Pesan Rahbar

Home » » Profil Aisyah binti Abu Bakar Dalam Pustaka Islam (Sebagian Referensi Menyebutkan, Penyebab Kematian Aisyah Adalah Muawiyah)

Profil Aisyah binti Abu Bakar Dalam Pustaka Islam (Sebagian Referensi Menyebutkan, Penyebab Kematian Aisyah Adalah Muawiyah)

Written By Unknown on Thursday, 10 November 2016 | 21:56:00


Aisyah binti Abu Bakar (Bahasa Arab: عایشه بنت ابوبکر بن ابی قحافه )bin Abi Qahafah adalah istri Nabi Muhammad Saw. Ia termasuk wanita berpengaruh dalam sejarah awal Islam.

Karena peran aktifnya di masyarakat, termasuk di bidang politik, nama Aisyah lebih populer dibanding istri-istri Nabi yang lain.

Dalam riwayat Ahlusunnah terdapat banyak hadis tentang keutamaan dan kecintaan Nabi Saw pada Aisyah, karena itu mereka sangat menghormatinya. Di sisi lain, karena penentangannya pada Imam Ali As, Syiah banyak mengkritik prilaku dan langkah yang diambil Aisyah.

Aisyah adalah putri dari Abu Bakar dari Kabilah Bani Taim. Ibunya bernama Ummu Ruman binti Umair dari kabilah Bani Kinanah.[1]


Usia Aisyah saat Menikah

Tidak jelas kapan tepatnya pernikahan Aisyah dengan Nabi Saw berlangsung. Menurut sebagian riwayat, pernikahannya terjadi setelah wafat Sayidah Khadijah Sa, yaitu sekitar dua atau tiga tahun sebelum hijrah Nabi Saw ke Madinah.[2]

Berpegang pada riwayat tersebut, maka itu merupakan pernikahan kedua Rasulullah Saw setelah dengan Sayidah Khadijah Sa. Namun riwayat lain yang lebih masyhur menyebutkan, sebelum menikah dengan Aisyah, Nabi Saw terlebih dulu menikah dengan Saudah.[3]

Sebagian referensi masyhur menyatakan, usia Aisyah saat menikah dengan Nabi Saw adalah sekitar 6-7 tahun.[4]

Sebelum menikah dengan Rasulullah Saw, Aisyah pernah hendak dinikahkan dengan Jubair bin Muth’im, namun batal terlaksana.[5]

Malam pengantin Nabi Saw dan Aisyah baru dilangsungkan beberapa tahun setelah akad nikah, yaitu setelah melakukan hijrah ke Madinah ketika Aisyah telah berumur 9 tahun penuh.[6]

Berbeda dengan pendapat sebelumnya, sebagian peneliti mengungkapkan bahwa usia Aisyah ketika menikah dengan Nabi Saw adalah 18 tahun.[7]

Di antara riwayat yang mendukung pendapat tersebut adalah yang dibawakan Ibnu Ishaq. Dia menyebutkan, Aisyah adalah termasuk orang yang pertama masuk Islam, saat itu Aisyah masih kecil. Jika waktu itu Aisyah berumur 7 tahunan, maka saat menikah dengan Nabi Saw usianya telah mencapai 18 tahun.

Sedangkan Ibnu Qutaibah dalam kitab al-Ma’arif menyebutkan, Aisyah wafat pada tahun 58 H dalam usia 70 tahun.

Sedangkan menurut sebagian referensi, Nabi Saw menikahi Aisyah adalah 3 tahun sebelum hijrah (tahun ke-10 setelah menjadi nabi). Jika data ini benar, maka bisa disimpulkan Aisyah menikah dengan Nabi Saw di usia 9 tahun.[8]

Hal lain yang bisa digunakan untuk mengetahui berapa usia Aisyah ketika menikah dengan Nabi Saw adalah melihat usia saudarinya, Asma’ binti Abu Bakar. Usia Asma’ lebih tua 10 tahun dari Aisyah.[9]

Pada peristiwa hijrah dia berumur 27 tahun.[10]

Jika pernikahan Aisyah terjadi di tahun pertama hijriah, maka usianya saat itu adalah 17 tahun.


Profil Aisyah

Aisyah adalah wanita satu-satunya yang dinikahi Rasulullah Saw dalam keadaan masih gadis.[11]

Menurut riwayat Ahlussunnah, Nabi Muhammad Saw sangat mencintai Aisyah, bahkan dia adalah istri yang paling dicintai Nabi. Bagi mereka, Aisyah adalah wanita yang memiliki banyak sekali keutamaan dan kemuliaan.[12]

Namun menurut Syiah, riwayat-riwayat Ahlussunnah mengenai keutamaan Aisyah adalah palsu. Syiah memiliki banyak bukti riwayat yang menyebutkan tentang bagaimana tingkah laku Aisyah yang justru membuat Nabi Saw tidak suka dan marah. Tidak jarang Nabi Saw menyayangkan sikap dan kelakuan Aisyah.[13]

Banyak riwayat menyebutkan kedengkian dan kecemburuan Aisyah terhadap istri-istri Nabi Saw yang lain. Karena sifat dengki dan cemburu dalam hatinya, Aisyah bahkan melakukan hal-hal yang tidak patut.[14]

Dalam referensi hadis Ahlussunnah sendiri pun terdapat riwayat yang menyebutkan tentang hal itu.

