Pesan Rahbar

Home » , , , , » Bibit-Bibit ISIS di Sekitar Kita

Bibit-Bibit ISIS di Sekitar Kita

Written By Unknown on Saturday, 15 November 2014 | 17:03:00

Habib Ali Aljiri

Mufti Besar Mesir, Shawqi Allam, telah melakukan langkah tepat sekali dengan mendesak orang untuk mengganti penyebutan ISIS (Islamic States of Iraq and Syiria) menjadi QSIS (Qaeda Separatist in Iraq and Sham) atau Sempalan Al-Qaeda di Irak dan Suriah. Lantaran dunia telah lama memerangi Al-Qaeda, maka salah satu taktik kelompok ini ialah dengan menciptakan berbagai cabang organisasi seperti Jund Al-Islam (Mesir), Anshar Al-Syaria (Mesir, Libya, Yaman), Anshar Bayt Al-Maqdis (Mesir) dan yang paling terakhir, ISIS.

Kelompok-kelompok ini muncul sebagiannya karena fakta bahwa keyakinan sesat mereka telah berakar dalam sistem pendidikan kita, masjid kita, media kita -- dan bahkan dalam cara kita berpikir, bereaksi dan menjalani hidup.

Pelbagai kurikulum sekolah di sebagian negara Muslim dipenuhi dengan virus fundamentalisme dan ekstremisme yang memunculkan generasi ekstremis. Sekolah-sekolah inilah yang kini berusaha untuk cuci tangan dari tuduhan melahirkan alumni-alumni seperti itu.

Sejalan dengan itu, lembaga-lembaga lain memberikan pendidikan yang tidak efektif dan lemah. Jumlah pengetahuan tentang Islam yang mereka berikan kepada kalangan siswa tidak memadai untuk melindungi mereka dari jerat jaring laba-laba perekrut ekstrimis. Kita melihat dokter, insinyur dan matematikawan—semuanya lulusan lembaga-lembaga ini—ikut bertempur di jajaran pasukan ISIS. Kita juga telah melihat banyak lulusan dari berbagai cabang regional universitas-universitas asing dan Amerika yang mendaftar ke ISIS.

Setelah serangan 11 September di Amerika Serikat, sebagian besar negara Muslim menghapus pengajaran tentang jihad dari kurikulum sekolah. Hasilnya, generasi remaja Muslim justru tidak memahami aturan jihad yang benar menurut hukum Islam yang hakiki. Maka, kaum ekstrimis mampu dengan mudah meyakinkan mereka bahwa aksi-aksi kejahatan yang mereka tebar dengan kedok jihad adalah "jihad" yang sesungguhnya.

Demikian juga, masjid di banyak negara cenderung jatuh ke dalam dua kategori.
Pertama, masjid dimana pengkhotbahnya rutin mengisi pikiran jamaah dengan ekstremisme dan intoleransi, memenuhi hati mereka dengan kebencian dan dendam, dan menyesaki jiwa mereka dengan kemarahan dan kesombongan. Khotbah mereka berapi-api, kuliah mereka licik dan bahkan kelas-kelas menghafal Qur'an yang mereka gelar menjadi sarana untuk merekrut para pemuda sejak usia dini.

Kedua, masjid dengan para pengkhotbah yang sekadar melakukan pekerjaan. Mereka tidak memiliki keinginan yang tulus untuk memanggil orang-orang kepada Allah, untuk melayani mereka dan untuk memperbaharui iman mereka. Khotbah mereka lemah dan dangkal. Jamaah hadir hanya untuk melakukan kewajiban agama. Mereka datang hanya untuk sholat, dan meninggalkan mesjid dalam keadaan yang sama seperti mereka masuk -- bahkan lebih jenuh dan tidak puas.

Lalu ada peran yang dimainkan oleh kanal teve satelit. Di sini juga ada dua kategori:
Pertama, kanal yang menayangkan wacana keagamaan yang membangkitkan kebencian, menutup pikiran dan mendorong sektarianisme. Agamawan ditampilkan sebagai seseorang yang jauh dari keindahan, cinta dan perenungan. Mereka juga menggunakan iman sebagai alat pemasaran untuk menjual produk yang tidak berbeda dari yang sudah ada, kecuali bahwa produk-produk itu memiliki label-label keagamaan seperti "Mecca Cola", "Zam Zam Cola" dan "Ka'bah Perfume". Mereka bahkan memasarkan obat-obatan herbal yang secara sembarangan diberi label "Pengobatan Nabawi".

Kedua, kanal teve satelit yang mempermainkan emosi masyarakat dengan mengklaim bahwa siapa pun boleh mengeluarkan keputusan hukum atau fatwa. Mereka mengentengkan topik-topik sakral, menyerang nilai-nilai agama, dan menyebar-luaskan ajaran-ajaran sekuler garis keras. Dalih mereka adalah hak kebebasan berekspresi, kebebasan mereka untuk ‘mencerahkan’ masyarakat dan kebebasan mereka untuk mencetuskan perubahan. Semua ini mereka lakukan sambil melecehkan nilai-nilai, etika atau norma-norma sosial.

