Pesan Rahbar

Home » » Berita Gembira bagi Pelantun Shalawat

Berita Gembira bagi Pelantun Shalawat

Written By Unknown on Friday, 4 July 2014 | 03:56:00


Pada suatu hari, Rasulullah saw bersabda kepada Amirul Mukminin Ali as, “Maukah kamu saya berikan berita gembira?”

Imam Ali menjawa, “Silakan, demi ayah dan ibuku? Anda senantiasa memberitakan kebaikan.”

Rasulullah saw menjawab, “Baru saja Jibril membawakan berita gembira untukku. Barang siapa dari umatku mengirimkan salawat untukku dan juga menyusulkan salawat untuk Ahlul Baitku, maka seluruh pintu langit terbuka untuk menerima doa dan ibadanya dan pada malaikat mengirimkan 70 salam untuknya. Ini adalah pelebur dosa-dosanya. Ketika itu, dosa-dosanya akan beruntuhan seperti dedaunan pohon beruntuhan. Allah berfirman, ‘Labbaik. Aku telah menerimamu. Semoga engkau bahagia.’ Setelah itu, Dia berfirman kepada para malaikat, ‘Kalian telah mengirimkan 70 salawat untuknya dan Aku juga 70 salawat.’
Tetapi, jika ia mengirimkan salawat kepadaku dan tidak menyambungkannya dengan Ahlul Baitku, maka antara doanya dan langit terbentang 70 hijab dan Allah berfirman, ‘La labbaik.’” (Amali Syaikh Shaduq, hlm. 679 dan Tsawab al-A’mal, hlm. 157).

kenapa shalawat sunni tidak pernah menyebut wa Ash-hâbih/dan para sahabatnya, dan apalagi dengan pelengkap kata Ajmaîn/dan seluruh sahabatnya!!

Wahai hamba-Ku, semakin tua usiamu, semakin keriput kulitmu, semakin lemah tulangmu, semakin dekat ajalmu, semakin dekat pula engkau bertemu dengan-Ku. Malulah karena-Ku, karena Aku pun malu melihat ketuaanmu, dan Aku pun malu menyiksamu di dalam neraka

Dalam sebuah hadits qudsi Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya setiap pagi dan sore Allah SWT selalu memandang wajah orang yang sudah tua, kemudian Allah SWT berfirman: Wahai hamba-Ku, semakin tua usiamu, semakin keriput kulitmu, semakin lemah tulangmu, semakin dekat ajalmu, semakin dekat pula engkau bertemu dengan-Ku. Malulah karena-Ku, karena Aku pun malu melihat ketuaanmu, dan Aku pun malu menyiksamu di dalam neraka.

Dikisahkan bahwa pada suatu ketika Imam Ali sedang tergesa-gesa berjalan menuju masjid untuk melakukan jamaah shubuh. Akan tetapi dalam perjalanan – di depan beliau – ada seorang kakek tua yang berjalan dengan tenang. Kemudian Imam Ali memperlambat langkah kaki tidak mendahuluinya karena memuliakan dan menghormati kakek tua tersebut. Hingga hampir mendekati waktu terbit matahari barulah beliau sampai dekat pintu masjid. Dan ternyata kakek tua tersebut berjalan terus tidak masuk ke dalam masjid, yang kemudian Imam Ali akhirnya mengetahui bahwa kakek tua tersebut adalah seorang Nasrani.
Pada saat Imam Ali masuk ke dalam masjid beliau melihat Rasulullah SAW beserta jamaah sedang dalam keadaan ruku’. (Sebagaimana diketahui bahwa ikut serta ruku’ bersama dengan imam berarti masih mendapatkan satu rakaat). Rasulullah SAW waktu itu memanjangkan waktu ruku’nya hingga kira-kira dua ruku’. Kemudian Imam Ali ber-takbiratul ihram dan langsung ikut serta ruku’.

Setelah selesai shalat para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW: Wahai Rasulullah tidak biasanya engkau ruku’ selama ini, ada apakah gerangan? Beliau menjawab: Pada waktu aku telah selesai ruku’ dan hendak bangkit dari ruku’ tiba-tiba datang malaikat Jibril AS meletakkan sayapnya di atas punggungku, sehingga aku tidak bisa bangkit dari ruku’. Para sahabatpun bertanya: Mengapa terjadi demikian? Beliau menjawab: Aku sendiri pun tidak tahu.

Kemudian datanglah malaikat Jibril AS dan berkata: Wahai Muhammad, sesungguhnya Ali waktu itu sedang bergegas menuju masjid untuk jama’ah shubuh, dan di perjalanan ada seorang kakek tua Nasrani berjalan di depannya, Ali pun tidak mengetahui kakek tua itu beragama Nasrani. Ali tidak mau mendahuluinya karena dia sangat menghormati dan memuliakan kakek tua tersebut. Kemudian aku diperintah oleh Allah SWT untuk menahanmu saat ruku’ sampai Ali datang dan tidak terlambat mengikuti jama’ah shubuh. Selain itu Allah SWT juga memerintah malaikat Mikail untuk menahan matahari menggunakan sayapnya hingga matahari tidak bersinar sampai jama’ah selesai.

Demikianlah hikmah kisah teladan Imam Ali yang sangat menghormati dan memuliakan orang yang tua walaupun beragama Nasrani. Semoga bermanfaat bagi kita semua.

Berebut Merek Lupa Esensi

Dua istilah yang sejak lama telah dimonopoli kelompok tertentu untuk mempropagandakan viliditasnya dalam mewakili Sunnah dan ajaran musrin Islam! Kelompok tertentu itu mengklaim bahwa kelompoknya lah satu-satunya yang mewakili ajaran/Sunnah Nabi saw. secara utuh dan kâffah! Sedangkan kelompok lain adalah Ahli Bid’ah yang menyimpang dari kemurnian ajaran dan Sunnah Nabi Islam!

Dahulu penamaan ini dimonopoli oleh kelompok Ahli hadis yang barisan terdepannya adalah kaum Hanâbilah (kelompok yang dalam akidahnya mengadopsi pemikiran yang dirancang Ahmad bin Hanbal, khususnya dalam masalah ketuhanan dan terlebih lagi dalam masalah sifat Allah)…. kaum Syi’ah, Mu’tazailah dan kelompok-kelompok lain digolongkan dalam Ahli Bid’ah!

Dengan kemunculan Abul Hasan Al Asy’ari yang merancang akidah barunya (di mana sebelumnya, selama kurang lebih empat puluh tahun ia bermazhab Mu’tazilah bahkan seorang tokoh pemberlanya, dan kemudian mendadak berbalik arah menentang mazhab Mu’tazilah dan membela Ahli Hadis dan merancang akidah baru yang tidak sepenuhnya persis dengan akidah Ahli hadis)… dengan kemunculannya, nama Ahlu Sunnah menjadi monopoli kaum Asy’ariyah! Maka siapapun selain yang berakidah Asyi’ari adalah Ahli Bid’ah!
Dengan kebangkitan kaum Wahhâbi yang sering kerkedok dengan nama Salafi yang dimotori oleh para ulama AS dan dengan dukungan penuh real AS… mereka merebut kembali monopoli nama Ahlu Sunnah hanya untuk mereka.. kini giliran kaum Asy’ariyah dikeluarkan dari Ahlu Sunnah… dalam keyakinan mereka kaum Asy’ariyah adalah Ahli Bid’ah!

Setelah keterangan singkat di atas, saya mengajak Anda merenungkan sejauh mana monopoli penamaan itu berguna?
Apakah dengan merebut nama dan hak paten merek Ahlu Sunnah seorang denagn otomatis benar-benar di atas Sunnah dan Ajaran Nabi saw.? Atau kepatuhan dan konsistensi dalam menjalankan Sunnah Nabi saw. secara utuh yang akan menentukan apakah dia/kelompok itu termausl Ahlu Sunnah atau Ahli Bid’ah!
Dalam Al Qur’an Allah Swt mengecam kaum Yahudi, Nashrani dan Shabi’in yang hanya sibuk memperebutkan kursi istimewa di sisi Allah dengan hanya mengandalkan nama dan gelar keanggotaan! Hal mana mestinya cukup menkadi pelajaran berharga bagi kaum Muslimin agar tidak terjebak dalam lembah kesesatan seperti umat-umat terdahulu!

Shalawat Kepada Nabi Saw. Adalah Bukti Kecil!

Di sini saya tidak ingin membebani pembaca dengan ratusan contoh kasus untuk mmebuktikan siapa yang Ahlu Sunnah dan siapa yang terjatuh dalam lembah penyimpangan sehingga berhak disebut sebagai Ahlu Bid’ah! Kasus praktik bershalawat atas Nabi saw. semestinya sudah cukup menjadi bukti di sampinh ratusan bukti lain.

Kendati para ulama dan para muhaddis Ahlusunnah telah meriwayatkan dan menshahihkan hadis yang mengatakan bahwa Nabi saw. dalam mengajarkan ibadah shalawat selalu menyertakan menyebutkan Ahlulbitnya as.; Allâhumma Shalli ‘Alâ Muhammad wa Âli Muhammad. Tidak ada satupun hadis shahih yang mengajarkan shalawat tanpa menyebut wa Âli Muhammad… sebagaimana tidak ada satu hadis pun baik yang maudhû’/palsu dan dh’aif/lemah apalagi yang shahih yang menyebutkan bahwa Nabi saw. menyertakan menyebut wa Ash-hâbih/dan para sahabatnya…  dan apalagi dengan pelengkap kata Ajmaîn/dan seluruh sahabatnya!!

Lalu mengapakan dan atas dasar apakah umat Islam Ahlusunnah menjalankan praktik menyimpang dengan menggurukan kata wa Âli Muhammad ? Siapakah yang mengajarkan bahwa ibdaha shalawat itu harus dengan mengurangi kata wa Âli Muhammad? Siapakah yang mengajarkan mereka menambah kata wa Ash-hâbih atau wa shahbih? Bukankan menambah dalam ibadah sesuatu yang tidak diajarkan sebagaimana juga menguranginya adalah itu Bid’ah? Bukankan pelaksana praktik bid’ah lebih pantas menyabdang gelar Ahlu Bid’ah bukan Ahlu Sunnah?!

Sementara kaum Syi’ah baik kaum awamnya apalagi ulamanya konsisten menjalan praktik ibadah shalawat sesuai yang diajarkan Nabi saw. jadi merekalah yang Ahlu Sunnah!

Dalam kesempatan singkat ini saya mengharap kapada seluruh ulama Ahlusunnah untuk mengajukan satu bukti dari Al Qur’an dan Sunnah Nabi yang shahihah bahwa ibadah shalawat yang diajarkan Nabi Muhammad saw. itu tanpa menyebutkan wa Âlihi? Sebagimana saya menanti mereka mampu menyebutkan satu nash saja (kalau menghadirkan nash shahih mereka kerepotan maka saya akan tolerir walaupun hanya nash tidak shahih yang mereka hadirkan) bahwa Nabi mengajarkan kita agar juga menyebut para sahabatnya dalam shalawat!

Tantangan saya tidak dibatasi waktu… Saya akan sabar menanti walau sampai menjelang kiamat tiba!!
Bukankah ini bukti bahwa mereka Anti Sunnah Nabi saw. dalam ibadah Shalawat? Kalau bukan itu alasannya… kira-kira apa yang menjadikan mereka turun temurun menggugurkan sebuah kata kunci dalam sebuah amal ibadah shalawat?! Dan jika mereka menyebut kata wa Âlihi (yang memang diperintahkan Nabi saw.) mereka segera menyusulnya dengan kata wa Ash-hâbihi! Bukankah demikian yang kita saksikan dari kalian wahai kalian yang mengaku Ahlusunnah?!

Inilah contoh bid’ah yang kalian warisi dari Salaf kalian… yang telah terpengaruh oleh kesesatan Bani Umayyah yang siang malam memerangi Ahlulbait Nabi as…. kini kesesatan dan penyimpangan itu benar-benar telah berubah dan diyakini sebagai Sunah!

“Tujuan dari para Anbiyah diutus ke muka bumi adalah untuk mengajarkan ilmu dan mendidik umat manusia. Mengapa harus dibarengkan mengajar ilmu dan mendidik? Karena ilmu tanpa pendidikan tidak ada faidahnya, orang berilmu yang tidak terdidik justru akan menjadi orang yang paling berbahaya dan paling banyak menimbulkan kerusakan di muka bumi.”

Menurut Kantor Berita ABNA, Ayatullah Al Uzhma Luthfullah Shafi Ghulpagani dalam pertemuannya dengan sejumlah budayawan di kota Busyhahr Republik Islam Iran menyatakan bahwa tidak ada satupun ilmu dan ma’rifat yang lebih mulia dan lebih agung dari ma’rifat dan hidayah Ahlul Bait As. Beliau berkata, “Manusia jika menginginkan budaya yang sebenarnya, maka ia harus mencarinya dalam petunjuk Al-Qur’an lalu setelah itu petunjuk dari Ahlul Bait, misalnya dalam Nahjul Balaghah, Shahifah Sajjadiyah dan perkataan-perkataan Ahlul Bait lainnya.”

Lebih lanjut beliau menjelaskdisi dan kebiasaan Aimmah as adalah petunjuk dan hidayah bagi manusia, tidak terlepas dari dua unsur, ilmu dan akhlak.”

Ulama Syiah yang dikenal juga sebagai ulama marja taklid tersebut dalam penjelasan selanjutnya menyebutkan, “Jika kita menghendaki ma’rifat dan pengenalan lebih dalam mengenai Tuhan, Kenabian, Ma’ad (hari akhirat), akhlak, keadilan dan sebagainya maka kita dapat menemukan dari mutiara-mutiara hikmah yang pernah disampaikan oleh para Aimmah as. Madrasah Ahlul Bait adalah madrasah teragung dan termulia untuk mendapatkan semua ilmu, pendidikan, akhlak serta keteladanan.”

“Alhamdulillah, kita bersyukur mengenal agama yang telah mendapat pengakuan dari ribuan ilmuan dan peneliti yang menyatakan tidak ada agama yang lebih sempurna dan lebih lengkap berbicara mengenai kemanusiaan selain Islam. Dan tidak ada manhaj yang lebih memperjuangkan kemanusiaan selain manhaj Nabi Muhammad Saww beserta keluarganya As.” Ungkap beliau lebih lanjut.

Ayatullah Shafi Ghulpaghani pada bagian lain dari ceramahnya yang ditujukan kepada sejumlah budayawan yang hadir menyatakan, “Kalian sebagai budayawan harus mengetahui, fakultas ilmu dan pendidikan lebih tinggi dari semua fakultas yang ada. Tujuan dari para Anbiyah diutus ke muka bumi adalah untuk mengajarkan ilmu dan mendidik umat manusia. Mengapa harus dibarengkan mengajar ilmu dan mendidik? Karena ilmu tanpa pendidikan tidak ada faidahnya, orang berilmu yang tidak terdidik justru akan menjadi orang yang paling berbahaya dan paling banyak menimbulkan kerusakan di muka bumi.”

Beliau melanjutkan, “Kita melihat buktinya dalam dunia sekarang, tidak sedikit yang menjadi penguasa dan pemimpin justru berlaku zalim. Mereka bukan orang-orang bodoh yang tidak berlimu. Mereka berilmu hanya saja tidak terdidik karena itu tidak memiliki akhlak yang baik. Kita lihat Eropa dan AS zalim kepada bangsa-bangsa yang lain padahal mereka dalam ilmu pengetahuan dan tekhnologi jauh lebih maju, namun mereka tidak mendapatkan pendidikan akhlak.”

“Anbiyah as diutus selainkan mengajarkan ilmu dan pengetahuan, mereka juga menyempurnakan akhlak manusia. Mereka meluruskan penyimpangan-penyimpangan akhlak yang terjadi di masyarakat yang mereka temui. Sebagaimana pernah diucapkan oleh seorang tokoh besar, kita membutuhkan ilmu dan mendukung kemajuan ilmu dan pengetahuan namun lebih dari itu kita lebih membutuhkan akhlak.”ujarnya lebih lanjut.
Guru besar Hauzah Ilmiyah Qom tersebut kemudian menyatakan bahwa umat Islam tidak boleh tertinggal dalam mengejar ilmu dan pengetahuan, bahkan umat Islam harus berada dalam barisan terdepan dalam hal kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Beliau berkata, “Mengejar ilmu setinggi-tingginya adalah perintah Nabi Muhammad saww, agar umat Islam tidak membutuhkan bantuan dan peranan umat lain. Umat Islam harus mandiri dan mampu membangun peradaban dengan kemampuan sendiri, sehingga tidak dipandang remeh oleh umat-umat yang lain.”

Ayatullah Shafi Ghulpaghani dengan tegas menyatakan seorang muslim harus memiliki akhlak yang baik yang dengan akhlak baik itu ia melakukan interaksi dan komunikasi dengan yang lainnya, sehingga diharapkan dengan akhlak yang baik itu seorang muslim menjadi panutan dan teladan dalam masyarakatnya. “Kita harus mempersaksikan diri bahwa kita adalah seorang muslim, kitab kita Al-Qur’anul Karim, Nabi kita Muhammad saww dan manhaj kita manhaj Ahlul Bait as. Pemuda muslim hari ini harus tahu bahwa nasib Islam dimasa datang ada di tangan mereka. Dan lebih dari semua itu, apapun yang dilakukan seorang muslim dalam mendidik diri dan menuntut ilmu harus diniatkan karena mengharapkan keridhaan Allah Swt.”
Dipenghujung ceramahnya, Ayatullah Shafi Ghulpaghani menegaskan, “Dengan semua anugerah dan nikmat yang telah diberikan namun tidak mampu mencapai kemajuan maka sesungguhnya kita telah berlaku zalim, bukan hanya kepada diri sendiri namun juga kepada Allah Swt. Segala sesuatunya akan dimintai pertanggungjawaban kelak di hadapan Allah Swt.”
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita:

Index »

KULINER

Index »

LIFESTYLE

Index »

KELUARGA

Index »

AL QURAN

Index »

SENI

Index »

SAINS - FILSAFAT DAN TEKNOLOGI

Index »

SEPUTAR AGAMA

Index »

OPINI

Index »

OPINI

Index »

MAKAM SUCI

Index »

PANDUAN BLOG

Index »

SENI