Dalam kitab Shahih Muslim terdapat dialog antara Khalifah Umar dan Aisyah, Umar berkata: “Aku menemui Aisyah dan bilang padanya, ‘Putri Abu Bakar, perbuatanmu sudah berhasil menyakiti Nabi?!’ Dia menjawab, ‘Ibnu Khatthab, apa urusannya denganmu? Urusi saja putrimu!’ Lalu aku menemui Hafshah dan berkata padanya, ‘Kenapa kau sakiti Nabi? Demi Allah, kau sendiri tahu bahwa Rasulullah Saw itu tidak menyukaimu. Jika aku tidak ada pasti ia sudah menceraikanmu.”. [15]

Sebagian Mufasir Ahlussunnah berpendapat, Surah al-Hujurat ayat 11 turun berkenaan dengan Aisyah.[16] Mereka menyatakan, saat itu Aisyah mengolok-olok Ummu Salamah atau Zainab lalu turunlah ayat tersebut. [17]


Peristiwa Ifk (berita bohong)

Menurut sebagian riwayat yang menafsirkan penggalan Surah an-Nur, pada tahun 5 H dalam perjalanan kembali dari Perang Bani Musthaliq, rombongan muslimin berhenti di suatu tempat untuk beristirahat. Tanpa sepengetahuan lainnya Aisyah meninggalkan tempatnya untuk suatu keperluan.

Di perjalanan dia kehilangan kalung, karena itu dia mencarinya sehingga tidak segara kembali ke peristirahatan. Sementara itu, rombongan kembali melanjutkan perjalanan dengan membawa tandu Aisyah karena mereka sangka dia masih di dalamnya.

Setelah Aisyah mengetahui rombongannya telah pergi, dia menunggu di tempatnya dengan harapan akan ada yang kembali untuk menjemputnya. Kebetulan seseorang bernama Shafwan bin Muaththil lewat di tempat itu. Dia menyerahkan untanya pada Aisyah untuk ditunggangi lalu mengantarkannya menyusul rombongan. Kejadian tersebut menjadi gunjingan di kalangan sebagian sahabat munafik Nabi Saw.

Mereka menuduh Aisyah telah melakukan hal yang tidak senonoh. Karena itu turunlah sebagian Surat an-Nur. Ayat itu menerangkan bahwa tuduhan yang tidak-tidak terhadap wanita yang menjaga kesuciannya merupakan dosa besar.[18]

Sebagian menganggap ayat tersebut berkenaan dengan Mariah Qibtiah.[19]


Peristiwa Tahrim (pengharaman)

Peristiwa Tahrim adalah peristiwa yang berhubungan dengan beberapa ayat pertama dari Surah al-Tahrim.

Dalam ayat tersebut Allah Swt menegur Nabi Saw karena mencegah dirinya melakukan sesuatu yang halal guna menyenangkan istri-istrinya. Menurut keterangan Tafsir Nemuneh (al-Amtsal) kronologinya adalah sebagai berikut:

Ketika Nabi Saw mengunjungi istrinya yang bernama Zainab binti Jahsy beliau disuguhi madu, dan beliau pun meminumnya.

Hal itu diketahui oleh Aisyah sehingga timbul rasa tidak suka di hatinya. Aisyah berkata, “Aku dan Hafshah bersepakat bahwa siapa saja di antara kami yang didatangi Nabi Saw hendaknya berkata, ‘Apakah anda habis makan getah Maghafir?’”. Maghafir adalah getah berbau tidak sedap berasal dari sebuah pohon (Urfuth) yang tumbuh di Hijaz. Padahal Nabi Saw sendiri tidak ingin mulut, tubuh dan bajunya beraroma tidak sedap.

Suatu hari Nabi Saw mendatangi Hafshah. Hafshah mengatakan pada Nabi Saw sesuai apa yang sudah dia sepakati dengan Aisyah. Nabi Saw menjawab, “Aku tidak makan Maghafir, tapi madu yang dikasih Zainab binti Jahsy. Kalau begitu, aku janji tidak akan minum madu lagi. Tapi jangan katakan tentang hal ini pada orang lain. Kalau sampai terdengar orang lain mereka akan bertanya-tanya, ‘kenapa Nabi mengharamkan dirinya makan makanan halal?’ Atau mungkin saja mereka akan meniru perbuatan ini. Jika hal ini sampai terdengar Zainab maka dia akan merasa sedih”.

