Pesan Rahbar

Home » » Menggali Rahasia Do'a Nabi khidir; Bab XXI: Keyakinan Puncak

Menggali Rahasia Do'a Nabi khidir; Bab XXI: Keyakinan Puncak

Written By Unknown on Thursday, 20 October 2016 | 19:37:00


Wahai Tuhanku! Wahai Penciptaku! Wahai pemeliharaku!
Wahai Tuhanku, Wahai Tuanku! Wahai Pelindungku!
Wahai Pemilik nyawaku! WahaiZat yang di tangan-Nya ubun ubunku! Wahai Yang mengetahui kesengsaraan
dan kelemahanku! Wahai Yang mengetahui kefakiran dan kepapaanku!

Wahai Tuhanku! Wahai Penciptaku! Wahai Pemeliharaku! Aku memohon kepada-Mu demi kebenaran-Mu dan kesucian-Mu, dan demi keagungan sifat dan nama-nama-Mu, jadikan waktun malam dan siangku dipenuhi dengan zikir kepada-Mu, senantiasa berterusan dengan kebaktian kepada-Mu, dan amal-
amalku diterima di sisi-Mu, sehingga jadilah berbagai amal perbuatan dan ke;ingtnanku wirid yang satu, dan
kekalkanlah selalu keadaanku dalam berbakti kepada-Mu.

Wahai Tuanku! Wahai Zat yang kepada-Nya aku Sandarkan diriku, yang kepada-Nya aku adukan
keadaanku

Wahai Tuhanku! Wahai Penciptaku! Wahai Pemeliharaku! Kokohkanlah anggota tubuku untuk
berbakti kepada-Mu, teguhkanlah anggota batinku untuk melaksanakan niatku, karuniakan kepadaku kesungguhan untuk bertakwa kepada-Mu, kebiasaan untuk meneruskan bakti kepada-Mu, sehingga aku
bergegas bersama pendahulu dan berlari ke arah-Mu bersama orang-orang yang terkemuka, merindukan
dekat kepada-Mu bersama yang merindukan-Mu.
Jadikan aku dekat kepada-Mu dekatnya orang-orang yang ikhlas dan takut kepada-Mu takutnya orang-
orang yang yakin, (dan) berkumpul di hadirat-Mu bersama kaum mukminin.


Penafsiran Etimologis

Kata rabb (Tuhan, pemelihara, pencipta) digunakan untuk menyebut seorang raja yang memelihara dan mengurusi berbagai urusan rakyatnya. Menurut para ‘urafa’, kata ini (Rabb) jauh lebih baik, indah, lembut, daripada kata Allah yang merupakan nama khusus bagi Zat Tuhan yang memiliki berbagai sifat. Mengapa demikian? Sebab, kata Allah menunjukkan pada pengurusan perkara secara global, sementara kata Rabb secara terperinci.

Kata riqq memiliki arti leher dan biasanya bila digunakan dalam kalimat seperti ini berada dalam bentuk kiasan (majaziy) yang maksudnya adalah bukan leher, tetapi diri orang itu sendiri.
Kata nasyiah berarti bagian depan kepala dan di sini memiliki arti pusat kendali. Dengan demikian, kalimat biyadihi nastiatiy memiliki arti bahwa Dia adalah pemegang kendaliku, yang mampu untuk mengendalikan hamba ke arah mana saja yang Dia kehendaki.
Kata dhurr adalah kondisi buruk, sedangkan kata maskana (kepapaan) berasal dari kata sukun (diam, tenang), dan di sini memiliki arti ketidakmampuan dan kelemahan.
Kata faqah (kepapaan) memiliki arti kefakiran yang amat parah.
Kata quds (kesucian) adalah isim mashdar (kata benda dasar) yang memiliki arti suci dan bersih dari berbagai cacat dan cela.
Kata sifat memiliki arti berbagai kesempurnaan.
Kata ism memiliki arti tanda atau nama. Dan perbedaan antara kata sifat dan ism adalah perbedaan antara dal (penunjuk) dan madlul (yang ditunjukkan).
Kata jawarih adalah anggota tubuh lahiriah, seperti tangan, kaki, dan lain-lain.
Kata jawanih adalah anggota tubuh batiniah, seperti hati, akal, kehendak, dan lain-lain.
Kata syarh berarti bergerak menuju ke suatu arah.

Kata buruz artinya adalah nampak dan jelas. Dengan demikian, seorang yang pemberani disebut dengan bariz dan mubarizdigunakan bagi seseorang yang siap untuk berperang di medan laga. Oleh karena itu, kata barizin (jika kita baca seperti ini) maksudnya adalah bahwa beliau mengharapkan agar selama berada di jalan Allah, dalam keadaan gagah dan berani. Sementara, pabila kita baca dengan mubarazin, maka artinya aalah bahwa beliau berharap (agar) termasuk golongan orang-orang yang memerangi nafsu ammarah dan setan.
Kata mukhlash (orang yang disucikan) adalah seseorang yang amal ibadahnya bersih dan tidak tercemari oleh kotoran duniawi; amal ibadahnya tidak disebabkan oleh riya’ dan berbagai sebab serta pendorong yang bersifat duniawi lainnya.

Kata muqin (orang yang yakin) adalah seseorang yang keyakinannya tidak pernah lepas dari hatinya. Ini berkebalikan (berbeda) dengan mu’min (orang yang beriman), dimana adakalanya keimanan itu terangkat atau terlepas dari hatinya.

Alhasil, adakalanya yang dimaksud dengan mu’min (mukmin) adalah seseorang yang memiliki derajat lebih tinggi dari mûqin. Yakni, seseorang yang memiliki tempat di sisi Allah. Kemungkinan, dalam doa ini, (kata ini) menunjukkan arti semacain itu; kata mu’minîn disebut setelah kata mûqinîn.


Syarah dan Penjelasan

Dalam hal ini, terdapat berbagai pembahasan penting dan insya Allah kami akan berusaha memaparkannya secara garis besar.

1. Tatakala seseorang berada dalam keadaan lemah dan tidak mampu, dan tidak lagi memiliki harapan dari berbagai sebab yang sifatnya material dan non-material, maka ia akan bersungguh-sungguh dalam menyeru dan memohon bantuan serta perlindungan kepada Sang Penolong. Dalam akhir doa ini, seakan-akan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib melihat dirinya dalam keadaan lemah dan tidak mampu, dan merasa takut serta khawatir atas tidak terkabulnya doa dan tobatnya, sementara beliau tidak melihat adanya penolong lain, selain penolong dan penyelamatnya yang bernama Rabb. Karena itu, beliau menyebutnya berulang kali. Pengulangan ini menunjukkan, bahwa pelindung, penolong, pemelihara, pemilik kekuasaan, yang mengetahui kefakiran, yang layak untuk dijadikan tempat mengadu, semuanya terkumpul dalam kata Rabb. Oleh karena itu, dalam kalimat doa ini beliau mengulang kata tersebut (Ya Rabb) sebanyak 19 (sembilan belas) kali. Tidak diragukan lagi bahwa pengulangan kata dalam doa ini memberikan keindahan tersendiri.

2. Di sini, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib melihat bahwa dirinya belum mencapai maqâm (peringkat) fanâ’ dan liqâ’ (melebur dan bertemu dengan Allah), dan karena untuk sampai pada maqâm fanâ’ dan liqâ’ dengan Allah harus terlebih dabulu melintasi maqâm takhliah (pengosongan), tahliah (penghiasan), dan tajaliah (penampakan)yang telah beliau capaimaka beliau khawatir jika kemudian beliau turun dan terjatuh dari maqâm suci yang telah beliau raih dan menjadi lalai. Oleh karena itu, beliau memohon kepada Sang Pemelihara untuk tetap menjaga kondisi yang ada dalam diri beliau tersebut.

Penjelasannya, manusia, dalam perjalanan dan pengembaraannya menuju Allah Swt, pertama-tama harus membersihkan dan mengosongkan (takhliah) dirinya dari berbagai sifat hina dan tercela yang ada dalam batinnya. Selama masih berada dalam peringkat ini, ia tidak akan mampu mencapai peringkat berikutnya.

Dan usaha untuk membebaskan diri dari peringkat ini merupakan perkara yang sangat sulit. Betapa indahnya ungkapan Imam Khomeini:
Betapa sulit menjadi seorang alim
Betapa mustahil menjadi manusia 

Setelah itu tibalah giliran maqâm kedua, yaitu menghias (tahliah) diri dengan berbagai sifat mulia dan menanamkannya dengan kuat pada jiwa. Jelas usaha ini jauh lebih sulit ketimbang usaha sebelumnya, serta memerlukan berbagai latihan ruhani (riyâdhah), usaha keras secara bertahap, serta bimbingan Ilahi.
Selanjutnya, tibalah giliran maqâm ketiga, yaitu tajaliah (penampakan) dan menerangi diri dengan cahaya Ilahi. Usaha ini tidak sesulit seperti dua maqâm sebelumnya (kebalikan dari dua usaha sebelumnya). Sebab, meraih maqâm ini tidak didasarkan pada kehendak dan usaha manusia. Sungguh benar ungkapan ini:
Tatkala setan keluar, maka malaikatlah yang masuk.

Allah Swt berfirman:
Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir; pelindung-pelindungnya adalah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (al-Baqarah: 257)

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat baik. (al-Ankabût: 69)
Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan. Dengan Kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan Kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus. (al-Mâidah: 16)

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqân. [25] (al-Anfâl: 29)

Jelaslah bahwa dalam upaya menjaga dan mempertahankan maqâm ini diperlukan zikir (menyebut dan mengingat Allah), perjuangan keras, inabah (kembali) ke hadirat Allah, membaca al-Quran, dan lain-lain. Allah Swt berfirman:
Hai orang yang berselimut, bangunlah lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah. Apabila ditiup sangkakala, maka waktu itu adalah waktu (datangnya) hari yang sulit, bagi orang-orang kafir lagi tidak mudah. (al- Muzammil: 1-10)

Oleh karena itu, Anda dapat menyaksikan dalam ayat ini bagaimana Allah Swt berpesaan kepada Rasul-Nya untuk menyampaikan dan menyebarkan berbagai kegiatan ini.

Siapasaja, yang berkeinginan mengadakan perjalanan dari pengembaraan menuju Allah Swt, niscaya harus melakukan berbagai usaha yang difirmankan Allah Swt kepada Rasul-Nya:
1. Bangun malam dan melakukan ibadah semampunya.
2. Membaca al-Quran, memahami isinya, dan mengamalkannya secara satu per satu.
3. Pada siang hari, menjalankan tugas dan kewajibannya.
4. Bertawakal dan berserah diri kepada Allah dan bukan kepada yang lain.
5. Bersabar dalam ketaatan, bersabar dalam meninggalkan perbuatan maksiat, serta bersabar dalam menghadapi berbagai musibah.
6. Berhijrah dan menjauhkan diri dari berbagai biskan nafsu ammârah, jin, dan manusia.

Setelah itu, barulah ia akan meraih maqâmam mahmûdan (tempat [peringkat] yang terpuji). Maqâman mahmûdan adalah maqâm keempat dalam perjalanan dan pengembaraan ini, yang juga disebut dengan maqâm fanâ’ dan liqâ’ullâh (melebur dan bertemu dengan Allah). Allah Swt berfirman:
Dan pada sebagian malam hari bersembahyang tahajjudlah kahzu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. (al-Isrâ’: 79)

Barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya. (al-Kahfi: 110)

Dapat tetap bertahan dalam maqâm ini dan dapat terus melakukan perjalanan dan pengembaraan tanpa batas ini adalah perkara yang sangat sulit, namun sangat nikmat. Kenikmatan yang ada bukanlah seperti kenikmatan materi, bahkan tidak sama dengan kenikmatan maknawi (immateri). Ini merupakan sebuah maqâm dimana seseorang tidak memiliki kesenangan lain, selain kedekatan dengan Allah dan kedekatan dengan para malaikat yang dekat dengan-Nya.

Dalam sebuah hadis qudsî disebutkan, “Barangsiapa yang beramal demi keridhaan-Ku, maka Aku akan menyertai hatinya dengan tiga perkara: rasa syukur yang tidak tercampuri kebodohan, rasa syukur yang tidak tercampuri kelupaan, rasa cinta yang tidak tercampuri kecintaan kepada yang lain. Dan jika ia mencintai-Ku, maka Aku pun akan mencintainya; maka hatinya hanya tertuju pada kebesaran dan keagungan-Ku, dan ia hanya senang jika senantiasa bersama-Ku dan tidak dengan yang lain; dan ia duduk berdampingan dengan para malaikat dan menyaksikannya; ia melihat surga dan berbagai kenikmatannya; dan ia melihat neraka dan berbagai siksaannya; dan menyaksikan hari kiamat dan berbagai keadaan yang menyeramkan.”

Selain itu, diriwayatkan bahwa Zaid bin Haritsah mengaku memiliki maqâm semacam ini dan Rasulullah saww juga membenarkannya. Mengapa demikian? Sebab, sewaktu Rasulullah saww bertanya kepadanya, “Bagaimanakah Engkau memasuki waktu pagi?” Ia menjawab, “Dengan rasa yakin.”

Allah Swt berfirman:
Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan pada waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, mendirikan shalat, dan membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang. (al-Nûr: 36-37)

Ya, orang-orang semacam ini, di alam ini, tidak melihat yang lain selain Allah Swt. Dengan demikian, mereka tidak menganggap keberadaan mereka terlepas total, bahkan mereka tidak melihat keberadaan diri mereka sendiri dan hanya menyaksikan keberadaan Allah Swt.
Kupandang lautan, kusaksikan batas pada lautan
Kupandang padang pasir, kusaksikan batas pada padang pasir
Kemana saja kumemandang, gunung, lembah, padang luas
Kusaksikan tanda-tanda kebesaran-Mu 

Inilah maksud dan tujuan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dalam doa yang beliau panjatkan, “Dan jadikan waktu malam dan siangku dipenuhi dengan zikir kepada-Mu.”

Allah Swt berfirman:
...orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Âli Imrân: 191)

Waktu-waktu orang seperti ini hanyalah satu waktu dan amal perbuatan serta niat mereka adalah satu; kondisi mereka senantiasa berkhidmat kepada Allah. Tidak diragukan lagi bahwa untuk mencapai kondisi ini, dan untuk tetap berada dan bertahan dalam kondisi ini, diperlukan usaha keras dalam menghadapi berbagai kesulitan dan rintangan, sebagaimana yang telah sering kami paparkan.

Inilah maksud dari ungkapan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib yang berbunyi, “Kokohkanlah anggota tubuhku untuk berbakti kepada-Mu, teguhkanlah anggota batinku untuk melaksanakan niatku.”

3. Dari ungkapan doa yang dipanjatkan oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang mengadakan perjalanan dan menuju Allah syair (wa sulûk ilallâh), mereka akan menghadapi dan menempuh berbagai peringkat (maqâm) ini:

a. Peringkat para pendahulu (al-shâbiqûn); ini merupakan peringkat pertama. 

Allah Swt berfirman:
...yaitu golongan kanan (ashhâb al-maimanah). Alangkah mulianya golongan kanan itu. Dan golongan kiri (ashhâb al-masy’amah). Alangkah sengsaranya golongan kiri itu. Dan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dahulu (masuk surga). Mereka itulah orang yang dekat (kepada Allah). (al-Wâqi’ah: 8-11)


b. Peringkat para perindu (al-musytâqîn).

Dalam hal ini, Imam Ja’far al-Shadiq berkata, “Orang yang rindu ialah orang yang tidak merasakan kelezatan makanan dan tidak pula merasakan kenikmatan minuman, tidak membuat tempat yang menyenangkan bagi dirinya, tidak merasa dekat dengan seseorang, tidak pergi ke rumah dan tidak pula tinggal di rumah, tidak mengenakan pakaian dan tidak pula berada di satu tempat, siang dan malam sibuk beribadah kepada Allah, berharap untuk dapat sampai pada Yang ia rindukan, dan menyeru-Nya dengan nada penuh kerinduan, dan berbincang-bincang dengan-Nya. Sebagaimapa, firman Allah kepada Musa as, tatkala berjumpa dengan Tuhannya: Aku bersegera kepada-Mu, ya Tuhanku, agar supaya Engkau ridha kepadaku. [26]

Dan Rasulullah saww menjelaskan tentang kondisinya (Musa as) bahwasannya pada saat berangkat hingga pulangnya, dalam masa 40 hari, ia tidak makan dan tidak pula minum, tidak tidur dan tidak pula menginginkan sesuatupun; semua itu lantaran ia rindu kepada Allah. Jika Engkau memasuki medan kerinduan, buanglah dirimu dan keinginanmu dari berbagai urusan dunia, dan lepaskan dirimu dari berbagai keterikatan hati, palingkanlah dirimu dari selain Yang engkau rindukan, dan di antara kehidupan dan kematianmu ini ucapkanlah kata sambutan: labbaik Allahumma labaiksemoga Allah mengagungkan pahalamu. Dan perumpamaan orang yang rindu adalah seorang yang tengah tenggelam, yang tidak menginginkan sesuatu yang lain melainkan keselamatan (diri)nya seraya melupakan segalanya.”


c. Peringkat orang-orang ikhlas (al-mukhlisîn).

Tidak diragukan lagi bahwa keikhlasan itu sendiri memiliki beberapa peringkat. Peringkat pertama adalah membersihkan seluruh amal perbuatan semata-mata demi mendapatkan keridhaan Allah. Ini merupakan peringkat terendah ikhlas. Pabila ikhlas seperti ini tidak menyertai, maka amal perbuatan seseorang sama sekali tidak bernilai. Para fukaha sepakat bahwa amal perbuatan semacam itu tidak sahsebelumnya telah kami bahas. Firman Allah dibawah ini berhubungan dengan persoalan ikhlas:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia.... (al-Baqarah: 264)

Peringkat kedua adalah amal perbuatan tersebutbaik sebelum, ketika, dan sesudah beramalsuci dan bersih dan berbagai sebab dan dorongan yang bersifat duniawi dan ukhrawi. Dengan kata lain, ia tidak menginginkan imbalan dan pahala atas amal perbuatannya. Imam Ja’far al-Shadiq berkata, “Derajat terendah dari ikhlas adalah seorang hamba yang mengerahkan seluruh tenaganya (untuk beramal) dan ia menganggap bahwa semua itu tidak (ada) artinya di sisi Allah, sehingga dengannya ia mengharapkan balasan dari Tuhannya.”

Peringkat ketiga adalah amal perbuatan tersebut suci dan bersih dari berbagai sebab dan dorongan, bahkan dari rasa senang dan kedekatan kepada Ilahi. Amal perbuatan semacam itu adalah amal perbuatan para ‘ârif (‘urafâ’). Tidak diragukan lagi bahwa faktor yang ada pada peringkat ini adalah mukhlas (disucikan).

Mengapa? Sebab, orang semacam ini telah mampu melepas berbagai keterikatan dan telah sampai pada maqâm fanâ’, qurb, dan liqâ’ dengan Ilahi. Dengan demikian, tidak ada lagi tangan-tangan jahat yang mampu menyentuhnya. Firman Allah Swt dalam menukil ucapan setan yang terkutuk:
Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang dibersihkan (dari dosa) di antara mereka.

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata, “Mustahil! Hawa nafsuku mampu untuk mengalahkanku.”
Beliau juga mengatakan, “DemiAllah! Jika aku diberi tujuh kawasan dan apa saja yang ada di bawah langitnya, lalu aku harus bermaksiat dengan mencabut butir gandum dari (mulut) seekor semut, sungguh aku tidak akan melakukannya.”

d. Peringkat orang-orang yakin (al-mûqinîn). 

Kata mûqin adalah sebutan bagi seseorang yang tidak melangkahkan kakinya ke jalan yang terdapat keraguan, dugaan, atau kemungkinan. Keyakinan ini sendiri memiliki pelbagai peringkat. Dan keyakinan dalam mengenal Allah tidak dapat diraih melalui dalil dan argumen, kecuali lewat penghambaan dan peribadatan.

Allah Swt berfirman:
...dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu keyakinan. (al-Hijr: 99)

Dan peringkat ini, juga memiliki berbagai derajat dan tingkatan yang tidak terbatas. Imam Ja’far al-Shadiq berkata, “Banyaknya keyakinan itu tidak terbatas. Dan orang-orang mukmin satu sama lain berbeda-beda dalam kuat dan lemahnya keyakinannya, Dan barangsiapa yang kuat keyakinannya, maka tandanya adalah berlepas diri dari berbagai daya upaya selain daya upaya Allah, dan senantiasa di jalan Allah serta beribadah kepada-Nya. Secara lahiriah dan batiniah telah sama antara keberadaan dan ketiadaan, bertambah dan berkurang, pujian dan cacian, kemuliaan dan kehinaan, karena ia melihat semua itu dari satu mata (pandangan).”

Oleh karena itu, dalam al-Kâfî disebutkan bahwa doa di bawah ini merupakan salah satu amanat para nabi as, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu keimanan yang hatiku merasa senang dengannya, dan keyakinan yang benar sehingga aku mengetahui bahwa tidak ada yang menimpaku melainkan yang telah Engkau tetapkan atasku, dan karuniakanlah dalam kehidupanku keridhaan atas yang Engkau berikan kepadaku. Wahai Yang Maha Penyayang!”

Dan merupakan peringkat tertinggi keyakinan (yaqîn) adalah tatkala seseorang senantiasa melihat dirinya berada di sisi Tuhan dan menyaksikan kerajaan langit dan bumi (malakût al-samâwât wa al-ardh) serta menyaksikan akhirat dengan berbagai kebahagiaan dan kesengsaraannya.

Lebih tinggi dari itu adalah tatkala ia membaca al-Quran, maka ia seakan-akan tengah berbicara dengan Allah, menyeru, serta memanggil-Nya. Dan yang lebih tinggi lagi dari itu adalah naik dari peringkat ilmu al-yaqîn menuju ‘ain al-yaqîn dan dari ‘ain al-yaqîn menuju haq al-yaqîn; yang telah dijelaskan sebelumnya.


e. Peringkat orang-qrang mukmin (al-mu’minûn) di sisi Allah. 

Penjelasannya adalah bahwa keimanan itu sendiri memiliki beberapa derajat dan peringkat.
Derajat pertama adalah keislaman secara umum. Sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Quran dalam sebagian ayatnya:
Orang-orang Arab Badui itu berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu.” (al-Hujurât: 14)

Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi (tidak dengan keyakinan); maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata. (al-Hajj: 11)

Derajat kedua adalah keimanan argumentatif, yaitu keimanan yang didapatkan melalui dalil dan argumentasi akal. Ini positif dan bermanfaat bagi manusia, tetapi tidak dapat mencegahnya dari melakukan perbuatan dosadan tidak dapat menjadi pendorong untuk beramal baik.

Derajat ketiga adalah keimanan hati yang telah merasuk ke dalam hati; dan ini menjadi pendorong manusia kepada kebaikan serta pencegah dari langkah menuju kejahatan. Dalam al-Quran, derajat dan peringkat keimanan (ini) disebut dengan keimanan orang-orang yang benar (al-shâdiqûn). Allah Swt berfirman:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar. (al-Hujurat: 15)

Dengan demikian, pada hakikatnya inilah derajat pertama keimanan. Oleh karena itu, kita dapat melihat dalam al-Quran dan riwayat bahwa barangsiapa yang amal perbuatannya tidak diakui imannya, maka keimanannya akan tercerabut dari dirinya. Allah Swt berfirman:
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? 
Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka keelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai shalatnya, orang-orang yang berbuat riya’ dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (al-Mâ’ûn: 1-6)

Rasulullah saww bersabda, “Seorang muslim itu adalah seorang yang muslimin selamat dari (gangguan) tangan dan lisannya.”

“Barangsiapa memasuki pagi hari, lalu ia tidak menghiraukan urusan muslimin, maka sesungguhnya bukanlah seorang muslim.”

“Tidak beriman kepada Allah, seorang yang pada malam hari (tidur) dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya dalam keadaan lapar.”

Derajat keempat adalah keimanan khusus hamba-hamba tertentu yang berada di sisi Allah. Dan derajat inilah yang dimaksudkan oleh Amirul Mukminin dalam doanya, “...berkumpul di hadirat-Mu bersama kaum mukminin.” Allah Swt berfirman:
Hai jiwa yang tenang. Kembalilah keada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku. (al-Fajr: 27-3)

Orang semacam ini akan kembali kepada Allah dan akan senantiasa berada di sisinya, serta memperoleh rezeki dari-Nya.

Jangalah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka hidup di sisi Tuhannya; dengan mendapat rezeki. (Âli Imrân: 169)

Semua itu adalah derajatyang disebutkan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dalam doanya yang agungyang akan dilintasi mereka yang mengadakan perjalanan dan pengembaraan menuju Allah. Dalam al-Quran juga disebutkan berbagai derajat, namun dengan nama dan sebutan yang berbeda. Nama-nama itu adalah sebagai berikut:
Derajat pertama adalah derajat muhsini'n. Yaitu orang- orang yang mengerjakan amal perbuatan dengan baik, yakni yang beriman dan beramal shalih. Allah Swt berfirman:
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat baik. (al-Ankabût: 69)

...maka Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. (Yûsuf: 90)

Derajat kedua adalah derajat abrâr (orang-orang yang berkebajikan dan memiliki kemuliaan). Allah Swt berfirman:
...diturunkan dari sisi Allah. Dan apa yang di sisi Allah lebih baik bagi orang-orang yang baik. (Âli ‘Imrân: 198)

Di sini, perlu diperhatikan bahwa kata nuzûlan min ‘indillahi (diturunkan dari sisi Allah) memiliki arti bahwa abrâr (orang-orang yang baik) itu merupakan tamu-tamu Allah Swt.

Derajat ketiga adalah derajat muttaqîn (orang-orang yang bertakwa). Allah Swt berfirman:
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberi rezeki yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah maka Allah akan mencukupkan (keperluannya). (al- Thalâq: 2-3)

Alîf lâm mîm. Kitab (al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (al-Baqarah: 1-2)

Akan tetapi orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya, bagi mereka surga yang mengalir sungai- sungai di dalamnya. (Âli ’Imrân: 198)

Derajat keempat adalah deraja mûqinîn (orang-orang yang yakin). Allah Swt berfirman:
...serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka. Dan merekalah orang-orang yang beruntung. (al-Baqarah: 3)

Derajat kelima adalah derajat fâ’izîn (orang-orang yang menang, yang beruntung). Allah Swt berfirman:
...Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar. (al-Mâidah: , 119)

Dan masih banyak lagi derajat yang terdapat dalam al-Quran. Kemungkinan, sebagian dari peringkat kesempurnaan ini ada kesamaannya dengan yang lain. Selain itu, dalam al-Quran juga disebutkan adanya berbagai darkah[27] kejatuhan.

Pertama adalah darkah al-mu’ridhûn (orang-orang yang berpaling). Allah Swt berfirman:
Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat dari Tuhannya lalu ia berpaling darinya dan melupakan apa yang telah dikerjakan kedua tangannya? Sesungguhnya Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka, (sehingga mereka tidak) memahaminya dan (Kami letakkan pula) sumbatan di telinga mereka; dan kendatipun kamu menyeru mereka kepada petunjuk, niscaya mereka tidak akan mendapat petunjuk selamanya. (al-Kahfi: 57)

Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. (Thâhâ: 124)

Kedua adalah darkah al-mahjûbîn (orang-orang yang tertutup). Allah Swt berfirman:
Dan apabila kamu membaca al-Quran niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang menutupi. Dan Kami adakan tutupan di atas hati mereka dan sumbatan di telinga mereka agar mereka tidak memahaminya. Dan apabila kamu menyebut Tuhanmu saja dalam al-Quran, niscaya mereka berpaling ke belakang karena bencinya. (al- Isrâ’: 45-46)

...yang apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata, “Itu adalah dongengan orang-orang yang dahulu.” Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka. Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari (rahmat) Tuhannya. (al-Muthaffifîn: 15)

Ketiga adalah darkah al-dhâllîn (orang-orang yang disesatkan oleh Allah). Allah Swt berfirman:
Barangsiapa disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya. (al-Nisâ’: 88)

Barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tak ada orang yang akan memberinya petunjuk. Dan Allah membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan. (al-A’râf: 186)

...dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya. (al-Kahfi: 17)

Keempat adalah darkah al-mabghûdhîn, yaitu orang-orang yang dimurkai oleh Allah. Allah Swt berfirman:
Sesungguhnya Allah tidal menyukai orang-orang yang zalimorang-orang yang fasikorang-orang yang melampaui batas.

Dari berbagai ayat di atas dapat kita ketahui dengan jelas bahwa ketakwaan dan hubungan baik dengan Allah serta meninggalkan berbagai dosa akan menghantarkan manusia pada maqâm al-fâ’izîn, sampai akhirnya ia memperoleh seruan: Kembalilah kepada Tuhanmu. [28]

Sedangkan sifat yang hina dan tercela, serta melakukan berbagai perbuatan dosa, akan menghantarkan manusia kepada suatu tempat di mana di situ mereka akan disebut dengan: Mereka tuli, bisu, dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti. [29]

Alhasil, orang-orang semacam itu adalah orang yang: ...jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya ia mengulurkan lidahnya (juga). [30] Dan, di akhirat nanti, mereka akan dibentak dan diperlakukan secara kasar: Allah berfirman, “Tinggallah dengan hina di dalamnya, dan janganlah kamu berbicara dengan Aku.” [31]


Referensi:

25. Petunjuk yang dapat membedakan antara yang haq dan yang batil.
26. Thâhâ: 84.
27. Kata darajat (bentuk jamak dari, darajah) digunakan untuk menyebutkan berbagai tingkatan (anak tangga) yang inenuju ke atas, sementara darakat (bentuk jamak dari, darkah digunakan untuk menyebutkan berbagai tingkatan (anak tangga) yang menuju ke bawah.
28. Al-Fajr : 28.
29. Al-Baqarah: 171
30. Al-A’râf: 176
31. Al-Mu’minûn : 108

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita:

Index »

KULINER

Index »

LIFESTYLE

Index »

KELUARGA

Index »

AL QURAN

Index »

SENI

Index »

SAINS - FILSAFAT DAN TEKNOLOGI

Index »

SEPUTAR AGAMA

Index »

OPINI

Index »

OPINI

Index »

MAKAM SUCI

Index »

PANDUAN BLOG

Index »

SENI