Wahai Tuhanku, wahai Tuanku aku memohon kepada-Mu dengan qadar yang telah Engkau tentukan dan
dengan qadha yang telah Engkau tetapkan dan putuskan dan yang telah Engkau tentukan berlaku
pada orang yang dikenai (keputusan dan ketentuan itu), berilah aku ampunan di malam ini, di saat ini, atas
semua nista yang pernah aku kerjakan, semua dosa yang pernah aku lakukan, semua keburukan yang
pernah aku rahasiakan, semua kejahilan yang pernah aku kerjakan; yang aku sembunyikan maupun yang aku
tampakkan, yang aku tutupi atau yang aku tunjukkan.
Ampuni semua keburukan yang telah Engkau perintahkan malaikat yang mulia untuk mencatatnya, mereka yang Engkau tugaskan untuk mencacat segala yang ada padaku, mereka yang Engkau jadikan sebagai saksi-saksi bersama seluruh anggota tubuhku, dan Engkau sendiri Pengawal di belakang mereka
menyaksikan apa yang tersembunyi pada mereka, dengan rahmat-Mu Engkau sembunyikan keburukan itu,
dengan karunia-Mu Engkau menutupinya. Dan perbanyaklah bagianku pada setiap kebaikan yang Engkau turunkan, atau setiap karunia yang Engkau limpahkan, atau setiap keberuntungan yang Engkau sebarkan, atau setiap rezeki yang Engkau curahkan, atau setiap dosa yang Engkau ampuni, atau setiap kesalahan yang Engkau tutupi.
Penafsiran Etimologis
Kata qaddarta merupakan isim mashdar dari kata qaddara-yuqaddiru-qadran yang artinya seorang yang menakdirkan.
Kata qadhiyyah adalah mashdar ja’lî (kata dasar buatan). Dengan demikian, sebagai ganti dari isim mashdar digunakanlah -qadha-yaqdhî-qadhâ’an, yang memiliki arti muqdhî (orang yang menetapkan), dan maksud dari keduanya adalah hukum dan keputusan, Allah Swt. Perbedaan antara qadha dan qadar adalah bahwa apa-apa yang ada dalam ilmu Allah adalah muqaddar (telah ditentukan kadar dan jumlahnya) dan apa-apa yaag tengah berlaku adalah maqdhî dan muqtadha. Inilah yang disebut dengan qadha dan qadar. Secara keseluruhan, kata qudrah, qadar, muqaddar, maqdûr alaih, semuanya memiliki satu arti, yaitu ukuran, takaran. Sedangkan kata qadha, maqdhî, qadhiyyah, semuanya memiliki satu makna pula, yaitu keputusan hukum. Maksud semua itu adalah qadha dan qadar yang hatmî (pasti, tidak berubah).
Kata jurm, dzanb, qubh, sayyi’ah, jahâlah, semuanya memiliki satu makna, yaitu kesalahan. Penggunaan berbagai kata ini adalah untuk keindahan dalam penyusunan kalimat, dengan cara menggunakan kata-kata yang berbeda bentuk namun memiliki satu arti. Ini sama dengan sang peminta (dâ’î) yang mengulang-ulang permintaannya, “Wahai Tuhanku! Aku bermohon kepada-Mu, ampunilah kesalahanku, ampunilah kesalahanku, ampunilah kesalahanku...”
Syarah dan Penjelasan
Dalam menjelaskan bagian doa ini, terdapat beberapa topik pembahasan:
1. Di sini, Zat yang Dimohon dan Diminta (mad’uw) adalah Allah Swt, yang merupakan Tuan, Sang Pelindung, Mahamulia, Maha Penyayang, dan Yang menutupi kesalahan hamba-Nya. “Wahai Tuhanku, wahai Tuanku!... dengan rahmat-Mu Engkau sembunyikan keburukan itu... dengan karunia-Mu Engkau menutupinya.”
Sementara, sang peminta (dâ’î) adalah seorang hamba yang berdosa, yang melakukan perbuatan dosa secara terang-terangan dan tersembunyi. Dan ia memiliki berbagai saksi yang menyaksikan perbuatannya itu, yang di antaranya adalah malaikat yang mulia. Juga, ada berbagai saksi lain yang akan memberikan kesaksian atas perbuatan dosa itu; yakni berbagai anggota tubuhnya.
Di sini, sesuatu yang dipinta (mad’uwwun lahu) adalah pengampunan atas segala dosa dan curahan kenikmatan lahiriah berupa berbagai kebaikan dan keluasan rezeki, serta berbagai kenikmatan batiniah, yang di antaranya adalah pengampunan atas berbagai dosa dan ditutupinya segala kesalahan.
Sementara, yang dijadikan sebagai sumpah (mad’uwwun bihi) adalah qadha dan qadar hatmî, yang keduaanya berasal dari kekuatan, kekuasaan, dan kemuliaan Allah.
Sebagai pendekatan, mengapa qadha dan qadar hatmî menunjukkan pada kekuasaan, keagungan, dan kemuliaan Allah? Sebab, qadha dan qadar yang bukan hatmî, yakni qadha dan qadar ta’lîqî (yang masih bergantung pada usaha dan pilihan manusia), meskipun juga menunjukkan pada kekuasaan, keagungan, dan kemuliaan Allah, namun pabila seorang hamba tidak menuliki sebuah kehendak dan keinginan dalam perkara tersebut, maka (itu) tidak akan menjadi seperti qadha dan qadar hatmî. Ini merupakan bukti atas kemuliaan, keagungan, dan kekuasaan-Nya yang absolut. Oleh karena itu, diriwayatkan, pabila kita menyaksikan jenazah, maka kita mesti mengucapkan, “Ini adalah sebagaimana telah dijanjikan kepada kita oleh Allah dan Rasul-Nya, dan Mahabenar Allah dan Rasul- Nya. Ya Allah, Engkau menjadi mulia lantaran kekuasaan-Mu dan dengan perantaraan kematian Engkau menundukkan hamba-Mu.”
Dengan demikian, pada hakikatnya mad’uwwun bihi adalah kekuasaan (qudrah) dan kemulian (‘izzah) absolut Allah Swt.
2. Dari berbagai doa yang ada, khususnya dalam doa ini, ditunjukkan bahwa rasa sedih dan duka seorang hamba haruslah lantaran dosa dan kesalahannya. Untuk dosa-dosanya yang nampak kecil dan tidak berarti sekalipun, ia hendaklah senantiasa memohon ampunan kepada Allah. Oleh karena itu, dalam berbagai kalimat tersebut, dapat disaksikan bahwa di sela-sela doa dan permohonan Imam Ali untuk memperoleh curahan nikmat dan karunia Ilahi, beliau juga memohon agar Allah mengampuni dan menutupi segala dosa dan kesalahannya.
Dari al-Quran dan riwayat dapat diketahui dengan jelas bahwa keburukanyang ada di dua alam ini (dunia dan akhirat) adalah lantaran dosa-dosa yang telah diperbuat manusia. Allah Swt berfirman:
Telah timbul kerusakan di darat dan laut disebabkan perbuatan tangan manusia supaya Allah merasakan kepadanya sebagian dari (akibat) perbuatannya, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (al-Rûm: 42)
...Karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). (Ali ‘Imrân: 137)
...dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan. (al-A’râf: 86)
Katakanlah, “Berjalanlah kamu (di muka) bumi, lalu perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang berdosa.” (al-Naml: 69)
Alhasil, al-Quran, selain menjelaskan mengenai kondisi dan keadaan orang-orang yang berdosa dalam berbagai ayatnya, banyak juga memerintahkan untuk melihat serta mengambil pelajaran dari sejarah. Allah Swt berfirman:
Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi, lalu memperhatikan betapa kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Mereka itu lebih hebat kekuatannya daripada mereka sendiri dan (lebih banyak) bekas-bekas peninggalan mereka di muka bumi, maka Allah mengazab mereka disebabkan dosa-dosanya. Dan sekali-kali mereka tidak mempunyai seorang pelindung pun dari azab Allah. (al-Mu’min: 21)
(Bukan demikian), yang benar, barangsiapa berbuat dosa dan telah diliputi oleh dosanya, mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal didalamnya. (al- Baqarah: 81)
Kemudian akibat orang-orang yang mengerjakan kejahatan adalah (azab) yang lebih buruk, karena mereka mendustakan ayat-ayat Allah dan mereka selalu memperolok-olokannya. (al-Rum: 10)
Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi al-Kitab), kemudian ia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu ia diikuti oleh setan (sampai ia tergoda), maka jadilah ia termasuk orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki tentulah Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi ia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya ia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada umatmu) kisah-kisah itu agar mereka berpikir. Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zalim. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka ialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi. Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi) neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata, (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka ita sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (al-A’râf: 175-179)
Masih banyak lagi ayat-ayat yang berisikan pernyataan bahwa dosa merupakan penyebab kerugian dan kesengsaraan di dua kehidapan. Pernyataan tentang ini tercantum dalam lebih dari 1.000 (seribu) ayat. Bagitu juga yang tercantum dalam riwayat yang datang dari Ahlul Bait. Syaikh al-Kuluni dalam bukunya, al-Kâfi, pada jilid kedua menulis satu bab yang berisi 31 (tiga puluh satu) riwayat berkenaan dengan dosa dan berbagai dampaknya. Di sini, kami akan menukilkan sebagiannya saja.
a. Abu Abdillah (Imam Ja’far al-Shadiq) berkata, “Tidak ada sesuatupun yang merusak hati melebihi kesalahan. Sesungguhnya, hati akan terpengaruh oleh kesalahan itu sehingga kalah dan mengubah bagian atasnya menjadi (bagian) bawahnya (bagian yang semestinya menuju al-Haq dan akhirat, berbalik menuju dunia dan kebatilan).
b. Abu Abdillah kembali berkata, “Berlindunglah kalian di malam dan siang hari kepada Allah dari (bahaya) sathawâtillah.” Perawi berkata, “Saya bertanya kepada beliau (tentang) apa yang dimaksud dengan sathawâtillah?” Beliau menjawab, “Hukuman atas berbagai perbuatan maksiat.”
c. Abu Ja’far (Imam Muhammad al-Baqir) berkata, “Dosa-dosa itu semuanya berat, dan yang paling berat adalah yang sampai tumbuh menjadi daging dan darah; karena yang demikian itu mungkin (ia) akan mendapatkan rahmat atau mungkin mendapatkan siksaan. Dan surga tidak dimasuki melainkan oleh orang yang bajik (yakni, pabila ia tidak bertobat, maka lantaran kekotorannya itu ia akan masuk ke dalam neraka).”
d. Abu Abdillah (Imam Ja’far al-Shadiq) berkata, “Pabila seseorang melakukan dosa, maka di hatinya akan muncul sebuah titik hitam, dan jika ia bertobat maka (titik itu) akan terhapus. Namun, jika ia menambah perbuatan dosa, maka titik itu (akan) semakin bertambah hingga (pada suatu taraf) memenuhi seluruh hatinya. Dan setelah itu, ia tidak akan (dapat) terbebas darinya.”
e. Dari Abu Ja’far, bahwasannya beliau berkata, “Sesungguhnya, seorang hamba yang memohon suatu keperluan kepada Allah, itu merupakan sebuah keniscayaan untuk memenuhinya, baik dalam waktu dekat ataupun sedikit ditunda. (Hingga) kemudian hamba itu berbuat dosa, maka Allah Swt berfirman kepada malaikat-Nya: Janganlah Engkau penuhi permintaannya. Dan Aku juga akan menghalangi permintaan itu darinya, karena ia telah membangkitkan amarah-Ku dan layak untuk tidak menerima karunia-Ku.”
f. Imam Ja’far al-Shadiq berkata, “Sesungguhnya pabila ada seseorang yang berbuat dosa, maka ia kehilangan semangat untuk menunaikan shalat malam. Sungguh, perbuatan buruk itu lebih cepat (pengaruhnya) terhadap pelakunya, ketimbang pisau terhadap daging.”
g. Abu Abdillah kembali mengatakan, “Rasulullah saww bersabda, ‘Sesungguhnya, seseorang akan dipenjara selama seratus tahun lantaran sebuah dosa di antara berbagai dosanya, dan sesungguhnya ia akan melihat isteri-isterinya di surga tengah berada dalam kenikmatan.’” Kemungkinan besar maksudnya adalah bahwa ia akan dijauhkan dari hûrul ‘ain (bidadari) selama seratus tahun dan tidak berada dalam surga. Namun, ini bukan merupakan sebuah dalil bahwa ia akan berada di dalam Jahanam.
h. Imam Ali bin Musa al-Ridha berkata, “Allah berfirman kepada salah seorang nabi-Nya: Jika Aku ditaati, maka Aku akan merasa ridha, dan jika Aku ridha, maka Aku akan mencurahkan kebaikan yang banyak, dan tidak ada batasan bagi kebaikan-Ku. Dan jika Aku dilanggar, maka Aku akan marah, dan jika Aku marah, maka Aku akan mengutuk, dan kutukan-Ku mencapai makhluk ketujuh.”
Allamah Muhammad Baqir al-Majlisi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan makhluk ketujuh adalah tujuh keturunan. pengaruh sebagian dosa, seperti kefakiran, kemiskinan, penyakit, kehinaan, dapat kita saksikan sebagian besar menimpa anak keturunan orang-orang zalim. Ini merupakan balasan atas (dosa) ayah-ayah mereka. Sedangkan dampak positif dari adanya (peringatan akan) balasan dan siksaan tersebut adalah bahwa manusialantaran rasa cintanya terhadap anak-anaknyaakan menjauhi perbuatan zalim kepada orang lain. Di akhirat nanti, Allah juga akan memberikan kepadanya anak keturunan yang lebih baik.
Allah Swt berfirman:
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (al-Nisâ’: 9)
Kita ketahui, bahwa dalam riwayat di atas disebutkan: ...dan jika Aku ridha, maka Aku akan mencurahkan kebaikan yang banyak, dan tidak ada batasan bagi kebaikanku.
Firman Allah berikut ini merupakan penegas atas riwayat tersebut:
Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan untuk mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang shalih. Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada umur dewasa dan mengeluarkan simpanan itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu. (al-Kahfi: 82)
Ringkasnya, dari riwayat tersebut dapat dipahami dengan jelas bahwa dampak dan pengaruh kebaikan atau keburukan juga akan menimpa anak keturunan kita. Dampak dan pengaruh ini merupakan hal yang pasti dan tak ubahnya ibarat api yang dinyalakan oleh ayah mereka. Ini didukung oleh ayat dan riwayat.
i. Imam Ali bin Musa al-Ridha berkata, “Setiap kali hamba- hamba melakukan sebuah perouatan dosa, yang tidak pernah mereka lakukan (sebelumnya), maka Allah pun akan menurunkan bencana kepada mereka, yang tidak pernah mereka kenal sebelumnya.”
j. Abu Abdillah berkata, “Allah Swt berfirman: Jika bermaksiat kepada-Ku orang yang mengenal-Ku, maka Aku akan menjadikan ia berada di bawah kekuasaan (tekanan) orang yang tidak mengenal-Ku.”
4. Dari berbagai kalimat tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pada hari kiamat nanti, setiap orang akan memiliki berbagai saksi yang akan memberikan kesaksian atas perbuatannya selama di dunia. Dalam hal ini, al-Quran dan riwayat menegaskan kebenaran hal tersebut.
Allah Swt berfirman:
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. Dan datanglah sakaratul maut membawa (kematian) yang haq (benar). Itulah yang kamu selalu lari darinya. Dan ditiuplah sangkakala. Itulah hari terlaksananya ancaman. Dan datanglah tiap-tiap diri, bersama dengannya seorang pengiring dan penyaksi. Sesungguhnya kamu lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan darimu tutupan (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam. Dan yang menyertainya berkata, “Inilah (catatan amalnya) yang tersedia pada sisiku.” Allah Swt berfirman, “Lemparkanlah olehmu berdua ke dalam neraka Jahanam semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala, yang sangat menghalangi kebajikan, melanggar batas lagi ragu- ragu, yang menyembah sembahan yang lain beserta Allah, maka lemparkanlah ia ke dalan siksaan yahg sangat pedih.” Yang menyertainya berkata (pula), “Ya Tuhan kami, aku tidak menyesatkannya tetapi dialah yang berada dalam kesesatan yang jauh.” Allah Swt berfirman, “Janganlah kamu bertengkar di hadapan-Ku, padahal Aku telah memberikan ancaman kepadamu.” (Qaf: 16-28)
Dari ayat ini dapat diambil suatu kesimpulan bahwa berbagai saksi yang ada pada hari kiamat tersebut adalah:
4. Allah Swt memperingatkan dalam ayat di atas dan berbagai ayat lainnya bahwa Dialah Pengawas dan Saksi atas berbagai perbuatan manusia.
Allah Swt berfirman:
Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan dalam hati. (al-Mu’min: 19)
Dan Allah Maha Mengawasi segala sesuatu. (al-Ahzâb:52)
Dan cukuplah Allah sebagai saksi. (al-Fath: 28)
a. Keberadaan dua malaikat di sebelah kanan dan kiri manusia, yang dalam ayat tersebut dinamai dengan Raqîb dan ‘Atîd.
Raqîb berarti pengawas dan ‘Atîd berarti hadir dan siap sedia. Diriwayatkan bahwa Raqîb adalah malaikat yang berada di samping kanan dan mencatat amal baik manusia, sementara ‘Atîd berada di sebelah kiri dan bertugas mencatat perbuatan buruk manusia. Setiapkali seorang hamba melakukan perbuatan baik, maka Raqîb akan langsung mencatat itu dengan melipatgandakannya sepuluh kali. Dan setiapkali seorang hamba melakukan perbuatan buruk, maka Raqîb akan berkata kepada sahabatnya itu (‘Atîd) untuk menunda pencatatan sampai tujuh jam dan bertasbihlah agar ia menyesal dan memohon ampunan.
Juga diriwayatkan bahwa mereka saling bergantian siang dan malam, dan yang telah bertugas pada pagi atau malam hari, ia tidak akan kembali lagi. Dalam al-Quran mereka itu disebut dengan kirâm al-katibîn [yang mulia (di sisi Allah), dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaan tersebut)].
Allah Swt berfirman:
Pada sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu) yang mulia (di sisi Allah), dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaan itu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan. (al-Infithâr: 10-12)
b. Apa yang dilakukan selama di dunia dan tajassum (perwujudan) amal perbuatan tersebut mengandungi dua arti: dengan terjadihya perubahan pada substansi manusia atau perubahan yang sesuai dengan perbuatan yang pernah dilakukan. Ini telah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya.
Allah Swt berfirman:
Dan datdnglah tiap-tiap diri, bersama dengannya seorang pengiring dan penyaksi. Sesungguhnya Kami singkapkan darimu tutupan (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam. (Qâf: 21)
Di sini, kata sâ’iq memiliki arti pengiring. Yang menggiring ke depan adalah dirinya sendiri sedangkan syâhid (saksi) adalah berbagai anggota tubuhnya. Semua ini mengisyaratkan bahwa sâ‘iq ada bersamanya dan berasal dari substansi dirinya, sementara syâhid (saksi) yang ada di hadapannya semata-mata berasal dari amal perbuatannya sendiri.
c. Teman yang buruk.
Dalam hal ini, banyak sekali disebutkan dalam al-Quran bahwa teman yang buruk akan menjadi saksi atas berbagai perbuatan buruk manusia. Pada dasarnya, pemberian kesaksian bertujuan untuk memberi pembelaan, namun itu justru dapat dijadikan sebagai bukti (yang memberatkan).
Allah Swt berfirman:
Yang menyertai ia berkata (pula), “Ya Tuhan kami, aku tidak menyesatkannya tetapi ialah yang berada dalam kesesatan yang jauh.” Allah Swt berfirman, “Janganlah kamu bertengkar di hadapan-Ku, padahal Aku telah memberikan ancaman kepadamu.” (Qâf: 27-28)
d. Anggota tubuh.
Yang dimaksud dengan syâhid (saksi) pada ayat: Dan datanglah tiap-tiap diri, bersama dengannya seorang pengiring dan penyaksi, adalah anggota tubuh. Ini sebagaimana dijelaskan al-Quran dalam berbagai ayatnya. Allah Swt berfirman:
Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan. (Yâsîn: 65)
Sehingga apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran, penglihatan, dan kulit mereka menjadi saksi terhadap mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan. Dan mereka berkata kepada kulit mereka, “Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?” Kulit mereka menjawab, “Allah yang menjadikan segala sesuatu pandai berkata telah menjadikan kami pandai (pula) berkata, dan Dia-lah yang menciptakan kamu semula dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” Kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari persaksian pendengaran, penglihatan, dan kulitmu terhadapmu, bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui banyak tentang apa yang kamu kerjakan. (Fushshilat: 22)
Ayat ini menunjukkan bahwa anggota tubuh akan memberikan kesaksian atasnya, demikian pula perwujudan amal perbuatan juga akan memberikan kesaksian.
Terakhir, perlu disebutkan bahwa pada hari kiamat, bumi dan waktu, al-Quran, para nabi, dan wasiy, akan memberikan kesaksian yang lain atasnya. Allah Swt berfirman:
Apabila bumi diguncangkan dengan guncangan (yang dahsyat) dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya dan manusia bertanya, “Mengapa bumi (jadi begini)?” Pada hari itu bumi menceritakan beritanya bahwa sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang demikian itu) kepadanya. (al-Zalzalah: 1-5)
Rasulullah saww dan para imam juga bersabda bahwa malam dan pagi hari Jumat, malam dan pagi hari Arafah, dan sebagian di antara bulan-bulan yang ada, seperti bulan Rajab, bulan Ramadhan, dan lain-lain, akan memberi kesaksian yang dapat menguntungkan, atau merugikan manusia. Guna mengetahui lebih jauh persoalan ini, Anda dapat merujuk ke berbagai riwayat yang berhubungan dengan ini dalam berbagai buku doa.
Begitu juga, Rasulullah saww bersabda, “Jika berbagai fitnah (berkecamuk) telah menjadi gelap laksana malam yang gelap gulita (tidak diketahui mana yang benar dan mana yang salah), maka hendaklah kalian berlindung kepada al-Quran, karena sesungguhnya pertolongannya diterima dan kutukannya dibenarkan.”
Dan banyak lagi riwayat yang berisikan penjelasan semacam ini.
Allah Swt berfirman:
...dan diberikanlah buku (perhitungan bagi masing-masing) dan didatangkanlah para nabi dan saksi-saksi dan diberi keputusan di antara mereka dengan adil, sedang mereka tidak dirugikan. (al-Zumar: 69)
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (al-Baqarah: 143)
Banyak riwayat dari para imam Ahlul Bait suci yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan umat yang adil adalah para imam suci dan kesaksian mereka adalah kesaksian atas amal perbuatan (manusia). Akan tetapi, yang paling memerihkan (hati) adalah firman Allah Swt yang berbunyi:
Berkatalah Rasul, “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan (al-Quran ini sesuatu yang tidak diacuhkan.” (al-Furqân: 30)
Imam Ja’far al-Shadiq berkata, “Celakalah bagi siapa (saja) yang musuh-musuhnya adalah para pemberi syafaatnya.”
Penutup
Dari ungkapan beliau dalam doa mulia ini, “...menyaksikan apa yang tersembunyi pada mereka, dengan rahmat-Mu Engkau sembunyikan keburukan itu, dengan karunia-Mu Engkau menutupinya...,” dan yang serupa dengannya dapat diketahui dengan jelas bahwa berbagai niat tidaklah diketahui oleh para malaikat. Ya, ini merupakan sebuah perkara yang tidak jelas, bahkan bagi para malaikat itu sendiri.
Pada hari kiamat nanti, siapapun yang bertugas sebagai pencatat amal perbuatan manusia tidak akan mampu mengetahui hakikat amal perbuatan tersebut dan tidak akan dapat membedakan antara yang baik dan buruk. Sebab, setiap amal perbuatan bergantung pada niatnya. Kemungkinan besar yang dimaksud dengan pernyataan bahwa sebagian amal perbuatan hamba tidak akan diterima, lebih dikarenakan pelakunya adalah seorang yang fasik (pelaku maksiat), sekalipun dari sisi lahiriah dan batiniah (perbuatan, tersebut) sempurna. Allah Swt berfirman:
Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal baik) dari orang-orang yang bertakwa. (al-Mâidah: 27)
Dalam hal ini, banyak riwayat yang mengupas dan memaparkan masalah ini, di antaranya dalam buku Mahajjah al-Baidha’ terdapat sebuah hadis nabawi yang diriwayatkan oleh Ma’âdz, yang isinya cukup panjang.
Rasulullah saww bersabda, “Wahai Ma’âdz, sesungguhnya Allah Swt menciptakan tujuh malaikat sebelum menciptakan berbagai langit dan bumi, kemudian Dia menciptakan berbagai langit. Maka, Dia menempatkan pada setiap langit itudari langit yang tujuh itusatu malaikat sebagai penjaga pintunya, dengan demikian maka akan mengagungkan langit itu. Dengan demikian, tatkala para malaikai pengawas yang membawa amal perbuatan seseorangyang dikerjakan dari pagi sampai malamnaik ke atas menuju langit bumi, dan mereka melihat amal perbuatan itu nampak bersih dan bercahaya laksana matahari, tiba-tiba malaikat penjaga pintu langit berkata, ‘Lemparkanlah amal perbuatan ini ke muka pemiliknya! Saya adalah malaikat yang mengawasi masalah ghibah (mengumpat) dan Tuhanku memerintahkanku untuk tidak mengizinkan amal perbuatan orang yang suka mengumpat orang lain melintas menuju kepada selainku.’”
Kemudian beliau saww melanjutkan, “Lalu datanglah para malaikat pengawas dengan membawa amal shalih dari salah seorang hamba, dan mereka berhasil melewati langit dunia; mereka melihat bahwa amal perbuatan itu adalah bersih dan banyak, sampai akhirnya mereka sampai pada langit yang kedua. Dan malaikat penjaga langit tersebut, berkata, ‘Lemparkanlah amal perbuatan ini ke wajah pemiliknya, tujuan ia dalam melakukan perbuatan ini adalah untuk meraih kepentingan dunia. Tuhanku memerintahku untuk tidak membiarkan amal perbuatannya melintas menuju selainku. Sesungguhnya ia adalah seorang yang membanggakan amal perbuatan itu di berbagai majelis.’”
Kemudian beliau saww bersabda, “Maka naiklah para malaikat pengawas itu dengan membawa amal sedekah, zakat, dan puasa; mereka merasa kagum dan heran akan cahaya yang memenuhi amal perbuatan itu, dan mereka (pun) berhasil mencapai langit yang ketiga. Maka berkatalah malaikat penjaga langit ketiga, ‘Berhentilah dan lemparkanlah amal perbuatan ini ke wajah pemiliknya, aku adalah malaikat pengawas keangkuhan, dan Tuhanku memerintahkanku untuk tidak membiarkan amal perbuatannya melintasiku dan menuju kepada yang lain, sesungguhnya ia adalah seorang yang angkuh terhadap manusia dalam majelis-majelis mereka.’”
Kemudian beliau saww bersabda, “Lalu para malaikat pengawas ini membawa amal perbuatan shalat, haji, dan umrah seorang hamba; dan amal perbuatan itu bersinar-sinar bak bintang kejora, sampai akhirnya mereka sampai pada langit keempat. Maka malaikat penjaga langit keempat berkata, ‘Berhentilah dan lemparkanlah amal perbuatan ini ke punggung dan perutnya. Aku adalah malaikat (pengawas) ‘ujub (kagum akan perbuatan diri sendiri) dan Tuhanku memerintahkanku untuk tidak membiarkan amal perbuatannya melintasiku menuju kepada selainku, karena ia adalah seorang yang jika melakukan suatu perbuatan disertai dengan perasaan kagum (‘ujub) atas amalnya itu.’”
Kemudian beliau saww melanjutkan, “Maka naiklah para malaikat pengawas itu dengan membawa amal ibadah seorang hamba sampai mencapai, langit yang kelima (amal perbuatan ini sebegitu indahnya) laksana pengantin wanita yang diiring menuju rumah suaminya. Kemudian malaikat penjaga langit kelima berkata kepada mereka, ‘Berhenti! Lemparkan amal perbuatan ini ke wajah pemiliknya, dan letakkanlah di pundaknya, sesungguhnya aku adalah malaikat pengawas dengki (hasad). Sesungguhnya ia mendengki orang-orang yang belajar dan beramal seperti amal perbuatannya (dan mendengki) orang yang memiliki kemuliaan lantaran beribadah dan ia mencerca dan meremehkannya, Tuhanku memerintahkanku untuk tidak membiarkan amal perbuatannya melintasiku dun menuju pada selainku.’”
Kemudian beliau saww bersabda, “Maka naiklah para malaikat pengawas ke langit yang keenam dengan membawa amal shalat, zakat, haji seorang hamba, maka malaikat penjaga langit keenam berkata kepada mereka, ‘Berhenti! Lemparkanlah amal perbuatan ini ke wajah pemiliknya, sesungguhnya ia adalah seorang yang sama sekali tidak memiliki rasa belas kasihan kepada hamba Allah; baik yang ditimpa bencana ataupun kerugian, bahkan ia mencercanya. Aku adalah malaikat rahmat dan Tuhanku memerintahkanku untuk tidak membiarkan amal perbuatannya melintasiku dan menuju pada selainku.’”
Kemudian Rasulullah saww melanjutkan, “Maka naiklah para malaikat pengawas menuju langit ke tujuh dengan membawa amal perbuatan seorang hamba dari shalat, puasa, sedekah, zakat, ijtihad, dan ketakwaan; dan amal perbuatan itu memiliki gemuruh laksana guntur dan sinar seperti sinar matahari, dan diiringi dengan 3.000 (tig;a ribu) malaikat menuju langit ketujuh. Maka berkatalah kepada mereka malaikat penjaga langit, ‘Berhenti! Lemparkanlah amal perbuatan ini ke wajah dan anggota tubuh pemiliknya, dan kuncilah hatinya, sesungguhnya aku menghalangi amal perbuatan yang dikerjakan bukan karena Tuhanku, sesungguhnya amal perbuatan yang ia lakukan adalah bukan demi Allah Swt. Sesungguhnya ia menginginkan suatu kedudukan di antara fuqaha, dan (namanya) disebut-sebut oleh ulama, dan ketenaran di berbagai negeri. Tuhanku memerintahkanku untuk tidak membiarkan setiap amal perbuatannya melintasiku dan menuju pada selainku. Dan setiap amal perbuatan yang tidak murni karena Allah maka itu adalah riya’ (supaya dilihat orang lain) dan Allah tidak menerima amal perbuatan orang yang riya’.’”
Kemudian beliau saww melanjutkan, “Dan naiklah para malaikat pengawas dengan membawa amal perbuatan seorang hamba yang terdiri dari shalat, zakat, puasa, haji, umrah, akhlak yang mulia, diam (menahan pembicaraan), berzikir kepada Allah, dari diiringi oleh berbagai malaikat sampai menembus berbagai penghalang dan sampai di sisi Allah, maka berhentilah mereka di sisi Allah dan mereka bersaksi kepada-Nya bahwa amal shalih (yang mereka antarkan) adalah yang murni karena Allah.”
Kemudian Rasulullah saww melanjutkan, “Maka Allah berfirman, ‘Kalian adalah pengawas amal perbuatan hamba-Ku dan Aku adalah Pengawas dirinya, sesungguhnya amal perbuatannya ini tidak ia kerjakan karena-Ku, dan ia melakukannya adalah demi selain-Ku, maka baginyalah kutukan-Ku.’”
Kemudian Rasulullah saww bersabda kepadaku, “Wahai Ma’âdz! Jagalah lisanmu dari mengumpat saudaramuyang mereka adalah pengikut al-Quran, dan pikullah sendiri beban dosamu dan janganlah engkau bebankan kepada mereka, dan janganlah engkau menyucikan dirimu dengan memburukkan mereka, dan janganlah Engkau meninggikan dirimu atas mereka, janganlah Engkau memasukkan amal perbuatan dunia ke dalam amal perbuatan akhirat, janganlah engkau menyombongkan diri dalam majelismu, supaya orang-orang tidak menjauhimu dikarenakan perangai burukmu, janganlah engkau berbisik-bisik dengan seseorang sementara di sisimu terdapat seorang yang lain, janganlah engkau bersikap angkuh dengan manusia sehingga akan terputus dari mereka kebaikan dunia, janganlah engkau menggigit (menyakiti) manusia sehingga di akhirat nanti engkau akan digigit oleh anjing- anjing Jahanam.’”
Kemudian perawi (Ma’âdz) berkata, “Lalu aku bertanya kepada Rasulullah saww, ‘Wahai Rasulullah! Siapakah yang mampu untuk memiliki sifat-sifat yang mulia ini?’ Rasulullah saww menjawab, ‘Wahai Ma’âdz! Sesungguhnya hal itu adalah mudah bagi siapa yang diberi kemudahan oleh Allah.’”
Masih banyak hadis dan riwayat yang menjelaskan bahwa sifat-sifat yang tercela akan menghalangi diterimanya amal baik. Oleh karena itu, tidak ada cara lain bagi kita selain berusaha mengosongkan diri dari berbagai sifat tercela tersebut seraya mengharapkan bantuan serta pertolongan Allah Swt.
Begitu pula, banyak sekali hadis, dan riwayat yang menjelaskan tentang keikhlasan dalam beramal. Perbuatan riya’ yang tercantum dalam riwayat ini bukanlah riya’ yang merusak amal shalih, namun riya’ yang menghalangi keabsahan amal shalih (dan ini sangat tersembunyi). Para malaikat pengawas tidak mengetahui perkara tersebut.
Peringkat Ikhlas
Ikhlas memiliki beberapa peringkat. Penjelasannya, amal perbuatan harus semata-mata demi Allah dan tidak untuk selain-Nya. Ini adalah asas dari amal perbuatan menurut pandangan fikih. Oleh karena itu, amal perbuatan harus dilakukan semata-mata lantaran Allah, dan jika untuk selain Allah, maka amal shalih tersebut akan rusak. Begitupun, jika (amal tersebut) demi Allah dan juga demi yang lain, maka amal shalih inipun akan rusak/Amal perbuatan semacam itu adalah riya’, sebagaimana dijelaskan dalam fikih dan akhlak. Para fuqaha sepakat bahwa riya’ merusak dan membatalkan amal shalih. Mereka mengatakan bahwa amal perbuatan dalam bentuk pertama (untuk selain Allah) sama dengan kekufuran, lantaran itu merupakan perbuatan nifak. Sedangkan amal perbuatan bentuk kedua (untuk Allah juga untuk yang lain) adalah syirik. Tidak diragukan lagi, al-Quran menegaskan bahwa perbuatan tersebut tergolong sebagai dosa besar. Allah Swt berfirman:
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai shalatnya, orang-orang yang berbuat riya’ dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (al-Mâ’ûn: 4-6)
Sesungguhnya orang-orang munafik menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. (al-Nisâ’: 142)
Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia. (al-Baqarah: 264)
Adapun, jika amal perbuatan dilakukan demi Allah Swt, tetapi sebab (dâ’î) amal perbuatan itu selain Allah, maka amal perbuatan ini tidak rusak dan tidak pula dianggap perbuatan riya’. Ini sebagaimana dalam istilah fikih disebut dengan dâ’î ‘ala dâ’î (sebab di atas sebab). Yakni, sebagaimana seseorang yang menerima suatu imbalan, lalu ia beribadah kepada Allah; baik ibadah tersebut dilakukan untuk dirinya ataupun untuk orang lain. Misalnya saja, ia diupah untuk melakukan shalat, puasa, haji, dan lain-lain. ‘Urafâ’ menganggap bahwa amal perbuatan semacam ini masih termasuk dalam kategori ikhlas. Dan dalam ikhlas sendiri terdapat tujuh peringkat sebagai berikut:
1. Mengerjakan amal ibadah agar masuk surga dan terbebas dari neraka
Dikatakan bahwa ibadah yang dikerjakan dengan tujuan semacam ini adalah ibadah para hamba atau buruh, yang mengharapkan upah dan imbalan atas pekerjaannya. Allah Swt berfirrnan:
Untuk kemenangan serupa ini hendaklah bekerja para pekerja. (al-Shâffât: 61)
Alhasil, tidak ada masalah pabila peringkat pertama dari ikhlas adalah bentuk ibadah semacam itu, yang distilahkan dengan ibadah para hamba dan buruh. Imam Ja’far al-Shadiq berkata, “Ada sekelompok orang yang beribadah kepada Allah lantaran rasa takut, maka itu adalah ibadahnya para budak. Dan ada sekelompok orang yang beribadah kepada Allah dikarenakan mengharapkan balasan, maka itu adalah ibadahnya orang-orang yang diupah (buruh). Dan ada sekelompoko orang yang beribadah kepada Allah lantaran cinta kepada Allah, maka itu adalah ibadahnya orang-orang yang merdeka.”
2. Ibadah orang-orang yang dekat dengan Allah (muqarrabin)
Ibadah ini adalah ibadah yang dilakukan oleh para hamba lantaran kedekatan mereka dengan Allah Swt. Berkenaan dengan peringkat kedekatan ini, pertama-tama (adalah) sampainya ia di surga, lalu peringkat fanâ’ (melebur), qurb (kedekatan), dan liqâ’ (pertemuan). Inilah jenis ibadah yang disebutkan dalam al-Quran sebagai: Barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya. (al-Kahfi: 110)
Sementara, penafsiran ayat di atas adalah, “Sesungguhnya, ada seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang layak mendapatkan pahala, tetapi bukan demi Allah. Akan tetapi, ia mengharapkan agar manusia menganggapnya sebagai seorang yang suci. Maka, inilah yang disebut dengan berbuat syirik dalam beribadah kepada Tuhannya.”
Hal semacam itu juga berlaku bagi seseorang yang melakukan amal perbuatan demi Allah, dan ia merasa senang bila orang-orang memuji dan menyanjungnya.
3. Ibadah orang-orang yang bersyukur
Inilah jenis ibadah di mana seseorang melakukannya untuk bersyukur dan berterima kasih kepada Allah atas berbagai kenikmatan yang telah Dia berikan.
4. Ibadah orang-orang yang menikmati
Inilah ibadah di mana mereka mengerjakannya demi meraih kenikmatan tersendiri.
5. Ibadah orang-orang yang merasa malu
Inilah bentuk ibadah yang lantaran merasa malu kepada Allah, mereka menjalankan ibadah.
6. Ibadah para pecinta
Inilah ibadah yang dilakukan demi kecintaan kepada Allah. Keenam bentuk ibadah ini merupakan ibadah orang-orang yang ikhlas (mukhlisîn). Alhasil, keenam bentuk ibadah ini tidak terlepas dari suatu tujuan dan keinginan tertentu. Dalam buku Jâmî’ al-Sa’âdât, terdapat sebuah riwayat dari Imam Ja’far al-Shadiq, “Binasalah orang-orang yang beramal, kecuali para hamba; dan binasalah para hamba kecuali orang-orang yang benar; binasalah orang-orang yang penar,kecuali orang-orang yang ikhlas; binasalah orang-orang yang ikhlas, kecuali orang-orang yang bertakwa; binasalah orang-orang yang bertakwa, kecuali orang-orang yang yakin; dan sesungguhnya orang-orang yang yakin itu berada dalam bahaya besar.”
7. Ibadah ‘urafâ’ yang dikenal dengan ibadah orang-orang yang disucikan (mukhlasîn)
Inilah bentuk ibadah yang ditegaskan dalam al-Quran, yang merupakan ibadah para nabi dan para imam suci. Allah Swt berfirman:
Padahal mereka tidak disuruh melainkan supaya mereka menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus. (al-Bayyinah: 5)
Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang murni (bersih dan syirik). (al-Zumar: 3)
Sesungguhnya orang-orang munafik (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka, dan kamu sekali-kali tidak akan mendapatkan seorang penolong pun bagi mereka, kecuali orang-orang yang bertobat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah, maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar. (al- Nisâ’: 145-146)
Jelaslah bahwa dalam hal ini kita hendaknya senantiasa memurnikan amal ibadah kita semata-mata lantaran Allah dan bukan karena dâ’î ‘ala dâ’î (sebab di atas sebab). Yakni, kita (harus) menjalankan amal dan ibadah sebagaimana yang dilakukan Sayyidah Fathimah al-Zahra. Ayat di bawah ini diturunkan untuk menjelaskan pribadinya yang adiluhung:
Sesungguhnya kami memberikan makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. (al-Insân: 9)
Alhasil, diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib dan Ali bin Husain al-Sajjad, bahwasanya beliau mengatakan, “Aku tidak menghamba kepada-Mu dikarenakan takut akan api neraka-Mu, dan bukan (pula) lantaran serakah terhadap surga-Mu, namun aku menyaksikan bahwa Engkau layak untuk disembah, maka aku pun menghambakan diri kepada-Mu.”
Ya, sangat sulit bagi seseorang untuk menyatakan bahwa dirinya memiliki peringkat semacam itn, selain para nabi, wasyi, dan orang yang telah sampai pada suatu maqâm dimana ia tidak dapat disentuh oleh tangan-tangan setan. Allah Swt berfirman: ...kecuali hamba-hamba-Mu yang dibersihkan (dari dosa) di antara mereka. (Shad: 82)
Untuk sampai pada maqâm dan peringkat ini diperlukan perjuangan, ketabahan, dan kesabaran dalam menghadapi berbagai kesulitan, juga latihan-latihan ruhani dan karunia khusus dari sisi Ilahi. Betapa banyak orang yang melakukan amal baik; mereka mengira bahwa amal perbuatannya semata-mata demi Allah, lalu mereka merasa bangga atas amal perbuatannya itu, namun kemudian mereka menyaksikan bahwa itu tidaklah demikian. Allah Swt berfirman:
Dan nyatalah bagi mereka keburukan-keburukan dari apa yang mereka kerjakan dan mereka diliputi oleh (azab) yang selalu mereka mempero1ok-olokkannya. (al-Jâtsiah: 33)
Dan tampaklah oleh mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan. (al-Zumar: 47)
Alhasil allah Swt berfirman:
Yaitu orang-orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia akan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya. (Kahfi: 104)
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email