Logiskah kelompok-kelompok jihadis yang selalu mengusung slogan pembelaan terhadap Sunni itu justru mengeksekusi mati sandera Sunni terlebih dahulu? Pesan apa yang ingin mereka sampaikan? Dan terakhir, adakah peluang negosiasi dan kompromi dengan kelompok-kelompok ekstremis seperti ini?
Pada pekan terakhir Agustus 2014 lalu, Lebanon menyaksikan peristiwa yang mengejutkan: seorang bintara berpangkat sersan bernama Ali al-Sayyed yang bermazhab Sunni mati tersembelih. Awal September ini, pemerintah Lebanon memastikan mayatnya untuk kemudian diserahkan kepada keluarganya.
Pertanyaannya, mengapa milisi militan Sunni gabungan Jabhat Al-Nusro dan ISIS yang selama dua bulan belakangan menguasai Ersal memenggal sersan yang bermazhab Sunni terlebih dahulu dan bukan yang bermazhab Syiah? Mengapa di antara 28 tahanan yang ada dalam genggamannya mesti al-Sayyed yang disembelih?
Logiskah kelompok-kelompok jihadis yang selalu mengusung slogan pembelaan terhadap Sunni itu justru mengeksekusi mati sandera Sunni terlebih dahulu? Pesan apa yang ingin mereka sampaikan? Dan terakhir, adakah peluang negosiasi dan kompromi dengan kelompok-kelompok ekstremis seperti ini?
Radwan Mortadha, jurnalis investigatif dari Al-Akhbar yang membidangi gerakan-gerakan ekstremis, mencoba mencari rangkaian jawabannya. Sebelum menukik pada inti persoalan, Mortadha melansir bocoran percakapan yang menyebar di media sosial antara anggota Hay’at Ulama Al-Muslimin (setara dengan MUI di Lebanon), Syeikh Adnan Umama, dan asisten ulama salafi terkenal, Dai al-Islam al-Shahhal. Dalam percakapan itu, Umama berkomentar soal penyembelihan al-Sayyed begini, “Sialnya, kejadian itu benar adanya. Mereka ini musuh-musuh yang bersembunyi di balik kedok agama, dan pimpinan mereka lebih keji daripada rezim Suriah dan semua musuh yang lain. Mereka telah memulai dengan kita.”
Maksud Syaikh Umama dengan “kita” dalam komentarnya tak lain adalah komunitas Sunni Lebanon. Kejadian itu memang akhirnya menggugah banyak kalangan ulama, politisi, aktivis dan tokoh Sunni Lebanon yang semula ragu-ragu memerangi takfirisme kini berani tampil terdepan. Mereka tak bisa menerima fakta mengapa gerombolan jihadi takfiri itu justru memulai penyembelihan sersan Sunni dari sekian banyak tentara Lebanon yang ditahan dari berbagai kelompok agama dan mazhab.
Menurut sejumlah sumber Al-Akhbar, gerombolan takfiri itu menentukan pilihannya berdasarkan pijakan syariat dan politik. Secara politik, mereka percaya bahwa “membunuh tentara Syiah tidak banyak membantuk tujuan mereka sebagaimana pembunuhan atas tentara Sunni. Bahkan, aksi seperti itu akan menjadi senjata memakan tuan lantaran ia bakal semakin merapatkan barisan Syiah di belakang Hizbullah.” Dan tentu saja mereka punya argumen bahwa “ikatan dan persatuan Syiah dalam meraih tujuan mereka lebih kuat dibanding dengan Sunni, yang mereka anggap lemah dan terpecah-belah.”
Tapi, argumen politik di atas tidaklah menentukan dalam pengambilan putusan akhir. Yang lebih menentukan dalam pilihan mereka ialah argumen syar’i yang menjadi asas dalam pola pikir gerakan-gerakan takfiri yang sebenarnya. Mereka percaya bahwa “tentara Sunni Lebanon adalah golongan murtad, sedangkan tentara Syiah adalah kafir.” Yang murtad mendapat hukuman mati dengan cara yang mendahului dan melampaui hukuman bagi yang kafir.
Menurut sumber-sumber yang dekat dengan gerombolan ISIS di Qalamoun, mereka memandang “tentara Syiah sebagai kafir lantaran penyimpangan dalam akidah dan keyakinan mereka.” Sebaliknya, tentara Sunni sebenarnya adalah seorang Muslim. Tapi, karena ia bergabung dengan angkatan bersenjata Lebanon, maka ia wajib dihukumi sebagai murtad. Angkatan bersenjata Lebanon—dan semua angkatan bersenjata lain di dunia—dalam pandangan gerombolan ini adalah “golongan setan yang harus dinyatakan kafir, diperangi, dan dibersihkan dari masyarakat Muslim.”
Dalam keyakinan golongan takfiri, karena tentara Sunni berbuat murtad (keluar dari Islam), maka mereka harus dihukum mati. Dan bahwa membuhuh kaum murtad harus didahulukan daripada membunuh kaum kafir. Bagi gerombolan takfiri, “Syiah tidak dibolehkan memeluk Islam, dan karenanya, satu-satunya solusi bagi mereka adalah kematian.”
Namun demikian, pembunuhan atas Sunni yang murtad wajib didahulukan atas kaum kafir dan bahwa yang murtad ini tidak diterima tobatnya berdasarkan ayat-ayat berikut: “Sesungguhnya orang-orang kafir sesudah beriman, kemudian bertambah kekafirannya, sekali-kali tidak akan diterima taubatnya; dan mereka itulah orang-orang yang sesat.” (QS Alimran: 90).
Mereka juga berpijak pada biografi Khulafa Al-Rasyidun, terutama khalifah pertama Abu Bakar, yang menghentikan semu aoperasi militer terhadap kaum kafir untuk dapat memusatkan kekuatan memerangi kaum murtad yang keluar dari Islam setelah wafat Nabi.
Marilah kita sejenak kembali ke persoalan kita di Indonesia sendiri. Kelompok takfiri, yang mengkafirkan Syiah dan Ahmadiyah, secara naluri dan pola pikir juga akan mengkafirkan mayoritas Muslim Indonesia. Orang-orang seperti Ahmad bin Zein Alkaff, Farid Okbah dan sejumlah pimpinan MUI yang ingin seenaknya mengkafirkan Syiah tidak lama lagi juga akan mengkafirkan yang lain, dan pada gilirannya mayoritas yang tidak ikut tunduk patuh pada mereka.
So, pengkafiran ini hanya cara mereka mendominasi, menundukkan orang lain, dan juga memuaskan hasrat mereka berkuasa secara picik dan kroco. Jika mereka memang kesatria, tentu kontestasi demokratis melalui pemilihan umum akan menjadi pilihan. Tapi, jiwa mereka yang kroco hanya ingin perhatian, kekuasaan, dominasi dan hegemoni dengan cara yang lucah, vulgar, licik dan picisan, yakni merendahkan dan mengkafirkan yang lain sehingga seolah-olah mereka ini punya kedudukan yang setara dengan para nabi dan pejuang. Padahal, semua juga tahu siapa mereka ini, dan kekuatan mana yang memanfaatkan mereka.
(Source)
Post a Comment
mohon gunakan email