“Pesan Panglima Besar Jenderal Sudirman bahwa prajurit bukanlah tentara sewaan dan bukan tentara bayaran. Politik tentara adalah politik negara dan loyalitas tentara hanya untuk kepentingan bangsa dan negara. Sejak lahir TNI tidak berpolitik praktis dalam berbagai kepentingan. Loyalitas TNI adalah loyalitas tegak lurus sesuai jenjang hierarki mulai dari Pimpinan paling rendah sampai dengan Presiden selaku Panglima Tertinggi TNI”,(Kepala Staf Kostrad, Mayjen TNI M. Setyo Sularso).
Warisan Sang Jenderal
Sudirman merupakan sosok yang memegang teguh pendirian, keputusannya untuk masuk hutan dengan melancarkan taktik gerilya adalah contoh yang nyata. Padahal, selama delapan bulan ia keluar masuk hutan “hanya” dengan separuh paru-parunya.
Terlahir dari pasangan rakyat biasa di Purbalingga, pada tanggal 24 Januari 1916, Sudirman diadopsi oleh pamannya yang seorang priyayi. Setelah keluarganya pindah ke Cilacap pada tahun 1916, Sudirman tumbuh menjadi seorang siswa rajin; ia sangat aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler, termasuk mengikuti program kepanduan yang dijalankan oleh Muhammadiyah.
Didapuk sebagai Panglima Besar TKR pada usia 29 tahun. Panglima dari sebuah Negara yang baru saja berdiri. Terpilih pada situasi semrawutnya organisasi militer dan kacaunya situasi ekonomi, sosial dan politik Indonesia.
Selain dikenal sebagai sosok yang tegas, Sudirman juga penuh pertimbangan dan berjiwa besar. Dia tetap mengikuti perintah pimpinan Negara yang dipimpin sipil. Dia bersedia datang, bertemu dan berdiskusi dengan Sukarno ataupun Sjahrir dengan mengesampingkan “sikap” pribadinya dan mengedepankan cita-cita perjuangan. Selain itu, selama Soekarno-Hatta ditahan Belanda, dia pun tetap patuh pada pemerintah saat itu (PDRI) yang dipegang oleh Sjarifuddin Prawiranegara. Ketundukan pada pemerintah sipil itulah salah satu warisan Sudirman dan kawan seangkatannya sebagai kultur Tentara Nasional Indonesia. Perbedaan prinsip dan cara tidak menyebabkan perpecahan persatuan selama tujuan kita sama. Kritik dan sikap berbeda Sudirman bukanlah karena alasan suka ataupun tidak suka, ataupun dikarenakan latar belakang pribadi atau kelompok dari tokoh-tokoh yang tak sepaham dengannya itu. Perbedaan itu tidak menjadikan dirinya musuh bebuyutan ataupun “musuh abadi” terhadap tokoh-tokoh tersebut. Sudirman menunjukkan pada kita bahwa dibalik ambisi, strategi dan pengabdian harus disertai dengan kebesaran jiwa.
Soeharto Menjarah Hak Sipil
Bulan Agustus 1966, digelarlah Seminar Angkatan Darat yang kedua, forum para serdadu itu melahirkan keputusan bahwa seluruh kekuasaan rakyat berpusat pada tentara, khususnya Angkatan Darat. Inilah legalisasi kekuasaan Orde Baru dari tentara. Pada awalnya, Soeharto –dengan latar belakang Jendral Angkatan Darat– sudah mulai unjuk gigi.
Tentara merupakan kerangka penting pemerintahan pada masa Orde Baru dan sistem yang paling kuat dengan munculnya dwifungsi militer yang dikembangkan dari kerangka ideologis dan hukum untuk mendukung peran formal militer Indonesia dalam urusan politik yang awalnya disebut dengan nama “jalan tengah”.
Konsep ini menyatakan bahwa militer memiliki peran lebih dengan “kewenangan” angkatan bersenjata untuk mengatur peran sosial dan politik selain fungsi pertahanan yang akhirnya menjadi kebijakan resmi pada tahun 1966 serta didukung oleh sistem komando teritorial yang terdiri dari 12 komando militer yang digunakan untuk mempertahankan kekuasaan Soeharto serta memantau kegiatan organisasi keagamaan, organisasi mahasiswa, serikat buruh, dan organisasi non-pemerintah lainnya yang dapat menjadi sumber akvitas pemberontak yang mampu menimbulkan ancaman bagi stabilatas keamanan negara.
Terdapat dua pasukan yang merupakan basis kekuatan utama saat itu, yaitu Kostrad dan Kopassus. Kostrad dan Kopassus adalah tentara terbaik dengan mobilitas tinggi yang dimiliki Indonesia. Sehingga Kostrad dan Kopassus bisa dikatakan sebagai pasukan yang paling penting baik secara militer maupun politik. Serta Badan Intelejen Angkatan Bersenjata (BIA) dan pasukan non-militer seperti Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) yang juga menunjang kinerja militer untuk menjaga stabilitas politik serta keamanan negara. Dapat disimpulkan bahwa intervensi militer merupakan cara untuk mengatasi kebuntuan politik pada masa itu.
Persenyawaan Soeharto dengan kekuatan militer mulai terganggu seiring kemunculan anak-anak Soeharto dengan bisnis yang ditopang oleh fasilitas “kepresidenan”. Sejak saat itu, mulailah periode penyingkiran potensi-potensi dari eksponen militer yang ada dan dianggap mengancam demi membela keselamatan anak-anak dan kroninya.
Tentara dan Anarkhi Korporasi
Dalam pandangan Gonzalo Lira, korporasi tidak perlu mematuhi aturan apapun, sama sekali. Karena, aturan yang menghalang akan diupayakan dengan segala cara (termasuk suap bila diperlukan) agar segera direvisi oleh parlemen dan pemerintah. Aturan legal, moral, etika, bahkan keuangan sama sekali tidak relevan bagi korporasi. Semua aturan itu telah dibatalkan demi profit. Satu-satunya yang perlu dipertimbangkan adalah profit. Inilah era anarkhi korporasi.
Brad Adams, Direktur Eksekutif Human Rights Watch (HRW) Regional Asia dalam pemaparan hasil penelitian tentang bisnis militer di Indonesia, yang dilaporkan dengan judul “Too High a Price: The Human Rights Cost of the Indonesian Military’s Economic Activities” menyebutkan praktik bisnis yang terus-menerus dibiarkan tentu akan mendorong munculnya kecenderungan perilaku di kalangan militer untuk mencari rente atau keuntungan (rent-seeking behaviour). Ini terjadi di sejumlah bisnis pertambangan, seperti Exxon dan Freeport. Keterlibatan militer di dunia bisnis kerap pula menimbulkan pelanggaran HAM.
“TNI punya catatan suram di bidang HAM. Dan pelanggaran-pelanggaran itu dipicu praktik bisnis militer yang dilakukan dengan alasan untuk mencukupi kebutuhan institusi yang tidak bisa dipenuhi oleh anggaran negara,” ungkap Adams.
Menurutnya, komitmen para petinggi TNI harus diwujudkan dengan segera untuk mengakhiri bisnis militer. Apabila tenggat waktu itu dipenuhi, reformasi di bidang keuangan militer tentu akan menandai terjadinya kemajuan besar ke arah reformasi struktural TNI.
Akademisi asal Papua, Musa Sombuk meminta agar pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla dapat menertibkan kepolisian dan militer di sekitar PT Freeport. Musa mempertanyakan kehadiran aparat penegak hukum dari kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang sangat “setia” menjaga area tersebut. Pemerintah juga dituntut untuk menegakkan aturan terkait gratifikasi. “Militer dapat 50 juta dolar per tahun dari Freeport. Pemerintah harus menertibkan ini,” ungkapnya.
Kembali ke Barak
Sukarno dalam salah satu pidatonya tahun 1963 yang bertajuk “Pidato Front Nasional” sudah pernah mewanti-wanti agar tentara tidak melibatkan diri dalam pecaturan politik. Karena politik tentara seperti ditegaskan Sudirman bahwa “Tentara adalah alat negara. Tentara tidak berpolitik. Politik tentara ialah politik negara”.
Satu hal yang perlu juga diingat bahwa hampir seluruh elit TNI yang ada saat ini dididik dalam iklim Dwifungsi. Mereka diharapkan untuk mengisi jajaran paling elit negeri ini. Mereka dilatih untuk menjadi kekuatan yang tidak sekedar berdiam di dalam barak dan mengasah ketrampilan untuk membela negara. Hingga saat ini pun, naluri untuk turut campur dalam soal-soal politik dan kemasyarakatan masih tetap tinggi di kalangan TNI. Selain itu, TNI masih memiliki infrastruktur kekuasaan hingga ke desa-desa di seluruh Indonesia.
Berbeda dengan SBY yang memahami detail politik internal tentara dan dianggap sebagai “orang dalam”, Jokowi adalah “orang awam” yang berasal dari luar. Salah satu kelebihan SBY adalah kemampuannya mengontrol militer. Hampir semua pimpinan militer yang ada saat ini adalah hasil dari formasi yang dilakukan di era SBY. Saat pemilihan presiden, hasil perhitungan suara di sekitar barak-barak militer memperlihatkan Jokowi kalah telak dari Prabowo Subianto, yang merupakan seorang purnawirawan TNI.
Hal lain yang juga akan mempengaruhi pemerintahan Jokowi adalah faksionalisme dan nepotisme di kalangan militer sendiri. Militer Indonesia mengembangkan jaringan patronasenya sendiri. Ketegangan dapat muncul akibat persaingan antar-patron ini. Ketegangan seperti ini pernah muncul pada saat pemilihan presiden di antara jenderal-jenderal dan perwira-perwira yang mendukung Prabowo Subianto dan pendukung Jokowi. Dengan kondisi seperti ini, tentu bukanlah tugas mudah dan sederhana bagi Jokowi untuk menata kembali tentara.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, TNI dapat menjalankan tugas yang bersentuhan langsung dengan rakyat di daerah, tapi tetap dalam koridor peran dan fungsinya sebagai alat pertahanan negara. Dimana semua ini harus berdasarkan penugasan, kebijakan, dan keputusan politik negara.
Selamat bekerja Pak Jokowi, semoga bisa segera belajar dari “pengalaman” tiga Presiden Sipil sebelum anda!
(Empat-Pilar-MPR/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email