Namun ternyata Hafshah tidak menjaga amanat Nabi Saw. Ujung-ujungnya dia mengungkap rahasia itu pada orang lain.[20]

Riwayat tersebut terdapat dalam banyak referensi dengan redaksi yang berbeda,[21] termasuk dalam kitab Shahih Bukhari.[22]

Berkenaan dengan hal ini Bukhari meriwayatkan riwayat lain yang dikutip dari Khalifah Umar. Disebutkan, saat itu Aisyah dan Hafshah bersekongkol untuk memperdayai Nabi Saw.[23]

Bahkan Qurthubi[24] dan Ibnu Qayyim[25] berpendapat bahwa maksud ayat 10 dari Surah al-Tahrim [26] adalah untuk mengancam Aisyah dan Hafshah.


Aisyah dan Para Khalifah

Pada periode kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, Aisyah tidak secara langsung ikut campur dalam masalah politik. Sebagai istri Nabi Saw sekaligus putri dari khalifah pertama, terlebih karena dukungan dari khalifah pertama dan kedua, otomatis dia memiliki status sosial yang tinggi di masyarakat.

Menurut sebagian peneliti Syiah, Aisyah berperan penting bagi Abu Bakar dalam meraih posisi khalifah. Terlebih pada ahir-ahir hayat Nabi Saw, dia semakin giat merancang strategi supaya ayahnya berhasil menjadi khalifah.

Di antara yang dia lakukan untuk memuluskan rencananya adalah mengutip hadis-hadis yang dinisbatkan pada Nabi Saw berkenaan dengan keutamaan dan kemuliaan Abu Bakar dan Umar.[27]

Tercatat dalam sejarah bagaimana Abu Bakar dan Umar memanfaatkan Aisyah demi meraih ambisi mereka. Keduanya banyak memberikan hadiah pada Aisyah dan lebih mengistemewakannya disbanding istri-istri Nabi Saw lainnya.[28]

Menurut Syiah itu adalah bentuk ketidakadilan.[29]

Pada tahun-tahun pertama kekhalifahan Utsman, hubungan Aisyah dan Utsman sangat baik. Namun sejak pertengahan tahun kedua antara keduanya terjadi permusuhan. Sebelum timbul permusuhan Aisyah sempat menukil banyak hadis tentang keutamaan Utsman. Berikut kisah dari salah satu kandungan hadis yang menyinggung keutamaan Utsman yang diriwayatkan Aisyah:

Suatu ketika Rasulullah Saw sedang berbaring sambil mengenakan kain milik Aisyah. Saat itu Abu Bakar meminta izin untuk bertemu dengannya. Abu Bakar diizinkan masuk, sedang Rasulullah Saw tetap dalam posisinya.

Lalu Umar juga meminta izin untuk bertemu Nabi Saw, dia pun diijinkan masuk. Kemudian Utsman datang meminta izin untuk bertemu beliau. Saat itu Rasulullah Saw segera bersiap-siap dan memerintahkan Aisyah untuk merapikan pakainnya.

Aisyah bertanya pada Rasulullah Saw, “Wahai Rasulallah, kenapa ketika bertemu Abu Bakar dan Umar engkau tidak beranjak dari posisimu. Namun ketika bertemu Utsman engkau menyambutnya demikian dan merapikan pakaianmu?”

Rasulullah Saw menjawab, “Bagaimana aku tidak menyambut dan menghormatinya, sedangkan malaikat saja segan dan malu kepadanya.”[30]

Sejak pertengahan tahun kedua Aisyah mulai menampakkan diri untuk terjun dalam perpolitikan Islam saat itu. Dia bergabung dengan kelompok oposisi Khalifah Utsman. Aisyah banyak melontarkan kritik keras pada Utsman melalui ucapan-ucapan yang disampaikan pada umat, bahkan beberapa kali dia bertemu langsung dengan Utsman di Masjid Madinah. Saat itu Aisyah menilai Utsman sudah layak mati.[31]


Aisyah dan Imam Ali As 

Permusuhan

Sebagian penulis menyatakan, rasa tidak senang Aisyah pada Imam Ali As sudah timbul sejak Nabi Saw masih hidup.[32] Saking bencinya pada Imam Ali As dan Ahlulbait, dia menolak ikut berkabung saat Sayidah Fatimah az-Zahra Sa wafat.[33]

Bahkan sebagian sumber menyebutkan, saat itu Aisyah justru bergembira.[34]

Aisyah berkata pada Ibnu Abbas, tempat yang paling aku benci adalah yang di situ ada Bani Hasyim-nya.[35]

Karena kebenciannya yang mendalam pada Imam Ali As dia enggan menyebut nama Imam Ali As. Ketika menceritakan kedatangan Nabi Saw pada ahir-ahir hayat beliau, Aisyah berkata, “Ada dua orang yang memapah Nabi Saw, Qutsam bin Abbas dan satu orang lagi,” perawi menyebutkan, orang tersebut maksudnya adalah Imam Ali As.[36]

Aisyah berharap kekhalifahan setelah Utsman dapat kembali dipegang Kabilah Bani Taim. Setelah kematian Utsman, Aisyah mendengar bahwa Thalhah bin Ubaidillah diangkat menjadi khalifah. Kabar itu membuatnya sangat gembira sehingga dia segera berangkat ke Madinah.[37]

Namun belum sampai ke Madinah, Aisyah menerima kabar bahwa umat telah berbaiat pada Imam Ali As. Mengetahui hal itu dia langsung kembali ke Mekkah. Di sana dia mulai menyebarkan propaganda berkaitan dengan ketidakadilan yang dialami Utsman.[38]

Aisyah berkata, satu malamnya Utsman itu sebanding dengan seumur hidupnya Imam Ali As.[39]


Perang Jamal

Peran Aisyah dalam pergerakan melawan Khalifah Ali As yang berujung pada Perang Jamal adalah bukti nyata permusuhannya dengan Imam Ali As. Meski demikian, sebagian penulis Sunni menilai apa yang dilakukan Aisyah itu karena hasudan orang-orang sekitarnya yang memiliki niat buruk. Mereka menganggap, langkah yang diambil Aisyah adalah hasil ijtihad yang ternyata keliru dan telah disesalinya.[40]

Aisyah sendiri termasuk orang yang paling keras menentang Utsman. Ketika Utsman terbunuh dia berada di Mekah. Begitu tahu kalau Imam Ali As yang akhirnya menggantikan Utsman, Aisyah tetap berdiam diri di Mekkah.

Setelah beberapa waktu Thalhah dan Zubair datang ke Mekkah. Bersama kedua pembesar itu dan pasukan dari berbagai kabilah Arab, Aisyah berangkat menuju Bashrah dengan dalih ingin menuntut balas kematian Utsman.[41]

Saat berperang melawan Imam Ali As Aisyah mengendarai unta, karena itu peperangan tersebut dikenal dengan sebutan Perang Jamal atau Perang Unta.[42]

Perang Unta adalah perang saudara pertama yang terjadi di tubuh Islam.


Kesyahidan Imam Ali As

Sebagian sejarawan menyebutkan, ketika menerima kabar wafatnya Imam Ali As, Aisyah justru merasa lega dan berbunga-bunga.[43]

Abul Faraj Isfahani meriwayatkan, Aisyah bahkan malakukan sujud syukur karena wafatnya Imam Ali As.[44]

Aisyah menanyakan nama pembunuh Imam, ketika diberitahu bahwa pembunuhnya bernama Ibnu Muljam, dia langsung membaca syair guna memujinya:

“Meski saat mati dia (Ali) tidak dekat dengan kami, namun semoga tetap jaya pemuda yang berhasil membunuhnya dan menyenangkan kami.”

Perkataan-perkataan yang dilontarkan Aisyah tentang Imam Ali As sampai pada Zainab binti Ummu Salamah. Dengan keras ia memprotes tindakan Aisyah. Ia berkata, “Apa benar kamu mengatakan itu tentang Ali dan malah gembira saat mendengar kabar kematiannya?,” menerima cercaan itu Aisyah meminta maaf dan berkata, “Aku sekarang banyak lupa, setiap kali aku lupa sesuatu tolong ingatkan aku.” Menurut riwayat yang disampaikan Abul Faraj Isfahani, setelah berbincang dengan Zainab, Aisyah menyampaikan syair untuk menjawab apa yang dilontarkan Zainab padanya yang kandungannya seperti ini:

“Di Kalangan kami juga sudah biasa memuji teman dengan berbagai panggilan dan julukan, kami akan membuat syair untuk memuji mereka. Tapi zaman itu sudah lewat. Kalau kau memuji seseorang pasti akan cepat terlupakan, tidak ada gunanya”.[45]

Karena bangga dengan Ibnu Muljam, Aisyah sampai menamai budaknya dengan Abdurrahman. Abdurrahman adalah nama pembunuh Imam Ali As, lengkapnya adalah Abdurrahman bin Muljam al-Muradi.[46]


Aisyah dan Muawiyah

Banyak referensi menyatakan Muawiyah banyak memberikan hadiah pada Aisyah. Meski demikian, sedikit banyak dia tetap menentang dan memprotes pemerintahan yang dijalankan Muawiyah.

Bahkan sebenarnya Aisyah sangat membenci Muawiyah, terlebih setelah saudaranya yang bernama Muhammad bin Abu Bakar terbunuh atas perintahnya. Dia juga sangat marah saat Hujr bin Adi terbunuh.[47]

Kabarnya ketika Aisyah mengetahui Hurj bin Adi ditawan Muawiyah, dia mengutus orang untuk membebaskannya. Namun saat utusan itu tiba di Syam ternyata Hujr dan teman-temannya sudah dibunuh.[48]


Pemakaman Jenazah Imam Hasan As

Karena Syiah Ahlulbait banyak mengkritik prilaku Aisyah, untuk membalasnya dia melarang jenazah Imam Hasan As dimakamkan di dekat makam Rasulullah Saw. Letak makam Rasulullah Saw berada di dalam rumah yang saat itu ditinggali Aisyah.

Di sana juga terdapat kubur Abu Bakar dan Umar. Demi memenuhi wasiat Imam Hasan As, sebenarnya Imam Husain As hendak memakamkan jenazah saudaranya itu di samping makam Nabi saw, namun Aisyah menghalanginya dengan bantuan pemimpin Madinah. Guna menghindari bentrokan, Imam Husain As ahirnya membatalkan maksudnya.[49]


Wafat Aisyah

Aisyah wafat pada tahun 58 H dalam umur 66 tahun di Madinah secara wajar. Abu Hurairah menshalati jenazahnya.[50] Jenazah Aisyah dimakamkan di Pemakaman Baqi’.[51]

Karena perbuatan yang dilakukannya sepeninggal Nabi Saw, Aisyah berwasiat supaya nanti kalau meninggal tidak dimakamkan di dekat makam Nabi Saw, namun di Baqi’ dekat makam istri-istri Nabi Saw yang lain.[52]

Namun sebagian referensi menyebutkan, penyebab kematian Aisyah adalah Muawiyah.[53]

Kabarnya kejadian itu berlangsung pada bulan Dzulhijjah.[54]

Dikutip dari perkataan A’masy al-Kufi, “Ada yang tahu? Siapa yang lebih tidak tahu malu dibanding dia (Muawiyah)? Dia sudah membunuh tujuh puluh ribu orang, termasuk Ammar, Khuzaimah, Hujr, Amr bin Hamiq, Muhammad bin Abu Bakar, Malik al-Asytar, Uwais al-Qarny, Ibnu Shuhan, Ibnu Tayyihan, Aisyah, dan Ibnu Hassan.”[55]

Abdullah bin Umar menangis saat meninggalnya Aisyah. Mengetahui hal itu Muwiyah yang saat itu masih berada di Madinah menegurnya, “Kamu menangis karena kematian perempuan tua itu?” Abdullah menjawab, “Semua anak Ummul Mukminin (ibu orang-orang beriman, julukan istri-istri Nabi Saw) pasti menangisi kematiannya, hanya yang bukan anaknya (artinya bukan mukmin) yang tidak menangisinya.”[56]


Peran Aisyah dalam Periwayatan Hadis

Aisyah termasuk perawi penting yang meriwayatkan banyak perkataan dan tindakan Nabi Saw. Yang diriwayatkannya lebih dari 2.100 hadis. Sebagian riwayat yang disampaikan Aisyah mendapat kritikan dari pihak Syiah dan masih perlu dikaji ulang.[57]


Catatan Kaki:

1. Ibnu Sa’ad, Thabaqat al-Kubra, jld. 8, hlm. 47. Baladzuri, Ansab al-Asyraf, jld. 1, hlm. 409.
2. Ibnu Abdul Barr, al-Isti’ab, jld. 4, hlm. 1881.
3. Ibnu Sa’ad, Thabaqat al-Kubra, jld. 8, hlm. 46. Ibnu Qutaibah, al-Ma’arif, hlm. 133-134. Shalihi Syami, Subul al-Huda, jld. 11, hlm. 45.
4. Ibnu Sa’ad, Thabaqat al-Kubra, jld. 8, hlm. 47-48.
5. Al-Baladzuri, Ansab al-Asyraf, jld. 1, hlm. 409.
6. Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiah, jld. 2, hlm. 644. Ibnu Sa’ad, Thabaqat al-Kubra, jld. 8, hlm. 47-48.
7. Lih. Di bawah bimbingan Taqi Zadeh Dawari, Tashwir-e Khanewadeh-e Payambar, hlm. 92-93.
8. Lih. Amili, al-Shahih min al-Sirah al-Nabi al-A’dham, 284-286.
9. Al-Isti’ab, jld. 2, hlm. 616.
10. Ibnu al-Atsir, Asadul Ghabah, jld. 6, hlm. 9.
11. Baladzuri, Ansab al-Asyraf, jld. 1, hlm. 409.
12. Lih. Ibnu al-Atsir, Asadul Ghabah, jld. 6, hlm. 189-191.
13. Lih. Di bawah bimbingan Taqi Zadeh Dawari, Tashwir-e Khanewadeh-e Payambar Dar Daereh-e al-Ma’arif-e Islami, hlm. 97, 101-104.
14. Amili, al-Shahih, al-Shahih min al-Sirah al-Nabi al-A’dham, jld. 3 hlm. 291.
15. Shahih Muslim, jld. 2, hlm. 1105, h. 1479.
16. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain, (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik daripada wanita (yang mengolok-olok). Janganlah kamu mencela dirimu sendiri (baca: sesama saudara seiman) dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk (berbau kefasikan) sesudah seseorang beriman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
17. Tafsir Maqatil bin Sulaiman, jld. 3, hlm. 262. Qurtthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, jld. 16, hlm. 326. Zamakhsyari, al-Kassyaf, jld. 4, hlm. 373. Samarkandi, Bahrul Ulum, jld. 3, hlm. 311. Tsa’lani, al-Kasyf wa al-Bayan, jld. 9, hlm. 311. Ibnu Jauzi, Zadul Masir fi Ilmi al-Tafsir, jld. 7, hlm. 466. Abi Hayyan, Tafsir al-Bahr al-Muhith, jld. 8, hlm. 165. Nasafi, Tafsir al-Nasafi, jld. 4, hlm. 165. Naisyaburi, Tafsir Gharaib al-Qur’an wa Gharaib al-Furqan, jld. 6, hlm. 165. Tsaa’labi, al-Jawahir al-Hassan fi Tafsir al-Qur’an. Jld. 9, hlm. 165.
18. Lih. Ibnu Hisyam, Sirah al-Nabawiah, jld. 2, hlm. 297-302, Waqidi, al-Maghazi, hlm. 426-435. Bukhari, Shahih Bukhari, jld. 5, hlm. 223-227.
19. Yusufi Ghurawi, Mausu’ah al-Tarikh al-Islami, jld. 3, hlm. 350. Amili, al-Shahih min Sirah al-Nabi al-A’dzam, jld. 12, hlm. 320,326.
20. Babai, Barghuzideh Tafsir Nemuneh, jld. 5, hlm. 222.
21. Lih. Husaini Fatimi, Naqd-o Barresi Didghaho-e Maujud Darbare-e Ifsyae-e Raz-e Payambar Saw Dar Ayat-e Ibtidai Surehe-e Tahrim.
22. Shahih al-Bukhari, jld. 5, hlm. 4964, h. 4966, kitab al-Thalaq, bab:لِمَ تُحَرِّمُ ما أَحَلَّ الله لك
23. Shahih Bukhari, jld. 4, hlm. 1868, h. 4630, kitab al-Tafsir, bab:وَإِذْ أَسَرَّ النبی إلی بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِیثًا
24. Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, jld. 18, hlm. 202.
25. Ibnu Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin, jld. 1, hlm. 189. Ibnu Qayyim, al-Amtsal fi al-Qur’an al-Karim, jld. 1, hlm. 57.
26. “Allah menjadikan istri Nuh dan istri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya. Kedua suami mereka itu tidak dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah. (Kepada mereka) dikatakan, "Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)," Qs. al-Tahrim: 10.
27. Lih. Waridi, Naqsye Hamsaran-e Rasul-e Khuda dar Hukumat-e Amir-e Mukminan, hlm. 114.
28. Ibnu Sa’ad, al-Thabaqat al-Kubra, jld. 8, hlm. 53.
29. Di bawah bimbingan Taqi Zadeh Dawari, Tashwir-e Khanewadeh-e Payambar, hlm. 115-116.
30. Askari, hlm. 146-147.
31. Ibnu A’tsam, al-Futuh, jld. 2, hlm. 421.
32. Waridi, Naqsye Hamsaran-e Rasul-e Khuda dar Hukumat-e Amir-e Mukminan, hlm. 103.
33. Syarh Ibnu Abil Hadid, jld. 9, hlm. 198.
34. Syarh Ibnu Abil Hadid, jld. 9, hlm. 198.
35. Al-Futuh, jld. 3, hlm. 337. Natsr al-Darr, jld. 4, hlm. 21, dikutip dari Ja’farian, hlm. 83.
36. Musnad Ahmad, jld. 6, hlm. 34-38. dikutip dari Ja’farian, hlm. 83.
37. Ja’farian, hlm. 83.
38. Ansab al-Asyraf, jld. 2, hlm. 217-218, jld. 5, hlm. 91. Ibnu Abil Hadid, jld. 6, hlm. 215, dikutip dari Ja’farian, hlm. 83.
39. Ansab al-Asyraf, jld. 2, hlm. 91, dikutip dari Ja’farian, hlm. 83.
40. Lih. Nadwi, Sirah al-Sayidah Aisyah Ummul Mukminin, hlm. 189-192.
41. Ibnu Qutaibah, al-Imamah wa al-Siyasah, jld. 1, hlm. 71-72.
42. Ya’qubi, Tarikh al-Ya’qubi, jld. 2, hlm. 180-181.
43. Al-Thabaqat al-Kubra, jld. 3, hlm. 29. Al-Kamal fi al-Tarikh, jld. 2, hlm. 743. Ansab al-Asyraf, jld. 2, hlm. 505.
44. Maqatil al-Thalibin, jld. 1, hlm. 55.
45. Maqatil al-Thalibin, jld. 1, hlm. 55.
46. Al-Jamal, hlm. 27.
47. Ibnu Qutaibah, al-Imamah wa al-Siyasah, jld. 1, hlm. 205. Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, jld. 5, hlm. 257.
48. Ibnu Sa’ad, al-Thabaqat al-Kubra, jld. 6, hlm. 243.
49. Ya’qubi, Tarikh al-Ya’qubi, jld. 2, hlm. 225.
50. Dzahabi, Tarikh Islam, jld. 4, hlm. 164. Ibnu Atsir, Kamil, jld. 3, hlm. 520.
51. Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, jld. 11, hlm. 602.
52. Thabaqat Kubra, jld. 8, hlm. 59.
53. Sayid bin Thawus, jld.2, hlm. 5031.
54. Al-Tharaif fi Ma’rifah Madzahib al-Thawaif, jld. 2, hlm. 503.
55. Al-Shirath al-Mustaqim, jld. 3, hlm. 48.
56. Wafayat al-A’yan, jld. 3, hlm. 16.
57. Lih. Askari, Ahadits Ummil Mukminin Aisyah.


