Pesan Rahbar

Home » » Arti Ayat Al-Quran; “Tiada Pemaksaan dalam Agama”

Arti Ayat Al-Quran; “Tiada Pemaksaan dalam Agama”

Written By Unknown on Monday 18 August 2014 | 17:32:00


Oleh: Ayatullah Taqi Mishbah Yazdi.

Tanya: Apakah gerangan makna dari ayat “laa ikraaha fid-diin” (Tiada pakasaan dalam agama)?

Jawab: Agama memiliki tiga bagian; keyakinan hati, pengikraran lisan dan pengamalan organ terhadap segala anjuran agama. Dari tiga hal tadi, rukun utamanya terletak pada keyakinan dan kepercayaan hati. Karena itu, tiada seorangpun yang dapat memaksakan kehendaknya untuk –pihak lain- menerima keyakinan tertentu yang dibawanya. Semua keyakinan yang dimiliki setiap orang tersimpan dalam perangkat pemikiran dan hatinya yang tiada seorangpun yang mampu menyentuhnya. Ayat diatas menjelaskan tentang perkara riil dan obyektif yang sangat alami sekali, dimana substansi agama merupakan hal yang tidak dapat dipaksakan.

Apakah dalam tahap ungkapan maupun prilaku diperbolehkan adanya pemaksaan? Jawaban pertanyaan ini memerlukan dua fase pembahasan:
a) Apakah orang yang belum menerima Islam lantas kita bisa memaksanya untuk menerima Islam, ataupun menerima segala anjuran-anjuran agama?
b) Apakah diperbolehkan pemaksaan atas pelaksanaan segala anjuran-anjuran agama Islam kepada setiap orang yang telah menerima Islam?

Untuk pembahasan yang berkaitan dengan pembahasan pertama maka bisa kita katakan bahwa; ada beberapa agama dan sekte yang legal menurut kacamata Islam. Yang bisa dipastikan adalah Yahudi, Nasrani dan Zoroaster yang penganut-penganutnya biasa disebut sebagai ahlul-kitab dan dzimmah. Sesuai dengan undang-undang khusus yang ada, mereka berhak untuk tinggal dibawah naungan pemerintahan Islam. Para individu yang masuk kategori kafir pun, jika mereka ternyata mau berjanji (konsist terhadap perjanjian) maka mereka juga dapat hidup dibawah naungan pemerintahan Islam. Islam tidak akan pernah mengatakan kepada orang-orang Yahudi maupun Zoroaster; “lakukanlah sholat” atau “kawinlah sesuai dengan undang-undang Islam” dst.

Golongan lain dari orang kafir adalah mereka-mereka yang menentang dan memerangi, dimana sewaktu mereka mengadakan pemberontakan maka harus diperangi sampai mereka menyerah.

Adapun berkaitan dengan pembahasan kedua, berhubungan dengan kaum muslimin. Apakah seorang muslim bolah mengatakan; “saya senang mabuk-mabukan secara terang-terangan baik dijalanan, gang-gang maupun ditoko-toko” atau “saya ingin bermain judi”, “saya tidak suka berjilbab menuruti perintah syariat Islam” , “saya suka demonstrasi menentang Islam”? Setiap orang yang beranggapan bahwa, berdasarkan hak kebebasan yang dimiliki oleh manusia maka, setiap orang berhak melakukan segala perbuatan tadi. Dalam perdebatan mereka seringkali mengucapkan; bukankah dalam awal kemunculan Islam ada individu seperti Abdullah bin Abi auja’ yang mengingkari keberadaan Tuhan? Bukankah mereka pernah melontarkan perbuatan dosa atas para imam maksum (as)? Bukankah semua kebebasan ini telah di jamin oleh undang-undang dasar?…dst.

Jawaban atas semua pertanyaan diatas ialah “tidak”, karena islam mencegah perbuatan fasik dan kemungkaran yang dilakukan secara terang-terangan. Islam tidak mengakui kebebasan prilaku dan ungkapan secara mutlak, yang berarti bahwa tidak semua prilaku dan ungkapan boleh dilakukan dalam negara Islam.

Hikmah disyariatkannya amar makruf nahi munkar adalah untuk menjaga batas-batas yang ada. Dan salah satu dari sebab didirikannya negara Islam adalah untuk mencegah dari segala pelaksanaan munkar dan penyimpangan atas agama. Dalam beberapa kesempatan dan dalam batasan tertentu, Islam mengizinkan untuk campur tangan dalam urusan orang lain dan membatasi ruang lingkup mereka. Tetapi perlu ditekankan, semua pembahasan diatas adalah bertujuan untuk menyingkap batasan kebebasan.

Ringkasnya, Islam memberikan izin untuk memerangi segala bentuk penentangan, huru-hara, dan melakukan kefasikan secara terangan-terangan. Dimana segala perkara diatas tadi dengan tegas ditentang oleh Islam. Pada beberapa kesempatan, Islam menampakkan kasih sayang, kelembutan dan toleransi, namun dikesempatan dan kondisi lain Islam juga bersifat tegas dan keras. Dalam Islam tidak ada suatu berhala yang bernama liberal dan demokrasi yang lebih tinggi kedudukannya dari agama.

Dalam budaya barat, agama tidak lebih hanya sekedar pembawa wasiat-wasiat etika saja, persis seperti anjuran seorang bijak dimana sebagian masyarakat melaksanakan anjuran tersebut dan sebagian lagi mengindahkannya. Para pelaku dosa, selain mereka pribadi yang mengetahui dosa tersebut para pendeta, pihak gereja dan Tuhanpun mengetahuinya. Sebagaimana jika ada orang yang berbohong atau mengumpat orang lain maka iapun dibiarkan dan tidak ditangkap, begitu juga dengan pemabuk, penjudi dan yang suka membuka aurat (semi telanjang.pen) didepan umum. Oleh karenanya, jika ada seorang wanita yang berpakaian setengah bugil dan dikatakan kepadanya: “kenapa engkau keluar kejalan atau kegang-gang dengan pakaian semacam itu?” maka akan dijawab: “apa hubungannya dengan kamu, dan kamu punya hak apa untuk mencampuri urusan orang lain, apalagi untuk melaporkannya kepengadilan”.

Dibeberapa negara Islam dan masyarakat kita (Iran.pen) pun sedikit-demi sedikit mulai nampak muncul beberapa oknum yang memiliki pemikiran semacam itu. Sementara terdapat perbedaan antara hal yang terlontar pada masyarakat kita dengan yang terlontar pada masyarakat Barat, juga antara masyarakat Islam dan masyarakat Kristen. Karena sebagaimana telah kita singgung, dalam Islam selain terdapat kewajiban amar makruf nahi munkar dan konsep pemantauan masyarakat umum, pemerintahpun berkewajiban untuk mencegah segala kefasikan yang dilakukan secara demonstratif (tadhohur bil-fisqi) dan berbagai praktek yang melampaui batas-batas kehormatan yang ada. Perlu ditegaskan, pembahasan ini berkaitan dengan seseorang yang melakukan perbuatan maksiat secara terang-terangan dihadapan masyarakat umum.

Tetapi, jika ada seseorang yang melakukan penyimpangan dan maksiat secara sembunyi-sembunyi maka, pihak lain tidak berhak untuk memata-matainya. Dan kalaulah kasalahan itu terungkap sekalipun, maka rahasia kejelekan tersebut tidak boleh disebarkan secara meluas, hal itu dikarenakan rahasia pribadi seseorang harus dihormati.

Permasalahan pengharaman memata-matai kehidupan orang lain dan campurtangan urusan orang lain sangatlah erat hubungannya dengan pembahasan kali ini. oleh karenanya tidak ada pertentangan sama sekali antara konsep amar makruf nahi munkar dan pelarangan memata-matai kehidupan pribadi seseorang. Karena yang satu disebabkan oleh melakukan penyimpangan dihadapan umum dan satu lagi disebabkan oleh melakukan kesalahan secara sembunyi dan jauh dari jangkauan pihak lain.

____________________________________


Agama dan Kebebasan, Antara Prodeksi dan Paradoksi·

Oleh: Ayatullah Taqi Mishbah Yazdi

Tanya: Apakah antara agama dan kebebasan terdapat persesuaian?

Jawab: Terkadang dari pertanyaan diatas terjadi tumpang tindih (fallacy/mughalathah) pemakaian, dimana bentuk pelontaran dari pertanyaan tersebut berbeda –beda, akan tetapi secara umum bisa kita bagi menjadi dua hal:
a) Bentuk soalan internal agama.
b) Bentuk soalan eksternal agama.

Dalam melontarkan soalan melalui internal agama pemakaian ayat-ayat al-Qur’an sering kita dapati dan dengan menafsirkannya sedemikian rupa yang bertujuan untuk menghilangkan batasan-batasan kebebasan dan untuk membuktikan bahwa segala macam batasan atas suatu kebebasan bertentangan dengan ajaran agama.

Adapun dalam melontarkan soalan yang berlandaskan atas argumen eksternal agama, ada tiga pondasi utama sebagai pijakan pemikiran tersebut:
1- Kebebasan manusia (liberalisme).
2- Humanisme.
3- Penghapusan akan tanggung jawab dan penekanan atas hak-hak asasi manusia di zaman modernitas.

Dari tiga hal diatas tadi mereka beranggapan bahwa agama tidak berhak untuk membatasi kebebasan manusia dan bahkan mereka berupaya menafsirkan agama sedemikian rupa sehingga tidak bertentangan dengan konsep kebebasan.

Disini terlebih dahulu kita akan menjawab soalan-soalan yang berlandaskan argumen internal agama, setelah itu kita akan beranjak pada jawaban atas bentuk soalan kedua yang berlandaskan argumen eksternal agama sekaligus mengkritisi ketiga hal yang menjadi batu pijakannya tadi.


A-Bentuk soalan internal agama.

Soalan ini sering terlontar dari manusia agamis terkhusus yang beragama islam dimana landasan pemikirannya adalah jika agama memiliki campur tangan atas segala perkara politik ataupun sosial hal ini berarti manusia diharuskan untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu atau ia harus tunduk dan patuh terhadap satu figur dimana hal tersebut akan bertentangan dengan teori kebebasan manusia, padahal manusia adalah makhluk yang tercipta dengan memiliki berbagai kebebasan, hak memilih, dan bebas melakukan apa yang ia kehendaki.

Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan. Berdasarkan banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yng menyebutkan bahwa manusia tidak boleh taat kepada siapapun. Sebagai contoh:

1) Dalam surat al-Ghasyiah ayat:22, Allah (swt) berfirman yang ditunjukkankepada Rasul (saww):
”Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka”.

Ayat ini menunjukkan bahwa Nabi tidak layak dalam campur tangan urusan orang lain. sewaktu Nabi (saww) yang memiliki derajat kesempurnaan yang tiada tandingannya dari sekian banyak makhluk yang ada beliau tidak memiliki hak dalam mencampuri perkara dan urusan orang lain apalagi para imam maksum (as) ataupun para ahli fiqih (fuqaha) (hf), oleh karena itu tidak ada seorangpun yang memiliki otoritas semacam itu.

2) Dalam surat al-An’am ayat:107, Allah (swt) berfirman:
“…Dan kami tidak menjadikan kamu penjaga bagi mereka dan kamu sekali-kali bukanlah wakil buat mereka”.

3) Dalam surat al-Insan ayat:3, disebutkan:
“Sesungguhnya kami telah menunjukinya jalan yang lurus ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur”.

Ataupun surat al-Kahfi ayat: 29, disebutkan:
“Maka barang siapa yang ingin (beriman ) hendaklah ia beriman dan barang siapa ingin (kafir) biarlah ia kafir”.

4) dalam surat al-Maidah ayat: 99, disebutkan:
“Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan …”.

Jawaban dari soalan diatas adalah:
Pertama: perlu diketahui bahwa soalan ini sengaja dilontarkan dengan maksud untuk melemahkan teori wilayah al-faqih (kepemimpinan seorang ahli fiqih.Pen) sehingga dengan cara tersebutlah bisa ditetapkan bahwa ketaatan terhadap pemimpin agama (wali amr) berarti bertentangan dengan kebebasan manusia atau bahkan terhadap agama itu sendiri.

Kedua: Ayat-ayat yang disebutkan diatas dengan penjelasannya yang bersumber dari beberapa kalangan tadi jelas sangat bertentangan dengan sebagian ayat-ayat yang lain, karena dalam surat al-Ahzab ayat:36 disebutkan:
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak ( pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasulnya telah menetapkan sesuatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)tentang urusan mereka…”.

Atau sebagaimana yang disebutkan dalam surat al-Ahzab ayat:6 disebutkan:
“Nabi lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri…”

kata lebih utama (‘aula) disini bisa diartikan lebih layak atau berarti memiliki kekuasaan (wilayah). Para ahli tafsir sepakat bahwa ayat diatas menunjukkan bahwa Nabi (saww) dalam menentukan suatu urusan lebih memiliki prioritas dibanding masyarakat itu sendiri. Tidak selayaknya bagi orang lain selain Nabi untuk menentukan suatu perkara yang bertentangan dengan pendapat Nabi.

Atau dalam surat an-Nisaa’ ayat:65 disebutkan:
“Maka demi Tuhan-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka tidak menerima dengan sepenuhnya”

jika mereka mengimani bahwa setiap hukum yang engkau (Nabi.Pen) keluarkan adalah hukum Tuhan, dan Tuhan yang telah menganugerahkan kepadamu kedudukan tersebut, dan engkau harus beramal sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Tuhan dan merekapun menerima ketetapan hukum tersebut maka niscaya tidak akan muncul rasa gusar pada diri mereka kecuali jika mereka tidak memiliki keimanan dihati.

Maka dari sini ada dua alternatif; kita akan menyatakan adanya dua hal yang paradoks dalam ayat-yat Tuhan –padahal Qur’an disucikan dari sangkaan tersebut- atau kita akan mengartikan ayat tersebut dengan pengertian lain yang sesuai dengan ayat-ayat Qur’an lainnya dan hadits-hadits Nabi (saww) dan para imam maksum (as).

Menilik dari ungkapan dan susunan kalimat ayat-ayat yang tercantum pada bagian pertama diatas maka dapat diketahui bahwa obyek ayat-ayat tersebut adalah para manusia kafir. Allah dalam ayat-ayat tersebut dalam rangka menghibur Rasulullah (saww) untuk tidak terlalu mengambil hati atas segala perbuatan mereka. Seakan Allah berfirman: “sebagian besar mereka adalah calon penghuni neraka, oleh karenanya janganlah engkau (Muhammad.pen) bersedih, karena tugasmu hanyalah menyampaikan dan menjelaskan kebenaran, membuat masyarakat beriman bukanlah tugasmu, oleh karenanya Kami jadikan manusia memiliki ikhtiar sehingga pada satu hari kelak segala perbuatan mereka akan dimintai pertanggungjawabannya.

Dari dua kumpulan ayat diatas dapat diambil suatu pelajaran bahwa tugas nabi Muhammad (saww) adalah hanya menyampaikan agama dimana mau tidak mau sebagian orang menerimanya dan sebagian yang lain menolak. Adapun orang yang menerima agamanya maka mau tidak mau ia harus konsisten terhadap ajaran-ajaran agama yang dibawanya.

Mungkin sebagian orang berpikiran bahwa sebagaimana orang dapat bebas dalam memilih agama maka ketika sudah memeluk agama ia dapat bebas dalam menjalankan ajaran agama ataupun tidak menjalankannya. Pemikiran semacam ini adalah merupakan pemikiran yang salah, karena ketika seseorang telah menerima islam sebagai agamanya, artinya ia telah meyakini agama islam beserta ajaran-ajarannya dan meyakini keharusan untuk menjalankan ajaran-ajarannya. Karena kalau diyakini bahwa ia dapat bebas dalam menjalankan hukum-hukum hal itu berarti sama artinya dengan tidak meyakini keharusan untuk menjalankan berbagai hukum-hukumnya, sehingga hal tersebut tidak lain merupakan sesuatu yang kontradiksi antara keyakinan dan praktek. Hal seperti itu sama halnya seperti sebuah masyarakat yang memberikan suaranya dalam menentukan jenis pemerintahan ataupun perundang-undangan tapi kemudian setelah pemilu mereka mengatakan bahwa kita bebas melaksanakannya ataupun tidak, jelas sekali bahwa kebijakan semacam ini tidak mungkin bisa diterima oleh siapapun dan dimanapun.

Oleh karena asas penerimaan agama Islam bukanlah merupakan hal yang didalamnya terdapat sistem pemaksaan –laa ikroha fiddiin- sehingga keimanan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan keyakinan terhadap Tuhan, kenabian dan adanya hari kiamat tidak mungkin bisa dipaksakan pada individu lain, akan tetapi setelah Islam diterima sebagai agamanya maka ia harus mengamalkan segala ajarannya seperti kewajiban melaksanakan sholat, puasa, mengikuti dan melaksanakan segala perintah-perintah Nabi (saww) serta para imam suci (as) sebagaimana mencakup segala ajaran yang terdapat dalam agama tanpa terkecuali. Karena penerimaan atas sebuah agama ataupun sebuah bentuk perundang-undangan memberikan konsekwensi atas penerimaan segala komponen dan kandungan-kandungan yang terdapat dalam agama tersebut. tanpa adanya konsekwensi semacam itu maka tidak akan terwujud segala bentuk pemerintahan atau tatanan sosial apapun, sehingga akan terjadi dimana setiap individu akan melaksanakan perbuatan apapun sekehendak hatinya.

Dalam hal ini –keharusan melaksanakan segala ajaran agama- al-Qur’an dalam surat an-Nisaa’ ayat 150 dan 151 dengan jelas menyatakan:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain), serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) diantara yang demikian (iman atau kafir)”. Merekalah orang-orang yang kafir yang sebenar-benarnya, kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan”

yaitu pribadi yang ingin memecah belah agama dan berkata bahwa “sebagian saya terima sedang sebagian lagi saya tolak”, pribadi semacam ini pada hakikatnya telah menolak agama tersebut dan termasuk kategori orang kafir. Dikarenakan semua hukum bersumber dari Tuhan oleh karenanya tidak ada perbedaan diantara hukum-hukum yang ada, jadi mengingkari salah satu bagian dari ajaran-ajaran agama yang ada sama halnya mengingkari semua ajaran yang terkandung dalam agama tersebut yang berakibat kekafiran dan azab Ilahi.

Tentu, pemerintahan Islam tidak akan campur tangan dalam masalah yang bersifat individual ataupun yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, adapun dalam hal-hal yang berkaitan dengan masalah sosial dan menjaga nama baik agama serta sakralitas agama tersebut maka pemerintahan Islam memiliki wewenang dalam turut campur tangan dan dapat memaksa masyarakat untuk melaksanakan, maka dalam keadaan semacam inilah akan terwujud jelas kuasa (wilayah) Nabi, Imam atau seorang ahli fqih (faqih).

Tidak dapat dipungkiri bahwa sekarang ini sebagian –sebagaimana yang nampak pada orang-orang terdahulu- berusaha dalam mewujudkan penyelewengan dan menampakkan permusuhan atas agama dengan cara berargumen dengan ayat-ayat yang samar (mutasyaabih) atau memberikan permisalan-permisalan melalui ayat-ayat tersebut juga dengan mengada-ada dengan menunjukkan bahwa seakan-akan terdapat pertentangan dalam ayat-ayat yang ada. Sehingga dari situ mereka akhirnya terjerumus kedalam jurang kesesatan.

B- bentuk soalan eksternal agama.

Terkadang persoalan dilontarkan dengan bentuk lain dimana soalan itu bertumpu pada diferensi penopang (fashl muqowwim) yang sebagai pembeda antara menusia dengan selainnya. Pembeda tersebut adalah kebebasan berkehendak (ikhtiyar /freewill) manusia. Perbedaan antara manusia dengan segala macam hewan adalah pada kebebasan berkehendak, dimana hewan memiliki keterpaksaan dalam bertindak dimana mereka berbuat sesuai dengan insting yang mereka miliki. Adapun manusia adalah satu eksistensi yang memiliki kebebasan berkehendak dan bertindak sesuai dengan hasil pilihannya. Jika agama yang memiliki susunan hukum dan undang-undang yang darinya masyarakat diharuskan untuk mengamalkan beberapa ketentuan yang ada atau menjauhi beberapa hal yang dilarang oleh agama tersebut, ataupun masyarakat diharuskan untuk mentaati Nabi (saww), imam (as) dan wakil imam (hf) itu semua bertentangan dengan esensi kemanusiaan. Dengan kata lain bahwa hukum dan perundang-undangan agama berkonsekwensi kepada terhapusnya nilai kemanusiaan dan kebebasan manusia.

Sebelum menjawab soalan diatas pertama harus kita jelaskan terlebih dahulu tentang satu problem filsafat yang berkaitan dengan soalan diatas- dimana jawaban dari problem tersebutlan yang nantinya akan menjadi pembuka dari jawaban asli dari soalan diatas. Kita menghadapi dua posisi yang berbeda pertama posisi penciptaan (takwin) yang berkaitan dengan eksistensi dan realita, dan kedua posisi keharusan dan normatif. Problem utama terletak pada pendeteksian hal-hal yang berkaitan dengan eksistensial adalah akal teoritis (akal nazari) sedang yang berfungsi untuk mendeteksi hal-hal yang berkaitan dengan keharusan adalah akal praktis (akal amali) dimana kedua jenis akal tadi masing-masing memiliki independensi. Dari hal-hal yang berhubungan dengan eksistensial dan pengetahuan tidak dapat dilalui tanpa terlebih dahulu melalui hal-hal yang berkaitan dengan keharusan dan normatif karena jalan menuju kesitu secara logika memang benar-benar tertutup. Bisa kita contohkan bahwa sewaktu kita katakan bahwa; “karena manusia secara eksistensi alami (takwini) adalah hasil ciptaan Tuhan, maka ia harus mengikuti segala hukum-hukum Tuhan”.

Problem filsafat ini pertama kali dilontarkan oleh David Hume –filsuf Inggris terkenal- pada abad 18. Setelah kemenangan revolusi Islam dinegeri kita (Iran.pen) terdapat pula beberapa individu yang berusaha menyebarkan pemikiran semacam ini.

Jawaban singkat terhadap problem ini ialah pertama bahwa problem filsafat ini bertentangan dengan asas-asas pemikiran mereka sendiri, karena anda memulai dari realita dan eksistensi untuk sampai ke keharusan dan normatif. Anda mengatakan bahwa; “manusia adalah eksistensi yang mempunyai pilihan (mukhtar) maka ia harus dibiarkan bebas dan tidak boleh diharuskan untuk ta’at”.

Kedua: sebagaimana anda berpendapat bahwa dimanapun, kapanpun dan pemerintahan apapun tidak berhak memaksa seseorang , dan setiap orang harus dapat melakukan apa yang ia inginkan karena undang-undang dan keharusan akan merampas kebebasan manusia dan merampas kebebasan manusia adalah sama artinya dengan merampas esensi kemanusiaan. Dan kesimpulan dari pendapat ini tidak lain hanyalah keberingasan kaum Barbar dan hukum hutan rimba dimana tidak seorangpun yang dapat menerima hal semacam ini.

Kalau setiap individu anggota masyarakat melakukan setiap apa yang ia inginkan , memukul setiap orang yang ia inginkan dan mengatakan- meskipun menghina orang lain- apa yang ia inginkan dan lain-lain, apakah akan ada lagi kehidupan yang bersandarkan pada akal dan rasional? Padahal diferensi penopang (fashl muqawwim) dan pembeda antara manusia dengan selainnya adalah akal dan rasionya, dan konsekwensi dari berakal adalah mempunyai tanggung-jawab dan menerima undang-undang. Kalau tidak ada undang-undang maka tidak akan ada madani dan kalau tidak ada tanggung-jawab maka tidak akan ada esensi manusia.

Adapun penyelesaian problem diatas dalam masalah ini ialah harus diperdetail dan dibedakan bahwa kalau seluruh komponen eksistensi dan realita sampai kepada derajat kausa sempurna (illat-taamah) maka disaat itu akan menjadi keharusan terwujud eksitensi suatu akibat (efek) dari kausa tersebut. Keniscayaan analogis diatas harus diterangkan dengan menggunakan kata “HARUS”. Maka secara berurutan bisa dijelaskan bahwa adanya perpindahan dari hal-hal eksistensial dan realita menuju kepada hal-hal keharusan dan normatif. Tanpa melalui fase semacam ini maka tidak akan bisa terwujud proses perpindahan. Dalam pembahasan kitapun, kebebasan alamiah (ikhtiar takwini) hanyalah bagian dari sebab (juz’ul-illah) untuk terwujudnya suatu ketaatan dan taklif, bukan merupakan sebab yang sempurna.

Oleh karenanya jawaban utama atas problem diatas adalah: arti kebebasan manusia yang merupakan diferensi pembeda (fashl-mumayyiz), adalah kepemilikan manusia atas kemampuan alami dalam kebebasan berkehendak dan memilih. Adapun jika kita tilik dari sudut pandang yuridis (tasyri’i) maka manusia harus memiliki potensi dalam menerima berbagai undang-undang dan tanggungjawab, dimana semua batasan tersebut berfungsi sebagai pembatas atas segenap prilaku dan ucapannya. Jika hal itu tidak terwujud maka ia bakal keluar dari esensi kemanusiannya. Jelas, bahwa pembahasn tentang undang-ungang dan tata cara yang berkaitan dengannya merupakan pembahasan lain yang harus dibahas tersendiri.

Pelontaran problem dengan bentuk lain:
Bentuk lain dari problem yang ada adalah, dikatakan bahwa zaman perbudakan telah berlalu. Hubungan antara penghambaan dan penuhanan yang terwujud dalam hubungan antara Tuhan dengan manusia merupakan hal yang berkaitan dengan zaman Rasul (saww). Pada zaman modernity seperti sekarang ini, pembahasan tentang hamba, ketaatan dan taklif sudah tidak berlaku lagi. Akan tetapi yang perlu dibahas sekarang adalah pembahasan tentang “tuan” yang dalam bahasa al-Qur’an disebut dengan Khalifatullah. Kita sebagai pengganti Tuhan dimuka bumi maka kita harus mengatur bumi selayaknya Tuhan memiliki kemampuan tersebut. Pembicaraan tentang tanggungjawab telah berakhir zamannya, adapun ayat-ayat yang membahas tentang penghambaan dan penuhanan atau yang berbicara tentang ketaatan, semua itu hanya berkaitan dengan zaman diturunkannya al-Qur’an, bukan untuk zaman modernity seperti sekarang ini.

Jawaban ringkas dari penjelasan tadi dimana mereka ingin menampakkan adanya pertentangan antara agama dan kebebasan, adalah:
Pertama: Topik tentang khalifatullah yang tercantum dalam beberapa ayat al-Qur’an hanya berkaitan dengan nabi Adam (as) dan tidak mencakup segenap manusia. Menurut pandangan Islam, tidak semua yang memiliki anatomi tubuh manusia dapat dianggap sebagai khalifatullah. Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menjelaskan bahwa beberapa anak cucu Adam dimasukkan kategori setan berbentuk manusia, sebagaimana bunyi ayat berikut:
“ dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiapa nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin” (Qs al-An’am: 112)

dalam ayat lain disebutkan bahwa sebagian manusia juga dianggap sebagai makhluk yang lebih hina dari binatang ternak[1], dan sebagian ayat lagi menjelaskan bahwa sebagaian mereka masuk kategori paling buruknya binatang melata[2]. Tentu, pribadi-pribadi semacam itu tidak mungkin bisa dikategorikan khalifah Allah dimuka bumi.

Khalifah Allah dimuka bumi adalah pribadi yang memiliki pengetahuan atas semua asma’ al-husna Ilahi dan memiliki kecakapan dalam menentukan maslahat pelaksanaan keadilan Ilahi dimuka bumi. Khalifah Allah adalah pribadi yang menjadi obyek pengejawantahan sifat-sifat Ilahi dalam kehidupan sehari-harinya baik yang berkaitan dengan individu maupun sosial, bukan setiap pribadi yang berjalan diatas dua kaki.

Kedua: Pada pembahasan lalu, dimana perlu pembahasan lebih lanjut berkaitan dengan ayat-ayat al-Qur’an, perlu diperjelas bahwa: ungkapan yang mengatakan “keutamaan manusia terletak pada kebebasan yang ia miliki. Zaman sekarang adalah zaman kebebasan dari segala pembatasan, sedang tanggungjawab tidak lebih hanya sekedar syiar saja”, dimana syiar tersebut pertama kali terlontar didunia barat. Kemudian ungkapan tersebut ditiru oleh beberapa individu dibeberapa negara seperti Iran dimana mereka tanpa memperhatikan konsekwensi dari ungkapan tadi.

Permasalahan ini, walaupun memerlukan pembahasan yang lebih terperinci, akan tetapi dapat secara ringkas kita katakan: apakah yang dimaksud dengan ungkapan “manusia harus bebas dari segala tanggungjawab, taklif dan pembatas-pembatas lainnya” adakah bahwa tidak boleh adanya satu bentuk undang-undang sekalipun? Jika itu yang mereka maksud maka ketahuilah tiada seorangpun yang memiliki akal sehat menerima ungkapan semacam itu. Setiap masyarakat yang menerima hal tersebut mustahil kehidupannya akan belangsung terus. Semua itu memiliki konsekwensi bahwa setiap orang memiliki hak untuk membunuh, mencela dan merampas hak orang lain yang berarti keamanan, harta dan harga diri orang lain akan hilang…dst. konsekwensi-konsekwensi negatif semacam itu pertama kali akan mengenai terlebih dahulu pada sipemilik pandangan tersebut sehingga merekalah yang pertama kali akan mengalami kebinasaan.

Maka dengan terpaksa ungkapan tadi harus diartikan dengan makna yang lain. Kebebasan memiliki batasan dan bersyarat. Jika hal itu diterima maka akan muncul pertanyaan; siapakah yang memiliki otoritas dalam menentukan batas kebebasan? Jika setiap pribadi memiliki otoritas dalam menentukan batasan kebebasan maka kendala yang telah kita sebutkan sebelumnyapun akan muncul kembali. Oleh karenanya harus ditentukan terlebih dahulu pemilik otoritas penentu undang-undang dan pemilik maslahat dalam menentukan batasan undang-undang.

Siapakah pemilik otoritas tersebut? Akan kita lihat perbedaan yang mencolok dari jawaban seorang muslim yang agamis dan jawaban seorang liberalis yang kebarat-baratan.

Jawaban seorang muslim yang mengenal dengan baik tentang keberadaan Tuhan Yang menguasai dan Pencipta alam semesta dimana Yang lebih mengetahui segala maslahat dan mafsadah berkaitan dengan makhluk-Nya. Tiada yang Ia inginkan selain kesempurnaan dan kebaikan bagi makhluk-Nya. Tiada yang lebih berhak menentukan batas-batas kebebasan selain-Nya. Penjelasan semacam ini tidak akan bertentangan dengan segala teori yang dimiliki oleh segenap kaum muslimin.

Adapun seorang liberalis pengingkar monoteis beranggapan bahwa penentuan batas-batas kebebasan ada ditangan masyarakat. Tentu jawaban semacam itu akan memiliki banyak sekali problem yang bisa dimunculkan, salah satunya adalah; mustahil terwujudnya kesepakatan dalam sebuah suara oleh seluruh lapisan masyarakat. Kalaupun pendapat mayoritas yang akan dijadikan tolok ukur maka bagaimana pihak minoritas –yang mungkin bisa berjumlah 49%- dapat mendapatkan hak-hak kemanusiaan mereka?

Sebagaimana dalam sejarah umat manusia dapat kita lihat bahwa manusia tidak memiliki kemampuan dalam menentukan semua maslahat dan mafsadah yang berkaitan diri mereka secara sempurna baik yang berhubungan dengan meterial dan spiritual. Oleh sebab itu mereka selalu mengadakan revisi atas segala ketentuan yang telah mereka tetapkan.

Referensi:
[1] Lihat Qs al-A’raaf: 179.
[2] Lihat Qs al-Anfaal: 22.

_____________________________________


Korelasi antara Agama dan Kebebasan· 

Oleh: Ayatullah Taqi Mishbah Yazdi

Tanya: Bagaimanakah korelasi agama dan kebebasan (dapat digambarkan)? Apakah agama harus lebih diutamakan atas kebebasan? Atau sebaliknya, kebebasan adalah pokok dan agama adalah cabangnya?

Jawab: Sebagian orang menyangka bahwa kebebasan adalah pokok dan harus lebih diutamakan atas segala sesuatu, termasuk agama. Karena (menurut hematnya), jika kita menganggap agama sebagai pokok (segala sesuatu) dan kebebasan diletakkan setelah agama, dengan memeluk agama kita tidak akan pernah merasa bebas. Dengan memekuk agama –-sebagaimana perilaku ikhtiari manusia lainnya-– akan memiliki arti dan mendatangkan pahala jika hal itu dilakukan dalam suasana bebas memilih dan sesuai dengan kemauannya.

Dengan demikian, jika posisi kebebasan diletakkan setelah agama, ini berarti ketika memeluk agama, kita tidak memilih hal tersebut dengan bebas. Dan akibatnya, perilaku kita dalam memeluk agama tersebut tidak didasari oleh ikhtiari. Padahal memilih untuk memeluk agama harus berlangsung bebas dan iman sebagai sebuah perilaku yang bersifat ikhtiari dan memiliki akar didalam kalbu manusia, tidak layak dipaksakan atas seseorang. Atas dasar ini, Allah SWT berfirman: ”Tidak ada paksaan dalam memeluk agama. Dan (jalan) petunjuk dan kesesatan sudah jelas”.

Oleh karana itu, kebebasan adalah pokok dan (harus) lebih diutamakan atas agama. Dan pada hakikatnya, agama akan berarti jika dinaungi oleh kebebasan.

Dengan demikian, karena agama dilahirkan dari kebebasan, agama itu tidak berhak untuk membatasi kebebasan. Hal itu dikarenakan oleh (sebuah realita bahwa) sesuatu yang bersifat cabang tidak mungkin (dapat) membatasi pokok dan asal-muasalnya. Karena dengan itu, ia akan memusnahkan kredibilitas dirinya.

Atas dasar ini, orang-orang yang hidup di dalam lingkungan beragama, mereka memiliki kebebasan yang tak terbatas, dan hukum-hukum agama tidak berhak untuk membatasainya.

Sebagian argumentasi di atas benar dan sebagian lainnya hanyalah fallasi dan paralogisme belaka yang dengan sedikit perenungan, wajah aslinya akan tampak.

Bagian pertama argumentasi di atas yang berasumsi bahwa memeluk agama harus didasari oleh kebebasan (dari pemaksaan), dan hal ini didukung oleh ayat al-Qur’an yang berfirman, “Tiada paksaan dalam agama” adalah sebuah persepsi yang benar. Adapun bagian keduanya yang berasumsi bahwa setelah memeluk agama pun kebebasan yang harus dihormati dan hukum-hukum agama tidak berhak utnuk mengikatnya hanyalah sebauh fallasi dan paralogisme (mughâlatah) belaka.

Demi memperjelas pembahasan, harus diperhatikan bahwa dua fase pembahasan mengenai kebebasan telah dicampur-adukkan menjadi satu dalam argumentasi di atas : pertama, fase kebebasan sebelum memeluk agama, dan kedua, fase setelah memeluk agama. Kebebasan yang merupakan syarat utama sebuah hak memilih berada di urutan sebelum memilih sebuah agama, dan dengan tiadanya kebebasan ini, tidak akan terjadi sebuah pemilihan yang bebas. Akan tetapi, kebebasan setelah memeluk agama, harus direalisasikan dalan ruang lingkup undang-undang agama tersebut.

Dengan kata lain, setelah seseorang memeluk agama dengan bebas (baca : atas dasar pilihannya sendiri), pada hakikatnya ia telah menerima dan mengamalkan segala hal yang berhubungan dengan agama tersebut, baik yang berkaitan dengan Usûluddîn mapun Furû’uddîn. Dengan ini, sebenarnya ia telah menghambakan dirinya – dengan kehendaknya sendiri – di hadapan perintah dan larangan Allah SWT.

Hal ini sebenarnya sering terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari. Misal, orang-orang bebas untuk mendaftarkan diri menjadi tentara atau polisi. Akan tetapi, begitu mereka diterima menjadi tentara dan polisi serta memahami undang-undang yang berlaku di dalam dua angkatan tersebut, mereka tidak berhak untuk melanggar undang-undang tersebut dan mengambil keputusan sesuai dengan keinginan mereka sendiri.

Kadang-kadang supaya paralogisme ini dapat lebih diterima oleh kalayak ramai, mereka memolesnya dengan warna agama dan menjadikan beberapa ayat al-Qur’an sebagai penguat ideologi mereka. Seperti ayat-ayat berikut ini:

“Engkau (Muhammad) tidak berhak untuk berkuasa atas mereka”.

“Kami tidak menjadikanmu sebagai penjaga (amalan-amalan) mereka dan engkau bukanlah wakil mereka”.

“Rasulullah SAWW tidak (memiliki tugas) selain menyampaikan (misi Allah)”

“Kami telah menunjukkan kepadanya jalan kebenaran. Sekarang terserah dia apakah ia bersyukur atau mengingkari”.

Barangsiapa ingin (beriman), maka berimanlah, dan barangsiapa ingin (kafir), kafirlah”.

Mereka dengan bersandarkan kepada ayat-ayat tersebut meneriakkan slogan-slogan kebebasan seakan-akan mereka lebih prihatin terhadap kebebasan umat manusia daripada Allah. Akan tetapi, merela lupa bahwa di samping ayat-ayat tersebut di atas, masih terdapat ayat-ayat lain yang berfirman, “Jika Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan sebuah perkara, maka tak seorang pun dari Mukmin laki-laki dan wanita yang memiliki pilihan dalam urusan mereka”. Atau ayat yang berbunyi, “Nabi SAWW lebih utama terhadap mukminin daripada diri mereka sendiri”.

Dalam menafsirkan ayat tersebut di atas, mayoritas mufassirîn memiliki persepsi bahwa pendapat Rasulullah SAWW lebih utama daripada pendapat orang lain. Jika beliau telah mengambil sebuah keputusan, maka mereka tidak berhak untuk menentangnya.

Jika kita memandang sekilas, sepertinya terdapat kontradiksi antara kedua kelompok ayat tersebut di atas. Akan tetapi, oran gyang mengenal (metode) al-Qur’an dan meneliti konteks (qarînah sebelum dan sesudah ayat-ayat kelopmpok pertama, ia akan memahami bahwa ayat-ayat tersebut tidak memiliki hubungan dengan masalah kebebasan sehingga harus kontradiktif dengan ayat-ayat kelompok kedua. Ayat-ayat kelompok pertama itu hanya bertujuan untuk membesarkan hati dan menghibur Rasulullah SAWW. Karena sebagai manifestasi rahmat Ilahi, beliau sangat sedih dan prihatin ketika melihat umat manusia tidak menerima Islam seakan-akan – karena kesedihan dan keprihatinannya ini – beliau ingin membinasakan diri sendiri. Dengan tujuan untuk menghibur beliau Allah berfirman, “Seakan-akan engkau (karena mereka enggan beriman) ingin membinasakan dirimu sendiri”. Dengan ini, Allah menurunkan ayat-ayat kelompok pertama demi menenangkan hati beliau.

Atas dasar ini, persepsi yang menyatakan bahwa jika agama kontradiktif dengan kebebasan, maka agama yang harus dikorbankan, tidak memiliki sandaran al-Qur’an sama sekali. Dengan demikian, karena ayat-ayat kelompok pertama tidak dapat dijadikan sandaran bagi statemen mereka, maka penafsiran mereka (terhadap ayat-ayat tersebut) adalah salah satu contoh praktik tafsîr bir ra`yi.
__________________________________


Kebenaran Semua Agama dan Madzhab· 

Oleh: Ayatullah Taqi Mishbah Yazdi

Tanya: Apakah mungkin kita meyakini kebenaran semua agama dan mazhab?

Jawab: Sebagaimana yang telah disinggung dalam pembahasan yang lalu, pluralisme memiliki sisi praktis dimana Islampun selalu menyerukan hidup berdampingan secara rukun dan damai pada setiap pemeluk agama dan mazhab yang ada. Kalaupun kita tidak bisa mengatakan bahwa Islam adalah agama yang memprakarsai pemikiran tersebut, paling tidak Islam adalah agama yang sangat menekankan akan penjagaan hak-hak pemeluk berbagai agama ataupun mazhab minoritas. Oleh karena itu, kita cukup bersandar pada ucapan imam Ali (as) ketika beliau mendengar bahwa pengikut Muawiyah mengambil secara paksa gelang kaki seorang anak perempuan Yahudi dengan ucapan: “jika seorang muslim mati dalam keadaan semacam ini, maka ia pasti mendapat balasannya”.

Adapun pembicaraan berkenaan dengan fenomena kemajmukan yang terdapat dalam agama dan mazhab, maka akan timbul pertanyaan seperti; Apakah bisa semua agama dan mazhab tadi dinilai benar? Untuk menjawab pertanyaan itu kita harus terlebih dahulu menilik kandungan ajaran yang terdapat dalam agama Islam dan Kristen, sehingga kita bisa menilai kebenaran pada keduanya ataukah menerima kebenaran salah satu dari keduanya saja dan mengingkari yang lain.

Masalah utama yang ada pada agama Islam adalah masalah tauhid yang membicarakan akan ke-Esa-an Tuhan, penafian dzat-Nya dari ketersusunan dan bilangan, tidak beranak dan dianakkan. Adapun masalah prinsip dalam agama Kristen adalah masalah trinitas.

Pada zaman dahulu, beberapa sekte minoritas kristen baik dari Katolik, Protestan maupun Ortodox meyakini akan trinitas –bapak, anak dan ruh kudus- dimana mereka berpandangan dengan meyakini hal tersebutlah yang akan menyelamatkan manusia dari siksa. Lantas banyak sekali bermunculan karya-karya dalam rangka menafsirkan tiga prinsip tersebut sehingga tinggal hanya beberapa sekte saja yang menganggap trinitas sebagai pemikiran yang telah menyimpang dari ajaran Kristen, sementara sekte-sekte lain pada akhirnya menerima ketuhanan Isa Al-Masih atau mengakui beliau sebagai anak Tuhan dan menganggap hal itu sebagai salah satu ajaran kristen.

Al-Qur’an dalam menghadapi ajaran dan keyakinan semacam ini menyatakan:
”karena mereka mendakwakan Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak * dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak” (QS Maryam;90-91)

sedang diayat lain disebutkan:
“wahai ahli kitab janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu dan janganlah mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar, sesungguhnya Al-Masih Isa putra Maryam itu adalah utusan Allah……maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan janganlah kamu mengatakan “Tuhan itu tiga” berhentilah (dari ucapan itu), (itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak….” (QS An-Nisaa’;171).

Atau dengan firman yang lain:
“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga”,padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa….” (QS Al-Maa’idah;73)

Adakah akal manusia –apalagi akal manusia muslim- menerima bahwa antara tauhid dan trinitas keduanya dalam kebenaran? Satu berpendapat bahwa selama anda belum menjadi monoteis dan meyakini ke-Esa-an Tuhan maka anda belum dikategorikan seorang muslim. Hal itu dikarenakan syarat utama orang menjadi muslim dan masuk wilayah kebenaran adalah bertauhid, sedang yang lain beranggapan bahwa selama anda belum menerima trinitas anda belum menjadi seorang pengikut agama Nasrani dan tidak akan mendapat keselamatan dan kebahagiaan. Cobalah anda perhatikan betapa jarak yang membedakan kedua pendapat diatas, apalagi kalau kita bandingkan dengan agama Budha yang mengajarkan bahwa Tuhan tidak pernah ada bahkan tidak akan pernah ada. Dari situ maka menjadi suatu hal yang mustahil dalam penggabungan antar ajaran-ajaran tadi. Jelas antara “Tuhan ada” dan “Tuhan tiada” merupakan perkara paradox.

Sebagaimana “Tuhan ada tiga” dan “Tuhan tiada” begitu pula hukumnya. Kalaulah ada yang berusaha menyatukan hal itu, maka perbuatan mereka lebih pantas dibilang suatu bentuk bualan dan gurauan belaka dari pada keseriusan.

Begitu pula jika kita tengok hukum syariat Islam serta kita bandingkan dengan yang ada pada agama Kristen niscaya kita lebih akan mengakui bahwa tidak akan mungkin untuk membenarkan keduanya. Islam mengajarkan bahwa memakan daging Babi haram hukumnya, sementara ajaran kristen membolehkannya. Dalam ajaran Islam –sesuai dengan ucapan imam Ali (as)- diajarkan bahwa “jika setetes arak jatuh kesumur kemudian dari air sumur tersebut tumbuh rerumputan yang kemudian dimakan oleh seekor kambing niscaya aku tidak akan memakan daging kambing tersebut”. Adapun dalam ajaran Kristen jika seorang pendeta meletakkan roti pada arak kemudian memasukkannya kemulut pengikutnya, maka roti dan arak yang telah mereka masukkan kemulut tadi diyakini akan berubah menjadi darah Isa Al-Masih (lihat injil matius;26).

Dari masalah tadi dan dengan melihat masalah-masalah lain yang sejenis, maka apakah mungkin seorang yang berakal dapat menghukumi bahwa Islam adalah jalan lurus yang menghantarkan pada kebenaran, kesempurnaan dan ketenangan abadi, begitu pula dengan Kristen, Budha, Hindu, Khonghucu….dst.

___________________________________


Hubungan antara Undang-undang dan Kebebasan·

Oleh: Ayatullah Taqi Mishbah Yazdi

Tanya: Mungkinkah dikatakan bahwa “jika undang-undang berakibat hilangnya segala kebebasan individual maka hal itu ilegal sifatnya” dengan kata lain “kebebasan individual diluar jangkauan undang-undang”.

Jawab: Jawaban dari soalan ini berbeda-beda disesuaikan dengan landasan pijakannya. Sesuai dengan pandangan (stegmen) liberalisme, dikarenakan tujuan mereka tidak lain ialah hanya untuk mendapat kenikmatan duniawi belaka maka mereka beranggapan bahwa fungsi undang-undang tidak lain ialah untuk peningkatan kenikmatan duniawi mereka saja, sehingga mereka berpendapat selama tidak terjadi benturan dengan kebebasan dan kesenangan orang lain maka undang-undang tidak akan turut campur dalam masalah yang ada. Atas dasar inilah maka undang-undang hanya memiliki peran yang sangat terbatas sekali sehingga pemerintah seminimal mungkin untuk tidak campur tangan dalam urusan hidup masyarakat. Dan atas dasar ini pula maka kalimat diatas tadi dapat diketahui maknanya bahwa menjaga segala kebebasan harus lebih didahulukan ketimbang menjaga undang-undang karena kebebasan diluar jangkauan undang-undang.

Adapun menurut pandangan islam, undang-undang berfungsi sebagai garis pembatas kehidupan manusia secara benar sehingga masyarakat mampu menuju segala maslahat material dan spiritual, oleh karena itu tugas pemimpin sebuah pemerintahan Islam ialah ia harus menghalau semua rintangan yang menghalangi dalam tercapainya tujuan tersebut.

Menilik dari penjelasan yang telah lalu dapat diketahui bahwa keberadaan undang-undang berfungsi sebagai “penjelas tentang penentuan hak seseorang, sekaligus sebagai penentuan kewajiban atas orang lain” dimana yang berati setiap individu tidak memiliki kebebasan dalam melaksanakan suatu pekerjaan yang ia inginkan. Jika tidak, maka undang-undang ataupun penegak hukum tidak akan memiliki arti sama sekali. Jika dalam kehidupan sosial dilandasi atas kebebasan dalam melaksanakan perbuatan yang diinginkan, maka hal itu berarti tidak perlu lagi adanya hukum.

Ungkapan bahwa “setiap individu berhak untuk memilih tempat tinggalnya secara bebas”, mempunyai arti bahwa dari satu sisi telah ditetapkannya hak atas setiap individu, dan dari sisi lain telah ditetapkan pula kewajiban (taklif) atas mereka. Atau dengan kata lain, sewaktu ditetapkannya hak seseorang dalam menentukan tempat tinggal secara bebas maka orang lain memiliki kewajiban untuk menghormati dan menjaga hak tersebut. Tidak ada satupun undang-undang didunia ini kecuali terdapat didalamnya ”keharusan dan larangan”. Oleh karena itu, fungsi utama undang-undang tidak lain ialah untuk membatasi setiap kebebasan. Jadi, sewaktu dikatakan ”lakukanlah hal tersebut” berarti jangan lakukan hal selainnya.

Jika didapat satu undang-undang berbunyi “segala kebebasan tidak boleh dibatasi” maka kalimat semacam ini terdapat pertentangan (paradox), karena undang-undang ialah suatu bentuk pembatas kebebasan. Sementara undang-undang semacam tadi menghilangkan batasan kebebasan, maka undang-undang tersebut bertentangan dengan fungsinya sendiri. Sebenarnya, dalam satu bentuk bisa saja hal tersebut dibenarkan, akan tetapi dengan harus melalui beberapa tahapan sebagai berikut;

Pertama; Beberapa bentuk kebebasan yang bersifat khusus harus ditentukan terlebih dahulu. Lantas yang kedua; baru dikatakan bahwa kebebasan tersebut harus dijaga dan dihormati.

Dan pada bentuk yang terakhir tadi bisa dikatakan bahwa satu undang-undang diatas segala undang-undang yang lain. Oleh karena itu, ungkapan yang berbunyi “tidak ada satu undang-undangpun yang berhak membatasi segala kebebasan”. Jika yang dimaksud ialah semua bentuk kebebasan secara mutlak dan tanpa perkecualian, maka hal tersebut menyebabkan timbulnya pertentangan (paradox). Akan tetapi jika yang dimaksud ialah sebagian kebebasan, lantas akan muncul pertanyaan; Manakah kebebasan yang dimaksud?

Jika dijawab bahwa kebebasan tersebut harus bersifat rasional dan legal, maka akan muncul pertanyaan baru; dalam bentuk undang-undang macam apa dan siapa yang berhak menentukan segala kebebasan yang telah ditentukan islam? Jika jawabannya positif maka memang hal tersebutlah yang telah dimunculkan dalam perundang-undangan islam. Secara prinsip bisa dikatakan bahwa perudang-undangan yang bertumpu pada norma agama musti berpandangan seperti itu.

Akan tetapi, jika dijawab bahwa kebebasan yang dimaksud ialah sebagaimana yang terkenal didunia sekarang ini ataupun yang dikenal melalui sarana publik internasional sebagai hak-hak asasi manusia (HAM) ataupun juga kebebasan yang dilontarkan oleh pemikiran humanis dan liberalis, maka akan kita katakan : Sebagian yang ada didunia sekarang ini atau propaganda hak-hak asasi manusia dalam konsep pemikiran humanisme dan liberalisme yang telah dianggap sebagai kebebasan yang legal dan rasional. Jika dilihat dari pondasi dan asas pemikirannya ataupun dari sisi bangunan serta hasil yang didapat dari hal tersebut, maka hal tersebut jelas bertentangan dengan islam dan pemikiran agama, dimana semua itu tidak akan bisa diterima oleh seorang muslimpun. Hanya sebagian kecil saja dari bentuk kebebasan tersebut yang tidak bertentangan dengan islam, dimana kalaupun islam menerimanya begitu pula sebaliknya, karena bisa kita lihat dari dua sumber pemikiran tersebut sulit atau bahkan tidak mungkin disatukan. Dari sinilah akhirnya para politikus Amerika dan Barat menganggap bahwa sistem islam merupakan bahaya dan musuh terbesar bagi mereka.

__________________________________


Batasan Kebebasan· 

Oleh: Ayatullah Taqi Mishbah Yazdi

Tanya: Apakah kebebasan yang ada bersifat absolut atau terbatas?, Apakah batasan kebebasan?, Siapakah yang memiliki otoritas menentukan batas kebebasan?.

Jawab: Sebagimana yang telah disinggung dalam pembahasan sebelumnya bahwa kata kebebasan ialah salah satu hal yang menarik dan sakral bagi umat manusia dimana kata tersebut memiliki pengertian yang samar dan tidak jelas, sebagian mengartikan kebebasan sebagai satu hal yang lebih dibanding dalam menjawab persoalan tersebut pertama harus kita tanyakan terlebih dahulu tentang maksud dari kebebasan disini ialah kebebasan mutlak ataukah terbatas? Jika yang dimaksud ialah kebebasan absolut maka tidak ada seorangpun yang akan menerimanya, akan tetapi jika yang dimaksud ialah kebebasan yang terbatas maka akan muncul pertanyaan sebagai berikut lantas siapa yang berhak menentukan batas kebebasan itu?

Jika jawabannya ialah masyarakat atau perundang-undangan manusia yang menentukan batasan tersebut, hal ini jelas tidak bisa diterima oleh kaum muslimin karena sebagaimana kaum muslimin menerima perundang-undangan islam masyarakat lainpun menerima bentuk perudang-undangan lain pula. jika jawabannya ialah bahwa Tuhan dan agama yang berhak menentukan batasan itu, dimana atas dasar tersebut kebebasan hanya bertumpu atas landasan undang-undang keagamaan dan ketuhanan yang benar. Bisa dijelaskan lebih terperinci lagi bahwa kebebasan absolut dan tanpa batas dimana setiap individu sewaktu menginginkan untuk melakukan sesuatu dia bebas melakukannya ataupun mengutarakan sesuatu ucapan dan berbagai bentuk prilaku manusia lain. Kebebasan semacam ini akan dinafikan oleh setiap bentuk agama ataupun undang-undang, karena setiap hukum selalu berfungsi sebagai pembatas atas setiap prilaku manusia. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa kebebasan mutlak berarti ketiadaan hukum dan perundang-undangan yang berakibat kekacauan dan kebrutalan. Oleh karena itu tidak satu orang yang berakal sehatpun menerima hal semacam itu. Maka jelas bahwa setiap kebebasan musti dibatasi oleh berbagai batasan.

Kita beranjak pada pembahasan tentang batasan kebebasan dimana yang menjadi masalah adalah, apa yang dimaksud dengan batasan-batasan itu? Lantas siapakah yang berhak menentukanya? Nanti akan disinggung bahwa yang diakui hanya kebebasan yang legal saja. Lantas apa yang dimaksud dari kebebasan legal tersebut? jika yang dimaksud adalah legal menurut syariat atau ajaran agama sebagaimana penggunaan kata masyru’ untuk kata legal, maka hal itulah yang menjadi topik pembahasan kita kali ini dimana segala bentuk kebebasan -baik individual maupun sosial –yang diakui dalam agama ialah yang telah ditentukan sesuai dengan ridho Tuhan. Dari sini maka tidak berfungsi lagi ucapan “kebebasan terletak diatas ajaran” ataupun “agama tidak berhak membatasi segala bentuk kebebasan manusia”. Tapi jika yang dimaksud dengan legal –sebagaimana yang umum dipakai dalam hukum perpolitikan- yaitu segala kebebasan yang telah ditentukan dalam undang-undang maka disini pembahasan akan terkonsentrasikan kepada, siapakah yang memiliki otoritas dalam menentukan undang-undang tersebut? Dari sini akan kita ketahui bahwa kebebasan bukan bermakna lepas dari undang-undang tetapi kebebasan dengan tetap menerima undang-undang. Kebebasan dengan pengertian pertama tadi sama sekali tidak bertentangan dengan agama, sedangkan dengan pengertian kedua kebebasan bukan berarti penafian akan undang-undang. Adapun menurut kita kaum mislimin dan orang-orang yang berjiwa agamis, undang-undang berfungsi sebagai pembatas kebebasan harus diletakan dan ditetapkan oleh Dzat pemilik semua eksistensi yang ada termasuk manusia, Ia adalah Tuhan alam semesta, karena yang memiliki prioritas utama dalam berlegislasi ialah Tuhan dimana setiap undang-undang apapun yang ditentukan manusia harus mengikuti dan mentaati-Nya. Dan kalaupun peletakan undang-undang diserahkan kepada manusia, maka undang-undang tersebut harus sesuai dengan apa yang ditentukan oleh Tuhan. Dengan kata lain, kita dapat menentukan undang-undang untuk diri kita sendiri dengan dibatasi oleh ketentuan-ketentuan-Nya. Dari sini jelaslah bahwa kebebasan dalam penentuan undang-undangpun berakhir pada kebebasan yang agamis dan legal, legal dalam arti syar’i. Kesimpulan dari pokok bahasan ini ialah bahwa setiap kebebasan yang ada –tidak lebih dan tidak kurang- harus selalu bersandarkan atas undang-undang Tuhan dan islami.

Seseorang yang berpikiran liberal dan kebarat-baratan selau beranggapan bahwa tolak ukur undang-undang dan pencetusnya ialah masyarakat dan pendapat mayoritas. Jadi, jika masyarakat sepakat memilih satu bentuk kebebasan maka hal tersebutlah yang disebut legal. Akan tapi jika tidak, maka hal tersebut masuk kategori ilegal. Jika disatu waktu mereka sepakat maka hal tersebut legal, dan jika dikemudian hari mereka sepakat untuk menolaknya maka hal tersebut menjadi ilegal. Misalnya hubungan sesama jenis, dahulu dikatakan ilegal karena masyarakat tidak menginginkannya akan tetapi karena sekarang mereka menghendakinya, maka menjadi legal.

Adapun dalam pemikiran islami dan agamis hanya Tuhanlah sebagai legislator perundang-undangan. Batas kebebasan didunia barat ialah adanya benturan dengan kebebasan dan kemaslahatan material orang lain. Adapun batas kebebasan dalam Islam terdapat pada kemaslahatan riil -mencakup materi dan maknawi- umat manusia.

Jika kita praktekkan alur pemikiran demokrasi dan barat pada negara republik islam Iran maka bisa kita katakan bahwa dikarenakan mayoritas penduduknya ialah muslim maka pemikiran mayoritas penduduknyapun sesuai dengan pemikiran islam, sementara itu batasan kebebasan dalam islam telah ditentukan. Seseorang yang berikrar bahwa kita telah menerima keberadaan Tuhan dan kita ialah muslim akan tetapi di sisi lain ia beranggapan bahwa kebebasan tidak boleh dibatasi karena kebebasan terletak diatas agama. Anggapan semacam itu kalau tidak dikarenakan kelalaian atas ucapannya yang kontradiksi, atau kemungkinan adalah ungkapan yang didasari atas asas kemunafikan. Masyarakat semacam inilah yang menjadi biang kerusakan yang ada sekarang ini.

Setiap kebebasan manusia tidak terlepas dari dua hal:
1-Kebebasan individual dan moral .
2-Kebebasan sosial dan yurisprudensi.

Dalam kedua bentuk kebebasan diatas hal yang membatasi kebebasan ialah maslahat material dan spiritual, baik hal itu bersifat individual maupun sosial yang telah dijelaskan dalam hukum agama. Logika agama menyatakan bahwa siapa yang menolak agama tadi maka ia tidak bisa menerimanya, tetapi jika ia telah menerima agama maka konsekwensinya adalah segala undang-undang dan batasan Ilahi harus ia terima pula. Oleh karena itu, keyakinan tentang islam tidak mungkin dapat bertemu dengan pengamalan yang sesuai dengan matrealisme dan liberalisme.

Jika semua umat manusia dimuka bumi ini mengingkari Tuhan beserta agama-Nya, hal itu tidak akan memberi dampak negatif sedikitpun pada Tuhan[1], akan tetapi dampak negatif tersebut akan kembali pada diri manusia itu sendiri, karena kita tidak akan mungkin bisa memberi karunia kepada Tuhan dan agama-Nya, tapi justru Tuhanlah yang telah memberi karunia kepada kita dengan memberikan petunjuk yang berupa agama islam.[2]

Karena kita telah menerima islam maka konsekwensinya ialah hanya kebebasan dalam ruang lingkup agama saja yang bisa kita terima. Adapun diluar hal tersebut, kita sama sekali tidak bisa menganggapnya sebagai kebebasan, bahkan kita anggap sebagai kehidupan hewani.

Diakhir pembahasan dapat kita tambahkan bahwa jawaban dari soalan-soalan semacam apa yang dimaksud dengan maslahat? sampai dimana cakupannya? Siapa yang berhak menentukan semua maslahat yang ada? Semua itu disesuaikan dengan berbagai kultur yang berbeda-beda, pola budaya islam tentu tidak sama dengan budaya atheis ataupun barat. Dalam perundang-undangan islam, disamping ketetapan tentang keteraturan, keamanan dan maslahat material individu ataupun sosial, telah ditekankan pula maslahat maknawi dan spritual setiap individu. Yang semua itu berfungsi sebagai pembatas kebebasan, dengan adanya batasan kedua tadi maka semakin sempit pula wilayah kebebasan dalam pandangan agama. Dari sini dapat diketahui bahwa realitas wilayah kebebasan dalam aturan islam lebih sempit jika dibanding dengan wilayah kebebasan yang dijanjikan oleh aturan-aturan non agamis.

Referensi:
[1]Qs Ibrahim:8.
[2] Qs al-Hujurat:17.
____________________________________


Dasar-dasar Liberalisme·

Oleh: Ayatullah Taqi Mishbah Yazdi

Tanya: Apakah liberalisme itu? Dan apakah gerangan asas yang menjadi penopang alam pemikiran liberalisme?

Jawab: Sebagaimana yang telah disebut dalam pembahasan terdahulu bahwa konsep pemahaman terbagi menjadi konsep abstrak dan konsep obyektif. Jika kita dihadapkan pada konsep abstrak maka kita akan mendapati banyak sekali kesulitan. Salah satu contoh konsep abstrak yang berhubungan dengan ilmu-ilmu sosial adalah liberalisme. Sebagaimana yang telah dibahas dalam pembahasan yang lalu bahwa kata “liberation” berarti mencari kebebasan. Dikarenakan adanya kesamaran maksud dari kata kebebasan, maka kata tadipun memiliki hukum yang samar pula, dimana kesakralan dan keinginan akan kebebasan juga tergantung dari kata-kata tersebut. Akan tetapi apakah makna kebebasan dan pencari kebebasan tersebut? Apakah yang dimaksud adalah kebebasan berpolitik? Atau kebebasan bersosial? Ataukah hal yang lebih umum dari itu semua?

Secara ringkas bisa disebutkan bahwa kata liberal dari sisi bahasa memiliki makna yang bermacam-macam. Terkadang diartikan sebagai “kebebasan individual” lawan dari kata perbudakan, terkadang diartikan sebagai “intelektual”, terkadang diartikan sebagai “orang yang keras kepala” terkadang pula diartikan sebagai “individu bebas” yang tidak terkekang dengan hukum-hukum yang ada. Adapun berkaitan dengan istilah tersebut yang sering dipakai dalam berbagai pemikiran baik yang berkaitan dengan politik, ekonomi, budaya dan agama, tumpuan utamanya pada kebebasan semaksimal mungkin dan konsentrasi penuh pada hak-hak alamiah manusia.

Sewaktu disebut kata liberalisme politik maksudnya adalah sistem politik yang yang berusaha memberi secara optimal hak-hak dan kebebasan individual dalam melaksanakan politik. Liberalisme ekonomi adalah sistem perekonomian yang memberikan kebebasan setiap individu untuk menjalankan trik-trik ekonominya dimana pemerintah berkewajiban seminim mungkin untuk campurtangan dalam urusan individu tersebut. begitu pula dengan liberalisme budaya, agama…dst.

Isme semacam ini untuk pertama kalinya tercatat sebagai partai politik pada tahun 1850 (Masehi) di Inggris. Pemikiran ini memiliki beberapa asas dan kekhususan yang bisa kita sebut secara ringkas disini:
1- Individualis; sebagai salah satu kekhususan liberalisme. Dalam pemikiran ini, individu serta hak-hak individual sangat dijunjung tinggi dan diprioritaskan. Jika suatu pemerintahan telah dibentuk maka pemerintahan itupun harus berkhidmat memenuhi kehendak setiap individu dari anggota masyarakat. Konsep-konsep yang berkaitan dengan sosial seperti: “manfaat umum” dianggap suatu yang samar dan tidak jelas. Setiap pribadi lebih layak menentukan kemaslahatan yang bersangkutan dengan dirinya sendiri dibanding pribadi lain. Jika setiap masing-masing pribadi mencari maslahat yang berkaitan dengan diri mereka sendiri, niscaya pada akhirnya masyarakat sosialpun akan sampai pada kebaikannya pula. (mereka berkata) Kita tidak pernah menganggap adanya kebaikan dan keutamaan yang mutlak, sehingga atas dasar kebaikan mutlak tadi kita akan dapat turutcampur dalam kehidupan pribadi orang lain. Agama, etika, para reformis dan para cendekiawan tidak berhak menentukan resep dan amaran untuk anggota masyarakat. “Yang terpenting adalah “aku” serta keinginan-ku, ketentuan-ku, dan segala sikon-ku yang dapat menghantarkan-ku kepada semua angan-angan-ku”.
2- Norma absolut bagi kebebasan; Yang dimaksud dengan norma yang absolut adalah norma yang terletak diatas semua norma-norma yang ada, dan karena norma-norma lain seperti: keadilan sosial dan ekonomi, menjaga tatanan keluarga dan moral tidak dapat mengganggu gugat norma yang absolut tersebut. Para liberalis dengan lantang meneriakkan free-sex, kehancuran dan percerai-beraian tatanan keluarga, dekadensi moral dan segala kerusakan yang sekarang ini banyak melanda komunitas manusia disegala penjuru dunia. Untuk menjaga norma luhur tersebut, manusia harus membayarnya dengan kebebasan. Menurut para liberalis, hanya kebebasan individu lain yang dapat membatasi kebebasan setiap individu, dengan kata lain, ia ibarat pisau yang mampu menyayat kebebasan. Jika angan-angan muncul dari diri anda, dan yang sesuai dengan kehendak anda, maka setiap perbuatan bisa anda laksanakan, baik lelaki, perempuan, suami, istri, orang asing, muhrim, non-muhrim, teman, musuh, Tuhan, agama, etika, keadilan, rasio dan kemanusiaan tiada lagi berharga dan bernilai penting. Yang terpenting buat mereka adalah keinginan hati saya menghendaki dan untuk mewujudkan hal tersebut saya bebas melakukan apapun.
3- Persesuaian dengan kapitalisme; Liberalisme sangat berkaitan erat dengan kapitalis dan ekonomi pasar. Banyak sekali para pemikir liberalis dan terkhusus dari pihak ekstrim kanan mereka memiliki ideologi kapitalisme.
4- Humanisme; Liberalisme, sebagaimana banyak aliran pemikiran lain diBarat –seperti: komunisme, sosialisme, dll- menjadikan manusia sebagai pusat perguliran alam. Menilik dari kecenderungan materialis dalam melihat alam semesta yang dimiliki oleh setiap aliran pemikiran tadi, yang mereka jadikan asas dan tolok ukur adalah manusia. Atas dasar itulah, yang terpenting dan menjadi prioritas dalam penentuan hukum dan sepak terjang politik, ekonomi dan budaya adalah kehendak dan pandangan manusia. Sebaliknya, agama-agama Ilahi yang monoteistis dimana yang menjadikan Tuhan sebagai tolok ukurnya, maka penentu hukumpun terletak pada kehendak Ilahi. Agama Ilahi selain memiliki pandangan bahwa manusia memiliki sudut pandang materi, iapun memiliki sudut pandang Ilahi, maknawi dan spiritual, dimana asas utama manusia terletak pada sisi spiritualnya.

Poin-poin lainnya seperti: sekularisme atau pemisahan hubungan antara agama dan aspek kehidupan duniawi yang bertumpu diatas toleransi (tasaahul wa tasaamuh) dan semacamnya, bisa dikategorikan sebagai hal-hal yang muncul dari konsep liberalisme.
___________________________________


Paradoksi antara Islam dan Liberalisme·

Oleh: Ayatullah Taqi Mishbah Yazdi

Tanya: Apakah masalah utama yang menjadi pertentangan antara Islam dan liberalisme?

Jawab: Ada beberapa masalah utama yang menjadi perbedaan antara Islam dan liberalisme. Sebagian dari perbedaan yang ada bukan hanya dikhususkan bagi liberalisme saja, akan tetapi mencakup segala konsep pemikiran yang asas utamanya adalah liberalisme. Semua hal tadi dalam kaitannya dengan agama tidak memiliki persesuaian sama sekali. Pada kesempatan ini akan kita singgung secara umum beberapa poin yang berkaitan dengan pembahasan tersebut:

Pertama: Salah satu dari pertentangan antara Islam dan liberalisme adalah berkaitan dengan permasalahan kebebasan. Sebagaimana yang telah kita singgung dalam pembahasan yang lalu, liberalisme menganggap kebebasan sebagai suatu norma yang mutlak. Berdasarkan atas konsep aliran pemikiran hak alami manusia, beberapa hak seperti hak untuk hidup, untuk bebas dan untuk memiliki dianggap sebagai sesuatu yang prinsip. Hal prinsip tersebutlah yang harus dihormati dan tidak layak untuk diterlantarkan oleh setiap individu dan pemerintah.

Dalam Islam, kebebasan tidak dianggap sebagai suatu norma yang mutlak. Dalam pandangan Islam hanya ada satu norma yang mutlak yaitu ketaatan atas segala ketentuan Allah (swt). Manusia harus mengikuti dalam setiap perkara yang telah Allah beri kebebasan didalamnya, juga dalam setiap batasan yang telah ditentukan oleh-Nya. Dalam pandangan Islam, kebebasan dibatasi dengan batasan-batasan Ilahi. Terkadang terdapat pelarangan dalam menampakkan keyakinan, pelecehan atas sakralitas agama, pribadi Nabi (saww) dan para imam maksum (as) yang semua berakibat penjatuhan hukuman yang berat atas pelakunya. Terkadang didapati pula pembatasan akan kebebasan menulis, berpendapat, menjual dan membeli sebagian jenis buku. Kebebasan seksual harus dikontrol dengan undang-undang yang ada, begitu pula hal-hal seperti; makanan, minuman, pakaian, alur keluar-balik, pertunjukan, hiburan…dst, harus terdapat pembatasan. Batasan perundang-undangan dalam pandangan liberalisme adalah menjaga maslahat material saja –yang berlandaskan pada humanisme dan matrialisme- adapun dalam Islam batasan kebebasan adalah untuk menjaga maslahat materi dan maknawi (spiritual).

Kedua: Perbedaan yang kedua adalah bahwa liberalisme -juga beberapa aliran pemikiran yang lain- menganggap bahwa manusia dibatasi oleh ego-alaminya. Oleh sebab itu, humanisme yang kemudian menjelma dalam aliran liberalisme hanya berkonsentrasi pada sisi materi dan hak-hak alami manusia (hidup-kebebasan-kepemilikan) saja. Mereka beranggapan, manusia tiada lain adalah makhluk yang memiliki insting, kecenderungan material dan jiwa hewani. Oleh karena itu, manusia sendirilah yang akan menciptakan norma-norma yang ada, manusia juga yang mampu menentukan undang-undang yang akan mereka jalankan, juga yang menentukan jalan hidup dan takdir mereka. Oleh karenanya etika, agama dan perkara-perkara yang lain harus menyesuaikan dengan kehendak manusia, bukan sebaliknya. Tentu, dalam aliran-aliran pemikiran semacam ini mereka tidak dengan terang-terangan mengemukakan “jangan mencari agama dan akherat”, tapi mengatakan “kita tidak ada urusan dengan semua itu”, dan nyatanya dalam aspek apapun pada kehidupan ini agama dan aspek spiritual sama sekali tidak mereka perhatikan. Sehingga pada akhirnya, agama hanya sekedar menjadi bingkai penghias saja sementara sekularisme (=pemisahan antara agama dan aspek-aspek duniawi; politik, ekonomi dan sosial) terlahir dari pemikiran menyimpang semacam itu.

Dalam Islam, manusia memiliki dua sudut pandang yang berbeda; material dan spiritual dimana yang memiliki keotentikan adalah sisi spiritual manusia, sedangkan badan materi tidak lain hanya sekedar kendaraan manusia. Manusia tanpa muatan spiritual, etika dan agama yang mengajak ketaatan kepada Sang Pencipta, maka tidak bisa dikategorikan sebagai manusia akan tetapi ia lebih layak disebut sebagai hewan yang berkaki dua sebagaimana hewan-hewan yang lain atau bahkan lebih hina lagi. Kesimpulan dari pernyataan itu adalah bahwa tolok ukur segenap aspek kehidupan manusia –ekonomi, politik, budaya, seni…dst- adalah muatan spiritual dan jati diri manusia yang riil. Oleh karenanya, agama mewarnai segala aspek kehidupan duniawi dan sosial.

Ketiga: Kebebasan berpendapat dalam pemikiran liberalisme tidak memiliki batasan, karena tidak akan berkonsekwensi pada hilangnya kebebasan berpendapat individu yang lain. Mereka beranggapan “dikarenakan ungkapan dan pemikiran kita tidak akan berbenturan dengan hak-hak material pihak lain maka segala yang kita inginkan dapat kita sampaikan secara terbuka”.

Adapun sesuai dengan alam pemikiran ketuhanan dan agama, kebebasan berpendapat memiliki batasan. Sebagaimana yang telah disinggung, menulis atau mengungkapkan beberapa jenis obyek tulisan dilarang dalam ajaran Islam, begitu juga dengan menjual, membeli ataupun memperbanyak tulisan yang menyesatkan, haram hukumnya. Melecehkan yang berkaitan dengan hal-hal yang sakral dalam agama, melecehkan empat belas manusia suci (as) menurut Islam dosanya lebih besar dibanding dengan merampas harta, kehormatan dan keselamatan jiwa seseorang, oleh karenanya prilaku semacam itu harus ditindak secara tegas dan pelakunya dihukum secara keras. Salah satu obyek perbedaan antara kita dengan Barat sekarang ini adalah dalam masalah-masalah seperti pelecehan Salman Rusydi atas hal-hal yang sakral dalam agama. Pada hakekatnya perbedaan yang ada bersumber pada dua pemikiran dan pandangan tentang manusia dan undang-undang kebebasan. Tentu, jika kita perhatikan pada poin tersebut pemikiran liberal dan Barat sendiri mengatakan bahwa menghina seseorang merupakan satu kesalahan yang layak ditindak, apalagi menghina komunitas yang besar beserta pemikirannya.

Keempat: Dalam pandangan Islam otoritas penentu undang-undang adalah Tuhan, sementara dalam liberalisme penentu undang-undang tersebut ada pada masyarakat dan komunitas manusia. Islam sangat menjunjung tinggi keberadaan undang-undang dan penunjuk jalan (hidayah) dalam segala aspek kehidupan manusia. Berkaitan dengan masalah seperti kebersihan, merapikan rambut, muka, makan, tidur sampai masalah yang berkaitan dengan pemikiran sampai pada hal-hal yang terlintas dalam benakpun semua telah ada aturannya. Namun liberalisme berpandangan meminimilir perundang-undangan, dan mengatakan bahwa undang-undang hanya diletakkan dalam masalah-masalah yang sangat penting saja. Liberalisme beranggapan bahwa otoritas penentu undang-undang ada pada mayoritas masyarakat. Dengan cara bagaimana? Dengan melalui perantara tiga unsur kekuatan negara (legislatif, yudikatif dan eksekutif.pen). Apakah setiap undang-undang bisa dibuat? Tidak, karena setiap undang-undang harus selalu disesuaikan dengan UUD. Apakah UUD selalu dapat mencakup setiap undang-undang yang ada dan melalui berbagai cara apapun bisa menjadi sempurna? Tidak, namun harus menjalankan segala ketentuan HAM. Lantas dari mana kita mengetahui legalitas HAM? Sesuai kesepakatan yang ditanda-tangani oleh perwakilan setiap negara. Jika ada individu atau komunitas yang menentang undang-undang yang telah ditetapkan tersebut dan atau jika ada satu negara yang tidak turut dalam menanda-tangani pernyataan tersebut maka apa tugas dia? Hak apakah gerangan yang dimiliki oleh sebagian orang sehingga mereka yang telah menentukan undang-undang buat selain mereka? Jawaban akan terhenti disini, tiada jawaban lain yang akan dikemukakan kecuali mengikuti konsep mayoritas dan demokrasi.

Dalam pandangan Islam, asas legalitas suatu undang-undang kembali kepada pemilik segala eksistensi semesta. Dialah pemilik otoritas mutlak dalam menentukan undang-undang berkaitan dengan segala aspek yang ada. Dari sini tiada lagi yang perlu dipertanyakan.

Kelima: Negara idaman menurut liberalisme adalah negara yang hanya berlandaskan pada pembelaan secara utuh atas kehidupan sosial. Pemerintah harus menjadi penebar kesejahteraan masyarakat dan seminim mungkin turut campur dalam urusan masyarakat. Berdasarkan pemikiran individualisme segala undang-undang harus bersifat meminimalisir pengekangan, sedang kebebasan individual harus dimaksimalkan. Tugas sebuah pemerintahan adalah menjaga keteraturan dan keamanan, oleh karena itu setiap individu berhak mendapat segala jenis kesejahteraan dan kesenangan materi. Adapun dalam pemikiran Islam, pemerintah selain bertugas memeratakan sisi kesejahteraan masyarakat, pemerintah juga bertugas memeratakan keutamaan esensial masyarakat luas. Selain jiwa, kehormatan dan harta setiap individu harus dijaga, pemerintah juga harus menjunjung tinggi spiritual dan etika individu dan masyarakat luas. Jika terjadi pertentangan, maka hak-hak individual harus dikorbankan demi kepentingan umum, sebagaimana sisi keutamaan esensial harus lebih didahulukan diatas kesejahteraan materi. Tugas pemerintahan Islam adalah untuk memberi sarana dan petunjuk dalam memenuhi segala masalahat material dan spiritual.

Sebagai contoh, anda bisa perhatikan sebagaimana Islam melarang kaum minoritas pemeluk agama lain dari ahli dzimmah (non-muslim yang hidup dinegara Islam.pen) untuk secara demonstratif melakukan perbuatan maksiat seperti mabuk-mabukan, ataupun sengaja makan-makan ditempat umum pada bulan Ramadhan sehingga mengganggu pribadi-pribadi yang sedang berpuasa, dimana hal tersebut terlarang bagi siapapun baik muslim atau non-muslim, yang sehat maupun yang sakit, baik yang berhalangan maupun tidak. Negara Islam berkewajiban untuk mencegah terjadinya hal-hal yang menyimpang semacam itu.

Keenam: Konsekwensi dari pemikiran liberalisme adalah mereka menggunakan konsep toleransi dalam berinteraksi pada berbagai sikon. Walaupun kalau kita lihat prakteknya, banyak negara-negara Barat tidak konsekwen dengan hal itu. Sehingga jika ada pribadi yang memiliki kepedulian lebih terhadap aspek spiritual, etika dan hukum-hukum Tuhan maka dia akan dicela oleh masyarakat moderen dan dianak-tirikan dalam banyak hak-haknya.

Walaupun dalam syariat Islam terus menjalankan konsep toleransi dan kemudahan (samhah wa sahlah) namun masih diperbolehkan beberapa bentuk tindakan tegas selama dalam tumpuan hukum-hukum Ilahi. Jika didapat seseorang yang melanggar batas-batas hukum Tuhan maka akan dihukum, dan dalam beberapa kondisi akan ditindak secara tegas dan keras. Sebagaimana tidak diizinkannya seorang ahli-kitab (Nasrani, Yahudi..,.pen) melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan ajaran agama, kaum muslimin juga dilarang untuk melakukan segala perbuatan tersebut, terkhusus pekerjaan terlarang yang dilakukan dimuka umum.

Dengan ini dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan 180 derajat antara pemikiran Islam dan liberalisme dan tidak mungkin untuk dipertemukan. Namun sayang, selain dimasyarakat Barat, pada masyarakat kita pun pemikiran, asas-asas dan norma-norma Barat telah meresap kedalam tubuh mereka sehingga berakibat munculnya pengadobsian atas sebagian pemikiran terkhusus pada kalangan kaum terpelajar, intelektual dan bahkan sebagian staf pemerintahan sekalipun. Maka harus diadakan pendalaman secara optimal atas segala pemikiran dan norma-norma agama Islam yang murni, dan berusaha untuk memilahnya dari segala percampuran yang ada.

__________________________________


Tentang Liberalisme· 

Oleh: Ayatullah Taqi Mishbah Yazdi

Definisi kebebasan.

Tanya: Apakah definisi kebebasan?

Jawab: Sebelum menjawab pertanyaan diatas ada satu hal yang perlu dicatat bahwa, suatu konsep (mafhum) dapat dibagi menjadi dua bagian, pertama; adalah pemahaman obyektif dan konkrit (mafhum aini /inzimami), dan kedua; pemahaman abstrak (mafhum zihni / intiza’i). Sewaktu kita dihadapkan pada pemahaman obyektif dan konkrit niscaya kita tidak akan banyak menemui kesulitan. Hal itu sebagaimana dapat kita praktekkan pada pemahaman kita tentang hal-hal yang berkenaan dengan disiplin ilmu eksak sebagaimana halnya pengetahuan kita tentang air, gerak, listrik begitu pula dengan hal-hal yang berkenaan dengan disiplin ilmu kedokteran, seperti pemahaman kita tentang mata, telinga, lambung, dll. Itu semua ialah bagian dari pemahaman obyektif dan konkrit yang dapat dipahami dan dicerna dengan baik oleh setiap pendengarnya. Walaupun mungkin terkadang ada beberapa ketidakjelasan pula dalam beberapa obyek konsep tersebut, seperti apakah air sari bunga merupakan masuk kategori air ataukah bukan?

Adapun ungkapan yang melibatkan konsep abstrak (mafhum intiza’i), sebagaimana bisa kita dapati dalam beberapa konsep filsafat ataupun banyak hal yang berkaitan dengan disiplin ilmu humaniora seperti psikologi, sosiologi, hukum, politik dan lain sebagainya merupakan suatu perkara yang sulit dari sisi pemahamannya. Hal tersebut lebih dikarenakan oleh sering terdapatnya kata- kata yang memiliki banyak sekali pengertian yang berbeda-beda, oleh karena itu sering pula didapat banyak sekali topik pembahasan yang memakai istilah-istilah tersebut tidak membuahkan suatu hasil yang jelas.

Sebagai contoh istilah kultur (budaya) yang memiliki berkisar lima puluh sampai lima ratus definisi. Jarang sekali didapati definisi yang pas dan cocok dalam mengartikan kata budaya (kultur) tersebut, sehingga kita dapati dalam topik bahasan “pengembangan budaya” sering mengalami proses ketidakjelasan pula. Begitu pula yang terjadi pada istilah demokrasi yang memiliki beberapa definisi, yang terkadang diartikan “kedaulatan rakyat” atau terkadang juga diartikan sebagai “perintahan rakyat atas rakyat”, semua itu tidak memiliki kejelasan arti dan maknanya. Lantas apakah istilah tersebut dibuat untuk menjelaskan tentang suatu bentuk pemerintahan? Ataukah satu bentuk konsep menuntaskan berbagai problem sosial?

Istilah lain yang memiliki hukum yang sama adalah istilah “liberalitas” yang sering diartikan dengan “kebebasan”, sehingga dari situlah bagi banyak kalangan dianggap memiliki daya tarik tersendiri. Pengertian dari istilah inipun tidak bisa dipahami dengan detail dan terperinci sehingga dalam mengartikan dan pemakaian istilah tersebut akan menambah ketidakjelasan pula.

Kata kebebasan juga memiliki berbagai ragam definisi, dimana hal itu yang mengakibatkannya tidak memiliki kejelasan makna. Oleh karena itu, untuk mendapatkan kejelasan dalam segala pembahasan yang berkaitan dengan kebebasan, harus didapat terlebih dahulu definisi yang jelas sehingga menghasilkan persamaan presepsi dalam peletakan makna. Sehingga, dari situlah baru akan terjadi dialog yang jelas dan menghasilkan. Beberapa tahun terakhir ini sering terjadi pembahasan yang berkaitan dengan topik kebebasan akan tetapi dikarenakan problem diatas tadi sehingga pembahasan-pembahasan tersebut sama sekali tidak membawakan hasil yang berarti.

Kata kebebasan terkadang diartikan dengan kebebasan memilih (ikhtiyar/choosing ) lawan dari keterpaksaan, terkadang dipakai untuk makna manusia bebas lawan dari perbudakan, atau kebebasan dalam berpendapat atau juga diartikan sebagai memiliki pendapat sendiri lawan dari mengikuti pendapat orang (taqlid). Terkadang pula dipakai untuk makna kebebasan dalam mengamalkan suatu pekerjaan yang dikehendaki dan bebas dalam segala yang diinginkan untuk diungkapkan. Dengan kata lain, terhapusnya segala batasan dan ikatan sehubungan dengan ucapan, gerak-gerik ataupun prilaku. Adapun yang sering dibahas dan diperdebatkan dalam filsafat hukum dan perundang-undangan ialah makna terakhir dari pengertian-pengertian yang tersebut diatas.

Berkenaan dengan definisi kebebasan, para penulis barat telah menyebutkan tidak kurang dari dua ratus definisi. Terkadang dari beberapa definisi yang ada terdapat satu definisi menyerupai yang lain, tapi tidak jarang pula kita dapati definisi yang sangat kontradiksi dengan yang lainnya. Hampir semua suku bangsa menilai bahwa kebebasan memiliki nilai sakralitas tersendiri, oleh karena itu sering didapati perbedaan dan perdebatan yang tidak jarang berakhir dengan munculnya pertumpahan darah dibanyak tempat.

Menilik dari ketidakjelasan berbagai pemahaman semacam istilah kebebasan inilah, maka setiap pembahasan dan jawaban dari soalan-soalan yang berkaitan dengan istilah tersebut harus ditentukan definisi dan makna yang jelas terlebih dahulu. Setelah itu, baru dapat dibuka sebuah pembahasan, karena jika salah satu dari definisi tersebut kita kemukakan lantas kita perbandingkan dengan pendapat islam, atau melihat dari sisi kesesuaian atau tidaknya dengan islam maka pembahasan akan menjadi panjang lebar dan akan menjadi semakin rumit.

Oleh karena itu, untuk mempermudah supaya pembahasan berjalan dengan baik, kita alihkan pembahasan berkaitan dengan definisi istilah kebebasan kepada pembahasan dalam rangka untuk menentukan berbagai ekstensi (misdaq) kebebasan, umpamanya dengan memunculkan pertanyan seperti: Apakah dalam pandangan islam media percetakan memiliki kebebasan? dan sampai dimana kebebasan itu ada? Apakah kebebasan seksual diperbolehkan dalam islam dan masyarakat islam? Apakah menghina dan mencela orang lain memiliki kebebasan atau tidak? Dari pertanyaan-pertanyaan diatas dapat disimpulkan bahwa kebebasan memiliki banyak sekali pengertian dengan berbagai ragamnya. Dan untuk dapat mengambil satu kesepakatan dalam pendefinisian hal tersebut bukan suatu hal yang mudah, tapi hal yang terpenting ialah menyebutkan berbagai eksternal kebebasan secara khusus dan kemudian membahasnya.
___________________________________


Asas-asas Kebebasan Berpendapat dan Pers·

Oleh: Ayatullah Taqi Mishbah Yazdi

Tanya: Bagaimana menurut pandangan Islam tentang dasar-dasar kebebasan berpendapat dan media cetak?

Jawab: Pembahasan tentang kebebasan karya tulis dan media cetak merupakan salah satu pembahasan penting yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia bagi individu yang hidup dizaman sekarang ini. Dimana pada era perkembangan teknologi telekomunikasi memiliki peran yang sangat penting sehingga harus lebih diperhatikan. Sebagaimana yang telah disinggung pada pembahasan yang lalu, kebebasan merupakan satu hal yang sakral dan didambakan oleh setiap individu. Tentu, tidak seorangpun yang memiliki akal sehat yang menerima adanya kebebasan mutlak karena hal itu berkosekwensi munculnya berbagai kekacauan. Jelas, bahwa kata kebebasan memiliki berbagai bentuk syarat dan batasan, oleh karenanya yang harus kita bahas adalah berdasarkan tumpuan apakah kebebasan harus berdiri? Jawaban singkat dari pertanyaan tersebut adalah bahwa perundang-undangan harus kita perjelas terlebih dahulu. Setelah itu mungkin akan dimunculkan pertanyaan lain yaitu; atas dasar apakah penentu undang-undang dalam membatasi kebebasan tersebut?

Di sini secara singkat bisa dikatakan, undang-undang harus berdiri diatas batasan maslahat umum masyarakat. Ungkapan semacam itu merupakan jawaban yang sangat simple, sehingga akan muncul pertanyaan lain yaitu; manakah dari maslahat umum masyarakat yang harus dijadikan pembatas atas kebebasan?

Sewaktu kita perhatikan secara teliti atas segala perbedaan yang terdapat dalam masalah tersebut maka, akan kita dapati bahwa penantian yang berbeda-beda oleh masyarakat akan kebebasan, itu menunjukkan bahwa segala batasan dan berbagai maslahat riil bagi setiap pribadi dan masyarakat. Perbedaan tersebut kembali pada dua hal prinsip:

1- Perbedaan pondasi bangunan; dimana perbedaan tersebut bermula dari perbedaan budaya dan pandangan dunia. Sebagian individu menyangka bahwa tujuan penciptaan manusia adalah untuk mendapat banyak hal yang berhubungan dengan kenikmatan duniawi belaka. Mereka yang beranggapan bahwa setelah kehidupan duniawi tidak ada pertanggungjawaban akherat, maka mereka tidak akan mengatakan tentang batasan kebebasan kecuali dengan batasan tidak mengganggu pencapaian kenikmatan individu atau masyarakat lain. Dengan kata lain batasan kebebasan adalah mencegah kebebasan individu dan masyarakat lain.

Adapun bagi orang-orang yang meyakini tentang adanya kiamat dan kenikmatan maknawi (spiritual) disamping kenikmatan duniawi, ada satu keyakinan transtendental yang mereka yakini yaitu segala perbuatan manusia memberi kesan akan kebahagiaan atau kesengsaraan abadi. Dari situ merekapun akhirnya menerima bahwa hanya kebebasan legal (syar’i) yang mampu menghantarkan pada kesenangan abadi yang bisa dan harus diraih.

Selama segala perbedaan prinsip (pondasi) yang bermula dari masalah ketuhanan, kiamat dan kesenangan riil manusia ataupun eksistensialis beberapa alam tidak terselesaikan maka tidak akan mungkin ada hasil atau didapat kata sepakat. Sedang cara yang kita tempuh dengan apa yang ditempuh lawan bicara kita akan terus berbeda, sehingga terdapat dualisme pemikiran.

2- Perbedaan kerangka bangunan; suatu perbedaan yang terletak setelah terdapat kesapakatan atas keberadaan Tuhan, kiamat, agama dan seterusnya. Perbedaan itu terletak pada apakah yang menjamin maslahat masyarakat? Dan apakah yang menjadi penyebab kemunculan segala mafsadah dikalangan masyarakat?

Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa kita telah meyakini atas segala keyakinan Islam yang telah jelas. Adapun pada zaman modernis dan post-modernis, jika kebebasan karya tulis tidak didapat maka manusia tidak akan mampu berkembang. Segala masalah politik, sosial ataupun keyakinan tanpa adanya kebebasan maka tidak akan dapat diteliti dengan baik. Segala titik kelemahan ataupun kekuatan suatu pandangan tidak akan bisa nampak dengan jelas. Oleh karena itu, kebebasan berpendapat dan media cetak harus diperluas dan dikurangi berbagai batasan yang mengikat sehingga manusia mampu sampai pada titik kemajuan yang lebih baik.

Disisi lain, ada sebagian orang yang meyakini bahwa anggota masyarakat terbagi pada dua golongan; sebagian dari anggota masyarakat yang tidak mudah untuk terpengaruh dengan segala permasalahan dan ajaran yang menyimpang dari agama dimana mereka itulah yang telah mampu menjaga maslahat sejati manusia. Bagi kalangan semacam ini, mendengar atau membaca segala ungkapan yang menyimpang merupakan hal yang tidak ada masalah. Bahkan bagi sebagian orang (khusus) melakukan hal tersebut merupakan keharusan.

Kelompok lain yang masuk kategori mayoritas masyarakat, adalah orang-orang yang jika mendengar berbagai masalah menyimpang yang keluar dari lisan orang-orang khusus yang mana terkadang mengakibatkan kekafiran, mereka dengan mudah akan terpengaruh dengan ungkapan tersebut. Terkhusus jika permasalahan tersebut dengan sangat mudah dicerna oleh mereka, sedang jawaban dari permasalahan yang terlontar lewat ceramah, artikel, buku atau media lainnya tidak mudah untuk didapat. Oleh karenanya, maslahat masyarakat mengharuskan untuk membatasi kebebasan berpendapat dan berbagai bentuk karya tulis sehingga dapat mencegah segala bentuk penyimpangan pola pikir dan etika. Perbedaan yang ada tersebut terletak pada bangunan, ekstensi dan penentuan masalah persyaratan suatu masyarakat dan individu.

Segala perbedaan yang terletak pada pondasi bangunan berpikir tidak akan bisa dituntaskan tanpa terlebih dahulu menyelesaikan segala yang berkaitan dengan masalah-masalah prinsip pandangan dunia dan agama. Adapun perbedaan yang terletak pada kerangka bangunan dengan bertumpu pada pembahasan, pemahaman dan ekstra teliti dalam menerapkan pondasi bangunan berpikir sebagai pijakan pasti akan terwujud dan terselesaikan dengan baik.

Adapun yang pandangan yang benar berdasarkan pengalaman yang telah teruji adalah bahwa menyebutkan segala pandangan menyimpang, meragukan ataupun yang menyebabkan kekufuran dengan berbagai bentuk dan pada komunitas manapun merupakan sesuatu yang tidak memiliki maslahat sama sekali. Kita dapat melihat dari dulu sampai kini adanya beberapa individu yang terseret kepada kemunkaran dan penyimpangan akibat hal semacam itu. Sebagian permasalahan dan soalan yang dikemas sedemikian rupa secara rasional yang terkadang dibubuhi didalamnya sastra, syair dan kisah-kisah menarik sehingga lebih dapat berkesan dihati banyak orang. Al-Qur’an dalam salah satu ayatnya telah menyinggung hal semacam ini dan mengistilahkan individu-individu semacam itu sebagai setan berwujud manusia (syaithon al-ins):
“Dan demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu manusia…” (Qs al-An’aam:112)

oleh karena itu berdasarkan atas pengalaman para umat terdahulu dengan memperhatikan atas potensi kejiwaan manusia juga psikologi sosial yang ada dimana jika itu semua didasarkan atas ajaran-ajaran Islam maka bisa dikatakan bahwa setiap ucapan dan tulisan –lebih umum dari ceramah, artikel, koran, buku, film..dst- yang membahayakan umat manusia sehingga mereka bisa terjerumus kepada kesesatan, itu semua dalam pandangan Islam tidak memiliki kebebasan.

Ada poin lain yang harus diisyaratkan dalam kesempatan ini yaitu dibalik hak yang dimiliki oleh para pemilik media massa dan para penulis, mereka memiliki taklif berhubungan dengan maslahat material dan spiritual masyarakat, yaitu segala topik yang diperlukan dan yang berhubungan dengan keyakinan, dimana segala jenis maslahat sosial bersandar atasnya maka harus diungkapkan dan dijelaskan dengan baik sehingga dapat meminimilir penyimpangan yang mungkin akan dihadapi atau bahkan bisa dihilangkan sama sekali. Usaha meningkatan kualitas pengetahuan masyarakat dan pengasuransian diri masyarakat atas setiap persoalan-persoalan agama yang disertai dengan kritik, gugatan serta jawaban yang diperlukan itu semua merupakan tugas dari para penulis pada setiap zaman.

Kesimpulan yang dapat kita ambil dalam kaitannya dengan pembahasan kebebasan berpendapat dan menulis adalah; segala yang dapat menjamin maslahat utama masyarakat baik berupa ungkapan ataupun tulisan maka sudah menjadi keharusan. Sedang yang membahayakan dan merusak maslahat umum masyarakat maka dilarang. Selain dari dua kemungkinan diatas maka hukumnya mubah (boleh) dan terdapat kebebasan dalam melaksanakannya.

__________________________________


Kebebasan Berpendapat·

Oleh: Ayatullah Taqi Mishbah Yazdi

Tanya: Apakah kebebasan berpendapat bersifat mutlak ataukah terbatas? Apakah diperbolehkan memutus ucapan seseorang? Apakah boleh kita mendengar setiap ungkapan yang ada, membeli atau membaca setiap buku dan tulisan yang tersebar?

Jawab: Dari sejak dulu ungkapan tersebut telah dilontarkan oleh individu-individu yang hidup ditengah-tengah demokrasi hak dan kebebasan, dimana tiada satu undang-undang pun yang berhak untuk menghalangi kebebasan tersebut. Pandangan semacam inilah yang kemudian direkam dalam konstitusi hak-hak asasi manusia (HAM). Kebebasan-kebebasan semacam inilah yang dianggap sebagai sesuatu yang terletak diatas perundang-undangan, dimana melanggarnya berarti sama dengan melanggar HAM.

Dari sisi lain, salah satu kekhususan negara-negara demokratik adalah negara yang memberikan kebebasan berpendapat kepada setiap penduduknya. Setiap penduduk negara tersebut berhak untuk mengkritik pemerintah, partai yang berkuasa, eksekutif, legislatif atau siapapun. Apapun yang mereka setujui dan mereka anggap benar, mereka juga berhak untuk menampakkannya secara terang-terangan. Sebagian masyarakat dinegeri kita memiliki anggapan semacam itu pula, mereka menggap bahwa negara kita adalah negara yang berlandaskan kebebasan dan diatur sesuai dengan norma-norma demokratik. Oleh karena itu, semua kebebasan yang ada juga harus tetap terjaga untuk kita, maka masyarakat berhak untuk menyampaikan apa yang mereka inginkan dan mengkritik apa yang mereka tidak setujui dari kebijakan yang ada.

Adapun menurut persepsi Islam dan pemerintahan Islam, apakah pandangan semacam itu juga diterima, setiap yang diinginkan oleh setiap orang ia dengan bebas menyampaikannya dengan cara apapun? Apakah setiap ungkapan pada tiap komunitas bisa dilontarkan? Apakah setiap karya tulis bisa dicetak bebas sehingga pihak lain bisa menelaahnya? Ataukah tidak, hanya sebagian ungkapan saja yang dilarang?

Semua orang tahu bahwa kebebasan mutlak tanpa batas merupakan sesuatu yang mustahil terwujud. Setiap kebebasan apapun seperti kebebasan bertindak, berpendapat, berekonomi dan berpolitik memiliki batasan-batasan tertentu. Kita meyakini bahwa batas kebebasan adalah maslahat umum yang riil –mencakup material dan spiritual- jika didapat suatu tindakan yang bertentangan dengan undang-undang Islam maka kebebasan tidak diberlakukan disitu. DiBarat, kebebasan setiap individu dibatasi oleh kebebasan yang dimiliki pihak lain. setiap orang berhak untuk melakukan tindakan apapun dengan syarat tidak berbenturan dengan kebebasan orang lain. Jelas sekali bahwa disini ada dua pondasi pemikiran yang berbeda yang mustahil digabungkan satu dengan yang lain.

Dalam pandangan Islam, setiap ungkapan, prilaku dan segala aktifitas manusia yang ada memiliki hukum-hukum tertentu. Tidak semua layak untuk diungkapkan atau didengar, sebagai contoh mengungkapkan kebohongan, mengumpat, menuduh atau menyebarkan rahasia pribadi seseorang sebagaimana dilarangnya mencetak, mendistribusikan, menjual dan membeli karya yang memuat tulisan penyebab kesesatan. Dalam pembahasan fiqih yang terdapat dalam kitab al-makaasib al-muharramah dijelaskan bahwa jual-beli “buku sesat” merupakan hal yang terlarang (baca:haram). Yaitu, karya-karya tulis yang jika para pembaca menyimaknya akan menyebabkan terjerumus kedalam jurang kesesatan pemikiran maka dilarang untuk membelinya apalagi menukil tulisan tersebut untuk pihak lain.

Yang lebih memprihatinkan adalah didapatinya oknum-oknum yang hidup dinegara Islam yang melecehkan dan menghina hukum-hukum Ilahi dan sakralitas agama melalui tulisan-tulisan mereka yang dimuat dalam buku-buku, makalah, buletin ataupun surat kabar. Jelas bahwa semua itu merupakan perbuatan munkar yang harus dicegah, dimana setiap pribadi dari masyarakat muslim berkewajiban menghadapinya dengan melalui beberapa tahapan; pertama diadakan pengingatan secara lisan jika mereka terus melakukan hal tersebut maka, sampai pada kedua yaitu dengan melaporkannya kepihak yang berwajib dan kejaksaan sehingga pihak tersebutlah yang akan menindak tegas perbuatan mereka.

Salah satu dari tugas utama pemerintahan Islam adalah melaksanakan tugas semacam itu. Itu semua demi untuk menjaga maslahat material dan spiritual juga etika masyarakat terkhusus masyarakat muslim, dan mencegah mereka dari segala gerakan penyimpangan dari jalur Islam dan semua kemunkaran dari aspek-aspek kehidupan mencakup budaya, media cetak, sosial, politik, dan ekonomi. Al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam dalam menjelaskan tentang tugas dan kewajiban setiap muslim dalam menghadapi segala ungkapan yang bertentangan dengan Islam serta ajarannya, disebutkan:

“dan sesungguhnya Allah telah menurunkan kepada kamu didalam al-Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam“ (Qs an-Nisaa’:140)

Al-Qur’an memberikan peringatan; wahai kaum muslimin, jika kalian siap untuk mendengar ucapan-ucapan orang-orang kafir dan para peleceh ayat-ayat Qur’an dan hukum-hukum Ilahi niscaya, sedikit demi sedikit iman kalian akan terkikis sehingga kalian akan mengikuti jejak langkah mereka. Sebagaimana kalian ketahui kenapa manusia-manusia seperti Salman al-Farisi (ra) dan Abu dzar al-Ghifari (ra) yang memiliki iman yang kuat sangatlah sedikit, sedang manusia-manusia yang memiliki lemah iman ataupun yang telah sirna keimanannya sebegitu banyaknya.

Dari ayat diatas kita dapat ambil kesimpulan, adanya kewajiban untuk bangkit dan pelarangan untuk berpangkutangan atas segala ungkapan semacam itu sebagaimana tidak boleh berpangkutangan atas siapapun. Tidak semua ungkapan bisa dilontarkan sebagaimana tidak disemua tempat untuk bisa dikemukakan. Tidak setiap topik pembahasan –terkhusus bagi peringkat umum seperti koran, majalah dan media massa lain- dibolehkan untuk ditulis dan dibaca.

Mungkin akan dipertanyakan disini, bukankah al-Qur’an sendiri telah menukilkan, sehingga anda pun bisa mendengar tentang berbagai ungkapan yang bermacam-macam dan yang menyimpang sekalipun, dan anda disuruh untuk mengikuti jalan yang terbaik?[1] Apakah segala ungkapan berbeda-beda dari orang-orang tidak boleh didengar lantas diteliti dan kemudian dijawab atau dipilah-pilah antara poin positif dan negatifnya? Apakah dizaman awal kemunculan Islam dan zaman para imam suci (as) para penentang Islam tidak menyatakan ungkapan-ungkapan yang menyimpang?

Untuk menjawabnya harus dikatakan bahwa Islam dan al-Qur’an secara umum tidak mencegah setiap ungkapan yang menyimpang dan salah. Sebagian ungkapan dan dengan syarat-syarat tertentu Islam membolehkan untuk pengungkapannya. Adapun kita, dalam beberapa kesempatan kita diperbolehkan untuk mendengar dan membaca segala ungkapan yang sesuai atau yang tidak sesuai, juga problem-problem yang menggugat agama, hukum-hukum dan ajaran-ajaran prinsip agama, hal itu jika kita memiliki kemampuan untuk memilah mana ungkapan yang lebih baik yang kemudian bisa diikuti. Dengan kata lain, dengan pengetahuan yang memadai tentang berbagai sisi keagamaan, metodologi pembahasan, kualitas argumentasi dan mengenal segala jenis fallacy yang mungkin mereka pakai dalam berargumen maka, kemampuan untuk memilih yang terbaik dari sekian ungkapan dan pandangan akan kita miliki. Dari situ maka harus diberikan kesempatan untuk pengungkapan problem-problem yang bertentangan dengan agama kepada pribadi-pribadi yang memiliki kemampuan yang cukup dalam menganalisa dan menkritisi segala problema tersebut sehingga nantinya akan dijawab dan dikritisi oleh mereka.

Pribadi Rasulallah (saww) dan para imam suci (as) serta para ulama yang memiliki senjata pengetahuan agama yang mumpuni, dalam masalah ini tidak memiliki batasan. Bahkan mereka berkewajiban untuk mendengar atau membaca ungkapan para penentang ajaran agama beserta argumen mereka sehingga mereka dapat menelaah dan kemudian mengkritisinya. Namun, jika hal tersebut terjadi pada orang yang tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk semua itu, atau yang sampai sekarang belum memilikinya maka al-Qur’an seakan mengatakan bahwa “setiap yang ringan bobotnya maka ia tidak boleh memasuki arena gulat kelas berat taraf internasional”. Walaupun pada prinsipnya mengikuti gulat diperbolehkan namun, setiap orang yang berakal akan mengatakan bahwa setiap kejuaraan gulat antara dua pemain harus memiliki bobot dan kemampuan yang sama. Pergulatan yang terjadi antara kelas ringan dan berat harus dihindarkan, karena hal itu akan menyebabkan hancur dan babak belur pihak yang lemah saja.

Islam mengatakan, jika anda menghendaki membahas wacana pemikiran, agama dan ideologis maka anda harus perkuat terlebih dahulu iman anda. Anda harus perkuat landasan ideologi dan amal perbuatan anda terlebih dahulu. Setelah terpenuhinya segala persyaratan yang diperlukan maka masuklah kearena pertandingan sebagai ajang pengujian. Pada kesempatan itu, anda bukan hanya dituntut sekedar untuk bertanding gulat namun juga dituntut kemahiran dan ajakan untuk berdiskusi dan berpikir.

Bagi pihak yang tidak memiliki kematangan dalam kemampuan berwacana maka ia akan terbawa dengan ungkapan-ungkapan yang bermuatan sastra dan menyudutkan, dan yang akhirnya menganggapnya sebagai suatu hal yang benar. Terkadang ungkapan yang jelas-jelas paradoks bisa saja ia terima, dikarenakan tidak memiliki kemampuan yang cukup maka ia akan melihat persesuaian antara semua jenis pondasi dan bangunan pemikiran. Adapun jika semua ungkapan yang ada ditangani oleh orang yang memiliki kematangan dalam berwacana dan sisi keilmuan maka ia akan menganalisa satu persatu dan mengkritisinya kemudian memilah-milah mana yang sesuai dan mana yang tidak. Secara umum, semua teori dan pandangan yang terkait dengan disiplin ilmu tertentu jika diutarakan dihadapan para pakar dan pemikir disiplin ilmu tersebut maka akan mampu untuk dikritisi dan dianalisa oleh mereka, dari situlah akan nampak nilai riil dari ungkapan tersebut. Bisa kita contohkan berkaitan dengan teori tentang Fisika atau Kimia yang diutarakan didepan para pakar Fisika atau Kimia, atau teori filsafat dan logika yang diutarakan dihadapan para filsuf dan ahli logika, atau pandangan berkaitan dengan problema agama dan teologi yang diutarakan dihadapan para ulama. Jika hal itu terlaksana maka essensi dan nilai riil wacana tersebut akan nampak dan posisi dalam cakupan wacana tersebut akan terbuka pula.

Referensi:
[1] Lihat Qs az-Zumar:18.
____________________________________


Adakah Kebebasan Alami Bagi Manusia?

Oleh: Ayatullah Taqi Mishbah Yazdi

Tanya: Apakah makna dari ungkapan; “kebebasan merupakan salah satu hak manusia, sehingga tidak seorangpun berhak untuk menghalangi hak alami tersebut”?

Jawab: Sebagaimana yang telah kita singgung sebelumnya, banyak istilah yang dipakai oleh disiplin ilmu-ilmu sosial yang tidak memiliki definisi dan pengertian yang jelas serta mendetail sehingga mampu dipahami oleh semua kalangan, kata “hak alami merupakan salah satu dari istilah tersebut”.

Barang siapa yang mengenal tentang filsafat perundang-undangan pasti mengetahui bahwa disitu terdapat satu pemikiran tentang hak-hak alami. Sejarah filsafat telah menunjukan bahwa sejak zaman dahulu kala hal tersebut telah dibahas. Sejak zaman Yunani klasik, sebagian orang telah memiliki anggapan bahwa manusia memiliki hak-hak alami yang tidak seorangpun berhak untuk merampasnya. Dikarenakan tabiat manusia itu sendiri yang telah menetapkan hak-hak tersebut, sehingga atas dasar inilah muncul banyak sekali hasil yang didapat yang terkadang satu dengan yang lain saling bertentangan sehingga menyebabkan munculnya banyak perdebatan. Salah satu hal yang muncul akibat dari perdebatan tersebut ialah berupa metode pemutarbalikan (fallacy) yang dalam filsafat perundang-undangan maupun filsafat etika dikenal dengan sebutan “fallacy naturalism”.

Sebagian orang seperti Aristoteles beranggapan bahwa manusia memiliki berbagai sifat alamiah. Mereka beranggapan bahwa sifat alamiah manusia berkulit putih berbeda dengan manusia berkulit hitam, manusia berkulit hitam karena dari sisi fisik mereka lebih kuat tetapi dari sisi intelektual sangat lemah jika dibanding dengan manusia kulit putih, maka diambilah satu kesimpulan yang salah yaitu; karena manusia kulit hitam dari sisi fisik lebih kuat maka ia harus melakukan pekerjaan-pekerjaan yang mengandalkan kekuatan fisik saja. Sementara manusia kulit putih karena dari sisi intelektual lebih menonjol maka pekerjaan yang perlu dengan kekuatan intelektual saja yang harus ia kerjakan, seperti hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan. Dengan kata lain, sebagian manusia diciptakan hanya untuk sebagai budak manusia yang lain. Hal ini merupakan penghinaan atas satu perundang-undangan (baca: hukum) alami.

Kita sekarang ini tidak dalam rangka menjawab ataupun mengfkritik metode pemikiran tadi (fallacy naturalism), karena hal tersebut memerlukan pembahasan tersendiri yang bersifat terperinci dan akan menyita waktu, oleh karena itu untuk sementara kita tinggalkan topik itu terlebih dahulu.

Adapun pandangan yang lebih rasional dalam pembahasan hak-hak alami manusia yang terlontar sepanjang sejarah ialah pemikiran yang bersumber dari ucapan; “jika sesuatu sesuai dengan tuntutan alami manusia maka hal itu harus terlaksana, hal itu dikarenakan manusia tidak boleh memiliki jarak dengan segala apapun yang sesuai dengan tuntutan alamiah kemanusiaannya”.

Kitapun meyakini, setiap hal yang berkaitan dengan tuntutan alamiah manusia -dimana itu semua setiap manusia memiliki kesetaraan hak- harus dipenuhi. Dalam pembuktian ungkapan tersebut, kita bisa kemukakan berbagai macam argumen rasional sebagai pendukungnya. Akan tetapi, mungkin bisa dilontarkan pertanyaan tentang ekstensi hak-hak alamiah manusia tersebut, manakah yang termasuk dari hak-hak alamiah itu? Untuk menjawabnya bisa dikatakan, salah satu dari hak-hak alami manusia adalah hak pangan, sandang, papan, melihat, mendengar…dst. Setiap individu tidak berhak untuk menahan hak pangan orang lain, memotong pendapat dan pembicaraan orang lain, ataupun menutup pengelihatan orang lain sehingga tidak leluasa melihat dirinya. Namun, apakah tujuan pelontaran pembahasan tersebut? Dan bagaimana hak-hak semacam ini melalui berbagai propaganda internasional hak-hak asasi manusia dapat dikenal secara resmi? Apakah hak-hak seperti ini terletak di atas undang-undang, sehingga tidak mungkin dibatasi? ataukah setiap negara atau komunitas tertentu memiliki wewenang dalam memberi kebijakan tentang batasan-batasannya? Dalam bentuk semacam itu, lantas siapakah yang memiliki otoritas sebagai penentu batasan-batasan tadi? Dari sekian banyak pertanyaan dan berbagai pertanyaan-pertanyaan lain yang sering dilontarkan, sebagian dari jawaban pertanyaan tersebut masih samar dan belum bisa diterima oleh banyak kalangan.

Intisari dari pernyataan tadi adalah bahwa teori dasar pemikiran tersebut benar adanya, dimana semua tuntutan alami dan insting manusia harus terpenuhi. Adapun dari sekian banyak pernyataan berkaitan dengan batasan-batasan kebebasan tersebut dimana setiap bangsa, kaum, agama dan sekte masing-masing memiliki pendapat tentang batasan tersebut. Kita sendiri memiliki ketentuan dari batasan-batasan tadi dimana batasan kebebasan itu adalah “memenuhi kemaslahatan material dan spiritual setiap elemen masyarakat dengan dilandasai atas dasar undang-undang hukum Islam”.

____________________________________


Manusia Antara Determinasi dan Kebebasan Berkehendak· 

Oleh: Ayatullah Taqi Mishbah Yazdi.

Tanya: Dengan adanya berbagai undang-undang yang diletakkan untuk manusia dan untuk alam semesta ini, lantas dimanakah letak kebebasan manusia? Apakah perbedaan antara ikhtiar dari sisi penciptaan (takwini) dan dari sisi yuridis (tasyri’i)? Apakah manusia pada dasarnya telah memiliki ikhtiar?

Jawab: Salah satu permasalahan penting dalam kaitannya dengan pembahasan filsafat anthropologi adanya pembahasan berkisar tentang kebebasan berkehendak (ikhtiar/freewill) dan keterpaksaan (jabr/determina). Dimana pembahasan tersebut adalah salah satu pembahasan klasik sebagai sumber kebingungan banyak pihak sehingga muncullah banyak sekali berbagai pendapat yang berbeda-beda dari para pemikir. Hingga sampai sekarangpun menjadi topik yang tetap hangat dibicarakan dalam rubrik-rubrik filsafat penciptaan alam.

Tentu, dalam menanggapi permasalahan tersebut secara luas dan terperinci akan banyak menyita waktu, akan tetapi karena pembahasan itu memiliki hubungan erat dengan pembahasan “kebebasan”,maka terpaksa harus kita singgung secara ringkas dalam pembahasan kita kali ini.

Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, para theolog (mutakallimin) islam sehubungan dengan permasalahan determinasi (jabr) dan kebebasan (ikhtiyar) terbagi menjadi tiga golongan pemikiran:
a- Mazhab Asy’ari berpendapat bahwa manusia mahluk yang memiliki keterpaksaan (determinan/majbur) dalam segala prilakunya, karena berdasarkan konsekwensi peng-Esa-an prilaku (Tauhid af’ali) Tuhan, maka mereka mengambil kesimpulan untuk menafikan ikhtiar manusia (fatalisme).
b- Mazhab Mu’tazilah berkeyakinan bahwa manusia diberi wewenang mutlak (entrusting/tafwid) dalam berkehendak dan berprilaku, dan Tuhan tidak turut campur atas segala prilaku manusia. Sehingga semua prilaku buruk yang dilakukan oleh manusia tidak mungkin bisa disandarkan kepada Dzat-Nya Yang Maha Suci.
c- Mazhab Syi’ah Imamiah berkeyakinan adanya jalan tengah (al’amru bainal amrain) diantara dua pemikiran diatas tadi dengan mengikuti jalan yang ditempuh oleh para Imam suci (as). Mereka berkeyakinan bahwa manusia tidak terpaksa (jabr) secara penuh dan juga tidak ada pelimpahan wewenang (tafwid) secara penuh pula”, atau dengan ungkapan yang lebih sederhana dan sangat toleran lagi adalah “dari satu sisi manusia memiliki ikhtiar sedang disisi lain memiliki keterpaksaan”.

Akhir –akhir inipun ada beberapa kalangan yang memunculkan pemikiran anti sosialitas dan bahkan mendukung kebebasan mutlak manusia. Mereka beranggapan bahwa segala apa yang dikehendaki oleh manusia ia bebas melakukannya. Salah satu seorang tokoh pendukung pemikiran tersebut adalah Jhon Paul Sarter dimana ia pernah berkata: “Jika saya kehendaki maka perang vietnam pasti akan berakhir”. Ungkapan tadi menunjukkan bahwa manusia memiliki kamampuan berdasarkan kehendak yang dimilikinya ia mampu memberhentikan perang yang melibatkan jutaan umat manusia. Pendapat semacam itu betul-betul bertentangan dengan pendapat para filsuf yang beranggapan bahwa kebebasan manusia hanya sebuah khayalan belaka. Manusia terpenjara pada tatanan undang-undang yang bersifat memaksanya untuk terbawa kearus tertentu.

Pemikiran yang benar dari pandangan tersebut dan yang sesuai dengan ajaran agama adalah bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak akan tetapi hal itu ia miliki secara terbatas. Pada beberapa hal yang berkaitan dengan pertentangan pelaksanaan beberapa hukum berbeda yang bisa terlaksana di alam materi ini manusia memiliki luang untuk memilih. Luang lingkup prilaku manusia dapat dilihat dari pelaksanaan undang-undang yang dipakai untuk mewujudkan apa yang diangan-angankannya. Segala kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh manusia untuk menyingkap atau mengganti suatu hukum alami ke hukum alami yang lain merupakan kelebihan yang dimiliki oleh komunitas manusia atas alam ini. Makna dari kata penghambaan secara alami (ubudiah takwini) oleh manusia, adalah setiap manusia tidak akan lepas dari ribuan hukum alam dan kausalitas dimana iapun memiliki luang-lingkup yang terbatas secara alami atas semua itu.

Namun, apakah luang lingkup kebebasan memilih yang bersifat alami tersebut lantas manusia bisa melakukan segala hal yang dikehendaki hatinya? Atau terdapat batasan dan undang-undang yuridis (tasyri’i) tertentu yang membatasi prilakunya? Jawabannya adalah manusia dengan berbagai batasan yang ada, selain memiliki undang-undang yang bukan masuk pada undang-undang alami melainkan undang-undang yuridis yang bersifat abstrak dan normatif. Istilah yang sering dipakai semenjak ribuan tahun yang lalu adalah batasan akal budi (akal-amali), lawan dari undang-undang eksternal yang sering disebut sebagai batasan akal teoritis (akal-nazari). Menjaga pelaksanaan undang-undang yuridis terletak pada pundak manusia dimana disini istilah determinasi manusia tidak diberlakukan. Jika seseorang ingin mencari kesempurnaan ataupun kebahagiaan maka hendaknya ia melaksanakan segala yang tercantum dalam undang-undang tersebut.

Namun, jika semua hal itu tidak ia kehendaki maka ia dapat meninggalkannya. Manusia memiliki berbagai potensi yang sangat luar biasa, jika potensi-potensi itu dipakai untuk melaksanakan segala undang-undang Ilahi maka ia akan sampai pada derajat kedekatan pada Tuhan. Namun jika ia tidak melaksanakannya bahkan berlaku maksiat maka ia akan terjerumus kelembah yang dalam dan masuk derajat yang lebih rendah dari binatang ternak. Segala amaran syariat mirip dengan amaran-amaran kesehatan dari seorang dokter, jika pasien melaksanakan semua amaran tersebut niscaya ia akan mendapat kesehatan, namun jika ia melanggar amaran tersebut maka penyakitnya akan bisa bertambah parah. Melaksanakan amaran kesehatan oleh pasien tadi merupakan hal yang bersifat bebas dan bukan ada unsur pemaksaan dari siapapun. Jika pasien menginginkan kesehatan maka ia harus mengamalkan semua amaran kesehatan tersebut, inilah makna dari kebebasan berkehendak itu.

Oleh karenanya untuk mencapai kepada kebahagiaan material, spiritual, individual maupun sosial, hendaknya melaksanakan segala hukum syariat yang mengatur semua itu. Tanpa mengamalkan hukum tersebut maka mustahil kebahagiaan abadi akan dapat diraih. Walaupun manusia bisa mengatakan bahwa; “saya bebas memilih, saya tidak mau melaksanakan hukum tersebut, saya lebih baik masuk neraka”. Ungkapan semacam itu bisa kita dapati di alam realita, banyak orang yang melakukan hal tersebut dalam prilaku kesehariannya.

Tidak ada salahnya disini kita akan sampaikan pula tentang argumen kepemilikan manusia akan ikhtiyar.

Selain kejelasan esensial jiwa (conscience/wujdan) dan perasaan internal yang dimiliki setiap manusia sebagai argumen akan keberadaan ikhtiyar tersebut. Fenomena tentang adanya agama, berbagai macam undang-undang yang mencakup; perdata, pidana dan etika adat yang mencakup hukuman dan ganjaran bagi seorang oknum merupakan bukti tentang keberadaan ikhtiyar manusia. Asas utama kelebihan dan keutamaan yang dimiliki manusia adalah ia mampu menentukan jalan yang akan ia tempuh berdasarkan kebebasan berkehendak yang dimilikinya. Jika kebebasan berkehendak tersebut tidak terdapat dalam dirinya niscaya tidak ada bedanya ia dengan makhluk-makhluk selainnya. Dimanapun juga sewaktu kita membahas tentang hukuman dan ganjaran berkaitan dengan setiap prilaku, ucapan dan tujuan manusia, hal itu sebagai bukti bahwa setiap individu memiliki kebebasan dalam memilih perbuatan yang dia lakukan. Jika suatu perbuatan, baik itu dilakukan oleh kanak-kanak maupun orang dewasa atas dasar keterpaksaan (determinitas) lantas mungkinkah anda bisa menanyainya dengan kata-kata seperti; kenapa anda lakukan hal tersebut? atau anda akan dapat menghukumi dengan baik ataupun buruk perbuatan yang ia lakukan tersebut?

Ada satu pijakan utama yang dipakai tumpuan atas semua agama dalam perundang-undangan yang berkaitan dengan etika maupun syariatnya. Tumpuan itu adalah “manusia memiliki kebebasan”. Jika manusia determinan dalam segala aktifitasnya maka perintah maupun larangan yang tertuju pada dirinya tidak akan berguna baginya. Hal tersebut terkhusus buat agama yang memiliki hukum berkaitan dengan segala aktifitas manusia yang mencakup; bicara, mendengar, melihat, membaca dan prilaku manusia yang lain. Maka dari sini kita dapat ketahui bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak (ikhtiyar). Tanpa dasar tersebut maka Tuhan Yang Maha Adil dan Bijaksana tidak akan mungkin menurunkan bermacam-macam hukum semacam itu bagi manusia. Sebagaimana sebagian ilmu psikologi dan kelompok pemikiran behavioris (kajian tentang prilaku manusia.pen) yang beranggapan bahwa prilaku manusia murni berasal dari hubungan genetik atau lingkungan alami maupun sosial yang bersangkutan. Mereka tidak memberikan banyak peluang buat luang lingkup ikhtiyar. Banyak agama -terkhusus agama Islam- yang menjadikan setiap prilaku manusia sebagai obyek hukum dan terkait dengan berbagai macam hukum. Sehingga dari situlah maka agama tadi melihat bahwa manusia dalam berbagai aspek kehidupannya memiliki ikhtiyar dan tanggungjawab.

___________________________________


Konsep Beragama, Antara Hak dan Kewajiban·

Oleh: Ayatullah Taqi Mishbah Yazdi

Tanya: Apakah konsep beragama merupakan hak individual manusia ataukah merupakan kewajiban?

Jawab: Terkadang pertanyaan diatas diungkapkan dengan bentuk lain seperti hal sebagai berikut; dahulu manusia menerima hal-hal yang berkaitan dengan perbudakan dan kesewenang-wenangan dengan menerima berbagai kewajiban dan tanggungjawab yang harus ia pikul. Tetapi berbeda dengan manusia dizaman modernis dan peradapan baru, dimana manusia dizaman tersebut selalu mencari dan menelusuri akan hak-hak individualnya. Manusia moderen akan selalu mencari dan menuntutnya baik dari alam, Tuhan, agama ataupun dari ilmu pengetahuan. Hal inilah yang menjadi kunci penyebab kemajuan umat manusia. Oleh karena itu, jika suatu agama ingin mendapatkan suatu masa kejayaan hendaknya agama tersebut tidak berbicara tentang tanggungjawab (taklif) ataupun ketaatan kepada Tuhan, nabi ataupun pemimpin pemerintahan agama (hakim syar’i).

Akan tetapi, hendaknya agama berbicara tentang berbagai macam hak-hak manusia. Sudah bukan zamannya lagi sekarang ini untuk membicarakan tentang ketaatan, taklif, batasan-batasan ataupun halal-haram, tapi justru harus lebih dikonsentrasikan pada pembahasan tentang keinginan dan kehendak manusia.

Dalam rangka menjawab pertanyaan diatas, terlebih dahulu harus diperjelas bahwa apakah mungkin hak akan terwujud tanpa adanya kewajiban? Para ahli filsafat hukum dan perundang-undangan akan menjawab bahwa tidak mungkin hak akan terwujud tanpa adanya kewajiban. Sebagai contoh ungkapan tadi adalah sewaktu kita katakan “setiap individu memiliki hak untuk menghirup udara bersih” hal itu berarti “individu-individu lain tidak berhak untuk mengotori udara yang ada”. Tetapi jika kita katakan bahwa “setiap individu berhak untuk mengotori udara” maka ungkapan bahwa adanya hak untuk menghirup udara bersih tidak akan ada artinya. Begitu pula jika dikatakan bahwa “saya berhak untuk menumpuk harta kekayaan” maka berarti “orang lain berkewajiban untuk tidak merampas harta kekayaan saya, sehingga hak saya terlindungi”. Sebagaimana disaat orang lain memiliki hak untuk membelanjakan harta kekayaan mereka sendiri, maka sayapun berkewajiban untuk tidak mengusik kekayaan mereka. Dari sini dapat disimpulkan bahwa antara hak dan kewajiban saling berkaitan erat satu dengan yang lain, dan penetapan terhadap seseorang berarti penetapan kewajiban bagi orang lain.

Hal kedua yang harus ditekankan adalah bahwa setiap hak yang ditetapkan pada seseorang disaat itu secara otomatis berarti ditetapkan pula kewajiban atasnya. Sebagai contoh seseorang yang memiliki hak untuk memakai anggaran sosial maka berarti ia berkewajiban untuk berkhidmat terhadap masyarakat. Dari sini diketahui bahwa dengan ditetapkannya hak untuk satu individu maka ditetapkan pula kewajiban bagi individu tersebut.

Perlu dicatat bahwa tujuan utama pengungkapan soalan diatas adalah untuk mengutarakan bahwa Tuhan tidak berhak untuk memberikan kewajiban, perintah maupun larangan. Kalaupun ada sesuatu yang disebut dengan hak dan kewajiban, itu semua yang menentukannya adalah masyarakat itu sendiri, sehingga tidak ada lagi hubungan antara Tuhan yang harus ditaati dengan hamba yang harus taat kepada Tuhannya. Semua itu dikarenakan bahwa sekarang ini adalah zaman kebebasan dan kemuliaan manusia.

Jelas, penentangan atas kewajiban dan keengganan manusia dalam melaksanakan segala perintah dan larangan Tuhan bukan hanya ada pada zaman manusia moderen saja akan tetapi semenjak awal penciptaan manusiapun sudah ada kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang baik maupun yang buruk. Atas dasar itulah maka Qabil membunuh Habil, karena salah satu anak Adam tersebut tidak mau terikat dengan undang-undang dan ingin hidup bebas dari segala macam taklif. Segala kisah tentang umat terdahulu atas ajaran para nabi yang sering dinukil dalam al-Qur’an dipenuhi oleh manusia yang memiliki sifat hewani dan penyembah setan dimana mereka dengan jelas menolak, bahkan menyatakan perang melawan kebenaran melalui jalan melarikan diri dari taklif Ilahi.

Singkat kata, kesempurnaan dan kemadanian manusia yang didasari atas tanggung jawab taklif dan hukum/undang-undang yang dibebankan kepada pundaknya. Oleh karena itu asas islam dan semua agama, ialah ketaatan atas setiap taklif dan undang-undang ilahi. Oleh sebab itu syi’ar semua nabi ialah mendakwahkan kalimah tauhid “lailaha illallah”, karena dari situ berarti pengakuan atas eksistensi pencipta kita dan bahwa kita ialah hambaNya. Semua itu menyebabkan segala apa yang dikehendaki-Nya atas diri kita harus kita laksanakan, baik berupa perintah maupun larangan. Dapat diambil kesimpulan bahwa ruh agama ialah kebebasan atas setiap batasan dan penghambaan selain penghambaan terhadap Dzat Yang Maha Agung.

Setiap manusia secara alami (takwini) memiliki kebebasan berkehendak (ikhtiyar). Walaupun asli penciptaan manusia dan alam semesta ini ialah atas kehendak Ilahi, baik secara kualitas maupun kuantitas dan diluar alam bawah sadar manusia mereka telah bertasbih kepadaNya. Dari sisi yuridis (tasri’i) kehendak Ilahi telah berhubungan dengan penunjukkan jalan baik dan buruk yang harus dilalui oleh manusia. Manusia dari sisi kepemilikannya atas ikhtiyar tersebut mampu memilih jalan menuju kesempurnaan dengan cara melaksanakan taklif ilahi, yang dengannya tujuan agung yaitu mendekatkan diri kepada-Nya (taqarrub ilallah) akan terwujud.

_______________________________________


Antara Keragaman Pemahaman Agama dan Perselisihan Antar-fatwa·

Oleh: Ayatullah Taqi Mishbah Yazdi


Soal: Apakah yang dimaksud dengan Keragaman Pemahaman Agama? Apa bedanya dengan perbedaan fatwa di antara para mujtahid dalam sebagian persoalan-persoalan hukum?

Jawab: Isu Keragaman Pemahaman Agama muncul dari pemikiran Pluralisme Agama dalam konteks teoritis, yaitu pemikiran yang berusaha meyakinkan bahwa agama ialah sebuah hakikat yang hanya ada di sisi Tuhan, sementara umat manusia dan bahkan para Nabi tidak akan mampu menyentuhnya. Lebih dari itu, mereka menafsirkan fenomena beragamnya agama-agama samawi sebagai tampilan dan manifestasi dari satu hakikat (Ultimate Reality).

Aliran pemikiran ini menganggap bahwa perbedaan antaragama berawal dari beragamnya pemahaman atas agama itu sendiri. Umat Islam mempunyai pemahaman yang khas mengenai agama dan wahyu ilahi, yang berbeda dengan pemahaman umat Kristen dan kaum Yahudi. Sementara, agama adalah satu hakikat yang tetap, utuh dan khusus milik Tuhan, dimana tidak ada satupun dari manusia, sekalipun dia itu dari kalangan Nabi, dapat mengetahui dan menyingkapnya. Adapun, apa saja yang berada dalam jangkauan pengetahuan manusia tidak lebih dari pemahaman konseptual manusia biasa.

Umpamanya, nabi Muhammad saww. –waliyazubillah- mempunyai pemahaman yang sesuai dengan kondisi-kondisi fisik, social dan nilai-nilai jamannya kala itu menyangkut wahyu dan agama. Beliau sama sekali tidak pernah mengetahui agama sebagaimana yang ada pada Tuhan. Dalam konteks tablighpun, beliau menyampaikan agama Tuhan yang terkontaminasi oleh pemahamannya yang tidak lagi murni, oleh latar belakang pemikiran dan oleh keadaan-keadaan jiwanya.

Pendukung-pendukung Pluralisme ini mengatakan, melihat perkembangan ilmu yang sedemikian pesatnya pada jaman sekarang, sangat mungkin kita masih lebih baik memahami agama daripada Nabi. Pada saat yang sama, mereka menyadari pula, bahwa pemahaman-pemahaman agama yang mereka temukan tidak ada garansi kebenaran dan validitasnya. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang berhak mengklaim bahwa pemahamannya lebih baik dari pemahaman selainnya.

Atas dasar ini, pandangan sirathaye mustaqim (jalan-jalan yang lurus) menggantikan posisi siratul mustaqim (sebuah jalan yang lurus). Dan, semua pemahaman -dengan segenap keragaman dan perbedaaannya- adalah tampilan-tampilan dari kebenaran tunggal dan mutlak. Semua pemahaman itu bisa mengantarkan kita kepada tujuan. Pada akhirnya, tidak ada satu agamapun yang lebih unggul dari agama lain.

Jelas sekali bahwa berdasarkan pandangan di atas, benar dan salah, baik dan buruk, agama yang hak dan agama yang batil, adalah kata-kata yang tak bermakna (meaningless). Karena, masih menurut konsekuensi pandangan itu, apa saja yang dianut dan dinyatakan oleh setiap orang atau kelompok menyangkut agama dan ketuhanan masing-masing, kendati saling bertentangan dan saling menyalahkan, semuanya benar dan tidak perlu dipertanggungjawabkan.

Tampaknya, rapuhnya pandangan sirathaye mustaqim (jalan-jalan yang lurus), sesuai dengan pengertian di atas tadi, begitu jelas sekilas saja kita merenung. Karena, klaim-klaim agama dalam kebanyakan persoalan itu berbeda-beda dan saling bertentangan. Sementara, pembenaran atas semua agama itu berarti pembenaran atas dua sisi kontradiktif, sebuah sikap intelektual yang oleh akal secara lugas dan blak-blakan ditolak mentah-mentah. Sebagai contoh, tidak ada seorang berakal sehat bisa menerima secara logis konsep trinitas Kristen sekaligus juga mengakui konsep tauhid Islam dalam kapasitas keduanya sebagai dua pemahaman kontradiktif, lalu menyatakan bahwa dua pemahaman ini menunjuk pada satu realitas sejati, yaitu Tuhan.

Yang mesti diperhatikan disini adalah perbedaan mendasar antara pemikiran Pluralisme di bidang Epistemologi dan fenomena beragamnya pemahaman para mujtahid atas sumber-sumber hukum dalam sebagian permasalahan-permasalahan parsial dan furu’ agama. Pluralisme epistemologis menegaskan bahwa semua pengetahuan manusia, termasuk pengetahuan agamanya, adalah nisbi dan menurut pada mentalitas serta rangkaian asumsi yang diperolehnya dari bidang-bidang sosial atau ilmu-ilmu pengetahuan lainnya, sementaraa fenomena beragamnya pemahaman para mujtahid tidaklah demikian. Sebab, keduanya berada di dua bidang yang benar-benar berbeda. Maka, perbedaan fatwa antarmujtahid sama sekali tidak bisa dijadikan alasan dan pembelaan atas kebenaran Pluralisme Agama.

Apa yang dikenal dengan Pluralisme Agama pada tataran teoritis, sebagai versi lain dari pemikiran Keragaman Pemahaman Agama, adalah sebuah pemikiram yang secara logika tidak berdasar. Padahal, bukan hanya perbedaan pemahaman kaum mujtahid mengenai sebagian sumber hukum pada sejumlah persoalan furu’ agama itu sebagai fenomena yang lumrah dan maklum, tetapi juga perubahan pemahamn seorang mujtahid atas satu sumber hokum pada dua masa yang berbeda, dan pada gilirannya berubahnya fatwa sang mujtahid itu, sebagaimana yang contohnya kita temukan dengan sangat mudah, adalah satu realitas yang wajar dan logis.

Untuk memperjelas permasalahan di atas ini, kita akan menguraikan kelaziman membedakan dua bentuk pengetahuan manusia:
1. pengetahuan-pengetahuan yang tetap dan konstan.
2. pengetahuan-pengetahuan yang berubah-ubah .

Ada sebagian pengetahuan manusia yang tidak bisa diragukan lagi dan tidak bisa diberikan kemungkinan akan berubah. Contoh dari jenis pengetahuan ini bisa kita jumpai begitu banyaknya di deretan pengetahuan-pengetahuan rasional non-agama ataupun di arsip-arsip pengetahuan agama. Misalnya, manusia yakin bahwa ia mempunyai satu kepala di bagian paling atas dari tubuhnya, dan tidak ada satu pun dari manusia yang berakal sehat akan mengatakan bahwa saya sampai sekarang ini salah menyakini bahwa saya mempunyai satu kepada, bahwa seseungguhnya saya mempunyai dua kepada, itupun di bawah dua kaki saya. Atau seseorang yakin bahwa dua tambah dua itu empat. Pemahaman ini begitu primordial dan kunonya, sehingga hasil pertambahan itu pada masa sekarang ini harus kita nyatakan lima.

Dalam prinsip-prinsip dan aksioma-aksioma agama pun, tidak ada dari kaum muslim yang menyatakan bawah Tuhan itu dua, atau salat subuh itu satu rakaat, atau puasa wajib bulan ramadhan itu dilakukan di bulan rajab. Kitab-kitab fikih penuh dengan hukum-hukum pasti dan tidak berubah-ubah. Dalam hal itu, tidak ditemukan perbedaan dan perubahan fatwa.

Adapun, jenis kedua dari pengetahuan manusia adalah dzanni (dugaan) yang dipengaruhi oleh bidang-bidang ilmu dan kerangka-kerangka budaya serta social. Dan, kadangkala mungkin saja ada ilmu-ilmu lain yang turut berperan dalam kemunculannya. Pengetahuan-pengetahuan seperti ini rentan sekali mengalami perubahan dengan berubahnya asumsi-asumsi apriori dan kerangka khas budaya social, sebagaimana yang terjadi pada pengetahuan-pengetahuan umumnya manusia.

Dalam pengetahuan-pengetahuan non-agama, tidak sedikit adanya teori-teori ilmiah seperti teori Heleosentris yang terbukti kekeliruannya, ataupun adanya kemungkinan perubahan di dalamnya. Di antara hukum-hukum furu’ agama, juga ditemukan sejumlah contoh dari perubahan pendapat dan perbedaan fatwa. Misalnya, dari teks-teks sumber fikih yang tersedia, kaum mujtahid terdahulu menyimpulkan bahwa air sumur bukanlah air kur, sehingga pertemuannya dengan benda najis menyebabkannya menjadi najis, dan untuk menyucikannya diperlukan kadar air tertentu. Padahal, kaum mujtahid sekarang memahami bahwa air sumur itu air kur, dan ia tidak menjadi najis tatkala bertemu dengan benda yang najis.

Contoh lain, berbedaan pemahaman kaum mujtahid dalam persoalan apakah pada rakaat ketiga dan keempat solat diwajibkan cukup membaca satu kali tasbih arbaah ataukah tiga kali. Perbedaan parsial demikian ini dalam memahami sumber-sumber hukum adalah persoalan yang sangat mungkin terjadi. Tetapi, yang tidak bisa diterima oleh akal dan logika yaitu bahwa perubahan parsial ini kita jadikan sebagai alasan untuk mengatakan; karena dalam persoalan-persoalan parsial ini terjadi perubahan dan perselisihan pendapat serta fatwa, maka manusia sama sekali tidak akan bisa mempunyai pengetahuan yang tetap dan diyakininya secara penuh dan mutlak. Maka itu, semua pengetahuannya senantisa berubah-ubah.

Pernyataan demikian ini, yang biasa dikenal juga dengan mughalathah (mencampuradukkan yang umum dan yang khusus), lebih merupakan penyataan puitis ketimbang argumentasi rasional dan logis. Oleh karena itu, persoalan perbedaan fatwa antarmujtahid dengan pemikiran Keragaman Pemahaman Agama secara substansial benar-benar berbeda.

Perbedaan fatwa sama sekali tidak bisa dianggap sebagai bagian dari Keragaman Pemahaman Agama. Bahkan pada dasarnya, pemikiran Keragaman Pemahaman Agama dengan pengertian tersebut dahulu adalah pemikiran yang menurunkan banyak kontradiksi, belum lagi secara logika tidak didukung oleh pembenaran rasional.

(Syiah-Sunni/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: