Sebuah analisis menarik tentang jatuhnya pesawat Malaysia Airlines MH-17 disampaikan seorang pilot senior Jerman Peter Haisenko, yang ditulis di situs Global Research baru-baru ini dengan judul “Revelations of German Pilot: Shocking Analysis of the “Shooting Down” of Malaysian MH17. Aircraft Was Not Hit by a Missile”.
Jauh dari perkiraan banyak orang yang menganggap jatuhnya pesawat MH-17 karena tembakan rudal anti-pesawat, namun dekat dengan tuduhan Rusia bahwa pesawat tempur SU-25 milik Ukraina telah membuntuti pesawat MH-17 sebelum jatuh, pesawat penumpang tersebut jatuh karena tembakan senjata anti-tank.
Tentu saja sangat jauh dari perkiraan para analis, senjata anti-tank digunakan untuk menembak jatuh pesawat yang terbang tinggi sejauh 10 km di udara. Namun mereka mengabaikan fakta bahwa pesawat SU-25 mampu terbang hingga ketinggian 10 km dan dilengkapi senjata-senjata anti tank sebagaimana senjata anti-pesawat, yang jika digunakan terhadap pesawat sipil memiliki dampak yang lebih mengerikan.
Pesawat SU-25 memang dirancang khusus sebagai pesawat serang darat sebagaimana pesawat A-10 Thunderbolt milik AS yang legendaris. Sementara beberapa saat setelah jatuhnya pesaat MH-17 tersebut Rusia menuduh Ukraina bertanggujawab atas musibah jatuhnya pesawat MH-17 berdasarkan foto satelit yang menunjukkan keberadaan pesawat SU-25 yang terbang membuntuti MH-17 sebelum pesawat itu jatuh.
Analisis tersebut di atas diperoleh berdasarkan foto reruntuhan pesawat MH-17, terutama pada bagian kokpit pesawat.
“Fakta-fakta berbicara dengan jelas dan tegas dan berada di atas jangkauan spekulasi: kokpit pesawat menunjukkan bekas-bekas tembakan peluru meriam!” Tulis Haisenko.
Rusia telah mempublikasikan rekaman data satelit dan radar yang memastikan setidaknya sebuah pesawat SU-25 berada di dekat pesawat MH-17. Ini sejalan dengan pernyataan seorang petugas kontrol udara Spanyol bernama “Carlos” yang mengklaim “melihat” 2 pesawat SU-25 Ukraina di dekat MH-17 sebelum jatuh.
Sebagai pesawat serang darat SU-25 dilengkapi senjata utama berupa meriam ganda kaliber 30 mm GSh-302/AO-17A, berisi magasin yang terdiri dari 250 peluru anti-tank atau peluru dum-dum (peluru yang memecah diri setelah ditembakkan). Peluru-peluru itu memiliki kemampuan untuk menembus lapisan baja dan menghancurkan tank.
Lalu apa jadinya jika peluru-peluru itu menghantam kokpit pesawat jet komersial berbadan lebar seperti MH-17?
“Karena interior pesawat komersial secara hermetikal adalah ruangan yang kedap tekanan udara, sebuah ledakan di dalamnya akan meningkatkan tekanan di dalam pesawat ke tingkat yang ekstrim. Pesawat tidak disiapkan untuk kondisi seperti ini dan akan meledak seperti balon. Ini menjelaskan skenario yang koheren,” tulis Haisenko.
Tanggal 28 Juli lalu media-media internasional ramai-ramai memberitakan pernyataan pemerintah Ukraina yang menyebutkan bahwa MH-17 terjatuh akibat terjangan “pecahan rudal”. Pernyataan tersebut, klaim Ukraina, adalah berdasarkan analisa terhadap data dari kotak hitam yang dilakukan oleh otoritas penerbangan Inggris.
Hal ini tentu sangat bertentangan dengan fakta bahwa rudal anti pesawat tidak dirancang untuk meledak di udara sebagaimana meriam anti-pesawat. Namun laporan tersebut seolah mengkonfirmasi analisis Peter Haisenko, bahwa peluru meriam anti-tank lah yang sebenarnya telah menghancurkan MH-17 di udara.
Berbagai spekulasi dan “teori” kini beredar luas di tengah-tengah publik global. Mulai dari teori konspirasi yang menyebutkan adanya “kekuatan global di belakang layar” yang menghendaki terjadinya Perang Dunia III yang dipicu oleh jatuhnya MH-17, hingga ambisi pribadi para pejabat Ukraina untuk membunuh Presiden Rusia Vladimir Putin dengan menembak jatuh MH-17 yang disangka sebagai pesawat kepresidenan Rusia yang ditumpangi Putin. Namun meledaknya pesawat MH-17 oleh tembakan meriam anti-tank pesawat SU-25 adalah fakta yang sangat solid.
Setidaknya begitulah pendapat Peter Haisenko.
(Cahyono-Adi/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email