Dengan gaya seperti itu mereka sejatinya sedang memperparah defisit mental dan emosional yang dirasakan oleh banyak pemuda: perasaan-perasaan tulus berupa kepedulian dan keinginan melindungi agama, yang dirasakan oleh para pemuda terhadap agama mereka dan nilai-nilai mereka, serta kemarahan yang mereka rasakan ketika simbol-simbol agama mereka dipermainkan.

Kelompok ekstremis memanfaatkan situasi ini dengan menawarkan jalan pelampiasan perasaan ini, yakni bergabung dalam perjuangan bersenjata "membela" agama dan nilai-nilai mereka.

Habib Ali Al-Jifri
Sebelum para pendukung pencerahan, pembebasan dan perubahan regional memperdebatkan klaim-klaim di atas, mari kita perjelas dulu. Di setiap masyarakat ada kesamaan paham bahwa kebebasan berekspresi tunduk pada serangkaian hukum dan batasan yang mengatur garis tipis antara prinsip kemudaratan—bahwa "tindakan seseorang harus dibatasi untuk mencegah kerugian bagi orang lain "— dan apa yang dianggap sebagai pelanggaran hukum. Tapi dalam pelaksanaannya  orang bisa berbeda. Ada yang diatur oleh prinsip-prinsip hukum, ada yang diatur dengan prinsip-prinsip agama dan sisanya diatur oleh aturan tak tertulis yang umumnya ditafsirkan sebagai, akal sehat.

Semua ini berarti bahwa setiap pembicara harus menyadari bahwa dia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang mereka katakan. Pernyataan bahwa ada masyarakat yang memiliki kebebasan mutlak dalam berekspresi adalah pernyataan yang naif. Kita harus sudah melampaui (kenaifan) itu dan berusaha untuk membangun masyarakat yang tunduk pada prinsip-prinsip tersebut di atas.

Ada sesuatu yang lebih pelik ketimbang pelbagai masalah terkait lembaga pendidikan, masjid dan media kita. Soalnya adalah: banyak dari kita memiliki mentalitas mirip ISIS. Ada banyak kaum laki-laki, misalnya, yang terlalu keras dan kasar dalam hubungan mereka dengan istri dan anak-anak mereka. Termasuk juga orang-orang keranjingan mengendalikan (rumah tangga atau lingkungan) sehingga tidak mentolerir diskusi di rumah atau bahkan sekedar meninjau kembali keputusan-keputusan mereka, karena mereka berpikir itu merupakan penyimpangan dan pengingkaran atas hak patriarkal.

Mereka bahkan mungkin mengutip teks suci sebagai bukti untuk menegaskan hak-hak mereka sembari mengabaikan bahwa orang lain juga punya hak terhadap mereka. Mereka juga bisa sama-sama keras dan dominan dalam interaksi mereka dengan karyawan mereka atau bawahan, bahkan jika orang-orang yang bekerja untuk mereka adalah sopir atau pembantu rumah tangga. Ideologi memalukan dan jahat ISIS adalah konsekuensi alami dari faktor-faktor itu.

Jika kita tidak memiliki strategi yang berani dan menyeluruh untuk memperbaiki penyakit ini, maka seribu organisasi serupa lainnya akan muncul setelah kehancuran ISIS. Opsi militer harus digunakan seperti pisau dokter bedah—dilakukan bersamaan dengan program penyembuhan yang komprehensif. Jika tidak, perang melawan ISIS hanya akan menjadikan ideologi yang sama kembali merekah—termasuk memperkuat keterikatan sebagian pemuda terhadap ideologi tersebut. Dan tindakan penyembuhan ini harus mencakup sisi spiritual, intelektual, dan moral.

Melawan mereka yang telah mengangkat senjata tidak boleh dikutuk. Bahkan, tindakan perlawanan itu bisa jadi wajib ketika situasi kritis. Namun, harus ada visi yang komprehensif untuk menangani ISIS beserta ideologi dan pemikiran yang mewakilinya.

Ulama, pemimpin keagamaan, intelektual dan media harus bekerja sama untuk menemukan solusi yang masuk akal. Pemerintah harus melakukan tugas mereka mengembangkan pikiran dan jiwa pemuda.
Mereka harus menyadari bahwa pelatihan kejuruan dan menciptakan lapangan kerja, meskipun penting, tidak cukup untuk memecahkan masalah -- seperti yang sudah terbukti saat ini. Terlalu sering kita melihat upaya melawan ekstremisme yang keras hanya sebatas operasi ‘pedaman api’, didasarkan pada reaksi spontan atas kejadian sehari-hari.

Kini, waktunya telah tiba untuk mendapatkan solusi jangka panjang terhadap masalah-masalah bersama kita.

***

* Habib Ali Al-Jifri adalah ulama pendiri Tabah Foundation, sebuah institute penelitian di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Saduran ini merujuk pada opini Al-Jifri, “Defeating ISIL’s appeal starts long before youth hear the call of jihad”, yang diterbitkan pertama kali The National, koran berbahasa Inggris di Abu Dhabi, pada 18 Oktober 2014.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: