Tiap kali digelar, kontes “putri-putrian” kerap mengundang kecaman. Moral dan kepatutan jadi persoalan.
Ajang Miss World 2013 di Bali pada September mengundang kecaman dari berbagai pihak. Alasannya, melanggar norma kesopanan dan “merendahkan” martabat perempuan. Tapi kejadian macam itu bukan hal yang baru. Sejak dulu, kontes serupa kerap beriringan dengan perdebatan di masyarakat.
Di tingkat lokal, kontes kecantikan sudah lama digelar. Pada Agustus 1935, misalnya, sebuah pasar malam milik orang Tionghoa di Semarang menghelat Concours Loerik-kleding. Para perempuan tampil berlenggak-lenggok mengenakan kain lurik. Organisasi-organisasi perempuan yang tergabung dalam Badan Pembela Derajat Isteri Indonesia Cabang Mataram pun bersuara. Dalam mosinya, mereka menyebut konkurs atau perlombaan itu menghina kaum perempuan, khususnya perempuan Indonesia. Selain itu, tak sesuai adab, agama, dan perasaan Timur.
“… pokoknya ‘permainan’ itu tidak lain ialah semangatnya kaum borjuis atau kaum modal, yang dalam masyarakat ini hanya mencari kesenangan dan kepuasan diri sendiri dengan mempergunakan orang perempuan sebagai alat, … dengan bertopeng memajukan ekonomi atau industri nasional dan sebagainya,” kecam Ki Hadjar Dewantara, pendiri Taman Siswa, dalam Wasita, Agustus 1935.
Pascakemerdekaan, terutama pada 1950-an, kontes kecantikan atau mode tumbuh subur. Berbagai ajang digelar hampir di semua kota besar, terutama di Jawa. Dari Ratu Kacamata, Ratu Sanggul, hingga Ratu Kebaya.
Di tingkat nasional, rencana kontes Miss Indonesia mendapat tentangan dari organisasi perempuan Gerwani. Ketika pada awal 1960-an pengusaha Simon Petrus Goni berencana menggelar Miss Indonesia, Presiden Sukarno menghujat dan menyebutnya tak sesuai dengan karakter bangsa. Pemuda Rakyat, sayap pemuda Partai Komunis Indonesia, lantas menurunkan sejumlah poster dan spanduk acara itu di Jakarta. Spego, sapaan Simon Petrus Goni, akhirnya membatalkan rencana itu.
Campur Tangan Istana
Ketika kekuasaan Sukarno mulai runtuh, semua hal yang dianggap berbau Barat mendapat angin. Termasuk kontes ratu-ratuan. Pada 1967, untuk kali pertama dihelat ajang Miss Indonesia di Jakarta. Pemenangnya, Slyvia Taliwongso, dikirim mengikuti Miss Internasional di Jepang.
Kontes kecantikan marak di di masa Orde Baru. Dalam makalah “Dinamika Pemilihan ‘Putri Indonesia’ pada Masa Orde Baru”, disampaikan dalam seminar Sejarah Nasional di Jakarta pada 2006, Mutiah Amini, sejarawan Universitas Gadjah Mada, menaksir ada 32 ajang pemilihan putri tingkat nasional untuk menjaring wakil Indonesia mengikuti ajang sejenis di forum internasional, dari Miss International, Queen of the Pacific, hingga Miss Asia Pacific.
Keikutsertaan dalam Miss Universe dimulai pada 1974. Dalam acara yang digelar di Manila, Filipina, tampil Nia Kurniasi Ardikoesoema. Tiga tahun kemudian, Indonesia absen karena pemerintah melarang kontes putri-putrian maupun partisipasi di ajang Internasional. Pelarangan itu datang dari Ibu Tien Soeharto. “Alasannya, tentu bertitik tolak dari anggapan moral dan tidak bermoralnya ajang ini,” tulis Mutiah.
Secara diam-diam, lewat penjaringan secara tertutup, beberapa perempuan Indonesia tetap melenggang ke luar negeri. Abdi Naba Riwayati Basoamier ikut Miss Universe 1980. Namun dia gagal jadi kontestan Miss Asia Pacific karena tak mendapatkan visa. Begitu pula Rosje Suratman dalam ajang Miss Universe 1981. Departemen Perhubungan, yang kala itu membawahkan Direktorat Jenderal Pariwisata, tak memberi izin penyelenggaraan kontes kecantikan di Indonesia maupun pengiriman ke luar negeri.
Andi Nurhayati, pemilik Andi Beauty Institute Jakarta sekaligus pemegang lisensi pengiriman wakil Indonesia ke ajang Miss World dan Miss Universe, tetap nekat. Dia menggelar perhelatan Miss Indonesia secara tertutup dan mengirimkan pemenangnya, Andi Botenri, ke ajang Miss World 1982. Setahun kemudian Andi Botenri ikut Miss Universe dan artis Titi Dwi Miss World.
Kecaman datang ketika foto Andi Botenri mengenakan baju renang Catalina terpampang di sebuah suratkabar di Jakarta. Seruan agar Botenri tak bersaing di segmen baju renang, ditolaknya. Botenri tetap mengenakan baju renang pada Malam Presentasi.
Kehebohan itu mendorong pemerintah bikin kebijakan. Pada 26 Mei 1984, setelah berkonsultasi dengan lima departemen, Mendikbud Wardiman Djojonegoro menerbitkan SK No 237/U/1984 yang melarang kegiatan ratu-ratuan. Khusus untuk Andi Nurhayati, Direktur Jenderal Pariwisata mengirim surat yang melarang pengiriman putri Indonesia ke ajang Miss World. Setelah itu Andi Nurhayati memilih melepaskan lisensi atas dua ajang internasional itu.
Mendorong Pariwisata?
Pada 1992, Yayasan Puteri Indonesia mulai menggelar Pemilihan Puteri Indonesia dan mengirimkan pemenangnya ke ajang Miss Universe. Ketua yayasan itu adalah Mooryati Soedibyo dan ajang itu disponsori oleh perusahaan kosmetiknya, Mustika Ratu.
Untuk mendapatkan dukungan, dan juga karena kedekatannya, Mooryati selalu membawa Putri Indonesia terpilih untuk menghadap Ibu Tien Soeharto. Begitu pula ketika Indira Paramarini Soediro, Puteri Indonesia 1992, hendak mengikuti Miss Universe di Meksiko. Namun pemerintah tetap tak memberikan lampu hijau.
Dengan alasan tak ada peraturan yang jelas, Yayasan Putri Indonesia mengirim secara diam-diam dua wakil Indonesia ke ajang Miss Universe: Susanty Manuhutu pada 1995 dan Alya Rohali pada 1996. Menteri Negara Peranan Wanita Mien Sugandhi merasa kecolongan. Menparpostel Joop Ave menyatakan Kontes Ratu Sejagat tak ada hubungannya dengan pariwisata.
Krisis moneter menghentikan ajang Puteri Indonesia. Setelah kondisi ekonomi pulih, ajang tersebut kembali digelar. Begitu pula pengiriman ke ajang Miss Universe. Pada 2009 muncul ajang Miss Indonesia yang disokong Sari Ayu milik Martha Tilaar. Pemenangnya dikirim ke ajang Miss World. Kecaman yang terus membututi tak menghentikan ajang-ajang tersebut.
Kathy Peiss, sejarawan dari Universitas Pensylvania, mengatakan, perhelatan semacam itu jadi arena untuk mempromosikan kepentingan ekonomis. “Dalam sebuah kontes kecantikan, sebuah produk yang dikemas baik dan seringkali lebih glamor dipamerkan atau dikompetisikan,” tulisnya dalam artikel Beauty and Business: Commerce, Gender, and Culture in Modern America. Kontes-kontes itu, kata Peiss, ampuh “membujuk” mereka yang turut serta, terlibat di dalamnya seakan-akan menjadi bagian dari kelas sosial tertentu.
Alasan ekonomi adalah satu hal. Begitu pula dalih mempromosikan wisata Indonesia. Dengan digelarnya ajang Miss World di Bali, apakah ini berarti sebuah bentuk dukungan dari pemerintah?
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Miss World di Nusa Dua, Bali, 8 September 2013. (Foto: Ed Wray/Getty Images/windsorstar.com).
Ajang Miss World 2013 di Bali pada September mengundang kecaman dari berbagai pihak. Alasannya, melanggar norma kesopanan dan “merendahkan” martabat perempuan. Tapi kejadian macam itu bukan hal yang baru. Sejak dulu, kontes serupa kerap beriringan dengan perdebatan di masyarakat.
Di tingkat lokal, kontes kecantikan sudah lama digelar. Pada Agustus 1935, misalnya, sebuah pasar malam milik orang Tionghoa di Semarang menghelat Concours Loerik-kleding. Para perempuan tampil berlenggak-lenggok mengenakan kain lurik. Organisasi-organisasi perempuan yang tergabung dalam Badan Pembela Derajat Isteri Indonesia Cabang Mataram pun bersuara. Dalam mosinya, mereka menyebut konkurs atau perlombaan itu menghina kaum perempuan, khususnya perempuan Indonesia. Selain itu, tak sesuai adab, agama, dan perasaan Timur.
“… pokoknya ‘permainan’ itu tidak lain ialah semangatnya kaum borjuis atau kaum modal, yang dalam masyarakat ini hanya mencari kesenangan dan kepuasan diri sendiri dengan mempergunakan orang perempuan sebagai alat, … dengan bertopeng memajukan ekonomi atau industri nasional dan sebagainya,” kecam Ki Hadjar Dewantara, pendiri Taman Siswa, dalam Wasita, Agustus 1935.
Pascakemerdekaan, terutama pada 1950-an, kontes kecantikan atau mode tumbuh subur. Berbagai ajang digelar hampir di semua kota besar, terutama di Jawa. Dari Ratu Kacamata, Ratu Sanggul, hingga Ratu Kebaya.
Di tingkat nasional, rencana kontes Miss Indonesia mendapat tentangan dari organisasi perempuan Gerwani. Ketika pada awal 1960-an pengusaha Simon Petrus Goni berencana menggelar Miss Indonesia, Presiden Sukarno menghujat dan menyebutnya tak sesuai dengan karakter bangsa. Pemuda Rakyat, sayap pemuda Partai Komunis Indonesia, lantas menurunkan sejumlah poster dan spanduk acara itu di Jakarta. Spego, sapaan Simon Petrus Goni, akhirnya membatalkan rencana itu.
Campur Tangan Istana
Ketika kekuasaan Sukarno mulai runtuh, semua hal yang dianggap berbau Barat mendapat angin. Termasuk kontes ratu-ratuan. Pada 1967, untuk kali pertama dihelat ajang Miss Indonesia di Jakarta. Pemenangnya, Slyvia Taliwongso, dikirim mengikuti Miss Internasional di Jepang.
Kontes kecantikan marak di di masa Orde Baru. Dalam makalah “Dinamika Pemilihan ‘Putri Indonesia’ pada Masa Orde Baru”, disampaikan dalam seminar Sejarah Nasional di Jakarta pada 2006, Mutiah Amini, sejarawan Universitas Gadjah Mada, menaksir ada 32 ajang pemilihan putri tingkat nasional untuk menjaring wakil Indonesia mengikuti ajang sejenis di forum internasional, dari Miss International, Queen of the Pacific, hingga Miss Asia Pacific.
Keikutsertaan dalam Miss Universe dimulai pada 1974. Dalam acara yang digelar di Manila, Filipina, tampil Nia Kurniasi Ardikoesoema. Tiga tahun kemudian, Indonesia absen karena pemerintah melarang kontes putri-putrian maupun partisipasi di ajang Internasional. Pelarangan itu datang dari Ibu Tien Soeharto. “Alasannya, tentu bertitik tolak dari anggapan moral dan tidak bermoralnya ajang ini,” tulis Mutiah.
Secara diam-diam, lewat penjaringan secara tertutup, beberapa perempuan Indonesia tetap melenggang ke luar negeri. Abdi Naba Riwayati Basoamier ikut Miss Universe 1980. Namun dia gagal jadi kontestan Miss Asia Pacific karena tak mendapatkan visa. Begitu pula Rosje Suratman dalam ajang Miss Universe 1981. Departemen Perhubungan, yang kala itu membawahkan Direktorat Jenderal Pariwisata, tak memberi izin penyelenggaraan kontes kecantikan di Indonesia maupun pengiriman ke luar negeri.
Andi Nurhayati, pemilik Andi Beauty Institute Jakarta sekaligus pemegang lisensi pengiriman wakil Indonesia ke ajang Miss World dan Miss Universe, tetap nekat. Dia menggelar perhelatan Miss Indonesia secara tertutup dan mengirimkan pemenangnya, Andi Botenri, ke ajang Miss World 1982. Setahun kemudian Andi Botenri ikut Miss Universe dan artis Titi Dwi Miss World.
Kecaman datang ketika foto Andi Botenri mengenakan baju renang Catalina terpampang di sebuah suratkabar di Jakarta. Seruan agar Botenri tak bersaing di segmen baju renang, ditolaknya. Botenri tetap mengenakan baju renang pada Malam Presentasi.
Kehebohan itu mendorong pemerintah bikin kebijakan. Pada 26 Mei 1984, setelah berkonsultasi dengan lima departemen, Mendikbud Wardiman Djojonegoro menerbitkan SK No 237/U/1984 yang melarang kegiatan ratu-ratuan. Khusus untuk Andi Nurhayati, Direktur Jenderal Pariwisata mengirim surat yang melarang pengiriman putri Indonesia ke ajang Miss World. Setelah itu Andi Nurhayati memilih melepaskan lisensi atas dua ajang internasional itu.
Mendorong Pariwisata?
Pada 1992, Yayasan Puteri Indonesia mulai menggelar Pemilihan Puteri Indonesia dan mengirimkan pemenangnya ke ajang Miss Universe. Ketua yayasan itu adalah Mooryati Soedibyo dan ajang itu disponsori oleh perusahaan kosmetiknya, Mustika Ratu.
Untuk mendapatkan dukungan, dan juga karena kedekatannya, Mooryati selalu membawa Putri Indonesia terpilih untuk menghadap Ibu Tien Soeharto. Begitu pula ketika Indira Paramarini Soediro, Puteri Indonesia 1992, hendak mengikuti Miss Universe di Meksiko. Namun pemerintah tetap tak memberikan lampu hijau.
Dengan alasan tak ada peraturan yang jelas, Yayasan Putri Indonesia mengirim secara diam-diam dua wakil Indonesia ke ajang Miss Universe: Susanty Manuhutu pada 1995 dan Alya Rohali pada 1996. Menteri Negara Peranan Wanita Mien Sugandhi merasa kecolongan. Menparpostel Joop Ave menyatakan Kontes Ratu Sejagat tak ada hubungannya dengan pariwisata.
Krisis moneter menghentikan ajang Puteri Indonesia. Setelah kondisi ekonomi pulih, ajang tersebut kembali digelar. Begitu pula pengiriman ke ajang Miss Universe. Pada 2009 muncul ajang Miss Indonesia yang disokong Sari Ayu milik Martha Tilaar. Pemenangnya dikirim ke ajang Miss World. Kecaman yang terus membututi tak menghentikan ajang-ajang tersebut.
Kathy Peiss, sejarawan dari Universitas Pensylvania, mengatakan, perhelatan semacam itu jadi arena untuk mempromosikan kepentingan ekonomis. “Dalam sebuah kontes kecantikan, sebuah produk yang dikemas baik dan seringkali lebih glamor dipamerkan atau dikompetisikan,” tulisnya dalam artikel Beauty and Business: Commerce, Gender, and Culture in Modern America. Kontes-kontes itu, kata Peiss, ampuh “membujuk” mereka yang turut serta, terlibat di dalamnya seakan-akan menjadi bagian dari kelas sosial tertentu.
Alasan ekonomi adalah satu hal. Begitu pula dalih mempromosikan wisata Indonesia. Dengan digelarnya ajang Miss World di Bali, apakah ini berarti sebuah bentuk dukungan dari pemerintah?
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email