Daftar Pustaka 

1. Ibnu al-Atsir, Izzuddin, Asadul Ghabah fi Ma’rirah al-Shahabah, Bairut, Darul Fikr, 1409/1989.
2. Ibnu Atsir, Ali bin Abi al-Karam, al-Kamil fi al-Tarikh, riset: Umar Abdussalam Tadamuri, Darul Kitab al-Arabi, Bairut, Libanon, cetakan I, 1417 H.
3. Ibnu al-Jauzi, Abdurrahman bin Ali, Zadul Masir fi Ilmi al-Tafsir, al-Maktab al-Islami, Bairut, cetakan III, 1404 H.
4. Ibnu Sa’ad, Muhammad, al-Thabaqat al-Kubra, riset: Muhammad Abdul Qadir Atha, Bairut, darul Kutub al-Ilmiah, cetakan I, 1410 H/1990.
5. Al-Isti’ab fi Ma’rifah al-Ashhab, riset: Ali Muhammad, Bairut, Darul Jail, 1412 H/1992.
6. Ibnu Qutaibah, Abdullah bin Muslim, al-Ma’arif, riset: Tsarwat Ukasyah, Kairo, al-Haiat al-Mishriah al-‘Ammah li al-Kitab, cetakan II, 1992.
7. Ibnu Qutaibah, Abdullah bin Muslim, al-Imamah wa al-Siyasah al-Ma’ruf bi Tarikh al-Khulafa, riset: Ali Syiri, Bairut, Darul Adhwa, cetakan: I, 1410 H.
8. Ibnu Qayyim, Muhammad bin Abi Bakar Ayyub, I’lam al-Muwaqqi’in ‘An Rabbil ‘Alamin, riset: Thaha Abdurrauf Saad, Darul Jail, Bairut, 1973.
9. Ibnu Qayyim, Muhammad bin Abi Bakar Ayyub, al-Amtsal fi al-Qur’an al-Karim, riset: Ibrahim Muhammad, Maktabah al-Shahabah, Mesir, 1406 H, cetakan I.
10. Ibnu Hisyam, Abdul Malik, al-Sirah al-Nabawiah, riset: Muthafa al-Saqa, Abdul Hafiz dan Ibrahim al-Abyari, Bairut, Darul Ma’rifah.
11. Abi Hayyan, Muhammad bin Yusuf, Tafsir al-Bahr al-Muhith, riset: al-Syaikh Adil Ahmad Abdul Maujud, Darul Kutub al-Ilmiah, Libanon, Bairut, cetakan I, 1422 H.
12. Ibnu Khulkan, Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim bin Abi Abi Bakar bin Khulkan Barmaki Irbili, Wafayat al-A’yan wa Anbau Abana al-Zaman, riset: Ihsan Abbas, Daru Shadir, Bairut.
13. Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahjul Balaghah, riset: Muhammad Abul Fadhl Ibrahim, Mesir.
14. Darul Haya al-Kutub al-Arabiah, 1387 Hs.
15. Abul Faraj Isfahani, Maqatil al-Thalibin, Ali bin al-Husain bin Muhammad bin Ahmad bin al-Haitam al-Marwani al-Umawi. Abul Faraj al-Isfahani, riset: al-Muhakkik Sayid Ahmad Shaqr, Darul Ma’rifah, Bairut.
16. Babai, Ahmad Ali, Barghuzide Tafsir Nemuneh, Tehran, Darul Kutub al-Islamiah, 1382 Hs.
17. Bukhari, Muhammad bin Ismail, Shahih al-Bukhari, riset: Musthafa Daib al-Bagha, Daru Ibn Katrsir, al-Yamamah, Bairut, cetakan III, 1407 H.
18. Baladzuri, Ahmad bin Yahya, Ansabul Asyraf, jld. 1, riset: Muhammad Hamidullah, Mesir, Darul Ma’arif, 1959.
20. Taqi Zadeh Dawari, Tashwir-e Khanewadeh-e Payambar Dar Daereh-e Maarif Islam, Qom.
21. Tsaa’labi, Abdurrahman bin Muhammad, al-Jawahir al-Hassan Fi Tafsir al-Qur’an, Yayasan al-A’lami lil Mathbu’at, Bairut.
22. Tsa’labi, Ahmad bin Muhammad, al-Kasyf wa al-Bayan, Abi Muhammad bin Asyur, Daru Ihya al-Turats al-Arabi, Bairut, cetakan I, 1422 H/2002.
23. Ja’farian, Rasul, Hayat-e Fikri wa Siyasi-e Imaman-e Syiah As, Ansharian, Qom, 1387 Hs.
24. Husain Fatimi, Sayid Ali, Naqd-o Barresi Didghaho-e Maujud Darbare-e Ifsyae-e Raz-e Payambar Saw Dar Ayat-e Ibtidai Surehe-e Tahrim, Majalah Tarikh Dar Ayineh-e Pazuhesh, no. 11, Paiz 85.
25. Zamakhsyari, Mahmud bin Amr Jarullah, al-Kasysyaf ‘an Hakaiq al-Tanzil, riset: Abdurrazzaq al-Mahdi, Bairut, Daru Ihya al-Turats al-Arabi.
26. Dzahabi, Muhammad bin Ahmad, Tarikh Islam, riset: Tadamuri, Darul Kitab al-Arabi, Bairut, cetakan II, 1413 H.
27. Samarqandi, Nashr bin Muhammad, Bahrul Ulum, riset: Mahmud Muthraji, Darl Fikr, Bairut.
28. Sayid bin Thawus, al-Tharaif fi Ma’rifah Madzahib al-Thawaif, al-Khiyam, Qom, cetakan I, 1399 Hs.
29. Shalihi al-Syami, Muhammad bin Yusuf, Subul al-Huda wa al-Russyad fi Sirah Khair al-Ibad, riset: Adil 30. Ahmad Abdul Maujud dan Ali Muhammad, Bairut, Darul Kutub al-Ilmiah, cetakan I, 1414 H.
31. Amili, al-Shahih, al-Shahih min al-Sirah al-Nabi al-A’dham, Qom, Darul Hadits, 1426 H.
32. Askari, Murtadha, Ahadits Ummil Mukminin Aisyah, Bairut, Majma’ al-Ilmi al-Islami.
33. Askari, Sayid Murtadha, Naqsye Aisyah dar Tarikh-e Islam, terjemah Atha Sardar Niya, Tehran, Majma’ Ilmi Islami.
34. Qurthubi, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Daru al-Sya’b al-Qahirah.
35. Muslim Naisyaburi, Muslim bin al-Alhajjaj, Shahih Muslim, riset: Muhammad Fuad Abdul Baqi, Daru Ihya al-Turats al-Arabi, Bairut.
36. Dhamin bin Syadqam, Waq’ah al-Jamal, Muhakkik Aalu Syubaib Musawi, terbitan: Muhammad, Iran, Qom, 1420 H, cetakan I.
37. Maqatil bin Sulaiman, Tafsir Maqatil bin Sulaiman, riset: Ahmad Farid, Darul Kutub al-Ilmiah, Libanon, Bairut, cetakan I, 1424 H.
38. Nabathi, Ali bin Muhammad, al-Shirath al-Mustaqim ila Mustahiqi al-Taqdim, Muhakik Ramadhan, Mikhalil, al-Maktabah al-Haidariah, Najaf, cetakan I, 1384 H.
39. Nadwi, Sulaiman, Sirah al-Sayidah Aisyah Ummil Mukminin, terjemah ke Arab: Muhammad Hafidh al-Nadwi, Damaskus, Darul Kalam, 2010.
40. Naisyaburi, Hasan bin Muhammad, Tafsir Gharaib al-Qur’an wa Gharaib al-Furqan, riset: Syaikh Zakaria Umairan, Darul Kutub al-Ilmiah, Bairut, Libanon, cetakan I, 1416 H.
41. Waridi, Taqi, Naqsye Hamsaran-e Rasul-e Khuda dar Hukumat-e Amir-e Mukminan, Qom, Bustan-e Kitab.
42. Ya’qubi, Ahmad bin Abi Ya’qub, Tarikh al-Ya’qubi, Bairut, Daru Shadir.
43. Yusufi Ghurawi, Muhammad Hadi, Mausu’ah al-Tarikh al-Islami, Qom, Majma’ al-Fikri al-Islami, 1423 H.

(Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: