Teks Islam awal yang
memberikan gambaran cukup jelas dan rinci tentang ajaran Islam yang
diajarkan kepada penduduk Nusantara ialah risalah yang disebut Kropak
Jawa. Kropak ini adalah naskah kuna terdiri dari 23 lembar lontar
berukuran 40 X 3.5 cm, ditulis menggunakan aksara Jawa Madya. Karena
bahasa Jawa Madya yang digunakan sama dengan yang dipakai dalam kitab Pararaton.,Drewes
menetapkan bahwa kitab ini berasal dari awal abad ke-15 M. Perjalanan
kropak ini hingga ditemukan kembali, dan kemudian ditransiliterasikan ke
dalam tulisan Latin, sangatlah panjang.
Kropak ini dibawa oleh pelaut-pelaut
Belanda dari pelabuhan Sedayu dekat Tuban menuju Eropah pada tahun 1585
M. Selama lebih kurang 300 tahun ia disimpan di Perpustakaan Museum
Ferrara, Italia. Karena tidak ada yang memberi perhatian terhadap naskah
ini, pada tahun 1962 fotokopi naskah ini bersama-sama transliterasinya
oleh J Soegiarto dikirim ke Leiden. Sampai sekarang naskah ini dan
transliterasinya disimpan di Perpustakaan Museum Leiden dengan no. code
MS Cod. Or. 10811. Di Leiden naskah ini dikaji dan diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggeris oleh G. W. J. Drewes di bawah judul An Early Javanese Code of Muslim Ethics (The Hague: Martinus Nijhoff, 1978).
Drewes menisbahkan isi buku itu sebagai
ajaran Maulana Malik Ibrahim (w. 1414 M). Ini didasarkan pada kenyataan
bahwa teks itu ditulis dalam bahasa Jawa Madya seperti Pararaton yang juga ditulis pada masa yang sama. Alasan lain ialah karena pengarang buku menyebut dirinya khalifah,
sebutan yang di Jawa lazim diberikan kepada seorang ulama, pemimpin
spiritual dan sekaligus imam mesjid agung. Maulana Malik Ibrahim adalah
imam masjid agung, sekaligus ulama dan pemimpin kerohanian.
Judul risalah yang dimuat dalam naskah ini sama dengan judul risalah Imam al-Ghazali Bidayat al-Hidayah (Menjelang
Hidayah ). Tetapi versi Maulana Malik Ibrahim adalah ringkasan dan
tidak semua yang diajarkan Imam al-Ghazali dikemukakan. Namun demikian
buku ini penting dikaji karena memperlihatkan bahwa sejak awal Islam
yang diajarkan di pulau Jawa bukan Islam sinkretik sebagaimana
disangkakan olehpara orientalis. Sejak awal Islam yang diajarkan kepada
orang Jawa adalah murni mazhab Syafii. Aliran kalam atau teologinya
Asyari dan paham tasawufnya berorientasi kepada ajaran Imam al-Ghazali.
Maulana Malik Ibrahim memulai risalahnya dengan Basmalah dan menguraikan tiga baju utama ajaran Islam yaitu atinggal dunya (zuhud),
memilih pergaulan yang baik dan mengambil jarak dengan orang ramai.
Yaitu agar tidak terlalu terpengaruh. Apalagi waktu risalah itu ditulis,
orang Islam masih minoritas. Selanjutnya dikemukakan bahwa benteng
orang beriman adalah berada di mesjid, shalat lima waktu sehari, dan
mengaji al-Quran. Benteng seorang mukmin ada tiga juga yaitukanaat (puas), tidak tidur malam (atangi ing wengi),
dan menyepi. Buah merasa puas ialah hati menjadi terang; buah tak tidur
malam atau tirakat ialah memperoleh pencerahan; dan buah menyepi ialah
mudah memecahkan persoalan dunia. Kemudian diterangkan apa bentengnya
setan. Bentengnya setan adalah tidur banyak. Rumahnya setan adalah orang
yang memanjakan perut. Dan santapan setan adalah orang yang gemar
makanan haram. Semua itu menurut Maulana Malik Ibrahim merupakan jalan
mengenal Allah, dan menghindar dari ketidakpatuhan.
Ia menyebut dirinya klalifah dan mengaku bahwa apa yang dia ajarkan diambil dari kitab Imam al-Ghazali Bidayat al-Hidayah. Tetapi isinya diperluas dengan keterangan yang ada di dalam kitab fiqih seperti Masadullah, Mosabeh Mafatehdan Rawdat al-`Ulama. Rawdat al-`ulama adalah
karangan al-Zandawaisiti (w. 923 M) berisi kumpulan pedoman etika yang
dicukil dari al-Qur’an, Hadis dan ucapan para sufi (Drewes hal 6).
Adapun kitab Masabeh Mafateh mungkin adalah Kitab Mafatih al-raja’ fi sharh Masabih al-Diya, karangan al-Wasiti (w. 1394 M). Jadi merupakan buku yang masih baru ketika Maulana Malik Ibrahim menulis risalahnya.
Adalah menarik bahwa Maulana Malik Ibrahim pada bagian permulaan risalahnya mengutip hadis apokaliptik, “Apan
wontenandikanira baginda rasulullah alehi salam, hadis qudsi: Ingin
tembe lamun aparek jaman ari kiyamat, sakehing pandita mukmin wong saleh
sami padem, gumanti bida’ah, akatah kaliwat-liway katahipun,
angriridung agama Islam, akatah ujaripun salah, seset atawa kupur, mapan
kawor sakatahing mukmin…” (Pada akhir zaman, ketika hari kiamat
akan tiba, ulama sejati dan orang taat pada ajaran agama akan lenyap
dan diganti orang yang suka berbuat bidaah yang menyebabnya rancunya
ajaran Islam bercampur dengan ajaran keliru dan sesat).
Bahwa ketika buku ini ditulis, orang
Islam masih minoritas dapat dirujuk pada keterangan Tome Pires yang
mengunjungi Sedayu, tempat ditemukannya buku itu, pada tahun 1515 M.
Menurut musafir Portugis itu kendati bupati Sedayu kala itu telah
memeluk Islam, tetapi penduduk masih banyak menganut agama Hindu. Isi
buku itu tampaknya sejalan dengan penelitian Syed M. Naquib al-Attas
yang mengatakan bahwa pada tahap awal penyebaran Islam yang diutamakan
ialah pengajaran fiqih, pengantar tasawuf dan ilmu kalam. Dari kutipan
bagian awal dari risalah ini jelas sekali bahwa tasawuf yang diajarkan
adalah bukan tasawuf yang mendalam dan etika yang diajarkan bersifat
praktis.
Buku Imam al-Ghazali sendiri terdiri
dari tiga bab, secara umum membahas soal kepatuhan kepada perintah
agama, cara-cara menghindarkan diri dari dosa dan berhubungan dengan
Allah dan manusia. Dalam bab I dibahas masalah berkenaan dengan
ketaatan, cara-cara terbaik mengenai bangun dan tidur, aturan berwudhu,
cara yang terpuji pergi ke mesjid, cara mengimami shalat bersama dan
menjadi makmum, aturan puasa Ramadhan dan lain-lain. Bab II membahas
cara-cara menghindar dari dosa-dosa tubuh. Dikatakan ini merupakan jalan
penting yang harus dilalui sebelum seseorang memasuki jalan keruhyanian
dan agama. Dalam bab ini juga dikemukakan mengenai dosa-dosa jiwa,
termasuk suka pamer dan sombong. Akan tetapi dalam Kropak Maulana Malik
Ibrahim pemaparannya lebih disederhanakan. Namun Maulana Malik Ibrahim
sepakat dengan Imam al-Ghazali yang mengatakan bahwa seorang Muslim
harus senantiasa bersabar menghadapi ujian Tuhan, selalu gembira dalam
menghadapi takdir dan yakin penuh akan kekuasaan Tuhan, sebab hanya
Tuhan yang wajib dipatuhi.
Meskipun mengemukakan pentingnya zuhd (atinggal
dunya), dan pentingnya kesabaran serta penyerahan penuh kepada
kekuasaan Tuhan, tidak berarti yang diajarkan adalah sikap pasif dalam
kehidupan. Ajaran zuhud yang dikemukakan tidak pula dimaksudkan agar
seorang beriman melarikan diri dari kenyataan. Dalam uraian selanjutnya
malah dikemukakan bahwa seorang Muslim sangat dianjurkan bekerja keras
dan berikhtiar, menuntut ilmu dan mencari rezeki yang halal. Menurut
Maulana Malik Ibrahim, Islam adalah agama pikiran dan tindakan, bukan
semata agama yang mengatur peribadatan. Mengetahui kewajiban agama tanpa
mengamalkan pertanda bekunya hati dan jiwa. Tanda lain seorang yang
hatinya mati dan terkunci ialah dapat membaca kitab suci, namun tidak
mau menghayati dan menghidupkan ajaran kitab suci melalui perilaku,
pemikiran dan perkataan. Menurutnya lagi Islam terdiri dari tiga
perkara: menjadi Muslim, kemudian mukmin atau beriman, dan sesudah itu
saleh. Menjadi muslim menaati kewajiban yang disarankan dalam rukun
Islam yang lima, dan menjadi mukmin ialah mengenal enam rukun iman.
Seperti buku Imam al-Ghazali Bidayat al-Hidayah yang merupakan ringkasan dari kitab Ihya `Ulumuddin,
risalah Maulana Malik Ibrahim syarat dengan petunjuk dalam menempuh
jalan keruhanian atau ilmu suluk. Misalnya ketika dia menguraikan
syarat-syarat untuk menjadi orang mencapai ilmu makrifat. Dikatakan
pertama-tama harus tobat dari dosa besar dan kecil, mengembalikan barang
yang diperoleh secara tak halal. Seorang penempuh jalan keruhanian
menuntut ilmu yang bisa dia amalkan dan memperbanyak ibadah dibanding
bicara. Dalam keadaan apa pun jangan lupa kepada Tuhan. Mempelajari ilmu
tasawuf pula harus dari seorang guru yang mumpuni. Tidak boleh minum
sebelum haus dan tidak boleh makan sebelum lapar. Mengendalikan marah
dan sabar adalah keharusan yang tak boleh ditinggalkan.
Telah dikemukakan bahwa salah satu rujukan Maulana Malik Ibrahim ioalah kitabMasadullah. Buku ini tampak asing dan bukan tidak mungkin yang dimaksud adalah salah satu pasal dalam Bidayat al-Hidayah.
Ini tampak pada nukilan doa Nabi Isa a.s., yang juga dijumpai dalam
kitab Imam al-Ghazali. Terjemahan doa lebih kurang sebagai berikut:
Ya Allah, janganlah musuhku sampai menguasaiku!
Janganlah sahabatku berbuat buruk terhadapku
Janganlah kemalangan sampai menimpa urusan agamaku
Janganlah dunia ini menjadi tumpuan ilmuku!
Dan janganlah siapa pun yang akan menyakitiku
Dapat berkuasa atasku karena dosa-dosaku.
Hal menarik lagi ialah bahwa dari
risalah pendek ini kita jumpa 122 kata serapan dari bahasa Arab dan
Persia. Terdapat pula beberapa perkataan yang diserap dari bahasa
Melayu. Jumlah kata-kata serapan dari bahasa Arab dan Persia sebanyak
itu cukup besar untuk ukuran sebuah risalah pendek. Ini juga membuktikan
bahwa pada awal abad ke-15 M sebenarnya proses islamisasi bahasa dan
kebudayaan Jawa sudah berlangsung dengan deras, menyentuh persoalan
seperti pandangan hidup (way of life), gambaran dunia (Weltanschauung),
sistem nilai, etika, ethos kerja, dan lain sebagainya. Pada waktu
bersamaan kita juga menyaksikan banyak istilah konseptual keagamaan dan
spiritualitas Islam diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Misalnya
istilah khalwah dityerjemahkan alinggih dhewe, i`tikaf diterjemahkan alunggwing masjid, istilah uzlah atau firaq min al-nas diiterjemahkanandoh waking wong akeh, istilah zamm al-dunya diterjemahkan angina dunia, dan
lain sebagainya. Cukup menarik pula bahwa ajaran tasawuf yang
dikemukakan dalam risalah ini terdapat juga ringkasannya dalam Babad Banten..
Melalui pemaparan ini jelas sekali
tampak bahwa sendi utama terbentuknya kebudayaan Islam di Nusantara
adalah syariat dan tasawuf. Tidak salah jika kelak muncul pepatah “Adat
bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”. Ungkapan ini dapat dirujuk
pula pada kenyataan bahwa Islam yang disebarkan di Nusantara adalah
Islam sebagaimana yang ditafsirkan oleh ahli-ahli tasawuf. Sejak awal
kitab Imam al-Ghazali seperti Bidayat al-Hidayah dan Ihya `Ulumuddin memainkan
peranan penting dalam pembentukan tradisi intelektual dan spiritual
Islam. Tetapi kitab Jawa yang lebih luas dalam memberikan gambaran
tentang ajaran Islam seperti apa yang dikembangkan di Nusantara akan
tampak dalam risalah tasawuf Hamzah Fansuri dan Sunan Bonang.