Ada riwayat-riwayat yang melarang para pria bermusyawarah dengan para perempuan, apakah riwayat-riwayat ini shahih? Kita mempunyai hadis-hadis yang melarang bermusyawarah dengan para perempuan. Dan sebagian mengatakan, apabila kamu ragu dalam urusan, maka bermusyawarahlah dengan perempuan dan lakukanlah kebalikannya.
Sebuah hadis yang berhubungan dengan hal ini bahwasanya diriwayatkan dari Amirul Mukminin Ali as, “Janganlah engkau bermusyawarah dengan para perempuan kecuali mereka yang sudah dibuktikan kesempurnaan akalnya karena pendapat mereka menarik manusia kepada kelemahan dan keinginan mereka kepada sesuatu yang tak berdaya.” (Bihâr Al-Anwâr, jld. 100, hlm. 250)
Mungkin kita memiliki hadis-hadis seperti ini sekitar sepuluh atau dua belas yang berkenaan dengan hal ini.
Perlu kami ingatkan beberapa poin:
Pertama: Sebagaimana yang telah dikatakan bahwa setiap hadis bukan otentik melainkan hanya hadis-hadis yang shahih, muwatstsaq atau hasan yang otentik. Namun hadis-hadis dha’if, mursal, marfu’ majhul dan semisalnya bukan hujjah. Diantara hadis-hadis ini sebagian adalah dha’if dan tidak otentik. Yang pasti ada hadis-hadis yang juga benar di dalamnya. Oleh karena itu, hadis-hadis tersebut tidak bisa diambil qath’î (pasti) disebabkan jumlahnya.
Kedua: di antara riwayat-riwayat yang bukan Qath’î Al-Shudûr kita menganggapnya muktabar bila membawa satu hukum taklif bagi kita, bukan hadis-hadis yang misalnya memberitahukan suatu realitas seperti hadis yang mengatakan: “Janganlah kalian bermusyawarah dengan para perempuan karena bila kalian bermusyawarah dengan mereka maka mereka akan menarik kalian kepada kelemahan. Maksud riwayat-riwayat ini tidka bisa dikatakan menjelaskan suatu hukum syar’i dan ta’abbudi, tetapi bentuk persoalan-persoalan irsyâdi (instruksi).
Permasalahan lain adalah sebagian hadis-hadis ini merupakan mutlak dan yang lain adalah muqayyad (terikat) seperti memberi pengecualian, “Kecuali mereka yang sudah dibuktikan kesempurnaan akalnya.” Yaitu janganlah kamu bermusyawarah kecuali dengan seseorang yang terbukti kesempurnaan akalnya. Di saat kita ingin mengumpulkan diantara riwayat-riwayat, secara kaidah kita harus berkata seperti ini pada mulanya janganlah engkau terima perkataan para perempuan -karena pendapat mereka lemah dan cenderung kepada kelemahan- kecuali mereka yang sudah teruji kelayakannya. Maka menjadi jelas, pendapat para perempuan yang berakal bisa dilaksanakan dan bisa bermusyawarah dengan mereka. Berkenaan dengan para pria, kita juga mempunyai persoalan ini. Ada riwayat-riwayat yang memerintahkan supaya kalian bermusyawarah dengan orang-orang berakal dan janganlah kalian bermusyawarah dengan orang-orang yang tidak mempunyai akal yang sehat. Maka berkaitan dengan para pria juga dikatakan seperti itu.
Dari sini bisa dikatakan bahwa manusia yang ingin bermusyawarah dengan siapapun apabila laki-laki atau perempuan, maka dia harus mengetahuinya, manusia yang berkeinginan baik, berakal, dan orang baik. Dan tidak ada perbedaan dalam sisi ini antara perempuan dan pria.
Nabi Saw. dan para Imam as juga bermusyawarah dengan para perempuan dalam beberapa hal. Misalnya dalam Shulh Hudaibiyah pada saat Nabi Saw. menulis perjanjian dengan kaum Musyrikin. Para sahabat dan Nabi Saw. sendiri sudah berpakaian ihram untuk pergi ziarah dan thawaf di Mekkah. Namun berdasarkan perjanjian Shulh (perdamaian) diputuskan bahwa pada tahun itu kaum muslimin tidak pergi untuk melaksanakan haji. Nabi saw. bersabda kepada para sahabat: “Bertahallulah kalian dan keluarlah dari ihram.” Bagi para sahabat keputusan ini sangat berat. Karena seseorang yang berihram bisa bertahallul (keluar dari ihram) bila telah melakukan tawaf. Keluar dari ihram tanpa melakukan tawaf bagi mereka tidak bisa diterima. Oleh karena itu, walaupun Nabi Saw. secara jelas bersabda, “Bertahallulah kalian”, mereka para sahabat tidak patuh kepada beliau. Nabi Saw. kembali ke kemah khususnya. Ummu salamah -istri beliau Saw.- bertanya, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau bersedih?” Beliau Saw. menjawab, “Aku memutuskan suatu keputusan namun orang-orang tidak mendengarkan.” Ummmu Salamah mengusulkan, “Wahai Rasulullah, engkau sendiri yang menyembelih kambing, dan memotong rambut dan bertahallul. Jangan engkau perdulikan mereka.” Nabi Saw melakukan pekerjaan ini di hadapan para sahabat lalu mereka bertahallul.
Di banyak tempat kita menyaksikan Ali as bermusyawarah dengan Fatimah as Bagaimanapun juga diantara para Imam as juga bermusyawarah dengan para perempuan. Namun dengan kondisi yang ada pada zaman itu karena para perempuan lebih sedikit berada dalam masyarakat dan memiliki pengalaman intelektual yang lebih sedikit, dari sisi inilah diperintahkan supaya “Janganlah kalian bermusyawarah dengan para perempuan karena mereka tidak sempurna (akalnya).” Namun mereka mengatakan: “Janganlah kalian membawa para perempuan ke dalam mayarakat.” Hadirnya para perempuan dalam masyarakat menyebabkan mereka sempurna dalam akalnya dan pandangan musyawarah mereka juga lebih tepat sasaran.
Poin lainnya adalah apabila kita mengatakan bahwa pengecualian mempunyai konotasi, maka disaat riwayat melarang bermusyawarah dengan para perempuan kecuali dengan mereka yang sudah teruji kesempurnaan akalnya, bisa disimpulkan bahwa bermusyawarah dengan para perempuan yang dari sisi akal diakui tidak hanya tidak ada larangan tetapi pekerjaan ini justru diperintahkan dalam riwayat.
Bagaimanapun juga, Islam menekankan dan menganjurkan bermusyawarah. Dan manusia yang bermusyawarah dengan setiap orang yang ahlinya maka bermanfaat. Disamping itu dalam sebagian riwayat-riwayat dalam urusan-urusan yang berkaitan dengan para perempuan sendiri dan anak-anaknya, maka bermusyawarahlah kalian dengan mereka karena mereka lebih mengetahui permasalahan-permasalahan. Pada dasarnya, berkenaan dengan riwayat-riwayat ini dan juga riwayat-riwayat yang berhubungan dengan kurang akal, apabila kita ingin, supaya dikaji dengan baik, maka harus satu persatu riwayat tersebut diteliti.
(Studi-Syiah/Tebyan/berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email