Mufti Besar Mesir,
Shawqi Allam, telah melakukan langkah tepat sekali dengan mendesak orang
untuk mengganti penyebutan ISIS (Islamic States of Iraq and Syiria)
menjadi QSIS (Qaeda Separatist in Iraq and Sham) atau Sempalan Al-Qaeda
di Irak dan Suriah. Lantaran dunia telah lama memerangi Al-Qaeda, maka
salah satu taktik kelompok ini ialah dengan menciptakan berbagai cabang
organisasi seperti Jund Al-Islam (Mesir), Anshar Al-Syaria (Mesir,
Libya, Yaman), Anshar Bayt Al-Maqdis (Mesir) dan yang paling terakhir,
ISIS.
Kelompok-kelompok ini muncul sebagiannya karena fakta bahwa keyakinan
sesat mereka telah berakar dalam sistem pendidikan kita, masjid kita,
media kita -- dan bahkan dalam cara kita berpikir, bereaksi dan
menjalani hidup.
Pelbagai kurikulum sekolah di sebagian negara Muslim dipenuhi dengan
virus fundamentalisme dan ekstremisme yang memunculkan generasi
ekstremis. Sekolah-sekolah inilah yang kini berusaha untuk cuci tangan
dari tuduhan melahirkan alumni-alumni seperti itu.
Sejalan dengan itu, lembaga-lembaga lain memberikan pendidikan yang
tidak efektif dan lemah. Jumlah pengetahuan tentang Islam yang mereka
berikan kepada kalangan siswa tidak memadai untuk melindungi mereka dari
jerat jaring laba-laba perekrut ekstrimis. Kita melihat dokter,
insinyur dan matematikawan—semuanya lulusan lembaga-lembaga ini—ikut
bertempur di jajaran pasukan ISIS. Kita juga telah melihat banyak
lulusan dari berbagai cabang regional universitas-universitas asing dan
Amerika yang mendaftar ke ISIS.
Setelah serangan 11 September di Amerika Serikat, sebagian besar
negara Muslim menghapus pengajaran tentang jihad dari kurikulum sekolah.
Hasilnya, generasi remaja Muslim justru tidak memahami aturan jihad
yang benar menurut hukum Islam yang hakiki. Maka, kaum ekstrimis mampu
dengan mudah meyakinkan mereka bahwa aksi-aksi kejahatan yang mereka
tebar dengan kedok jihad adalah "jihad" yang sesungguhnya.
Demikian juga, masjid di banyak negara cenderung jatuh ke dalam dua kategori.
Pertama, masjid dimana pengkhotbahnya rutin mengisi pikiran jamaah
dengan ekstremisme dan intoleransi, memenuhi hati mereka dengan
kebencian dan dendam, dan menyesaki jiwa mereka dengan kemarahan dan
kesombongan. Khotbah mereka berapi-api, kuliah mereka licik dan bahkan
kelas-kelas menghafal Qur'an yang mereka gelar menjadi sarana untuk
merekrut para pemuda sejak usia dini.
Kedua, masjid dengan para pengkhotbah yang sekadar melakukan
pekerjaan. Mereka tidak memiliki keinginan yang tulus untuk memanggil
orang-orang kepada Allah, untuk melayani mereka dan untuk memperbaharui
iman mereka. Khotbah mereka lemah dan dangkal. Jamaah hadir hanya untuk
melakukan kewajiban agama. Mereka datang hanya untuk sholat, dan
meninggalkan mesjid dalam keadaan yang sama seperti mereka masuk --
bahkan lebih jenuh dan tidak puas.
Lalu ada peran yang dimainkan oleh kanal teve satelit. Di sini juga ada dua kategori:
Pertama, kanal yang menayangkan wacana keagamaan yang membangkitkan
kebencian, menutup pikiran dan mendorong sektarianisme. Agamawan
ditampilkan sebagai seseorang yang jauh dari keindahan, cinta dan
perenungan. Mereka juga menggunakan iman sebagai alat pemasaran untuk
menjual produk yang tidak berbeda dari yang sudah ada, kecuali bahwa
produk-produk itu memiliki label-label keagamaan seperti "Mecca Cola",
"Zam Zam Cola" dan "Ka'bah Perfume". Mereka bahkan memasarkan
obat-obatan herbal yang secara sembarangan diberi label "Pengobatan
Nabawi".
Kedua, kanal teve satelit yang mempermainkan emosi masyarakat dengan
mengklaim bahwa siapa pun boleh mengeluarkan keputusan hukum atau fatwa.
Mereka mengentengkan topik-topik sakral, menyerang nilai-nilai agama,
dan menyebar-luaskan ajaran-ajaran sekuler garis keras. Dalih mereka
adalah hak kebebasan berekspresi, kebebasan mereka untuk ‘mencerahkan’
masyarakat dan kebebasan mereka untuk mencetuskan perubahan. Semua ini
mereka lakukan sambil melecehkan nilai-nilai, etika atau norma-norma
sosial.
Dengan gaya seperti itu mereka sejatinya sedang memperparah defisit
mental dan emosional yang dirasakan oleh banyak pemuda:
perasaan-perasaan tulus berupa kepedulian dan keinginan melindungi
agama, yang dirasakan oleh para pemuda terhadap agama mereka dan
nilai-nilai mereka, serta kemarahan yang mereka rasakan ketika
simbol-simbol agama mereka dipermainkan.
Kelompok ekstremis memanfaatkan situasi ini dengan menawarkan jalan
pelampiasan perasaan ini, yakni bergabung dalam perjuangan bersenjata
"membela" agama dan nilai-nilai mereka.
Habib Ali Al-Jifri
Sebelum
para pendukung pencerahan, pembebasan dan perubahan regional
memperdebatkan klaim-klaim di atas, mari kita perjelas dulu. Di setiap
masyarakat ada kesamaan paham bahwa kebebasan berekspresi tunduk pada
serangkaian hukum dan batasan yang mengatur garis tipis antara prinsip
kemudaratan—bahwa "tindakan seseorang harus dibatasi untuk mencegah
kerugian bagi orang lain "— dan apa yang dianggap sebagai pelanggaran
hukum.
Tapi dalam pelaksanaannya orang bisa berbeda. Ada yang diatur oleh
prinsip-prinsip hukum, ada yang diatur dengan prinsip-prinsip agama dan
sisanya diatur oleh aturan tak tertulis yang umumnya ditafsirkan sebagai, akal sehat.
Semua ini berarti bahwa setiap
pembicara harus menyadari bahwa dia akan dimintai pertanggungjawaban
atas apa yang mereka katakan. Pernyataan bahwa ada masyarakat yang
memiliki kebebasan mutlak dalam berekspresi adalah pernyataan yang naif.
Kita harus sudah melampaui (kenaifan) itu dan berusaha untuk membangun
masyarakat yang tunduk pada prinsip-prinsip tersebut di atas.
Ada sesuatu yang lebih pelik ketimbang pelbagai masalah terkait
lembaga pendidikan, masjid dan media kita. Soalnya adalah: banyak dari
kita memiliki mentalitas mirip ISIS.
Ada banyak kaum laki-laki, misalnya, yang terlalu keras dan kasar
dalam hubungan mereka dengan istri dan anak-anak mereka. Termasuk juga orang-orang keranjingan mengendalikan (rumah tangga atau lingkungan)
sehingga tidak mentolerir diskusi di rumah atau bahkan sekedar meninjau
kembali keputusan-keputusan mereka, karena mereka berpikir itu merupakan
penyimpangan dan pengingkaran atas hak patriarkal.
Mereka bahkan mungkin mengutip teks suci sebagai bukti untuk
menegaskan hak-hak mereka sembari mengabaikan bahwa orang lain juga
punya hak terhadap mereka. Mereka juga bisa sama-sama keras dan dominan
dalam interaksi mereka dengan karyawan mereka atau bawahan, bahkan jika
orang-orang yang bekerja untuk mereka adalah sopir atau pembantu rumah
tangga.
Ideologi memalukan dan jahat ISIS adalah konsekuensi alami dari
faktor-faktor itu.
Jika kita tidak memiliki strategi yang berani dan
menyeluruh untuk memperbaiki penyakit ini, maka seribu organisasi serupa
lainnya akan muncul setelah kehancuran ISIS.
Opsi militer harus digunakan seperti pisau dokter bedah—dilakukan
bersamaan dengan program penyembuhan yang komprehensif. Jika tidak,
perang melawan ISIS hanya akan menjadikan ideologi yang sama kembali
merekah—termasuk memperkuat keterikatan sebagian pemuda terhadap
ideologi tersebut. Dan tindakan penyembuhan ini harus mencakup sisi
spiritual, intelektual, dan moral.
Melawan mereka yang telah mengangkat senjata tidak boleh dikutuk.
Bahkan, tindakan perlawanan itu bisa jadi wajib ketika situasi kritis.
Namun, harus ada visi yang komprehensif untuk menangani ISIS beserta
ideologi dan pemikiran yang mewakilinya.
Ulama, pemimpin keagamaan, intelektual dan media harus bekerja sama
untuk menemukan solusi yang masuk akal. Pemerintah harus melakukan tugas
mereka mengembangkan pikiran dan jiwa pemuda.
Mereka harus menyadari bahwa pelatihan kejuruan dan menciptakan
lapangan kerja, meskipun penting, tidak cukup untuk memecahkan masalah
-- seperti yang sudah terbukti saat ini. Terlalu sering kita melihat
upaya melawan ekstremisme yang keras hanya sebatas operasi ‘pedaman
api’, didasarkan pada reaksi spontan atas kejadian sehari-hari.
Kini, waktunya telah tiba untuk mendapatkan solusi jangka panjang terhadap masalah-masalah bersama kita.
***
* Habib Ali Al-Jifri adalah ulama pendiri Tabah Foundation,
sebuah institute penelitian di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Saduran ini
merujuk pada opini Al-Jifri, “Defeating ISIL’s appeal starts long before
youth hear the call of jihad”, yang diterbitkan pertama kali The National
, koran berbahasa Inggris di Abu Dhabi, pada 18 Oktober 2014.