Ratu Hoax, Ratna Sarumpaet
Tindakan “playing victim” yang dilakukan oleh Ratna Sarumpaet sungguh mencoreng cara berpolitik oposisi yang paling buruk. Ratna mengaku bahwa ia dikeroyok oleh segerombolan orang di Bandara Husein Sastranegara pada 21 September 2018, dan fotonya viral didorong dengan wacana sentimen menyerang bahwa tindakan ini bermuatan politis. Fenomena gaya berpolitik oposisi ini menjadi penanda buruk untuk menjadikan Pilpres 2019 sebagai medan pertarungan mencari pemimpin yang baik. Sialnya, ini sudah menjadi bahan politik yang digoreng sana-sini tanpa ada penjelasan langsung dari Ratna Sarumpaet, termasuk konferensi pers yang dilakukan oleh Prabowo.
Drama yang dilakukan oleh Ratna Sarumpaet bukan tidak beralasan untuk dilakukan. Catatan kritis tentang polarisasi politik pada pemerintahan Jokowi ini juga memperlihatkan, bagaimana peran kelompok-kelompok yang sebelumnya menjadi “subtaltern” dalam lanskap politik nasional mampu menjadi kelompok politik strategis yang memproduksi gagasan-gagasan sentimen rasial dan membentuk kesadaran politik ketakutan yang kuat. Pola polarisasi kelompok politik inilah yang menjadi pembentukan oposisi yang sering memproduksi gagasan kesadaran politik, terutama dalam penyebaran gagasan-gagasan sentimen dan kegaduhan-kegaduhan yang sering diasosiasikan dengan meningkatnya politik identitas di ruang publik.
Konteks yang menarik dalam kasus Ratna adalah bentuk irasionalitas gender dalam politik praktis di Indonesia. Pandangan ini menegaskan bahwa untuk mendorong sentimen psikologi massa yang terorganisir diperlukan pembentukan psikologi korban politik. Ratna Sarumpaet merupakan aktivis perempuan; penanda simbol inilah yang sangat cepat direspons oleh Prabowo. Bahkan ia mengakui dirinya “grasa-grusu” dalam mengambil keputusan untuk merespons kasus Ratna. Prabowo sangat paham psikologi massa yang selama ini sudah terbentuk, dan ia tidak mungkin menghindari berpikir rasional untuk merespons ini.
Pelajaran Moral
Dalam sebuah negara demokrasi yang sehat, prasyarat adanya sistem kepartaian yang baik menjadi kualifikasi utama dalam proses konsolidasi demokrasi yang baik. Kita sungguh melihat bagaimana perjalanan sistem kepartaian pascareformasi menjadi pemain dan kendaraan politik utama dalam memperbaiki proses kepemimpinan dan perwakilan politik di Indonesia. Namun, jika dilihat dari sisi menghadirkan penyeimbangan debat kebijakan yang baik, sangat diperlukan prasyarat oposisi yang baik juga.
Catatan kritis beberapa pandangan tentang pola koalisi dan oposisi pada pemerintahan Jokowi dapat dilihat dari dua isu penting yang menarik. Pertama, menguatnya simbol personal politik, sehingga menggeser pola kartelisasi partai politik yang mau tidak mau harus membangun hubungan politik dengan figur Jokowi, yang tentunya untuk memperoleh citra dan persepsi publik yang baik. Kedua, menguatnya polarisasi identitas, ditandai dengan kelompok-kelompok di luar partai politik, terutama menguatnya kelompok Islam politik seperti kelompok 212.
Tetapi, pola umum yang terjadi dalam pembentukan jejaring dan koalisi politik dalam dinamika politik hari ini tetaplah sama. Yakni, tentang pentingnya “efek ekor jas” yang masing-masing melekat pada hubungan koalisi partai politik dan Jokowi, juga koalisi Prabowo yang mempertahankan citra kedekatan dengan kelompok Islam politik 212.
Kasus Ratna Sarumpaet menjadi pelajaran moral politik oposisi yang sangat penting, bahwa pencarian kekuasaan dalam iklim demokrasi haruslah diikuti juga dengan etos politik oposisi yang juga baik. Beberapa studi tentang pola koalisi partai politik di Indonesia, misalnya yang dilakukan oleh Perludem (2017) menjelaskan bahwa efek multipartai di Indonesia membuat meruncingnya polarisasi politik yang begitu besar. Efek lain yang begitu sangat kontras adalah bagaimana pola distribusi kekuasaan yang terjadi dalam beberapa periode pemerintahan presiden juga kembali menegaskan bahwa porsi pendekatan politik dan ekonomi menjadi bagian penting pembentukan koalisi politik di Indonesia (Hanan, 2017).
Moral Politik
Pelajaran penting dari fenomena politik buruk ini adalah munculnya penurunan kualitas cara berpikir elite politik kita. Sungguh tidak ada penjelasan yang lebih lucu dibandingkan dengan bagaimana api sentimen kebohongan langsung disebarkan tanpa ada konfirmasi terhadap fakta yang sebenarnya terjadi. Elite politik kita hari ini, terutama yang dilakukan oleh kelompok oposisi, merupakan pola pikir barbar yang sama sekali tak peduli bagaimana menyehatkan partisipasi politik masyarakat.
Menajamnya dua kutub politik seperti sekarang ini menghasilkan kejadian-kejadian politik yang tak kita duga. Sangat diperlukan sebuah moral politik yang dapat digunakan untuk menghasilkan fungsi politik yang baik. Fungsi politik yang baik itu tentu dapat diimplementasikan dalam proses perjuangan politik dalam memperebutkan kekuasaan.
Hadirnya moral politik oposisi yang baik tentu akan mendorong hadirnya gerbong penyeimbang yang baik dalam proses mengawal pemerintahan. Kebohongan dan drama Ratna Sarumpaet menjadi penanda dibukanya kotak pandora baru. Masih ada ruang-ruang kebohongan lain yang mungkin akan kita jadikan perhatian bahwa hadirnya moral politik sangat penting.(ft/opini/detik)
Teddy Firman Supardi peneliti dan Direktur Eksekutif Depublica Institute (Center for Local Development Research and Studies), associate consultant di Visi Strategic Consulting
(Fokus-Today/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email