Pesan Rahbar

Home » » BUNG KARNO: PENYAMBUNG LIDAH RAKYAT (9) BAB IX: Masuk Tahanan

BUNG KARNO: PENYAMBUNG LIDAH RAKYAT (9) BAB IX: Masuk Tahanan

Written By Unknown on Wednesday, 9 March 2016 | 18:15:00


BAB IX: Masuk Tahanan

SEPANJANG hari dan malam senantiasa melekat di kepala kami ancaman masuk penjara. Di dalam Kitab Undang‐Undang Hukum Pidana telah dinyatakan, bahwa: “Seseorang yang kedapatan mengeluarkan perasaan‐perasaan kebencian atau permusuhan secara tertulis maupun lisan—atau seseorang yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan‐kegiatan yang menghasut untuk mengadakan pengacauan atau pemberontakan terhadap pemerintah Belanda, dapat dikenakan hukuman setinggi‐tingginya tujuh tahun penjara.” Dengan semakin pesatnya pertumbuhan dari P.P.P.K.I., maka pengawasan terhadap Sukarno semakin diperkeras pula. Aku sudah mendapat peringatan dan aku menyadari sungguh‐sungguh akibat dan peringatan ini. Semua orang revolusioner bertindak demikian. Ini adalah bagian dari peperangan hebat yang kami jalankan. Dalam perjalanan ke Solo dengan salah seorang wakil dari P.N.I., Gatot Mangkupradja, aku menyinggung soal ini. “Bung, setiap agitator dalam setiap revolusi tentu mengalami nasib masuk penjara,” aku menegaskan.

“Di suatu tempat, entah dengan cara bagaimana, suatu waktu tangan besi dari hukum tentu akan jatuh pula diatas pundakku. Aku mempersiapkanmu sebelumnya.”Apakah Bung Karno takut ?” tanya Gatot. “Tidak, aku tidak takut,” jawabku dengan jujur. “Aku sudah tahu akibatnya pada waktu memulai pekerjaan ini. Akupun tahu, bahwa pada satu saat aku akan ditangkap. Hanya soal waktu saja lagi. Kita harus siap secara mental.” “Kalau Bung, sebagai pemimpin kami, sudah siap, kamipun siap.” katanya. “Seseorang hendaknya jangan melibatkan dirinya ke dalam perjuangan mati‐matian, jika ia sebelumnya tidak insyaf akan akibatnya. Musuh akan mengerahkan segala alat‐alatnya berulang‐ulang kali supaya dapat terus menerus memegang cengkeramannya yang mematikan. Tapi, sekalipun berabad‐abad mereka menjerumuskan puluhan ribu rakyat masuk bui dan masih saja melemparkan kita ke dalam pembuangan di tempat‐tempat yang tidak berpenduduk, jauh dari masyarakat manusia, saatnya akan tiba pada waktu mana mereka akan musnah dan kita memperoleh kemenangan. Kemenangan kita adalah suatu keharusan sejarah —tidak bisa dielakkan.” ,,Kata‐kata itu memberikan keberanian padaku, Bung Karno.” kata Gatot. ,,Dalam perjalanan diatas gerobak sampah menudju ke tiang gantungan, Pemimpin Revolusi Perancis berkata kepada dirinya sendiri: ‘Aurlace, Danton Toujours de l’audace’. Ia terus‐menerus mengulangi kata‐kata itu: ‘Beranikan dirimu, Danton. Jangan kau takut !’ Karena ia yakin, bahwa perbuatan‐perbuatannya akan dilukis dalam sejarah dan tantangan terhadapnya pun merupakan saat yang bersejarah.

Dia tidak pernah meragukan akan datangnya kemenangan yang terakhir dan gilang‐gemilang. Jadi, akupun begitu.”,,Ada diantara pejuang kita yang selalu keluar masuk bui secara tetap,” kata Gatot menerangkan. ,,Seorang pemimpin yang di Garut. Dia sudah masuk 14 kali. Pembesar di sana menamakannya sebagai pengacau. Dalam jangka waktu enam tahun dia meringkuk selama enam bulan di dalam penjara, setelah itu bebas selama dua bulan, lalu masuk selama enam bulan dan keluar lagi tiga bulan, kemudian delapan bulan dibelakang jeruji besi. Setelah itu dia bebas lagi selama satu setengah tahun dan hukumannja yang terakhir adalah dua tahun. “Kami berangkat dengan taksi. Supir kami, Suhada, tergolong sebagai simpatisan. Dia sudah terlalu tua untuk dapat mengikuti kegiatan kami. Dia turut dengan kami cuma untuk mendengarkan dan menyaksikan saja. Sejak permulaan perjalanan Suhada tidak membuka mulutnya, tapi kini dia bertanya dengan ramah, ,,Berapa banyak saudara‐saudara kita yang meringkuk dalam pembuangan?” Aku tidak perlu berpikir menjawabnya. Aku tahu jumlahnya diluar kepala. ,,Lebih dari duaribu dibuang di Tanah Merah, di tengah‐tengah hutan Boven Digul di Nieuw Guinea yang keadaannya masih seperti di Zaman Batu. Dan pada waktu pembawa‐pembawa obor kemerdekaan ini diusir masuk ke dalam hutan lebat, mereka pergi dengan tersenyum. Ketika mereka tidak mau mundur setapakpun dari keyakinannya, maka 300 orang diantaranya dibawa ketempat yang lebih menyedihkan, yaitu kamp konsentrasi di Tanah Tinggi. Di situ bertaburanlah kuburan mereka.

Dari yang 300 orang itu hanya 04 orang yang masih hidup.” ,,Pengorbanan seperti itu telah pula terjadi di pulau Muting dan pulau Banda,” kataku melanjutkan. ,,Tapi ingatlah, tidak ada pengorbanan yang sia‐sia. Ingatkah engkau tentang keempat pemimpin yang digantung di Ciamis?” Mereka menganggukkan kepala. ,,Salah seorang dari mereka berhasil menyusupkan surat kepadaku di malam sebelum menjalani hukumannya. Surat itu berbunyi: ‘Bung Karno, besok saya akan menjalani hukuman gantung. Saya meninggalkan dunia yang fana ini dengan hati gembira, menuju tiang gantungan dengan keyakinan dan kekuatan batin, oleh karena saya tahu bahwa Bung Karno akan melanjutkan peperangan ini yang juga merupakan peperangan kami. Teruslah berjuang, Bung Karno, putarkan jalannya sejarah untuk semua kami yang sudah mendahului sebelum perjuangan itu selesai.’ “Keadaan dalam mobil menjadi sunyi. Tak seorangpun yang hendak mengucapkan sesuatu. Suhada terus mengemudikan kendaraan dengan air mata berlinang. Satu‐satunya suara ialah denyutan jantung kami yang menderap‐derap serentak dalam satu pukulan irama. Di Solo dan dekat Jogyakarta kami mengadakan beberapa rapat umum. Malam itu aku berbicara untuk pertamakali tentang “Perang Pasifik” yang akan berkobar. Tahun ini adalah 1929.

Setiap orang mengira aku ini gila. Dengan darahku yang mengalir cepat karena golakan perasaan yang gembira dan hampir tak tertahankan, keluarlah dari mulutku ucapan yang sekarang sudah terkenal: “Imperialis, perhatikanlah!.

Apabila dalam waktu yang tidak lama lagi Perang Pasifik menggeledek dan menyambar‐nyambar membelah angkasa, apabila dalam waktu yang tidak lama lagi Samudra Pasifik menjadi merah oleh darah dan bumi di sekelilingnya menggelegar oleh ledakan‐ledakan bom dan dinamit, maka disaat itulah rakyat Indonesia melepaskan dirinya dari belenggu penjajahan dan menjadi bangsa yang merdeka.” Ucapan ini bukanlah ramalan tukang tenung, iapun bukan pantulan daripada harapan berdasarkan keinginan belaka.

