Pesan Rahbar

Home » , » Kisah Seorang Tua yang Mempermalukan Muawiyah

Kisah Seorang Tua yang Mempermalukan Muawiyah

Written By Unknown on Sunday, 25 September 2016 | 20:11:00


Jabir bin Abdullah Anshari bercerita berikut ini:

Pada suatu hari, saya berkunjung ke Syam (Suriah). Setibanya di Syam, saya berjumpa dengan Muawiyah bersama dua anaknya, Khalid dan Yazid, serta ‘Amr bin ‘Ash. Tiba-tiba seorang tua yang berasal dari Irak muncul. Ia sudah renta dengan memakai ikat pinggang yang terbuat dari pelepah kurma, memakai sandal terbuat dari pelepah kurma, dan mengenakan pakaian yang sudah usang. Pandangannya tertunduk ke bawah.

“Sebaiknya kita bergurau dengan orang tua in, dan sedikit kita bergembira ria,” ujar Muawiyah.
Muawiyah: Hai Syeikh! Dari mana kamu datang dan hendak ke mana kamu pergi?
Orang tua itu tidak menjawab.
‘Amr bin ‘Ash: Hai Orang tua! Mengapa kamu tidak menjawab pertanyaan Amirul Mukminin?
Orang tua: Setelah keluar dari masa jahiliah, Allah telah menetapkan salam selain salam yang telah diucapkan oleh Muawiyah itu.
Muawiyah: Hai Syeikh! Betul kamu dan saya salah. Assalamu ‘alaika, hai Syeikh.
Orang tua: Alaikumus salam.
Muawiyah: Dari mana kamu datang dan hendak ke mana kamu pergi?
Orang tua: Saya datang dari Irak dan hendak menuju Baitul Maqdis.
Muawiyah: Bagaimana berita dari Irak?
Orang tua: Penuh kebaikan dan berkah.
Muawiyah: Kamu berkata berasal dari Kufah dan dari tanah Ghurri?
Orang tua: Apa itu Ghurri?
Muawiyah: Tempat Abu Turab berdomisili.
Orang tua: Siapakah Abu Turab?
Muawiyah: Ali bin Abi Thalib.
Orang tua: Hai Muawiyah! Semoga Allah mempermalukanmu dan melaknat orang tuamu! Mengapa kamu tidak menyebutnya sebagai imam yang adil, tempat rakyat berlindung, pemimpin agama, pembasmi musyrikin, pedang Allah yang senantiasa terhunus, anak paman Rasulullah saw, suami Sang Batul, mahkota para fuqaha, harta simpanan orang-orang fakir, penghuni Kisa’ yang kelima, singa yang selalu menang, ayah Hasan dan Husain, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as?
Muawiyah: Hai Syeikh? Saya lihat daging dan darahmu telah bercampur dengan daging dan darah Ali. Jika ia mati, jangan sampai engkau menanggung sebuah pekerjaan dan engkau tidak mampu melaksanakannya.
Orang tua: Semoga Allah tidak mencobaku dengan keterhalangan darinya dan semoga Dia mengagungkan kesedihanku. Akan tetapi, ketahuilah bahwa Allah tidak akan memanggil pemimpin dan junjunganku sebelum salah satu dari keturunannya Dia tunjuk sebagai hujah bagi semesta alam.
Muawiyah: Hai Syeikh! Sepertinya engkau salah alamat.
Orang tua: Saya telah menunjukkan jalan yang lurus kepada siapa yang menghendaki.
‘Amr bin ‘Ash: Hai Muawiyah! Sepertinya orang ini tidak mengenalmu sehingga ia berani kurang ajar.
Muawiyah: Hai Syeikh! Apakah kamu mengenalku?
Orang tua: Tidak.
Muawiyah: Saya adalah anak Abu Sufyan, pohon yang suci dengan rerantingan yang menjulang tinggi dan pemuka Bani Umaiyah.
Orang tua: Hai Muawiyah! Sebaliknya. Engkaulah orang yang disebutkan oleh Rasulullah saw dengan nama la’în (orang terlaknat). Maksud syajarah mal’ûnah (pohon terlaknat) dalam Al-Quran adalah dirimu. Akar keturunan yang hina adalah dirimu. Engkaulah yang telah berbuat lalim atas dirimu dan mengingkari Tuhanmu.
Engkaulah maksud sabda Rasulullah saw yang berbunyi, “Kekhalifahan adalah haram bagi anak Abu Sufyan.” Engkaulah pendosa, anak seorang pendosa, dan anak Hindun pemakan hati. Engkaulah orang lalim yang kelalimannya telah menguasai seluruh hamba Allah.
Lantaran amarah, wajah Muawiyah menjadi merah lebam dan seluruh urat lehernya tampak kelihatan jelas. Ia memegang gagang pedang dan menghampiri orang tua itu. Akan tetapi, ia berusaha mengontrol amarahnya seraya berkata, “Seandainya memaafkan bukanlah perbuatan yang terpuji, niscaya saya sudah ambil kepalamu. Hai Syeikh! Bagaimana pendapatmu apabila saya penggal kepalamu?”
Orang tua itu menjawab dengan tenang, “Ketika itu, saya akan sampai ke puncak kebahagiaan dan engkau akan sampai ke puncak kesengsaraan.”
Muawiyah berpendapat bahwa membunuh seorang tua bangka yang hari ini atau besok akan meninggal dunia tidak akan berguna. Oleh karena itu, ia mengalihkan pembicaraan seraya berkata, “Hai Syeikh! Pada hari Ali membunuh Utsman, kamu berada di mana?”
Orang tua: Tidak demi Allah! Ali tidak membunuh Utsman. Jika Ali ingin membunuh Utsman, maka ia tidak akan pernah menggunakan makar dan tipu muslihat. Ia akan membunuh Utsman dengan pedang yang tajam dan lengan yang kuat. Ali kala itu hanya diam demi menjaga wasiat Rasulullah saw.
Muawiyah: Apakah kamu mengikuti Perang Shiffin sehingga menyaksikan Ali menumpahkan darah?
Orang tua: Saya ikut. Betapa banyak anak-anak dari pasukanmu yang telah saya yatimkan. Bak pedang yang sedang marah, kadang-kadang saya berperang dengan menumpahkan anak panah dan kadang-kadang pula dengan tombak. Saya telah melemparkan 73 panah ke arahmu. 2 anak panah mengenai perisaimu, 2 anak panah mengenai dahimu, dan 2 anak panah menembus lenganmu. Jika kamu menanggalkan pakaian, maka bekas anak panah itu akan terlihat.
Muawiyah: Apakah kamu menghadiri Perang Jamal; yaitu ketika Ali memerangi Aisyah, istri mulia Rasulullah saw? Pada perang ini, siapakah yang benar?
Orang tua: Ali adalah pihak yang benar.
Muawiyah: Bukankah Allah telah berfirman, “Seluruh istrinya (Muhammad) adalah ibu mereka?” [1] Seluruh istri Rasulullah adalah ibu umat ini. Lalu, mengapa Ali memerangi Aisyah?
Orang tua: Bukankah Allah telah berfirman kepada Aisyah dan seluruh istri Rasulullah saw yang lain, “Dan hendaklah kalian menetap di rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu?” [2] Akan tetapi, dari sekian istri Rasulullah saw, hanya Aisyah yang enggan menerima perintah Allah itu dan meninggalkan rumah. Lalu, ia keluar mengikuti aturan jahiliah bersama sekelompok banyak nonmuhrim dan keluar untuk memerangi Amirul Mukminin Ali as.
Bukankah Rasulullah saw pernah bersabda, “Engkau, hai Ali, adalah khalifahku atas seluruh istriku. Perceraian mereka ada di tanganmu.”
Dengan itu semua, Aisyah berkali-kali menyulut api fitnah sehingga darah muslimin ditumpahkan dan harta benda mereka dilindas habis.
Muawiyah: Engkau sudah tidak memberi kesempatan kepadaku untuk berbicara. Maukah kamu saya beri hadiah 20 ekor unta berbulu merah dengan punggung yang penuh muatan madu, minyak goreng, dan gandum berkualitas tinggi?
Orang tua: Saya tidak mau.
Muawiyah: Mengapa?
Orang tua: Rasulullah saw pernah bersabda, “1 Dirham halal adalah lebih baik daripada unggukan Dirham haram.”
Muawiyah: Hai Syaikh! Kapankah masa umat ini menjadi gelap gulita dan cahaya rahmat padam?
Orang tua: Setelah engkau memimpin umat ini dan ‘Amr bin ‘Ash menjadi wazirmu.
Muawiyah: Hai Syaikh! Bergegaslah pergi dari hadapanmu. Jika saya sekali lagi melihatmu berada di Damaskus, maka saya pasti memenggal kepalamu.
Orang tua: Saya tidak akan pernah tinggal di sebuah tempat yang kamu berada di tempat itu, karena Allah berfirman, “Dan janganlah kalian cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kalian disentuh api neraka, dan sekali-kali kalian tiada mempunyai seorang penolong pun selain dari Allah, kemudian kalian tidak akan diberi pertolongan.” [3]

Setelah berkata demikian, orang tua beriman yang hatinya penuh dengan kecintaan kepada Imam Ali as itu menoleh sejenak ke arah Mua’wiyah yang tertegun bak orang dungu dan orang-orang di sekitarnya. Lalu, ia melanjutkan perjalanan menuju Baitul Maqdis.[4]


Referensi:

1. QS. Al-Ahzab : 6.
2. QS. Al-Ahzab : 33.
3. QS. Hud : 113.
4. Nâsikh Al-Tawârîkh, hlm. 124.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: