Ayat Ukhuwwah (Bahasa Arab: آیه الاُخُوَّت ) adalah ayat ke-10 surah Al-Hujurat yang bertemakan tentang masalah sosial, moral dan perilaku.
Allah Swt dalam ayat ini berfirman tentang hubungan persaudaraan, ukhuwah di antara orang-orang beriman dan tugas umat Muslim dalam masalah ini.
Berdasarkan kandungan ayat, orang-orang beriman adalah bersaudara dan apabila terjadi pertengkaran atau pertikaian di antara mereka, maka kaum Muslim lainnya memiliki kewajiban untuk mendamaikan keduanya.
Setelah turunnya ayat ini, Rasulullah Saw menjalinkan hubungan persaudaraan dengan membuat akad ukhuwah di kalangan sahabat dan menjadikan Ali bin Abi Thalib As sebagai saudaranya.
Teks Ayat
﴾إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَ اتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ﴿
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (QS Al-Hujurat [49]:10)
Tafsir Ayat
Ayat mulia ini menyinggung tentang salah satu tanggung jawab sosial terpenting umat Muslim dan memperkenalkan bahwa orang-orang beriman itu sesama mereka adalah saudara. Pertikaian di antara mereka adalah pertikaian sesama saudara. Karena itu, mereka diperintahkan untuk mendamaikan di antara dua saudaranya yang berselisih dan bertikai.
﴾ إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ﴿
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu.”
Sebagaimana kalian berusaha mendamaikan dua saudara kandung yang bertikai maka kalian juga harus berusaha maksimal untuk dapat mendamaikan dua orang Mukmin yang bertengkar. Ukhuwwah dan persaudaraan bukan sekedar slogan melainkan harus diupayakan secara praktis dan melahirkan komitmen bersama untuk merealisasikan hal ini. [1]
Imam Shadiq As, “Orang beriman adalah saudara orang beriman (lainnya), (ia berkedudukan sebagai) matanya dan pemandunya. Ia tidak akan mengkhianati saudaranya dan tidak membenarkan adanya tindakan jahat padanya serta tidak menipunya. Sekiranya ia berjanji maka ia tidak akan melanggarnya.” [2]
Alusi, penulis Tafsir Ruh Al-Ma’āni, menghukumi hubungan persaudaraan orang-orang beriman sebagai sebuah majaz (bahasa kiasan) dan memandangnya sebagai tasybih (penyerupaan). Alusi mengatakan, “Partisipasi dua orang dalam iman adalah serupa dengan partisipasi keduanya dalam masalah tauhid; karena sebagaimana kelahiran itu sebagai sumber terjaganya keturunan manusia di dunia, iman juga adalah sebab lestarinya manusia di surga. [3]
Allamah Thabathabai, penyebutan ukhuwwah pada ayat ini bermakna hakiki meski demikian ia merupakan bagian dari hubungan-hubungan non-hakiki (i’tibāri). Ia berpandangan bahwa yang dimaksud sebagai ukhuwwah dalam ayat ini adalah hubungan persaudaraan agama dan urusan non-hakiki yang memiliki pengaruh sosial. Hubungan ini tidak berpengaruh pada masalah pernikahan dan warisan. [4]
Mengingat bahwa pada kebanyakan waktu, hubungan-hubungan dalam masalah-masalah seperti ini menjadi pengganti pakem-pakem yang ada, ayat ini kembali mengingatkan dan pada ujung ayat ini diimbuhkan, “Dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” [5]
Pembacaan Akad Ukhuwwah oleh Rasulullah
Ibnu Abbas berkata, “Tatkala ayat ukhuwwah turun, Rasulullah Saw mejalinkan hubungan persaudaraan di antara kaum Muslimin; antara Abu Bakar dan Umar, Usman dan Abdur-Rahman, dan sahabat lainnyya, berdasarkan kedudukan mereka. Kemudian memilih Ali bin Abi Thalib As sebagai saudaranya. Rasulullah Saw berkata kepada Imam Ali, “Engkau adalah saudaraku dan Aku adalah saudaraku.” [6]
Catatan Kaki:
1. Makarim Syirazi, Tafsir Nemuneh, jld. 2, hlm. 172.
2. Kulaini, Ushul Al-Kāfi, jld. 4, hadis 3, hlm. 491.
3. Alusi, Ruh Al-Ma’āni, jld. 13, hlm. 303.
4. Thabathabai, Terjemahan Persia Tafsir Al-Mizān, jld. 18, hlm. 472.
5. Makarim Syirazi, Tafsir Nemuneh, jld. 2, hlm. 169.
6. Bahrani, Al-Burhan Fi Tafsir Al-Qur’ān, jld. 5, hlm. 108; Hakim Naisyaburi, Al-Mustadrak ‘ala Al-Shahihain, jld. 3, hlm. 14.
Daftar Pustaka
1. Al-Quran
2. Alusi, Sayid Mahmud, Ruh Al-Ma’āni fi Tafsir Al-Qur’ān Al-‘Azhim, Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, Beirut, 1415 H.
2. Bahrani, Hasyim bin Sulaiman, Al-Burhān Fi Tafsir Al-Qur’ān, Bunyad Bi’tsah, Tehran, 1416 H.
3. Al-Hakim Al-Naisyaburi, Al-Imam Al-Hafizh Abu ‘Abdillah, Al-Mustadrak ‘ala Al-Shahihain, Dar Al-Ma’rifah, Beirut, Tanpa Tahun.
4. Thabathabai, Sayid Muhammad Husain, Penj. Persia Musawi Hamadani, Sayid Muhammad Baqir, Terjemahan Persia Tafsir Al-Mizān, Daftar Nasyr Islami, 1374 S.
5. Kulaini, Muhammad bin Yakub, Penj. Kumrei, Muhammad Baqir, Ushul Kāfi, Uswah, 1375 S.
6. Makarim Syirazi, Nasir, Tafsir Nemuneh, Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, 1374 S.
(Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email