Pesan Rahbar

Home » » Syiah yang Dilupakan. Syiah Hadir Di Nusantara Sejak Ribuan Tahun Lampau, Jejak Sejarahnya Bisa Digunakan Untuk Meredam Konflik Sunni-Syiah

Syiah yang Dilupakan. Syiah Hadir Di Nusantara Sejak Ribuan Tahun Lampau, Jejak Sejarahnya Bisa Digunakan Untuk Meredam Konflik Sunni-Syiah

Written By Unknown on Friday, 11 March 2016 | 18:57:00


KETIDAKTAHUAN masyarakat terhadap sejarah dan ajaran Syiah dinilai berperan dalam menyulut bara konflik Sunni-Syiah di Indonesia hingga sekarang. Karena itu, bangsa ini mudah labil dalam menyikapi perbedaan dua aliran besar dalam Islam itu. Demikian dikatakan Husain Heriyanto, staf pengajar Universitas Indonesia, dalam International Conference on Historical and Cultural Presence of Shias in Southeast Asia, di Universitas Gajah Mada Yogyakarta pada 21 Februari 2013.

Ketidaktahuan itu tak hanya menimpa khalayak awam, tetapi juga pemuka agama. Kala budayawan Agus Sunyoto duduk di bangku pesantren, gurunya berpesan agar menjauhi ajaran Syiah. “Menurutnya Syiah itu anti-maulid, anti-wiridan, dan anti-ziarah. Padahal itu Wahabi,” kata Agus, penulis buku Atlas Wali Songo. “Keberadaan dan pengaruh Syiah telah mengakar di beberapa wilayah Nusantara sejak 1400 tahun lampau.”

Di Maluku Tengah, pengaruh ini terejawantah dalam bentuk tarian Ma’atenu. Tarian ini diperkenalkan masyarakat Hatuhaha. “Mereka komunitas muslim tertua di Maluku yang terbentuk sejak abad ke-8. Pemimpin mereka beroleh nasab dari Ali bin Abi Thalib. Karena itu, tarian ini ditujukan sebagai bentuk pujian untuk Nabi Muhammad, Ali, dan keturunannya.”

Mencabik-cabik tubuh dengan benda tajam menjadi ciri tarian ini. Persis dengan tarian dalam tradisi Syiah untuk memperingati peristiwa Karbala. Hingga kini tarian ini masih lestari. “Ajaran Syiah sudah menyatu dengan kebudayaan leluhur Islam Maluku,” kata Yance Zadrak Rumahuru, pengajar Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan Negeri (STAKPN) Ambon. “Sayangnya, kontribusi ini kerap diabaikan.”

Pengaruh Syiah juga ditemukan di Sumatra. Mohammad Ali Rabbani, atase Kedutaan Besar Iran, menyatakan jejak peninggalan dari orang-orang India di Sumatra kental dengan pengaruh Syiah, misalnya Tabuk dan makam-makam bertarikh abad ke-17.

“Ini karena orang India yang datang ke Sumatra dipengaruhi Persia. Orang-orang itu menganut mazhab Syiah,” kata Rabbani. Sebaliknya, orang Persia dan India juga mengambil tradisi orang Sumatra. “Interaksi ini menguntungkan umat Islam. Satu bangsa saling mengambil manfaat dari bangsa lainnya.”

Di Aceh keadaannya agak berbeda. Penduduk di sana lebih dulu akrab dengan tradisi Persia. “Sebelum Syiah menjadi mazhab resmi di Persia, orang-orang Aceh telah bersentuhan dengan kebudayaan Persia,” kata Kamaruzzaman Bustaman Ahmad, pengajar Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry, Aceh.

Karena itu, sulit membedah tradisi Syiah, Persia, dan Aceh. “Semua ini sudah diblender di dalam dayah (pesantren). Hasilnya dituangkan di luar dayah,” ujar Kamaruzzaman. Meski begitu, konflik berdarah Syiah-Sunni pernah terjadi di Aceh pada abad ke-17. Ini karena kelompok ekstrem dalam Sunni atau Syiah mendominasi Aceh kala itu.

Jejak sejarah Syiah yang panjang di Nusantara, menurut Azyumardi Azra, guru besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, bisa dimanfaatkan untuk meredam konflik Sunni-Syiah. “Sudah jelas bahwa Sunni-Syiah tak lagi bisa dilihat secara hitam-putih. Keduanya saling mempengaruhi.”


Syiah, Pendiri Kerajaan Islam Pertama di Nusantara
__________________________________

Syiah di Nusantara, Syiah hadir sejak awal Islam masuk Nusantara. Bahkan, Kerajaan Islam pertama di Nusantara didirikan oleh Syiah

Makam Raja Perlak pertama, Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah, di Peureulak, Aceh Timur (Foto: Sri Mulyani)

SYIAH hadir sejak awal Islam masuk ke Nusantara. Bahkan, menurut beberapa sejarawan, kerajaan Islam pertama di Nusantara didirikan oleh Syiah: Kerajaan Perlak. Bukti arkeologisnya makam Raja Perlak pertama, Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah, di Peureulak, Aceh Timur.

Sejarawan Slamet Muljana dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, meyakini Islam yang sampai di Asia Tenggara paling dahulu ialah aliran Syiah. Aliran Syiah dibawa oleh para pedagang Gujarat, Persia, dan Arab ke pantai timur Sumatra, terutama ke Perlak dan Pasai, dan mendapat dukungan dinasti Fathimiah di Mesir.

Pada tahun 800 Masehi, sebuah kapal dagang berlabuh di Bandar Perlak. Armada itu mengangkut seratus saudagar Muslim Arab Quraisy, Persia, dan India, yang dipimpin nakhoda Khalifah. Mereka membarter kain, minyak atar, dan perhiasan dengan rempah-rempah. “Rombongan misi Islam yang dipimpin Nakhoda Khalifah semuanya orang-orang Syiah,” tulis sejarawan A. Hasjmy dalam Syi’ah dan Ahlussunnah.

Sejak itu, mereka kerap datang ke Bandar Perlak sehingga banyak orang Perlak masuk Islam, termasuk Meurah (Maharaja) Perlak dan keluarganya. Sebagai penghargaan kepada Nakhoda Khalifah, pada tahun 840 Masehi diproklamasikan kerajaan Perlak yang beribukota Bandar Khalifah, saat ini letaknya sekira enam kilometer dari kota Peureulak. “Kerajaan Islam yang pertama berdiri di Indonesia yaitu Perlak, boleh dinamakan Daulah Syi’iyah (Kerajaan Syi’ah),” simpul Hasjmy.

Dalam perjalanannya terjadi perebutan kekuasaan antara Sunni dan Syiah di Kerajaan Perlak. Sehingga Kerajaan Perlak terbelah dua: Perlak pesisir untuk Syiah dan Perlak pedalaman untuk Sunni.

Persengketaan terhenti ketika mereka menghadapi musuh bersama; Sriwijaya, yang menyerang Perlak pada 986 Masehi. Pada tahun 1006, perang usai karena Sriwijaya harus perang melawan kerajaan Medang yang dipimpin Dharmawangsa. Karena Sultan Perlak pesisir gugur, kerajaan Perlak dipimpin Sultan Perlak pedalaman. Sejak itu, Sunni berkuasa dalam waktu lama.

Pengaruh Syiah merambah kerajaan Samudra Pasai. Kerjaaan ini didirikan pada 1042 oleh Meurah Giri, kerabat Sultan Mahmud dari kerajaan Perlak yang menganut Sunni. Meurah Giri jadi sultan pertama dengan gelar Maharaja Mahmud Syah. Keturunannya memerintah Pasai sampai 1210. Pascakematian Sultan Al-Kamil yang tak meninggalkan putra mahkota, terjadi perang saudara.

Pada 1261 Meurah Silu, juga keturunan Sultan Perlak, mengambil-alih kekuasaan Pasai. “Meurah Silu adalah seorang Islam sejak awal, bukan diislamkan kemudian. Akan tetapi Islamnya adalah Islam Syiah, yaitu mazhab yang berkembang di Perlak,” tulis Ahmad Jelani Halimi, sejarawan Universitas Sains Malaysia, dalam Sejarah dan Tamadun Bangsa Melayu.

Namun Dinasiti Fathimiah rontok pada 1268. Terputuslah hubungan antara kaum Syiah di pantai timur Sumatra dan Mesir. Dinasti Mamluk, yang berkuasa di Mesir dan beraliran Syafii, mengirim Syekh Ismail ke pantai timur Sumatra untuk memusnahkan aliran Syiah. Syekh Ismail berhasil membujuk Meurah Silu untuk menyeberang ke aliran Syafi’i. Hubungan dengan Mamluk di Mesir jelas terlihat dari gelar yang dipakai Meurah Silu, Malikul Saleh. “Gelar ini merupakan gelar pendiri kerajaan Mamluk Mesir, Sultan Malik al-Saleh Najmuddin al-Ayyubi,” tulis Ahmad Jelani.

“Selama Sultan Malikul Saleh berkuasa, agama Islam aliran Syiah ditindas,” tulis Slamet Muljana.

Sultan Perlak terakhir meninggal pada 1292. Setelah itu, Perlak menjadi bagian dari kerajaan Samudra Pasai di bawah Sultan Malikul Zahir, anak Malikul Saleh.

Menurut Hasjmy, kaum Syiah yang terjepit di Perlak berusaha menguasai Pasai. Usahanya berhasil dengan naiknya Arya Bakooy bergelar Maharaja Ahmad Permala menjadi perdana menteri pada masa pemerintahan Ratu Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu (1400-1428). Perang kembali pecah antara pengikut Sunni dengan Syiah. Arya Bakooy tewas dalam suatu pertempuran. Syiah pun tersingkir dari arena politik di Samudra Pasai. Tetapi, sebagai suatu aliran politik dan agama, ia masih terus hidup, teristimewa sekali sebagai suatu aliran tasawuf, tarekat, dan filsafat.

Portugis yang telah menguasai Malaka, menebarkan ancaman. Kerajaan-kerajaan Islam: Perlak, Samudra Pasai, Beunua (Teumieng), Lingga, Pidie, Daya, dan Darussalam, bersatu menjadi kerajaan Aceh Darussalam pada 1511 di bawah pimpinan Sultan Alaiddin Ali Mughayat Syah. “Di kesultanan ini, kelompok Ahlusunah dan Syiah dapat secara bebas menyampaikan akidah dan pemikiran tasawuf mereka meskipun terkadang terjadi perselisihan di antara mereka,” tulis Muhammad Zafar Iqbal, doktor sastra Persia dari Universitas Tehran Iran, dalam Kafilah Budaya.

Selama Samudra Pasai di bawah perdana menteri Arya Bakooy, tokoh besar Syiah Syekh Abdul Jalil berangkat ke Tanah Jawa. Di daerah Jawa dia kemudian dikenal sebagai Syekh Siti Jenar. Di Jawa, dia harus berhadapan dengan sejumlah wali dalam perebutan pengaruh agama dan politik. Siti Jenar akhirnya diadili dan dijatuhi hukuman mati.

Syiah juga menjalar ke Minangkabau. Namun kemudian mendapat tentangan dari kaum adat, terutama tiga haji yang baru kembali dari Mekah: Haji Piobang, Haji Sumanik, dan Haji Miskin. Ketiga tokoh Wahabi tersebut membentuk gerakan untuk menentang aliran Syiah dan pemurnian agama Islam.

Di Aceh sendiri, pada abad ke-16 dan 17, tokoh-tokoh ulama Syiah dan Ahlusunah dari Arab, Persia, dan India silih-berganti datang. “Di antara para penganjur aliran Syiah yang utama di pantai timur Sumatra ialah penyair Hamzah Fansuri dari Barus dan Syamsuddin al-Sumatrani pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Aliran Syiah di kesultanan Aceh itu pun kemudian dibasmi oleh para pengikut aliran Syafi’i yang dipimpin oleh Syekh Nuruddin Ar-Raniri,” tulis Slamet Muljana.

Dalam pengantar buku Syi’ah dan Politik di Indonesia, Azyumardi Azra, direktur Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, meragukan klaim-klaim mengenai pergumulan dan kekuasaan Syiah di Nusantara. Dia menyoroti kelemahan pokok dari sisi metodologi dan sumber-sumber sejarahnya.

Terlepas dari masih diperdebatkan, yang jelas Syiah bagian dari kita: Indonesia.

__________________________________

Pembawa Masuk Islam Pertama Kali Ke Indonesia adalah Syi’ah Imamiyah, Bukan Syi’ah Fathimiyah


Kerajaan Jeumpa Aceh Adalah Kerajaan Islam Pertama Di NusantaraTeori Islamisasi di Nusantara selama ini Penuh Teori Kebohongan Kaum Sunni dan Penipuan Hindia Belanda

teori Champa ! Gubernur Jenderal Hindia Belanda, TS Raffles, dalam bukunya berjudul The History of Java bahwa Champa bukanlah seperti yang dikenal sekarang di Kambodia. Tapi Champa adalah nama satu daerah di Aceh yakni Jeumpa. Kerajaan Jeumpa Aceh, di dalam buku Ibrahim Abduh yang disadur dari Hikayat Radja Jeumpa adalah sebuah kerajaan yang terletak dari mulai pinggir sungai Peudada hinga Pante Krueng Peusangan Timur! Observasi terkini, 80 meter ke selatan terdapat tapak Maligai Kerajaan Jeumpa yang dikenal dengan sebutan Buket Teungku Keujereun. Di daerah itu ditemukan barang-barang peninggalan kerajaan.

Kami mencoba menelusuri kembali jejak-jejak kerajaan Islam Campa di Bireuen ini, karena di kabupaten ini terdapat situs kerajaan Raja Jeumpa, di Desa Blang Seupeung, Kecamatan Jeumpa.


TS Raffles yang ber-argumen bahwa: Champa yang banyak di asumsi orang Indonesia bukan berada di Kambodia (Vietnam) sekarang, sebagaimana dinyatakan oleh para peneliti Belanda. Akan tetapi, munurut Raffles, Champa adalah sebuah nama daerah di sebuah wilayah tepatnya berada di Aceh, dan masyarakat Aceh setempat menyebut daerahnya itu dengan nama ”Jeumpa”, sekarang dikenal daerah ini dengan nama kabupaten Aceh Jeumpa kota Bireun.

Kata Jeumpa bagi dialek bahasa Jawa pada saat itu menjadi kata Champa, karena salah penyebutan itu akhirnya bagi ahli sejarah berikutnya mengalamatkan (menghubungkan) Walisongon dengan kerajaan Champa Kambodia dan Vietnam sekarang. Kata Jeumpa di Aceh sendiri terurai indah dalam sebuah lagu clasik Aceh dengan potongan liriknya, “bungong Jeumpa bungong Jeumpa meugah di Aceh” (bunga Jeumpa-bunga Jeumpa megah di Aceh). Makna dari Bungong Jeumpa adalah, wanita Jeumpa.


Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Muslim, Rasulullah saw bersabda agar pengikutnya berpegang teguh kepada dua perkara supaya tidak sesat selama-lamanya, yaitu Kitab Allah (al-Qur’an dan Sunnah) dan Itrah (keturunannya). Dua perkara inilah yang menjadi penghubung antara Rasulullah dengan umatnya, sehingga mereka diwajibkan membaca shalawat untuk beliau dan keluarga keturunannya. Karena Ahlul Bayt diamanahkan sebagai benteng utama Islam oleh Allah dan Rasul-Nya dan ummat diperintahkan untuk mencintai, menghormati dan berpegang teguh kepadanya, maka sejak awal kebangkitan Islam para Itrah Rasul mendapat kehormatan dan kedudukan, termasuk di alam Nusantara. Itulah sebabnya ahli sejarah telah mencatat beberapa dinasti Kerajaan Ahlul Bayt Nusantara, baik di wilayah Sumatera, Semenanjung Melayu, Borneo-Kalimantan, Jawa, Sulawesi sampai ke Maluku dan Papua sekarang.


SEBELUM ISLAM, ACEH BERADA DALAM KEKUASAAN ORANG ORANG HiNDU DARi GUJARAT,

Kabupaten Bireuen dalam catatan sejarah dikenal sebagai daerah Jeumpa. Dahulu Jeumpa merupakan sebuah kerajaan kecil di Aceh. Menurut Ibrahim Abduh dalam Ikhtisar Radja Jeumpa, Kerajaan Jeumpa terletak di di Desa Blang Seupeung, Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Bireuen.Secara geografis, kerajaan Jeumpa terletak di daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur.

Jeumpa, sebelum kedatangan Islam di daerah ini sudah berdiri salah satu Kerajaan Hindu Purba Aceh yang dipimpin turun temurun oleh seorang Meurah dan negeri ini sudah dikenal di seluruh penjuru serta mempunyai hubungan perdagangan dengan Cina, India, Arab dan lainnya.


Keberadaan Kerajaan Jeumpa Aceh yang diperkirakan berdiri pada abad ke 7 Masehi

Kerajaan Jeumpa, ketika itu dikuasai Meurah Jeumpa beragama Hindu, kemudiah datanglah seorang pemuda tampan yang dikenal dengan Syahrianshah Salman sebagaimana disebut dalam Silsilah keturunan Sultan-Sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh Kerajaan Brunei Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao dan juga disebutkan dalam Silsilah Raja-Raja Aceh Darussalam oleh Dinas Kebudayaan NAD. Maharaj Syahriar Salman kemudian menikah dengan putri istana Jeumpa bernama Mayang Seludang.

Akibat dari perkawinan itu, Maharaj Syahriar Salman tidak lagi ikut rombongan niaga Persia melanjutkan pelayaran ke Selat Malaka.Sebagian ahli sejarah menghubungkan silsilah Pangeran Salman dengan keturunan dari Sayyidina Hussein ra cucunda Nabi Muhammad Rasulullah saw yang telah menikah dengan Puteri Maharaja Parsia bernama Syahribanun. Dari perkawinan inilah kemudian berkembang keturunan Rasulullah yang telah menjadi Ulama, Pemimpin Spiritual dan Sultan di Dunia Islam, termasuk Nusantara, baik di Aceh, Pattani,Sumatera,Malaya, Brunei sampai ke Filipina dan Kepulauan Maluku.

Dikisahkan Pangeran Salman memasuki pusat Kerajaan di kawasan Blang Seupeueng dengan kapal niaga dengan segala awak, perangkat dan pengawal serta muatannya yang datang dari Parsi untuk berdagang dan utamanya berdakwah mengembangkan ajaran Islam, sebagai sebuah misi utama para keturunan Rasulullah saw. Dia memasuki negeri Blang Seupeueng melalui laut lewat Kuala Jeumpa. Sang Pangeran sangat tertarik dengan kemakmuran, keindahan alam dan keramahan penduduknya. Selanjutnya beliau tinggal bersama penduduk dan menyiarkan agama Islam yang telah menjadi anutan nenek moyangnya di Parsia.Rakyat di negeri tersebut dengan mudah menerima Islam karena tingkah laku, sifat dan karakternya yang sopan dan sangat ramah. Apalagi beliau adalah seorang Pangeran dari negara maju Parsia yang terkenal kebesaran dan kemajuannya masa itu.


Keutamaan dan kecerdasan yang dimiliki Pangeran Salman yang tentunya telah mendapat pendidikan terbaik di Persia negeri asalnya, sangat menarik perhatian Meurah Jeumpa dan mengangkatnya menjadi orang kepercayaan Kerajaan. Karena keberhasilannya dalam menjalankan tugas-tugasnya, akhirnya Pangeran Salman dinikahkan dengan puteri Raja dan dinobatkan menjadi Raja menggantikan bapak mertuanya.

Setelah menjadi Raja,wilayah kekuasaannya diberikan nama dengan Kerajaan Jeumpa. Sejak saat Kerajaan Islam Jeumpa terkenal dan berkembang pesat menjadi kota perdagangan dan transit bagi pedagang-pedagang Arab, Cina, India dan lainnya.Kerajaan Jeumpa menjadi maju dan makmur sekaligus menjadi pusat penyebaran Islam di wilayah Sumatra bahkan Nusantara.

Sal-man memproklamirkan Kerajaan Islam Jeumpa pada tahun 156 H atau sekitar tahun 777 M. Maka tidak diragukan, Kerajaan Jeumpa adalah Kerajaan Islam pertama di seluruh Nusantara

Jeumpa sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara memperluas hubungan diplomatik dan perdagangannya dengan kerajaan lainnya. Karena letak geografisnya yang sangat strategis di ujung barat pulau Sumatra, menjadikan wilayah Aceh sebagai kota pelabuhan transit yang berkembang pesat, terutama untuk persiapan logistik dalam pelayaran yang akan menempuh samudra luas dari Cina menuju Persia ataupun Arab.


Kerajaan Islam pertama di Aceh, yang juga merupakan Kerajaan Islam pertama di Nusantara adalah Kerajaan Islam Jeumpa yang didirikan oleh salah satu keturunan Nabi Muhammad yang melarikan diri dari Persia bernama Sasaniah Salman al-Parsi pada tahun 154 Hijriah atau sekitar tahun 777 Masehi. Kerajaan Jeumpa menjadi salah satu pusat Islamisasi di Nusantara, khususnya Aceh. Salah seorang Pangeran Jeumpa, Shahrnawi, yang namanya disebut oleh Syekh Hamzah Fansuri, menjadi pelopor pendirian Kerajaan Islam Perlak pada tahun 805 Masehi, dan mengangkat anak saudaranya, Maulana Abdul Aziz keturunan dari Imam Ja’far Sidiq sebagai Sultan pertama Kerajaan Perlak pada tahun 840 M.

Pangeran Salman adalah salah seorang pelarian politik dari Persia yang tengah bergejolak akibat peperangan antara Keturunan Nabi saw yang didukung pengikut Syiah dengan Penguasa Bani Abbasiah masa itu (tahun 150an Hijriah). Beliau bersama para pengikut setianya memilih ujung utara pulau Sumatera sebagai tujuan karena memang daerah sudah terkenal dan sudah terdapat banyak pemeluk Islam yang mendiami perkampungan-perkampungan Arab atau Persia. Jeumpa adalah salah satu pemukiman baru tersebut. Untuk menghindari pengejaran itulah, beliau memilih daerah pinggiriran agar tidak terlalu menyolok. Itulah sebabnya, Pangeran Salman juga dikenal dengan nama-nama lainnya, seperti Meurah Jeumpa, atau ada yang mengatakan beliau sebagai Abdullah.

Yang perlu dicermati, kenapa Pangeran Salman al-Parsi memilih kota kecil di wilayah Jeumpa sebagai tempat mukimnya, dan tidak memilih kota metropolitan seperti Barus, Fansur, Lamuri dan sekitarnya yang sudah berkembang pesat dan menjadi persinggahan para pedagang manca negara?

1. beliau diterima dengan baik oleh masyarakat Jeumpa dan memutuskan tinggal di sana.
2. beliau merasa nyaman dan sesuai dengan penguasa (meurah).
3. keinginan untuk mengembangkan wilayah ini setingkat Barus, Lamuri dan lainnya dan,
4. menghindar dari pandangan penguasa.

Di bawah pemerintahan Pangeran Salman, Kerajaan Islam Jeumpa berkembang pesat menjadi sebuah kota baru yang memiliki hubungan luas dengan Kerajaan-Kerajaan besar lainnya. Potensi, karakter, pengetahuan dan pengalaman Pangeran Salman sebagai seorang bangsawan calon pemimpin di Kerajaan maju dan besar seperti Persia yang telah mendapat pendidikan khusus sebagaimana lazimnya Pangeran Islam, tentu telah mendorong pertumbuhan Kerajaan Jeumpa menjadi salah satu pusat pemerintahan dan perdagangan yang berpengaruh di sekitar pesisir utara pulau Sumatra. Jeumpa sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara memperluas hubungan diplomatik dan perdagangannya dengan Kerajaan-Kerajaan lainnya, baik di sekitar Pulau Sumatera atau negeri-negeri lainnya, terutama Arab dan Cina.

Maharaj Syahriar Salman adalah keluarga bangsawan dari Dinasti Sasanid Persia. Salman yang menjadi panggilannya merupakan seorang pangeran dari Istana Persia, ia berasal dari keluarga kerajaan Persia (H. Awang Muhammad Jamil Al-Sufri, Tarsilah Brunai, 1990 hal 73).

Salman beserta rombongan melakukan perjalanan ke Asia Tenggara untuk menuju ke Selat Malaka, namun sebelum sampai ke sana, Pangeran Salman singgah di negeri Jeumpa dan akhirnya menikah dengan puteri Istana Jeumpa yang bernama Mayang Seludang. Pangeran Salman pun tidak meneruskan perjalanan dengan rombongannya ke Selat Malaka. Akibat dari perkawinan itu, Maharaj Syahriar Salman tidak lagi ikut rombongan niaga Persia melanjutkan pelayaran ke Selat Malaka.

Mayang Seludang adalah puteri dari penguasa Negeri Jeumpa (Bireuen) yang leluhurnya berasal dari Indo Cina, menurut satu riwayat mengatakan bahwa penguasa Jeumpa berdarah campuran lokal dan Indo Cina, karena beberapa abad sebelumnya penguasa Jeumpa menikah dengan seorang puteri Indo Cina dan keturunannya menjadi penguasa Jeumpa.Mereka seterusnya menurunkan Raja dan bangsawan Perlak, Pasai sampai Aceh Darussalam.

Menurut penelitian terkini para ahli sejarah,diketahui bahwa sebelum datangnya Islam pada awal abad ke 7 M, Dunia Arab dengan Dunia Melayu-Sumatra sudah menjalin hubungan dagang yang erat sejak 2000 tahun SM atau 4000 tahun lalu. Hal ini sebagai dampak hubungan dagang Arab-Cina melalui jalur laut yang telah menumbuhkan perkampungan perkampungan Arab, Parsia, Hindia dan lainnya di sepanjang pesisir pulau Sumatera.

Tentu di balik kesuksesan Pangeran Salman membangun dan memimpin Kerajaan Jeumpa, di dukung oleh seorang Maha Ratu yang sangat berperan, karena sebagaimana pepatah menyebutkan di setiap keberhasilan lelaki, pasti ada perempuan yang mendukung keberhasilannya. Siapakah wanita agung yang telah mendukung kegemilangan Maha Raja Jeumpa yang berhasil sebagai pendiri Kerajaan Islam pertama di Nusantara ini?

Menurut Silsilah Sultan Melayu dan Silsilah Raja Aceh, beliau tidak lain adalah Putro Manyang Seulodong atau ada yang menyebutnya dengan Dewi Ratna Keumala, anak Meurah Jeumpa yang cantik rupawan serta cerdas dan berwibawa. Putro Jeumpa inilah yang telah mendukung karir dan perjuangan suaminya sehingga berhasil mengembangkan sebuah Kerajaan Islam yang berwibawa, yang selanjutnya anak keturunannya telah melahirkan Kerajaan Islam di Perlak, Pasai, Pedir dan Aceh Darussalam.

Menurut penelitian Sayed Dahlan al-Habsyi, Syahri adalah gelar pertama yang digunakan keturunan Nabi Muhammad di nusantara sebelum menggunakan gelar Meurah, Habib, Sayid, Syarief, Sunan, Teuku dan lainnya. Syahri diambil dari nama istri Sayyidina Husein bin Ali, Puteri Syahribanun, anak Maha Raja Parsia terakhir yang ditaklukkan Islam.

Menurut pengamatan pakar sejarah Aceh, Sayed Dahlan al-Habsyi, beliau adalah termasuk keturunan Sayyidina Husein ra. Raja Salman menggunakan dua nama ( satu lagi : Abdullah) akibat menghindar dari kejaran para penguasa Parsia yang sedang memburu pelarian keturunan Nabi..Ini artinya, Islam sudah mulai tersebar pada awal abad ke 8 atau sekitar tahun 150-an Hijriah di wilayah Aceh dan memiliki hubungan dengan wilayah Islam lainnya.

Potensi, karakter, pengetahuan dan pengalaman Pangeran Salman sebagai seorang bangsawan calon pemimpin di kerajaan maju dan besar seperti Persia, karena telah mendapat pendidikan khusus sebagaimana lazimnya Pangeran Islam. Semua itu, tentu saja telah mendorong pertumbuhan Kerajaan Jeumpa menjadi salah satu pusat pemerintahan dan perdagangan yang berpengaruh di sekitar pesisir utara pulau Sumatra.Jeumpa sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara, memperluas hubungan diplomatik dan perdagangannya dengan kerajaan-kerajaan lainnya, baik di sekitar Pulau Sumatera atau negeri lainnya, terutama Arab dan Cina.

Namun dalam perkembangannya, Kerajaan Perlak tumbuh pesat menjadi kota pelabuhan baru terutama setelah kedatangan rombongan keturunan Nabi yang dipimpin Nakhoda Khalifah berjumlah 100 orang. Syahr Nuwi mengawinkan adiknya Makhdum Tansyuri dengan salah seorang tokoh rombongan tersebut bernama Ali bin Muhammad bin Jafar Sadik, keturunan kepada Nabi Muhammad saw.Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Sayyid Abdul Aziz, dan pada 1 Muharram 225 H atau tahun 840 M, dilantik menjadi Raja dari Kerajaan Islam Perlak dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah.

Putro Manyang Seuludong bukanlah Cleopatra yang penuh intrik dan tipudaya, walaupun sama-sama Maha Ratu yang memiliki kekuasaan besar terhadap Kerajaan dan rakyatnya. Jika Cleopatra menggunakan kekuasaan, kecantikan dan kecerdasannya untuk memperdaya Yulius dan Anthony serta menghancurkannya, namun Putro Jeumpa ini menggunakannya untuk mendukung kesuksesan suaminya tercinta Pangeran Salman. Bersama suaminya, Sang Maha Ratu Jeumpa ini bahu membahu memajukan Kerajaannya sehingga menjadi sebuah Kerajaan yang terkenal di dunia internasional dan menjadi kota persinggahan para pedagangpedagang dari Arab, Parsia, Cina, india dan lainnya.Apalagi geografi Jeumpa sangat strategis yang berdekatan dengan Barus, Lamuri, Fansur yang lebih dahulu berkembang di ujung barat pulau Sumatra.

Menurut hasil observasi terkini di sekitar daerah yang diperkirakan sebagai tapak Maligai Kerajaan Jeumpa sekitar 80 meter ke selatan yang dikenal dengan Buket Teungku Keujereun, ditemukan tapak bangunan istana dan beberapa barang peninggalan kerajaan, seperti kolam mandi kerajaan seluas 20 x 20 m, kaca jendela, porselin dan juga ditemukan semacam cincin dan kalung rantai yang panjangnya sampai ke lutut dan anting sebesar gelang tangan. Semua ini tentu menggambarkan kemakmuran dan kemajuan dari Kerajaan Jeumpa 14 abad silam.

Maha Ratu Manyang Seuludong bukan hanya berhasil menjadi pendamping suaminya dalam membangun Kerajaan Jeumpa, tetapi juga berhasil menjadi seorang pendidik agung yang telah melahirkan anak-anak yang melanjutkan perjuangannya menyebarkan dakwah Islamiyah. Sebagai seorang ibu, sudah sepatunya Maha Ratu Jeumpa ini dibanggakan, karena telah berhasil mencetak pemimpin-pemimpin agung untuk agama dan bangsanya. Sang Maha Ratu dikaruniai beberapa orang anak yang menjadi Raja dan Ratu yang sangat berpengaruh dalam perjalanan sejarah pengembangan Islam Nusantara.

Kecerdasan dan kecantikan Putro Jeumpa ini telah diwariskan kepada keturunannya yang menjadi lambang keagungan putriputri Islam yang berjiwa penakluk dalam memperjuangkan tegaknya Islam di bumi Nusantara. Tidak diragukan bahwa Putro Manyang Seuludong telah menjadi inspirasi bagi perjuangan para Ratu dan putro-putro Jeumpa sesudahnya. Dari keturunan beliaulah telah berkembang puteri-puteri Jeumpa yang terkenal kecantikan dan kecerdasannya ke seluruh kerajaan di Nusantara. Puteri-puteri Jeumpa telah menjadi lambang kewibawaan para Ratu Islam di istana-istana Perlak, Pasai, Malaka . Itulah sebabnya dalam perjalanan sejarah Aceh, senantiasa dipenuhi dengan wanita-wanita agung yang berjiwa patriotik dan penakluk serta membuat sejarah kegemilangannya masing-masing yang tidak pernah dicapai oleh wanita-wanita lainnya di Nusantara, bahkan di negeri Arab sekalipun.


Menurut silsilah keturunan sultan-sultan Melayu yang dikeluarkan Kerajaan Brunei Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao. Kerajaan Islam Jeumpa dipimpin seorang Pangeran dari Parsia yang bernama Syahriansyah Salman atau Sasaniah Salman yang kawin dengan Puteri Mayang Seuludong dan memiliki beberapa anak, diantaranya, Syahri Poli, Syahri Tanti, Syahri Nuwi, Syahri Dito dan Makhdum Tansyuri:
1. Syahri Poli alias Syahri Pauli alias Syahri Puli merantau ke negeri Samaindera (Pidie) , Syahri Pauli menjadi Meurah di Negeri Sama indra (sekarang Pidie). Syahri Poli adalah pendiri dari Kerajaan Poli yang selanjutnya berkembang menjadi Kerajaan Pidier di wilayah Pidie sekarang yang wilayah kekuasaannya sampai ujung barat Sumatera. Beliau merantau ke Barat (Pidie, sekarang) kemudian di negeri itu diangkat menjadi penguasa Negeri Sama Indra (Pidie). Syahri Poli menjadi Meurah mendirikan Kerajaan Poli yang selanjutnya berkembang menjadi Kerajaan Pidie.
2. Syahri Tanti alias Syahri Dauli alias Syahri Duli pergi merantau ke negeri Indra Purba (Aceh Besar), Syahir Dauli diangkat menjadi Meurah di Negeri Indra Purwa (sekarang Aceh Besar). Beliau merantau ke daerah negeri barat paling ujung (Banda Aceh, sekarang), karena kecakapannya diangkat menjadi penguasa Negeri Indra Pura (Aceh Besar, sekarang). Syahri Tanti mengembangkan kerajaan yang ratusan tahun selanjutnya menjadi cikal bakal berdirinya Kerajaan Samudra-Pasai.
3. Syahri Nuwi (Meurah Fu), pendiri kota Perlak dengan gelar Meurah Syahri Nuwi.
4. Syahri Dito alias Syahri Tanwi alias Syahri Puri di angkat menjadi Meurah Negeri Jeumpa.
5. Makhdum Tansyuri, menikah dengan kepala rombongan Khalifah yang dibawa Nakhoda, Maulana Ali bin Muhammad din Ja’far Shadik, yang melahirkan Maulana Abdul Aziz Syah, Raja pertama Kerajaan Islam Perlak.Makhdum Tansyuri yang menjadi ibu dari Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak yang berdiri pada tahun 805 Masehi.

Keempat putera Maharaj Syahrian Salman sering dikenal dengan kaum imam empat (kawom imum peuet) atau penguasa empat.Dalam sejarah Aceh selanjutnya, tidak diragukan Putro Jeumpa Manyang Seuludong telah memberikan inspirasi kepada anak keturunannya. Merekalah yang kelak dikenal sebagai “Kaom Imeum Tuha Peut” (penguasa yang empat). Dengan demikian, kawasan-kawasan sepanjang Selat Malaka dikuasai oleh darah keturunan Maharaj Syahriar Salman dari Dinasti Sassanid Persia dan bercampur dengan darah pribumi Jeumpa (sekarang Bireuen).

Sultan pertama Perlak adalah Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Shah, yang beraliran Syiah dan merupakan keturunan Arab dengan perempuan setempat, yang mendirikan Kesultanan Perlak pada 1 Muharram 225 H (840 M). Ia mengubah nama ibukota kerajaan dari Bandar Perlak menjadi Bandar Khalifah. Sultan ini bersama istrinya, Putri Meurah Mahdum Khudawi, kemudian dimakamkan di Paya Meuligo, Peureulak, Aceh Timur.


Kerajaan Islam Perlak akhirnya berkembang menjadi sebuah kerajaan yang maju menggantikan peran dari Kerajaan Islam Jeumpa.Setelah berdirinya beberapa Kerajaan Islam baru sebagai pusat Islamisasi Nusantara seperti Kerajaan Islam Perlak (840-an) dan Kerajaan Islam Pasai (1200-an), Kerajaan Islam Jeumpa yang menjalin kerjasama diplomatik tetap memiliki peran besar dalam Islamisasi Nusantara, khususnya dalam penaklukkan beberapa kerajaan besar Jawa-Hindu seperti Majapahit

.Dapat dikatakan bahwa Kerajaan Islam Perlak adalah kelanjutan atau pengembangan dari Kerajaan Islam Jeumpa yang sudah mulai menurun peranannya. Namun secara diplomatik kedua Kerajaan ini merupakan sebuah keluarga yang terikat dengan aturan Islam yang mengutamakan persaudaraan. Apalagi para Sultan adalah keturunan dari Nabi Muhammad yang senantiasa mengutamakan kepentingan agama Islam di atas segala kepentingan duniawi dan diri mereka. Bahkan dalam silsilahnya, Sultan Perlak yang ke V berasal dari keturunan Kerajaan Islam Jeumpa.

Syahr Nuwi mengawinkan adiknya Makhdum Tansyuri dengan salah seorang tokoh rombongan tersebut bernama Ali bin Muhammad bin Jafar Sadik, keturunan kepada Nabi Muhammad saw. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Sayyid Abdul Aziz, dan pada 1 Muharram 225 H atau tahun 840 M dilantik menjadi Raja dari Kerajaan Islam Perlak dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Karena wilayahnya yang strategis Kerajaan Islam Perlak akhirnya berkembang menjadi sebuah Kerajaan yang maju menggantikan peran dari Kerajaan Islam Jeumpa

Putri Tansyir Dewi, menikah dengan Sayid Maulana Ali al-Muktabar, anggota rombongan pendakwah yang tiba di Bandar Perlak dengan sebuah kapal di bawah Nakhoda Khalifah. Kapal itu memuat sekitar 100 pendakwah yang menyamar sebagai pedagang. Rombongan ini terdiri dari orang-orang Quraish, Palestina, Persia dan India. Rombongan pendakwah ini tiba pada tahun 173 H (800 M). Sebelum merapat di Perlak, rombongan ini terlebih dahulu singgah di India.

Sayid Maulana Ali al-Muktabar berfaham Syiah, merupakan keturunan dari Sayid Muhammad Diba`i anak Imam Jakfar Asshadiq (Imam Syiah ke-6) anak dari Imam Muhammad Al Baqir (Imam Syiah ke-5), anak dari Syaidina Ali Muhammad Zainal Abidin, yakni satu-satunya putra Syaidina Husen, putra Saidina Ali bin Abu Thalib dari perkawinan dengan Siti Fatimah, putri dari Muhammad Rasulullah saw.

Keikutsertaan Sayid Maulana Ali al-Muktabar dalam rombongan pendakwah karena Khalifah Makmun bin Harun Al Rasyid (167-219 H/813-833 M) meminta menyebarkan Islam di Hindi, Asia Tenggara dan kawasan-kawasan lainnya. Khalifah Makmun sebelumnya berhasil meredam “pemberontakan” kaum Syiah di Mekkah yang dipimpin oleh Muhammad bin Ja`far Ashhadiq.

Selain sayid ada juga yang orang Arab lainnya dari Bani Hasyim dan juga keturunan Rasulullah lainnya yang datang ke Perlak dalam rangka menyiarkan agama Islam dan kemudian mereka berbaur dengan masyarakat setempat terutama dengan keluarga Meurah seperit Syarifah Azizah yang menikah dengan Sultan Perlak ke-11 Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abadullah Syah Johan Berdaulat.

Adik bungsu Syahir Nuwi yaitu Putri Tansyir Dewi, menikah dengan Sayid Maulana Ali al-Muktabar, anggota rombongan pendakwah yang tiba di Bandar Perlak dengan sebuah kapal di bawah Nakhoda Khalifah. Kapal itu memuat sekitar 100 pendakwah yang menyamar sebagai pedagang. Rombongan ini terdiri dari orang-orang Quraish, Palestina, Persia dan India.. Perkawinan Putri Tansyir Dewi dengan Sayid Maulana Ali al-Muktabar membuahkan seorang putra bernama Sayid Maulana Abdul Aziz Syah, yang kelak setelah dewasa dinobatkan sebagai Sultan Alaidin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah, sultan pertama Kerajaan Islam Perlak.

Selanjutnya, salah satu anak buah Nakhoda Khalifah, Ali bin Muhammad bin Ja`far Shadiq dinikahkan dengan Makhdum Tansyuri, adik dari Syahir Nuwi. Dari perkawinan mereka inilah lahir kemudian Alaidin Syed Maulana Abdul Aziz Syah, Sultan pertama Kerjaan Perlak. Sultan kemudian mengubah ibukota Kerajaan, yang semula bernama Bandar Perlak menjadi Bandar Khalifah, sebagai penghargaan atas Nakhoda Khalifah. Sultan dan istrinya, Putri Meurah Mahdum Khudawi, dimakamkan di Paya Meuligo, Perlak, Aceh Timur.

Sultan Alaidin Syed Maulana Abdul Aziz Syah merupakan sultan yang beralirah paham Syiah. Aliran Syi’ah datang ke Indonesia melalui para pedagang dari Persia. Mereka masuk pertama kali melalui Kesultanan Perlak

Kerajaan Perlak berdiri tahun 840 M dengan rajanya yang pertama, Sultan Alaidin Syed Maulana Abdul Aziz Syah. Sebelumnya, memang sudah ada Negeri Perlak yang pemimpinnya merupakan keturunan dari Meurah Perlak Syahir Nuwi atau Maharaja Pho He La.

Pendiri kesultanan Perlak adalah sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Azis Shah yang menganut aliran atau Mahzab Syiah. Ia merupakan keturunan pendakwah arab dengan perempuan setempat. Kerajaan perlak didirikannya pada tanggal 1 Muharram 225 H atau 840 masehi, saat kerajaan Mataram Kuno atau Mataram Hindu di Jawa masih berjaya. sebagai gebrakan mula-mula, sultan Alaiddin mengubah nama ibu kota kerajaan dari bandar Perlak menjadi Banda Khalifah.

Kini jelaslah kepada kita bahwa – Kerajaan (Peureulak) dimulai pada 840 M sampai dengan Sulthan Maghdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Shah Johan berdaulat adalah terakhir tahun 1292 M. Artinya, Dinasti Islamiyah di Peureulak telah Berjaya selama 452 tahun lamanya.

Disini dapat kita simpulkan bahwa ada dua tokoh penyebar Islam ke Aceh yang berasal dari tanah Persia :
1. Maharaj Syahriar Salman : seorang pangeran keturunan Dinasti Sasanid Persia
2. Sayid Maulana Ali al-Muktabar keturunan Rasulullah SAW.

Kerajaan Perlak tumbuh pesat menjadi kota pelabuhan baru terutama setelah kedatangan rombongan keturunan Nabi yang dipimpin Nakhoda Khalifah berjumlah 100 orang.

Setelah tampilnya Kerajaan Islam Perlak sebagai pusat pertumbuhan perdagangan dan kota pelabuhan yang baru, peran Kerajaan Islam Jeumpa menjadi kurang menonjol. Setelah berdirinya beberapa Kerajaan Islam baru sebagai pusat Islamisasi Nusantara seperti Kerajaan Islam Perlak (840an) dan Kerajaan Islam Pasai (1200an), Kerajaan Islam Jeumpa yang menjalin kerjasama diplomatik tetap memiliki peran besar dalam Islamisasi Nusantara, khususnya dalam penaklukkan beberapa kerajaan besar Jawa-Hindu seperti Majapahit misalnya. Di kisahkan bahwa Raja terakhir Majapahit, Brawijaya V memiliki seorang istri yang berasal dari Jeumpa (Champa), yang menurut pendapat Raffless berada di wilayah Aceh dan bukan di Kamboja sebagaimana difahami selama ini.

Setelah Kerajaan Islam Perlak yang berdiri pada tahun 805 Masehi tumbuh dan berkembang, maka pusat aktivitas Islamisasi nusantarapun berpindah ke wilayah ini. Dapat dikatakan bahwa Kerajaan Islam Perlak adalah kelanjutan atau pengembangan daripada Kerajaan Islam Jeumpa yang sudah mulai menurun peranannya. Namun secara diplomatik kedua Kerajaan ini merupakan sebuah keluarga yang terikat dengan aturan Islam yang mengutamakan persaudaraan. Apalagi para Sultan adalah keturunan dari Nabi Muhammad yang senantiasa mengutamakan kepentingan agama Islam di atas segala kepentingan duniawi dan diri mereka. Bahkan dalam silsilahnya, Sultan Perlak yang ke V berasal dari keturunan Kerajaan Islam Jeumpa.


Tansyir Dewi menikah dengan seorang sayid keturunan Arab yang bernama Sayid Maulana Ali al-Muktabar, selain sayid ada juga yang orang Arab lainnya dari Bani Hasyim dan juga keturunan Rasulullah lainnya yang datang ke Perlak dalam rangka menyiarkan agama Islam dan kemudian mereka berbaur dengan masyarakat setempat terutama dengan keluarga Meurah seperit Syarifah Azizah yang menikah dengan Sultan Perlak ke-11 Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abadullah Syah Johan Berdaulat.

Sayid Ali Muktabar bin Muhammad Dibai bin Imam Jakfar al-Shadiq merupakan salah satu keturunan dari Ali bin Abi Thalib, Muhammad bin Jakfar al-Shadiq adalah imam Syiah ke-6 yang juga masih keturunan Rasulullah SAW melalui anaknya Nabi bernama Siti Fatimah.

Sebelumnya, dinasti Umayah dan Abasiyah sangat menentang aliran Syiah yang dipimpin oleh Ali bin Ali Abu Thalib, tidak heran pada masa dua dinasti tersebut tidak mendapatkan tempat yang aman dan selalu di ditindas karena jumlah minoritas, sehingga banyak dari penganut Syiah menyingkir dari wilayah yang dikuasai oleh dua dinasti tersebut.

Pada masa pemerintahan Khalifah Makmun bin Harun al-Rasyid (167-219 H/813-833 M) akhirnya mengirim pasukannya ke Mekkah untuk meredakan ketegangan kaum Syiah itu, Khalifah Makmun memutuskan kepada Muhammad bin Jakfar al-Shadiq untuk hijrah dan menyebarkan Islam ke Hindi, Asia Tenggara dan sekitarnya.

Wan Hussein Azmi dalam Islam di Aceh mengaitkan kedatangan mereka dengan Revolusi Syi’ah yang terjadi di Persia tahun 744-747. Revolusi ini di pimpin Abdullah bin Mu’awiyah yang masih keturunan Ja’far bin Abi Thalib. Bin Mu’awiyah telah menguasai kawasan luas selama dua tahun (744-746) dan mendirikan istana di Istakhrah sekaligus memproklamirkan dirinya sebagai raja Madian, Hilwan, Qamis, Isfahan, Rai, dan bandar besar lainnya. Akan tetapi ia kemudian dihancurkan pasukan Muruan di bawah pimpinan Amir bin Dabbarah tahun 746 dalam pertempuran Maru Sydhan. Kemudian banyak pengikutnya yang melarikan diri ke Timur Jauh. Para ahli sejarah berpendapat, mereka terpencar di semenanjung Malaysia, Cina, Vietnam, dan Sumatera, termasuk ke Perlak.

Pendapat Wan Hussein Azmi itu diperkaya dan diperkuat sebuah naskah tua berjudul Idharul Haqq fi Mamlakatil Ferlah w’l-Fasi, karangan Abu Ishak Makarni al-Fasy, yang dikemukakan Prof. A. Hasjmi. Dalam naskah itu diceritakan tentang pergolakan sosial-politik di lingkungan Daulah Umayah dan Abbasiyah yang kerap menindas pengikut Syi’ah. Pada masa pemerintahan Khalifah Makmun bin Harun al-Rasyid (813-833), seorang keturunan Ali bin Abi Thalib, bernama Muhammad bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Baqr bin Zaenal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, memberontak terhadap Khalifah yang berkedudukan di Baghdad dan memproklamirkan dirinya sebagai khalifah yang berkedudukan di Makkah.

Khalifah Makmun berhasil menumpasnya. Tapi Muhammad bin Ja’far Shadiq dan para tokoh pemberontak lainnya tidak dibunuh, melainkan diberi ampunan. Makmun menganjurkan pengikut Syi’ah itu meninggalkan negeri Arab untuk meluaskan dakwah Islamiyah ke negeri Hindi, Asia Tenggara, dan Cina. Anjuran itu pun lantas dipenuhi.

Sebuah Angkatan Dakwah beranggotakan 100 orang pimpinan Nakhoda Khalifah yang kebanyakan tokoh Syi’ah Arab, Persia, dan Hindi —termasuk Muhammad bin Ja’far Shadiq— segera bertolak ke timur dan tiba di Bandar Perlak pada waktu Syahri Nuwi menjadi perintis Negeri Perlak. Syahri Nuwi kemudian menikahkan Ali bin Muhammad bin Ja’far Shadiq dengan adik kandungnya, Makhdum Tansyuri. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Sayyid Abdul Aziz, dan pada 1 Muharram 225 H dilantik menjadi Raja dari kerajaan Islam Perlak dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah.

Satu kapal yang memuat rombongan angkatan dakwah termasuk di dalamnya Sayid Ali Muktabar. Menurut kitab Idharul Haq fi Mamlakat al-Perlak yang ditulis oleh Syekh Ishak Makarani al-Pasi pada tahun 173 H (800 M) Bandar Perlak disinggahi oleh satu kapal yang membawa kurang lebih 100 orang da’i yang terdiri dari orang-orang Arab suku Qurasy, Palestina, Persia dan India dibawah Nakhoda Khalifah dengan menyamar menjadi pedagang.

Rombongan Nakhoda Khalifah ini disambut oleh penduduk dan penguasa negeri Perlak yakni pada masa Meurah Syahir Nuwi. Pada masa itu pula, Meurah Syahir Nuwi menjadi raja pertama yang menganut Islam di Perlak. Sayid Ali Muktabar sendiri kemudian menikah dengan adik Syahir Nuwi yang bernama puteri Tansyir Dewi yang kemudian mereka dianugerahi seorang putra bernama Sayid Maulana Abdul Aziz Syah. Saat Sayid Maulana Abdul Aziz Syah dewasa, akhirnya dinobatkan menjadi Sultan Pertama Kerajaan Islam Perlak.

Pada masa pemerintahan sultan ketiga, Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abbas Syah, aliran Sunni mulai masuk ke Peureulak. Setelah wafatnya sultan pada tahun 363 H (913 M), terjadi perang saudara antara kaum Syi’ah dan Sunni sehingga selama dua tahun berikutnya tak ada sultan.

Kaum Syi’ah memenangkan perang dan pada tahun 302 H (915 M), Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Ali Mughat Syah dari aliran Syi’ah naik tahta. Pada akhir pemerintahannya terjadi lagi pergolakan antara kaum Syi’ah dan Sunni yang kali ini dimenangkan oleh kaum Sunni sehingga sultan-sultan berikutnya diambil dari golongan Sunni.

Pertentangan mahzab yang keras ini sempat ke Peureulak dalam masa sultan Alaiddin Saiyid Maulana Ali Mughaiyad Syah (Bukan Ali Mughaiyad Syah Sultan di Kerajaan Aceh Darussalam) Kaum Ahlusunnah dapat menumbangkan kerajaan Islam Syi’ah Peureulak dan Mendirikan Kerajaan Islam Ahlusunnah Peureulak.

Pada tahun 362 H (956 M), setelah meninggalnya sultan ketujuh, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Syah Johan Berdaulat, terjadi lagi pergolakan selama kurang lebih empat tahun antara Syi’ah dan Sunni yang diakhiri dengan perdamaian dan pembagian kerajaan menjadi dua bagian:
1. Peureulak Pesisir (Syi’ah) dipimpin oleh Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Syah (986‑988) dengan ibukota Bandar Peureulak.
2. Peureulak Pedalaman (Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulat (986–1023) dengan Ibukota Bandar Khalifah.

Pada tahun 375 H atau (986 M), kerajaan Sriwijaya menyerang Peureulak, Peperangan tersebut menyebabkan Sultan Alaidin Saiyid Maulana Mahmud Syah syahid, peperangan dengan kerajaan Sriwijaya terus dilanjutkan, sehingga tahun 393 H (1006 M) tentara Sriwijaya keluar dari Peureulak dengan mengalami kerugian yang besar. Maka Sultan Makhdum Alaidin Malik Ibrahim Syah (dari golongan Sunni) menjadi Sultan tunggal Kerajaan Islam Peureulak dan melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun 1006.

Disisi lain peperangan ini membawa dampak positif dengan meluasnya pengaruh ajaran Islam ke daerah pedalaman dan ke pantai Barat Utara oleh para Muhajjirin yang hijrah, dan diantara mereka membuka negeri-negeri Islam baru, Seperti Negeri Samudra Pasai, Negeri Isak dan Negeri Lingga (Aceh Tengah), Negeri Serbajadi dan Negri Peunaron (daerah Tamiang dan Lokop).

Sejarah keislaman di Kesultanan Perlak tidak luput dari persaingan antara kelompok Sunni dan Syiah. Perebutan kekuasaan antara dua kelompok Muslim ini menyebabkan terjadinya perang saudara dan pertumpahan darah. Silih berganti kelompok yang menang mengambil alih kekuasaan dari tangan pesaingnya.

Aliran Sunni mulai masuk ke Kesultanan Perlak, yaitu pada masa pemerintahan sultan ke-3, Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah. Setelah ia meninggal pada tahun 363 H (913 M), terjadi perang saudara antara kaum Syiah dan Sunni, yang menyebabkan kesultanan dalam kondisi tanpa pemimpin. Pada tahun 302 H (915 M), kelompok Syiah memenangkan perang. Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah dari aliran Syiah kemudian memegang kekuasaan kesultanan sebagai sultan ke-4 (915-918). Ketika pemerintahannya berakhir, terjadi pergolakan antara kaum Syiah dan Sunni, hanya saja untuk kali ini justru dimenangkan oleh kelompok Sunni.

Kurun waktu antara tahun 918 hingga tahun 956 relatif tidak terjadi gejolak yang berarti. Hanya saja, pada tahun 362 H (956 M), setelah sultan ke-7, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat meninggal, terjadi lagi pergolakan antara kelompok Syiah dan Sunni selama kurang lebih empat tahun. Bedanya, pergolakan kali ini diakhiri dengan adanya itikad perdamaian dari keduanya. Kesultanan kemudian dibagi menjadi dua bagian. Pertama, Perlak Pesisir (Syiah) dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah (986 – 988). Kedua, Perlak Pedalaman (Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986 – 1023).

(Historia/Syiah-Ali/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: