Foto: tribunnews.com
66 tahun lalu, tanggal 23 Januari 1950, Angkatan Perang Ratu Radil (APRA) melancarkan kudeta terhadap Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Walaupun milisi ini berhasil untuk sementara waktu menduduki Bandung, namun mereka gagal menduduki Jakarta dan Blora. Rencana untuk menggulingkan Kabinet RIS dan membunuh beberapa tokoh Republik menemui kegagalan.
Ketidakpuasan Terhadap Kabinet Hatta
Pakar Sejarah UI Saleh A Djamhari memandang, ada dua peristiwa penting yang terjadi pada tahun 1950. Pertama, perubahan ketatanegaraan dari Republik Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat. Kedua, wafatnya Kepala Staf APRIS, (semula Panglima Besar APRI) Letnan Jenderal Soedirman, seorang panglima yang kharismatik, pada 29 Januari 1950 yang kemudian diganti oleh Kolonel T.B. Simatupang sebagai pemangku jabatan KSAPRIS.
Soedirman pernah berpesan agar masalah-masalah Angkatan Perang diselesaikan di Yogyakarta, bukan di Den Haag. Bagi Simatupang pesan Soedirman memang sulit untuk dilaksanakan, karena tekanan para politisi yang cenderung ingin mengubah wajah TNI dari wajah tentara revolusi menjadi TNI yang profesional dalam wadah organisasi baru, yang kemudian diberi nama APRIS. Para politisi terutama delegasi Konferensi Meja Bundar (KMB), cenderung menerima tawaran pemerintah Belanda untuk membangun Angkatan Perang baru, dengan melalui tiga tahapan: amalgamasi (peleburan) TNI dengan mantan KNIL, melakukan re-edukasi prajurit TNI, serta pengiriman calon perwira untuk dididik di pendidikan militer di Belanda.
Pasca perundingan KMB, Belanda mengakui keberadaan dan eksistensi Republik Indonesia. Ribuan gulden emas harus dibayar oleh Indonesia sebagai kompensasi berbagai kerugian finansial yang diderita Kerajaan Belanda. Ribuan gulden emas ini salah satunya disumbangkan oleh Yogyakarta. Cadangan emas yang dimiliki oleh kerajaan tua di Pulau Jawa itu bahkan digunakan untuk menutup biaya gaji dan kebutuhan hidup seluruh pegawai negara di seluruh Indonesia.
Hasil KMB dan rumusan Reorganisasi dan Rasionalisasi (RERA) menimbulkan beragam gejolak, pandangan bahwa kabinet Hatta merupakan pemerintahan yang paling tunduk dan akan menyerahkan kedaulatan RI kepada Belanda menyeruak. Kebijakan untuk merasionalisasi militer yang akan dibangun atas kerjasama dengan pihak Kerajaan Belanda dengan tujuan membentuk ‘tentara federal’ semakin memperuncing perbedaan dan bahkan mengakibatkan faksionalisasi di kalangan internal tentara.
Pemberontakan Westerling dan Dalih Ratu Adil
Raymond Piere Westerling merupakan orang Belanda yang berdarah campuran antara Belanda, Turki dan Yunani. Westerling dilahirkan pada bulan Agustus 1919 di Istanbul, Turki. Ia berasal dari seorang ayah Belanda dan Ibu seorang Turki-Yunani. Westerling di gambarkan sebagai sosok yang tegap dan kekar dengan tinggi badan 170 cm. Suaranya keras dan lancar berbahasa Belanda dan Inggris sekaligus bisa berbicara dalam bahasa Indonesia. Westerling memang tidak menguasai bahasa Arab tetapi ia sedikit mengetahui kebudayaan Islam yang masih tersisa di Turki. Pengetahuan tersebut sangat membantu Westerling dalam membangun kekuatan dan gerakannya setelah Agresi Militer Belanda II, tepatnya pada tahun 1949 di Jawa Barat yang akar kebudayaan Islamnya begitu kuat.
Dalam pandangan Sartono Kartodirdjo, sebagai ideologi dari gerakan sosial, Ratu Adil atau mesianisme secara inheren memuat sifat radikal dan revolusioner. Kepercayaan mesianistis membangkitkan semangat bahwa masyarakat adil dan makmur dapat dipastikan akan datang, maka wajar bila rakyat yang penuh keyakinan itu bersedia merealisasikan ramalan itu secara radikal dan revolusioner. Rakyat tidak segan menempuh jalan apapun, apalagi rakyat sudah menaruh loyalitas total pada sang Ratu Adil, sehingga jika perlu mengadakan perjuangan dengan mempertaruhkan hidupnya.
Gerakan Ratu Adil (millenarianisme) atau sering juga disebut gerakan Juru Selamat (mesianisme) atau gerakan Pribumi (nativisme) atau Kenabian (prophetisme) atau Penghidupan Kembali (Revivalisme), sebagai gerakan keagamaan yang menantikan datangnya seorang Juru Selamat, Imam Mahdi, atau Mesias; Ratu yang akan membawa kebahagiaan dan kemakmuran seperti pada masa lampau. Sartono menyebut Perang Diponegoro (1825-1830) adalah salah satu gerakan mesianistis yang tertua yang pernah terjadi di Jawa.
Peristiwa Pemberontakan APRA sendiri adalah sebuah usaha perebutan kekuasaan atau kudeta terhadap Republik Indonesia Serikat. Target kudeta Westerling sendiri adalah mempertahankan negara Pasundan dan berusaha menentang Republik Indonesia. Berdasarkan tulisan Edwar Luttwak, kudeta Westerling menggunakan metode Putcht karena kudeta ini dilakukan oleh suatu faksi dalam angkatan perang. Pasukan APRA terdiri dari pelarian militer KNIL, KL, bahkan mantan pejuang yang kecewa.
Di sisi lain Kondisi politik dalam negeri Indonesia masih belum stabil karena banyaknya pemberontakan-pemberontakan yang bersifat separatis seperti DI/TII (Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia), serta situsi militer Indonesia yang masih compang-camping karena tersita perhatiannya untuk menumpas pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pimpinan Muso di Madiun . Maka saat itu Westerling berinisiatif untuk melakukan pertemuan dengan tokoh-tokoh DI. Pertemuan dengan tokoh-tokoh DI dilaksanakan di daerah Bogor pada bulan Oktober 1949 akhir, antara Westerling dan VD Plas dari pihak Belanda dan KH Engkar dari pihak gerombolan DI. Pertemuan tersebut melahirkan persetujuan diantaranya adalah: penggabungan satuan-satuan KNIL, KL ke dalam tubuh DI, pada fase pertama dalam penggabungan ini 70 anggota KNIL, KL digabungkan dengan gerombolan DI pimpinan KH. Engkar. Selain itu dalam persetujuan ini juga ditetapkan untuk berhubungan dengan DI/TII pimpinan Kartosuwiryo.
Sangat Membenci Soekarno
Hingga akhir 1950-an, Kapten Westerling adalah sebuah nama yang dikagumi di Belanda. Komandan pasukan elit yang patriotik ini menjadi ikon zaman. Di sekolah-sekolah menengah di Hilversum, misalnya, para siswa dan siswi memuji-muji dan setiap pagi menggelar doa bersama demi keselamatannya.
Pada tahun 1969 terbitlah apa yang dinamakan Excessennota (Nota Ekses) membahas 110 kasus kekerasan ekstrim yang waktu itu bisa ditemukan dalam arsip pemerintah. Bahwa perang dekolonisasi —juga terkenal sebagai ‘Politionele Acies’ (aksi polisional)— lebih banyak mengandung kekerasan. Pembantaian dilakukan Westerling, tragedi Rawagede serta peristiwa Gerbong Maut termasuk di dalamnya. Sejak saat itulah, tidak sedikit dari kalangan orang Belanda yang menyebut Westerling sebagai bandit. Sejarawan Remy Limpach menegaskan bahwa pemerintahan Perdana Menteri Piet de Jong waktu itu memang sengaja menggunakan kata halus “ekses” agar ada kesan bahwa kekerasan itu tidak dilakukan dalam skala besar, dan demi menghindari satu masalah yang sangat peka yaitu perbandingan dengan kejahatan perang yang dilakuken oleh Jerman tatkala menduduki Belanda selama Perang Dunia Kedua.
Selain tindakan brutalnya yang telah menelan ribuan korban di tanah air, Westerling juga dikenal sangat membenci sosok Soekarno. Dalam sebuah wawancara ketika ia ditanya alasan tidak menembak langsung Soekarno dalam kudeta itu, dengan sinis dia menjawab: “Orang Belanda itu perhitungan sekali. Satu peluru harganya 35 sen. Sedangkan harga Soekarno tak lebih dari 5 sen. Jadi rugi 30 sen. Kerugian yang tidak bisa dipertanggungjawabkan”.
(Empat-Pilar-MPR/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email