegasan dalam membela harga diri bangsa. Pada dasarnya, rasa rindu pada jihad dan kemenangan-kemenangan luar biasa yang diraih para pejuang dalam menghadapi musuh, berhutang budi pada pengaruh besar kepribadian agung dan spiritual Imam Khomeini dalam memimpin Perang Pertahanan Suci.”.

Imam Khomeini ra menilai pertahanan suci dalam menghadapi agresor sebagai tugas. Meski Imam Khomeini ra tidak turun langsung di front, tapi kepribadian agungnya dapat dirasakan di semua lini. Seorang wartawan asing dalam laporannya menulis, “Imam Khomeini seakan-akan ada di sini (front), setiap hari, yang terus menyerukan para pejuang untuk terus berperang.”

Keberanian Pejuang
Seorang pejuang berkata, “Di front terdepan, saya melihat seorang pemuda 17 tahun yang berwajah ceria. Akan tetapi wajahnya tampak keletihan. Ia mengenakan pakaian yang sederhana dan bersih. Badan pejuang itu kurus, tapi wajahnya mencerminkan ketulusan dan kesucian. Mengingat umurnya yang masih belia, pemuda itu tampak bukan seperti pejuang di front. Akan tetapi dia dengan pandangannya berkata; Ia tidak mengenal front besar dan kecil. Ia merasakan cinta. Kepada pemuda itu, saya berkata, Mengapa kamu meninggalkan sekolah? Dengan rasa heran, ia menjawab; Front itu sendiri adalah sekolah, yakni sekolah cinta dan pengorbanan yang membuat manusia sempurna. Kemudian ia tersenyum dan berkata; Saya berperang menjawab seruan pemimpin.”

Beberapa tahun setelah peristiwa itu, ibu pemuda itu membawa foto anaknya dan menunjukkan kepada pejuang yang menceritakan pengalaman seorang pemuda yang dilihatnya di front. Ternyata foto itu adalah foto pemuda 17 tahun yang dilihatnya di front. Ibu itu berkata, “Anakku gugur syahid pada operasi Karbala 5.”

Dalam logika para pemuda yang membela tanah air Iran, jihad bukan perjuangan yang bertujuan untuk ekspansi dan materi, tapi berniat untuk berjuang di jalan Allah dan perlawanan anti-arogansi dunia. Panglima Perjuangan Suci, Shahid Hossein Kharazi mengatakan, “Kami semua mempunyai tugas. Meski banyak hal yang tidak teratur dan tidak sesuai dengan instruksi yang diharapkan pemimpin, kita tetap menyelesaikan perang dengan kekuatan penuh. Sebab, kami berperang di tengah bahaya atas agama, yakni bukan hanya meraih kemenangan.”

Shahid Mahdi Rajabi menulis, “Kami berjuang hingga front terdepan. Itu adalah front yang dimulai Nabi Ibrahim yang kemudian dilanjutkan oleh Rasulullah Saw dan Imam Ali as hingga sampai pada tangan Imam Khomeini ra, sehingga tidak ada tempat bagi para arogan di muka bumi ini.”

Perang dan Kepercayaan Diri
Melalui Pertahanan Suci, semua nilai-nilai agama, nasionalisme dan jiwa revolusi telah ditampilkan yang kemudian mengokohkan spirit kepercayaan diri di tengah masyarakat. Dari sudut pandang ini, Pertahanan Suci telah melahirkan kekuatan kepercayaan diri di tengah masyarakat yang kemudian akan menjadi sumber kekuatan dan kunci keberhasilan bangsa Iran dalam berbagai bidang.

Dari sisi lain, perang Irak-Iran tidak seimbang, bahkan bangsa Iran diboikot. Adapun di pihak musuh yang dikendalikan oleh Saddam Hussein didukung penuh oleh kekuatan regional dan internasional. Meski demikian, rakyat Iran yang diliputi rasa iman, bersatu menghadapi kekuatan regional dan internasional, dan mampu mengalahkannya. Kemenangan bangsa Iran membuktikan bahwa senjata bukan segala-galanya, tapi di sana ada kekuatan ekstra yang juga menjadi penentu kemenangan. Kekuatan itu adalah keimananan dan tawakal kepada Allah Swt. Rahbar seraya menyinggung kepercayaan diri di masa perang, mengatakan, “Jika saat ini terdengar suara indah kemajuan dan kebanggaan bangsa ini, maka itu semua bermuara dari kepercayaan diri Perang Pertahanan Suci.”

Dalam Perang Pertahanan Suci, adidaya Barat dan Timur takluk di bawah kekuatan ilahi yang dikomando oleh Imam Khomeini ra. Setelah itu, para pemuda Iran yang tercerahkan mampu mencetuskan inovasi-inovasi baru yang mengejutkan dunia. Di tengah ekonomi yang sulit, masyarakat berhasil bertahan di bawah tekanan embargo dan sanksi sepihak. Kondisi itu malah membuat bangsa ini mandiri dari pihak-pihak asing.

Spiritual Pertahanan Suci
Perang Irak-Iran benar-benar diliputi suasana spiritual yang tinggi. Bahkan di masa-masa itu, para pejuang Iran berkesempatan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Di samping Al-Quran dan shalat, para pejuang juga menjadikan doa sebagai sarana pendongkrak kekuatan perlawanan terhadap para agresor. Doa dan rintihan-rintihan spiritual para pejuang meliputi seluruh negeri. Kondisi inilah yang membuat seluruh negeri Iran sarat spiritual yang luar biasa.

Doa sufi yang disampaikan Panglima Shahid Chamran yang juga seorang arif membahana di seluruh negeri yang juga menjadi penyemangat para pejuang. Dalam doanya, Shahid Chamran mengatakan, “Ya Allah, saya bersyukur karena Engkau menjadikanku bebas dari kenihilan dan ketergantungan, serta membuatku senang dalam berjuang melawan kezaliman dan kekafiran. Engkau telah memahamkanku tentang pengertian kehidupan sebenarnya…..Tuhanku, aku berterima kasih atas kenikmatan tawakal dan ridho di tengah kesulitan yang luar biasa. Engkau telah memberikan ketenangan dan ketenteraman sehingga aku bisa bersahabat dengan pasang-surut nasibku. Aku merelakan apa yang Engkau takdirkan kepada-ku…”

Salah satu manfaat luar biasa Perang Pertahanan Suci adalah meluasnya akhlak mulia dan spiritual di tengah masyarakat. Seluruh negeri Iran saat perang Irak-Iran dipengaruhi dengan perangai mulia para pejuang. Ini adalah salah satu fenomena yang paling menonjol dalam Perang Pertahanan Suci. Para panglima dan pejuang berperilaku rendah hati, bahkan mereka berlomba-lomba memikul tanggung jawab berat.

Tentara Irak benar-benar terkesima ketika menyaksikan kegigihan para pejuang Iran. Tentara Irak mengatakan, “Kami melihat para pejuang Iran melewati wilayah ranjau dan menyerang kami. Melihat pemandangan itu, para tentara Irak lari terbirit-birit. Tentara Irak ketakutan melihat para pejuang Iran yang tidak takut mati.”

Puncak keagungan Perang Pertahanan Suci adalah syahidnya seorang remaja berusia 13 tahun yang bersedia gugur syahid di bawah tank musuh yang hendak menghancurkan pertahanan para pejuang Iran. Imam Khomeini ra menyebut pemuda 13 tahun itu sebagai pemimpinnya.

Saddam Husein menduga dapat menundukkan Iran dalam beberapa hari. Namun pada faktanya, pasukan Rezim Saddam Hussein kewalahan menghadapi para pejuang Iran. Mereka adalah pahlawan-pahlawan sejati yang tidak pernah dilupakan dalam sejarah.


Perang Iran-Irak dan Kegagalan Rezim Saddam (1)
30 tahun lalu, tepatnya tanggal 22 September 1980, berita dimulainya perang menjadi isu utama media-media dunia. Setelah rezim Saddam Hussein melakukan pelanggaran di wilayah Iran, diktator Saddam Hussein akhirnya mengeluarkan instruksi menyerang Iran. Menyusul dukungan penuh dari Barat, baik dana, militer maupun politik, Republik Islam Iran diprediksikan akan mudah ditundukkan Rezim Saddam. Apalagi sejumlah wilayah di Iran mampu diduduki oleh Irak. Namun kegigihan bangsa Iran dalam membela tanah air mereka membuat musuh kewalahan dan pesimis.

Saddam Husein adalah penguasa diktator haus perang yang sudah disiapkan sejak lama untuk menyerang Iran. Ia berniat menguasai provinsi kaya minyak Khuzestan, barat daya Iran dan memisahkannya dari Iran. Setelah itu, Saddam juga berencana akan menggulingkan Republik Islam Iran yang baru didirikan oleh Imam Khomeini ra. Saddam saat itu, berpikir akan menjadi pahlawan Arab dan dunia dengan menundukkan Iran. Ambisi kuat Saddam itu adalah hasil bisikan para musuh Revolusi Islam Iran baik dari dalam maupun luar Irak. Karena bisikan-bisikan itu, Saddam menganggap Iran sebagai negara yang mudah ditundukkan. Bahkan, Saddam dalam pidatonya menjanjikan akan menundukkan Iran dalam kurun tiga hari.

Saddam yang saat itu menjadi Presiden Irak mendapat dukungan penuh dari Barat dan sejumlah negara Arab untuk menyerang Iran. Barat dan sejumlah negara Arab mempunyai kesamaan visi, yakni menentang Revolusi Islam Iran yang digagas oleh Imam Khomeini. Iran setelah revolusi, mengatasnamakan sebagai negara yang berasaskan Islam. Bagi arogansi dunia, negara yang berasaskan Islam akan menjadi ancaman serius.

Tiga hari sebelum perang Irak-Iran, diktator Saddam menyobek perjanjian Aljazair di depan kamera televisi. Perjanjian Aljazair yang ditandatangani Saddam dengan pemerintah Iran pada tahun 1975, telah menentukan perbatasan Iran dan Irak. Dengan penyobekan perjanjian itu, perang telah dimulai. Saddam dan para pendukungnya menduga perang akan berlangsung dalam waktu singkat. Koran AS, Herald Tribune, beberapa bulan sebelum dimulainya perang, melaporkan, “Para analis AS menyatakan bahwa kekuatan militer Iran saat ini lemah dan tidak akan mampu mempertahankan perbatasan negaranya. Untuk itu, perang tidak akan berlangsung lama, yakni hanya beberapa hari. Kalaupun bertahan lama, perang itu tidak akan melewati seminggu atau dua minggu.”

Akan tetapi fakta berbeda dengan prediksi yang ada. Perang Irak-Iran bertahan hingga delapan tahun. Bangsa Iran mampu membuktikan kepada dunia bahwa mereka mampu bertahan menghadapi arogansi para musuh. Perang itu kemudian disebut dengan istilah Perang Pertahanan Suci.

Pada awal perang, Rezim Saddam berhasil menguasai sejumlah wilayah Iran. Posisi Iran dengan keterbatasan logistik militer, berada dalam kondisi terpojok. Sedangkan militer Irak dengan 250 ribu personel yang didukung dengan ribuan mortir, tank, panser dan peralatan militer lainnya berhasil menguasai kota dan desa-desa Iran sepanjang perbatasan kedua negara. Bersamaan dengan itu, lebih dari 100 jet tempur Irak berusaha membombardir 19 kota Iran dan pos-pos militer negara ini pada hari pertama perang. Akan tetapi serangan udara itu gagal total. Kondisi berbeda di wilayah perairan. Militer Iran berhasil memukul mundur angkatan laut Irak pada bulan-bulan pertama perang. Dengan demikian, angkatan laut Republik Islam Iran mampu mempertahankan kekuatannya di perairan Teluk Persia.

Kota strategis yang dapat dikuasai Rezim Saddam Hussein adalah Khozestan di barat daya Iran. Kota itu sebenar tidak mudah ditundukkan militer Saddam. Pasukan Garda Revolusi Islam Iran yang dikenal dengan Pasdaran mampu mempertahankan Khozestan selama sebulan. Dari sisi lain, pesawat-pesawat Iran mampu menyerang pos-pos strategis Irak.

Kegigihan para pejuang Iran menyadarkan Saddam yang sebelumnya beranggapan bahwa menundukkan Iran adalah hal yang mudah. Serangan balik militer Iran dan kegigihan para pejuang memaksa Rezim Saddam Husein untuk mengakui kekuatan terselubung Iran yang ternyata diluar prediksi semua pihak. Saddam bahkan menganggap bahwa menduduki Iran adalah hal yang mustahil. Untuk itu, Saddam berniat mempertahankan wilayah-wilayah yang didudukinya dengan mengajukan gencatan senjata tanpa mundur dari perbatasan internasional. Akan tetapi Iran menolak tuntutan Saddam itu, dan menuntut Rezim Saddam supaya mundur dari perbatasan-perbatasan internasional. Lebih dari itu, Iran menuntut ganti rugi dan pengadilan atas aksi agresi Irak terhadap negara ini.

Setelah serangan Irak itu, Republik Islam Iran segera mengkoordinasi kekuatan militernya dengan cepat. Di kancah politik, antek-antek penentang revolusi yang bermitra dengan para musuh mulai tersingkir dan kondisi Iran mulai bisa dikendalikan. Dengan pembentukan kekuatan sipil yang kemudian disebut dengan istilah Basij, kekuatan besar yang berbasis pada relawan telah terbentuk untuk menghadapi segala serangan musuh.
Memasuki tahun kedua, para pejuang Iran berupaya mengambil alih wilayah-wilayah yang diduduki Irak. Pada peringatan tahun pertama serangan Irak ke Iran, para pejuang dengan perintah Imam Khomeini berhasil memukul mundur pasukan Irak dari Abadan yang merupakan salah satu kota penting di Iran. Dalam operasi militer itu, Irak kalah telak dan terpaksa mundur dari wilayah Abadan.

Kemenangan spektakuler atas agresor Irak terus bergulir. Pada tanggal 24 Mei 1982, para pejuang Iran berhasil menguasai Khorramshahr yang merupakan kota strategis Iran. Diktator Saddam Husein mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk menduduki Khuramshahr. Bahkan Saddam sempat menyatakan, “Jika Khorramshahr dikuasai, saya akan memberikan kunci kota Basrah yang merupakan kota terpenting kedua di Irak kepada para pejuang Iran.”

Bagi bangsa Iran, Khorramshahr adalah simbol pertahanan dan kegigihan dalam menghadapi pendudukan Rezim Saddam Hussein. Dalam operasi militer itu, ribuan tentara Saddam tewas dan ditawan. Selain itu, 60 pesawat serta ratusan tank dan panser milik militer Irak hancur lebur. Setelah kemenangan itu, para pejuang Iran mempunyai spirit berkali lipat untuk mengusir pendudukan dan serangan Rezim Saddam.

Pada bulan Februari 1986, operasi semenanjung Al-Faw, tenggara Irak mengejutkan para pengamat. Operasi para pejuang Iran itu mampu menguasai pulau Al-Faw. Padahal tentara Irak dilengkapi senjata canggih Barat. Operasi itu dilewati dengan taktik yang rumit dan kegigihan para pejuang.

Selain itu, operasi militer bertujuan menekan Saddam supaya menarik pasukannya dari seluruh wilayah Iran, mengadili diktator bengis ini dan menuntut ganti rugi.

Operasi besar Karbala 5 di timur Basrah juga mempunyai tujuan yang sama. Operasi itu dilakukan di wilayah pertahanan yang dibuat oleh para pakar Rusia. Wilayah itu mempunyai sistem pertahanan kokoh yang sulit ditembus musuh. Dalam operasi pelik pada awal tahun 1987 itu, 80 jet tempur dan 700 tank dan berbagai jenis panser hancur lebur.

Setelah operasi itu, Majalah Newsweek menulis, “Serangan Iran di dekat Basrah untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir ini memungkinkan kemenangan satu pihak atas lainnya.” Barat setelah itu, bergegas menyelamatkan Rezim Saddam. Dukungan Barat atas Saddam kian mengemuka. Pada tanggal 20 Agustus 1988 gencatan senjata kedua pihak disepakati menyusul diterimanya resolusi 598 usulan Iran. Saddam dengan bantuan Barat dan sejumlah negara Arab dapat diselamatkan dari keterpurukan.

Dalam serangan masif Rezim Saddam ke Iran, banyak poin luar biasa yang dapat digarisbawahi. Salah satu poin penting itu adalah kekompakan Barat dan sejumlah negara Arab untuk menghadapi Iran. Bahkan perang itu dapat dianalogikan dengan konfrontasi Islam dengan kelompok-kelompok penentang saat itu di awal munculnya Islam. Pada awal munculnya Islam, semua musuh berkoalisi memerangi Rasulullah Saw. Para musuh menyerang Madinah, pusat pemerintah Rasulullah Saw, tapi gagal dan kalah total.

Dalam perang Irak-Iran selama delapan tahun, sepuluh negara Barat dan Arab kompak menyerang Iran. Di antara negara pengekspor senjata ke Irak adalah Uni Soviet. Menurut data yang ada, 53 persen senjata Irak selama perang, dijamin oleh Uni Soviet. Setelah itu pengekspor senjata disusul Perancis dengan menjamin 20 persen kebutuhan senjata Rezim Saddam. Pada dekade 1980, Saddam membeli senjata senilai 25 milyar dolar AS.

Dan sebanyak itu juga ditanggung oleh sejumlah negara Arab seperti Arab Saudi, Kuwait dan Uni Emirat Arab. Setelah perang selama delapan tahun , Irak mempunyai hutang sebesar 80 milyar dolar dengan enam negara Arab selatan Teluk Persia.

Akan tetapi uniknya, Saddam pada tahun 1990, berbalik menyerang mitra-mitranya yang membantu menyerang Iran. Kuwait diduduki dan Arab Saudi dintimidasi oleh Irak. Dari sisi lain, sejumlah negara Arab seperti Yordania dan Mesir yang pernah mengirimkan pilot-pilot mereka ke Irak untuk menyerang Iran, sama sekali tidak diapresiasi oleh Saddam. Saddam dengan sifat kediktatorannya, malah menilai semua bantuan yang ada sebagai kewajiban negara-negara Arab dalam menghadapi ancaman Iran


Perang Irak-Iran dan Kegagalan Rezim Saddam (2)
Sebagaimana telah dijelaskan dalam tulisan sebelumnya tentang beragam dimensi perang yang dipaksakan rezim Saddam dan sekutunya terhadap Iran. Dukungan luas politik, ekonomi, dan militer negara-negara Barat dan sejumlah rezim Arab terhadap pemerintahan Baath Irak. Kini kami ajak Anda menelaah sisi lain perang Irak-Iran.

Di antara sekian pendukung Saddam, Amerika Serikat memiliki peran istimewa. Kendati negara ini secara lahir tidak banyak memberikan perangkat perang kepada rezim Baath, namun AS berperan sebagai salah satu otak penting dalam agresi militer Saddam ke Iran.

Meski sebelumnya, hubungan AS dan Irak sempat renggang, namun dengan dimulainya perang, Washington semakin getol mendekati Baghdad dan menyokongnya secara penuh. AS bahkan mengeluarkan rezim Baath Irak dari daftar negara-negara pendukung terorisme dan pada akhir 1984, Washington secara resmi menjalin hubungan diplomatik dengan Baghdad. Pada masa-masa akhir perang, satelit mata-mata dan pesawat pengintai AS yang ditempatkan di Arab Saudi, aktif memberikan bantuan informasi dan data mengenai kekuatan dan posisi militer Iran kepada pusat komando tentara Saddam.

Bersamaan dengan itu, Gedung Putih melancarkan propaganda anti-Republik Islam Iran secara luas di kancah internasional. Di penghujung dekade 80-an, dukungan Washington terhadap Baghdad mencapai puncaknya. Militer AS terlibat langsung dalam perang dengan Iran. Kapal-kapal perang dan pesawat tempur AS menyerang pangkalan dan kilang minyak Iran. Bahkan lebih brutalnya lagi, militer AS menembak jatuh pesawat penumpang sipil Iran di kawasan Teluk Persia.

Pada ranah propaganda, media-media Barat dan Arab menyokong penuh agresi militer Saddam terhadap Iran. Lewat serangan propagandanya itu, mereka berusaha menutup-nutupi kejahatan perang rezim Baath dan mengesankan Iran sebagai ancaman. Media-media pro-Saddam bahkan berusaha menyensor beragam berita yang mengungkap kekalahan militer Irak dan sebaliknya mereka berusaha menampilkan posisi lemah dan terdesak Iran. Menariknya, justru ketika rezim Baath menyerang Kuwait, media-media Barat dan Arab yang dulunya menyokong agresi rezim Baath ke Iran malah berbalik arah mengecam Saddam dan mengakui bahwa dukungan mereka sebelumnya terhadap agresi militer Irak ke Iran merupakan kekeliruan.

Ironisnya lagi, selama perang Irak-Iran berlangsung, peran PBB yang banyak diintervensi negara-negara Barat terutama AS justru menguntungkan rezim Baath. Dewan Keamanan yang semestinya membela Iran sebagai pihak yang diserang dan mendesak Irak menghentikan agresinya ternyata hanya cukup mengeluarkan seruan gencatan senjata.

Rangkaian resolusi yang dijatuhkan Dewan Keamanan PBB terkait kejahatan perang rezim Saddam semacam serangan terhadap permukiman sipil dan penggunaan senjata terlarang, sama-sekali tidak efektif dan sangat lemah. Dijatuhkannya Resolusi 597 terhadap Irak justru ditetapkan pada saat tentara Baath Irak benar-benar dalam tekanan militer Iran. Untungnya, resolusi tersebut masih memperhatikan sebagian dari tuntutan Iran seperti identifikasi pelaku penyerangan, pembayaran ganti-rugi, penarikan mundur tentara Irak dari perbatasan internasional, dan pertukaran tawanan.

Tak berbeda jauh dengan PBB, lembaga-lembaga internasional lain seperti Komite Hak Asasi Manusia PBB, Amnesti Internasional, dan Palang Merah Internasional juga menerapkan langkah yang sangat lemah dalam menindak kejahatan perang Saddam terhadap Iran.

Saddam adalah diktator berdarah yang dikenal sangat zalim dan rela menggunakan segala cara untuk meraih dan mempertahankan kekuasaannya. Sepanjang 8 tahun agresi militer rezim Baath Irak terhadap Iran, Saddam berkali-kali melanggar hukum internasional dan melakukan tindak kejahatan perang yang begitu sadis. Tiap kali tentara Baath menelan kekalahan dalam medan pertempuran, mereka segera membalas kekalahannya itu dengan melancarkan serangan udara ke wilayah perkotaan Iran dan membantai warga sipil.
Begitu halnya dengan perlakuan rezim Baath Irak terhadap para tawanan Iran. Mereka diperlakukan dengan sangat keji dan di luar kaidah kemanusiaan. Sedemikian brutalnya penyiksaan yang dilakukan tentara Saddam terhadap mereka, sampai-sampai banyak tawanan Iran yang gugur syahid di kamp-kamp tawanan rezim Baath.

Tidak hanya itu saja, Saddam bahkan mendukung aksi-aksi teror yang dilancarkan kelompok-kelompok kontra-Revolusi Islam terhadap masyarakat dan para pejabat Iran.
Tindakan paling brutal Saddam dalam perang Irak-Iran adalah penggunaan senjata kimia secara luas untuk membantai tentara dan warga sipil Iran dan bahkan rakyatnya sendiri. Semenjak digelarnya perang, secara bertahap tentara Baath mulai menggunakan senjata kimia. Namun dengan semakin unggulnya serangan balasan para pejuang Republik Islam Iran, tentara Baath pun makin gencar dan luas menggunakan senjata kimia.

Juni 1987, Saddam mengeluarkan perintah serangan bom kimia terhadap kota Sardasht, barat Iran. Akibat serangan keji itu, sekitar 110 warga sipil gugur syahid dan 5 ribu lainnya cidera. Berikutnya pada Maret 1988, pesawat-pesawat tempur Baath melakukan serangan serupa terhadap etnis kurdi Irak di kota Halabcheh. Dalam serangan itu, tercatat lebih dari 5 ribu warga sipil gugur syahid sementara 7 ribu lainnya mengalami luka-luka. Bahkan kini, meski perang sudah 22 tahun berlalu, namun dampak dari serangan bom kimia itu masih bertahan dan sekitar 45 ribu warga Iran masih menderita penyakit akibat serangan bom kimia rezim Saddam.

Saddam memperoleh senjata terlarang itu lewat bantuan negara-negara Barat. Mereka menyerahkan lebih dari 18 ribu ton bahan kimia untuk digunakan dalam berbagai jenis bom, rudal, dan peluru artileri. Berdasarkan laporan PBB, sejumlah perusahaan dari AS, Jerman, Inggris, dan Perancis memiliki peran dominan dalam memasok bahan kimia untuk keperluan memproduksi senjata kepada Irak. Tentu saja beberapa negara lainnya seperti Uni Soviet, Spanyol, Argentina, dan Belanda juga turut membantu dalam mempersenjatai Irak dengan senjata kimia.

Namun yang patut disesalkan juga adalah upaya negara-negara Barat yang berusaha menghalang-halangi upaya masyarakat internasional untuk menghukum rezim Baath atas kejahatannya dalam menggunakan senjata kimia. Hal itu terlihat dari aksi veto AS pada Maret 1986 terhadap draft resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengecam penggunaan senjata kimia oleh rezim Saddam. Akibat dukungan buta semacam itulah sampai-sampai Saddam Husein dalam pembelaannya saat diadili pada Desember 2006 secara lantang menyatakan, “Dengan bangga saya bertanggung jawab atas seluruh serangan dengan senjata konvensional dan kimia terhadap Iran”.

Melihat besarnya persenjataan perang yang dimiliki Irak baik dari negara-negara blok Timur maupun blok Barat di kala itu, banyak analis politik dan militer yang memprediksikan bahwa Irak bakal keluar sebagai pemenang. Namun tampaknya mereka gagal dalam melihat kekuatan Iran yang berporos pada kepemimpinan tanggung Imam Khomeini. Bapak pendiri Republik Islam Iran ini juga menerapkan strategi yang sama ketika menghadapi rezim diktator Syah Pahlevi, yaitu dengan memobilisasi kekuatan rakyat.
Selain itu, keberanian dan keimanan para pejuang Iran merupakan faktor lain yang menjadi kunci rahasia kemenangan Iran. Kekuatan iman dan semangat jihad merupakan sumber perlawanan rakyat Iran dalam menghadapi agresi militer rezim Baath Irak. Karena itu, kekuatan rakyat dan iman yang menjelma dalam pasukan rakyat suka rela Iran atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Basij” menjadi motor utama gerak perlawanan bangsa Iran.

Tentu saja kemenangan dalam setiap perang juga tergantung pada dukungan di balik front perang. Semengat rela berkorban rakyat yang rela menyerahkan jiwa dan raganya sebagai bagian dari tentara suka rela atau basiji merupakan modal besar bagi Iran dalam melawan serangan musuh. Dengan semangat kemenangan Revolusi Islam yang mereka raih saat menggulingkan rezim syah dukungan Amerika, rakyat Iran juga bangkit bergerak menentang agresi militer Saddam.

Meski saat itu, rezim Baath mendapat dukungan penuh dari Barat dan Timur sementara bangsa Iran menghadapi sanksi dan embargo, namun mereka tetap berhasil menggagalkan konspirasi Barat dan agresi militer Saddam. Di mata para analis dalam negeri Iran, kepercayaan diri merupakan langkah pertama yang mendorong rakyat Iran untuk membuat persenjataan perang secara mandiri dan belajar bagaimana memanfaatkan keterbatasan sarana dan fasilitas menjadi modal kekuatan membela diri di segala bidang.
Sejatinya sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam Khomeini mengenai agresi militer Saddam selama 8 tahun, perang antara Iran dan Irak merupakan perang antara front kebenaran melawan kebatilan.

(syiahali/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: