Inggit Garnasih menemani Sukarno dalam suka-duka perjuangan. Dia mengantarkannya ke muka gerbang kemerdekaan.
127 Tahun yang lalu, 17 Februari 1888, Inggit Garnasih lahir di Desa Kamasan, Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Semula terlahir dengan nama Garnasih: dari kata hegar (segar menghidupkan) dan asih (kasih sayang). Nama Inggit berasal dari waktu dia kecil sering ke pasar dan ada yang kasih uang sampai seringgit. Di malam hari juga suka ada orang yang melemparkan uang terbungkus bersama genting, nilainya sampai seringgit, ke dinding kamarnya.
“Sejak itulah aku diberi nama, atau katakanlah disebut orang-orang di rumah pada mulanya, si Ringgit, dan kemudian menjadi si Inggit, sebutan yang lebih manis kedengarannya,” kata Inggit dalam Soekarno: Kuantar ke Gerbang karya Ramadhan K.H.
Meski usia Inggit lebih tua lima belas tahun, namun cinta tak pandang usia. Sukarno menikahi Inggit pada 24 Maret 1923, saat kuliahnya di Technische Hoogeschool (Sekolah Tinggi Teknik) menginjak tingkat kedua. Sukarno mengembalikan istri pertamanya, Utari ke mertuanya sekaligus mentornya, H.O.S. Tjokroaminoto. Dia berdalih kasih sayangnya kepada Utari hanyalah sebagai kakak kepada adik. Inggit pun telah dua kali menikah, yaitu dengan Nata Atmadja, kopral residen Belanda, kemudian dengan Haji Sanusi, pengusaha dan aktivis Syarekat Islam.
Inggit berperan besar mendorong Sukarno menyelesaikan kuliahnya, yang nyaris terbengkalai akibat aktivitas politik. Mereka, bersama Ratna Djuami yang diangkat sebagai anak, hidup berpindah-pindah kontrakan. Dari rumah di Jalan Pungkur (kini jejeran minimarket), Jalan Dewi Sartika No. 22 (kini jadi Gereja Rehobot), hingga Gang Jaksa yang hingga kini masih terpelihara. Sampai akhirnya mereka mendapatkan rumah dengan harga terjangkau di daerah Astana Anyar.
Ketika Sukarno dan Inggit membelinya tahun 1926, bangunannya berupa rumah panggung yang terbuat dari bilik bambu (gedek). Untuk menunjang ekonomi, pasangan itu membuka indekos murah untuk beberapa anak muda, kebanyakan kader politik Sukarno. Kuliah politik dalam kelompok yang lebih kecil dan suasana yang santai sering terjadi di rumah ini. “Selain untuk berumah tangga, rumah itu juga jadi tempat berkumpulnya kaum pergerakan,” kata Tito Zeni Asmara Hadi, anak pasangan Ratna Djuami dan Asmara Hadi.
Inggit, yang lebih banyak berperan sebagai tulang punggung ekonomi keluarga, menghidupi diri, keluarga, serta suaminya dengan berjualan jamu, bedak dingin, dan rokok kawung lintingan dan bungkusan. Ketika Sukarno ditangkap pada 29 Desember 1929 dan ditahan di Penjara Banceuy, di pusat Kota Bandung, Inggit secara berkala mengunjunginya sambil menyelundupkan makanan, uang, suratkabar, dan buku yang kemudian menjadi bahan menulis pledoinya, Indonesia Menggugat.
Namun, pledoi yang dibacakan di Gedung Landraad pada 18 Agustus 1930 itu tak mampu menyelamatkan Sukarno dari hukuman. Sukarno dipenjara empat tahun di Sukamiskin. Inggit ditemani Ratna Djuami kerap berjalan kaki dari Astana Anyar ke Sukamiskin, yang jaraknya belasan kilometer, karena tak mampu membayar delman atau angkutan lain.
Pemenjaraan Sukarno menyebabkan perubahan dalah tubuh PNI. Mr. Sartono menjadi pemimpin, yang kemudian membubarkan PNI dan membentuk Partai Indonesia (Partindo) pada April 1931. Selepas dari penjara, Sukarno melanjutkan perjuangan bersama Partindo. Karena berbagai larangan dari pemerintah, Partindo pun lumpuh. Pada 1934, Sukarno diasingkan ke Ende, Flores –hingga 1942. Dia membawa serta Inggit, Ibu Asmi (mertuanya), dan Ratna Djuami.
Sukarno dan Inggit mengalami banyak hal di pembuangan; meninggalnya Ibu Asmi pada 12 Oktober 1935; pemindahan pengasingan ke Bengkulu; hingga permintaan Sukarno untuk menikah lagi dengan gadis Bengkulu, Fatmawati.
“Oh, dicandung? Ari kudi dicandung mah, cadu. (Oh, dimadu? Kalau harus dimadu, pantang),” tegas Inggit, yang memilih diceraikan daripada dimadu.
Pada 1942, Sukarno menceraikan Inggit dengan dalih tak memberikan keturunan dan mereka berdua pulang ke Jawa. Pada Juni 1943, Sukarno mengawini Fatmawati dengan cara nikah wali, karena mempelai wanitanya masih di Bengkulu.
S.I. Poeradisastra dalam pengantar Kuantar ke Gerbang, menilai Inggit sebagai wanita luar biasa. “Kekasih satu-satunya yang mencintai Sukarno tidak karena alasan harta dan takhta, yang selalu memberi dan tidak pernah meminta kembali. Satu-satunya wanita yang bersedia menemani Sukarno dalam kemiskinan dan kekurangan. Hanya Inggit merupakan tiga bentuk dalam satu kepribadian, yakni ibu, kekasih, dan kawan yang selalu memberi tanpa pernah meminta.”
Meski pernah disakiti Sukarno, “Inggit selalu menganggap Bung Karno sebagai rekan seperjuangan paling berkesan. Dia marah kalau ada yang menjelekkan Bung Karno.” Tito menambahkan, “Yang dia kenang hanyalah kebaikan dan kehebatan Bung Karno.”
Sesuai arti namanya, Inggit Garnasih, telah “menghidupkan dan menyayangi” Sukarno selama hampir dua puluh tahun dan mengantarkannya ke muka gerbang kemerdekaan. Dia berpulang pada 13 April 1984.
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Rumah Bersejarah Inggit Garnasih di Astana Anyar (kiri). Sukarno dan Inggit Garnasih (kanan)
127 Tahun yang lalu, 17 Februari 1888, Inggit Garnasih lahir di Desa Kamasan, Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Semula terlahir dengan nama Garnasih: dari kata hegar (segar menghidupkan) dan asih (kasih sayang). Nama Inggit berasal dari waktu dia kecil sering ke pasar dan ada yang kasih uang sampai seringgit. Di malam hari juga suka ada orang yang melemparkan uang terbungkus bersama genting, nilainya sampai seringgit, ke dinding kamarnya.
“Sejak itulah aku diberi nama, atau katakanlah disebut orang-orang di rumah pada mulanya, si Ringgit, dan kemudian menjadi si Inggit, sebutan yang lebih manis kedengarannya,” kata Inggit dalam Soekarno: Kuantar ke Gerbang karya Ramadhan K.H.
Meski usia Inggit lebih tua lima belas tahun, namun cinta tak pandang usia. Sukarno menikahi Inggit pada 24 Maret 1923, saat kuliahnya di Technische Hoogeschool (Sekolah Tinggi Teknik) menginjak tingkat kedua. Sukarno mengembalikan istri pertamanya, Utari ke mertuanya sekaligus mentornya, H.O.S. Tjokroaminoto. Dia berdalih kasih sayangnya kepada Utari hanyalah sebagai kakak kepada adik. Inggit pun telah dua kali menikah, yaitu dengan Nata Atmadja, kopral residen Belanda, kemudian dengan Haji Sanusi, pengusaha dan aktivis Syarekat Islam.
Inggit berperan besar mendorong Sukarno menyelesaikan kuliahnya, yang nyaris terbengkalai akibat aktivitas politik. Mereka, bersama Ratna Djuami yang diangkat sebagai anak, hidup berpindah-pindah kontrakan. Dari rumah di Jalan Pungkur (kini jejeran minimarket), Jalan Dewi Sartika No. 22 (kini jadi Gereja Rehobot), hingga Gang Jaksa yang hingga kini masih terpelihara. Sampai akhirnya mereka mendapatkan rumah dengan harga terjangkau di daerah Astana Anyar.
Ketika Sukarno dan Inggit membelinya tahun 1926, bangunannya berupa rumah panggung yang terbuat dari bilik bambu (gedek). Untuk menunjang ekonomi, pasangan itu membuka indekos murah untuk beberapa anak muda, kebanyakan kader politik Sukarno. Kuliah politik dalam kelompok yang lebih kecil dan suasana yang santai sering terjadi di rumah ini. “Selain untuk berumah tangga, rumah itu juga jadi tempat berkumpulnya kaum pergerakan,” kata Tito Zeni Asmara Hadi, anak pasangan Ratna Djuami dan Asmara Hadi.
Inggit, yang lebih banyak berperan sebagai tulang punggung ekonomi keluarga, menghidupi diri, keluarga, serta suaminya dengan berjualan jamu, bedak dingin, dan rokok kawung lintingan dan bungkusan. Ketika Sukarno ditangkap pada 29 Desember 1929 dan ditahan di Penjara Banceuy, di pusat Kota Bandung, Inggit secara berkala mengunjunginya sambil menyelundupkan makanan, uang, suratkabar, dan buku yang kemudian menjadi bahan menulis pledoinya, Indonesia Menggugat.
Namun, pledoi yang dibacakan di Gedung Landraad pada 18 Agustus 1930 itu tak mampu menyelamatkan Sukarno dari hukuman. Sukarno dipenjara empat tahun di Sukamiskin. Inggit ditemani Ratna Djuami kerap berjalan kaki dari Astana Anyar ke Sukamiskin, yang jaraknya belasan kilometer, karena tak mampu membayar delman atau angkutan lain.
Pemenjaraan Sukarno menyebabkan perubahan dalah tubuh PNI. Mr. Sartono menjadi pemimpin, yang kemudian membubarkan PNI dan membentuk Partai Indonesia (Partindo) pada April 1931. Selepas dari penjara, Sukarno melanjutkan perjuangan bersama Partindo. Karena berbagai larangan dari pemerintah, Partindo pun lumpuh. Pada 1934, Sukarno diasingkan ke Ende, Flores –hingga 1942. Dia membawa serta Inggit, Ibu Asmi (mertuanya), dan Ratna Djuami.
Sukarno dan Inggit mengalami banyak hal di pembuangan; meninggalnya Ibu Asmi pada 12 Oktober 1935; pemindahan pengasingan ke Bengkulu; hingga permintaan Sukarno untuk menikah lagi dengan gadis Bengkulu, Fatmawati.
“Oh, dicandung? Ari kudi dicandung mah, cadu. (Oh, dimadu? Kalau harus dimadu, pantang),” tegas Inggit, yang memilih diceraikan daripada dimadu.
Pada 1942, Sukarno menceraikan Inggit dengan dalih tak memberikan keturunan dan mereka berdua pulang ke Jawa. Pada Juni 1943, Sukarno mengawini Fatmawati dengan cara nikah wali, karena mempelai wanitanya masih di Bengkulu.
S.I. Poeradisastra dalam pengantar Kuantar ke Gerbang, menilai Inggit sebagai wanita luar biasa. “Kekasih satu-satunya yang mencintai Sukarno tidak karena alasan harta dan takhta, yang selalu memberi dan tidak pernah meminta kembali. Satu-satunya wanita yang bersedia menemani Sukarno dalam kemiskinan dan kekurangan. Hanya Inggit merupakan tiga bentuk dalam satu kepribadian, yakni ibu, kekasih, dan kawan yang selalu memberi tanpa pernah meminta.”
Meski pernah disakiti Sukarno, “Inggit selalu menganggap Bung Karno sebagai rekan seperjuangan paling berkesan. Dia marah kalau ada yang menjelekkan Bung Karno.” Tito menambahkan, “Yang dia kenang hanyalah kebaikan dan kehebatan Bung Karno.”
Sesuai arti namanya, Inggit Garnasih, telah “menghidupkan dan menyayangi” Sukarno selama hampir dua puluh tahun dan mengantarkannya ke muka gerbang kemerdekaan. Dia berpulang pada 13 April 1984.
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email