Aku melihat Jepang terlalu agressif. Bagiku, apa yang dinamakan ramalan ini adalah hasil daripada perhitungan berdasarkan situasi revolusioner yang akan datang. Rapat ini bubar pada waktu tengah malam. Kami bermalam di rumah Suyudi, seorang pengacara dan anggota kami di Jogya yang tinggal pada jarak kurang dari dua kilometer dari situ. Kami memasuki tempat tidur pada jam satu. Jam lima pagi, ketika dunia masih gelap dan sunyi, kami terbangun oleh suara yang keras. Ada orang menggedor pintu.

Aku terbangun begitu tiba‐tiba, sehingga pada detik itu aku mengira ada tetangga yang berkelahi. Gedoran itu masih terus terdengar. Ia semakin lama semakin keras, semakin lama semakin mendesak Gedoran ini diiringi oleh suara yang kasar di sekitar rumah Suyudi. “Inikah rumah tempat pemimpin revolusioner menginap?” satu suara bertanya. “Yah, inilah tempatnya,” suara garang yang lain menjawab.

Kemudian lebih banyak suara terdengar meneriakkan perintah‐perintah. ,,Kepung rumah ini —halangi pintu—.” Sementara itu bunyi yang meremukkan dari pukulan gada di pintu …… semakin lama semakin keras, kian lama kian cepat. Dengan gemetar aku menyadari, bahwa inilah saatnya. Nasibku sudah pasti. Gatot Mangkupradja yang pertama pergi ke pintu. Ia membukanya dan masuklah seorang inspektur Belanda dengan setengah lusin polisi bangsa Indonesia. Kami menamakannya “reserse”. Semua berpakaian seragam. Semua memegang pistol di tangan. Mereka ini adalah pemburu. Kami binatang buruan. Rentak sepatu yang menunjukkan kekuasaan terdengar menggema ke seluruh daerah sebelah menyebelah, rentak sepatu pada waktu mereka menderap sepanjang rumah.

Orang kulit putih yang bertugas itu berteriak, “Dimana kamar tempat Sukarno tidur?” Kamarku sebelah menyebelah dengan kamar Suyudi. Ketujuh orang itu berbaris melalui kamar Suyudi dan terus ke kamarku. Aku keluar dari tempat tidur dan berdiri di sana dengan pakaian piyama. Aku tenang. Sangat tenang. Aku tahu, inilah saatnya. Inspektur itu berhadap‐hadapan denganku dan berkata, “Atas nama Sri Ratu saya menahan tuan.” Aku telah mempersiapkan diri selalu untuk menghadapi kesulitan. Betapapun, pada waktu tiba saatnya timbul juga perasaan yang tidak enak. “Kenakan pakaian tuan,” ia memerintahkan. “Dan ikut dengan saya.” Ia berdiri dalam kamar itu dan menungguku berpakaian. Aku tidak diizinkan membawa barang‐barangku. Bahkan tas dengan pakaian penggantipun tidak boleh.

Hanya yang lekat dibadanku. Di luar, dengan senapan dalam sikap sedia, berdiri 50 orang polisi mengepung rumah dengan sekitarnya dan jalan yang menuju kesana. Tiga buah mobil telah siap. Yang tengah adalah kendaraan khusus dimana kami, penjahat‐penjahat yang berbahaya, dimasukkan dan diiringkan ke kantor polisi. Ke dalam mobil itu dimasukkan pula Gatot dan supir taksi itu, yang sama sekali tidak bersalah dalam menghasut rakyat. Kesalahannya hanyalah karena ia terlalu mencintai.

Ia mencintai negerinya, dan ia mencintai pemimpinnya. Suhada dibebaskan segera, akan tetapi sementara itu mereka mencatat namanya, karena orang inipun kelihatan seperti penjahat besar dimata mereka. Beberapa tahun kemudian ia meninggal. Permintaannya yang terakhir ialah, “Tolonglah, saya ingin mempunyai potret Bung Karno di dada saya.” Permintaannya itu dipenuhi. Ia lalu melipatkan tangannya yang kerisut memeluk potretku dan kemudian berlalu dengan tenang. Dengan penjagaan yang kuat, diiringkan di kiri‐kanan oleh sepeda motor dan dengan sirene meraung‐raung dan lonceng berdentang‐dentang, Sukarno, Gatot dan sopir tua itu dibawa ke Margangsan, penjara untuk orang gila.Kami diperiksa satu demi satu dan dimasukkan ke dalam sel. Ketika pintu besi terkunci rapat di muka kami, seluruh dunia kami tertutup. Kami berada dalam kesunyian. Segala sesuatu terjadi begitu cepat, sehingga kami tidak punya kesempatan untuk menyelundupkan sepatah kata kepada pengikut kami.

Tidak seorangpun yang mengetahui dimana kami berada. Mereka bahkan tidak memberi kesempatan kepadaku untuk mengadakan kontak dengan Inggit. Tidak ada percakapan. Kami tidak diperbolehkan apa‐apa. Sekalipun demikian, apa hendak dikata. Kami tahu apa artinya ini dan masing‐masing tenggelam dengan pikirannya sendiri. Apa yang terlintas dalam pikiranku ialah, bahwa aku tidak memperoleh firasat. Tidak ada tanda‐tanda bahaya.

Aku dengan mudah tertidur malam itu tanpa mengalami sesuatu sensasi, bahwa pada tanggal 9 Desember 1929 bagi kami akan menjadi hari nahas. Semua ini mengejutkanku. Seluruh gerakan telah mereka rencanakan dengan baik. Jam dua siang kami diberi nasi. Sebelum dan sesudah itu tidak ada hubungan dengan seorangpun. Setelah satu hari satu malam penuh esok paginya seperti di pagi sebelumnya tepat jam lima polisi datang. Mereka tidak berkata apa‐apa. Pun tidak menyampaikan kemana kami akan dibawa. Begitupun tentang apa yang akan diperbuat terhadap kami. Dua buah kendaraan membawa kami ke stasiun. Empat orang polisi dengan uniform dan pistol duduk di tiap kendaraan itu. Pengangkutan ini direncanakan sampai kepada menit dan detiknya. Begitu kami sampai, sebuah kereta api hendak berangkat. Kami diperintahkan naik. Sebuah gerbong istimewa telah tersedia buat kami. Pintu‐pintu pada kedua ujungnya dikunci, setiap jendela ditutup rapat. Kami dilarang berjalan-jalan atau berdiri untuk maksud apapun juga. Kalau kami akan pergi ke belakang seorang sersan mengiringkan kami.

Dengan diapit oleh polisi duduklah kami di tempat yang berhadap‐hadapan. Selama 12 jam tidak boleh buka mulut. Satu‐satunya yang dapat kukerjakan sehari penah ialah memandangi Belanda yang pandir itu. Jam tujuh malam kami diperintahkan turun di Cicalengka yang letaknya 30 kilometer dari Bandung. Mereka dengan sengaja menurunkan kami di situ untuk menghindarkan ketegangan yang mungkin timbul.

Disana satu pasukan barisan pengawal telah menantikan kami. Lima Komisaris, dua pengendara sepeda motor, setengah lusin inspektur beserta arak‐arakan kami yang terdiri dari sedan‐sedan hitam meluncur ke Bandung. Perjalanan itu tidak lama. Kami hanya sempat menggetar gugup sesaat ketika sampai di rumah kami yang baru. Di depannya tertulis: Rumah Penjara Banceuy

(Pena-Soekarno/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: