Pada hari itu, Ubaidullah bin Ziyad menyelenggarakan pertemuan umum di istananya. Ia memerintahkan supaya kepala Imam Husain as yang telah dipotong diletakkan di hadapannya. Lalu, kaum wanita dan anak-anak yang menjadi tawanan diperintahkan masuk istana.
Zainab Kubra as ketika itu hanya mengenakan pakaian yang paling tak berharga. Ia masuk ke istana Ubaidullah tanpa dikenal orang dan dikelilingi oleh kaum wanita. Ia duduk di sebuah pojok ruangan dengan tidak memberikan perhatian sedikit pun kepada kemegahan Ibn Ziyad.
Pandangan Ubaidullah tertuju ke arah Zainab. Keagungan dan keteguhan Zainab menarik perhatian Ibn Ziyad. “Siapakah wanita yang telah menyingkirkan diri dan dikelilingi oleh kaum wanita itu?” tanya Ibn Ziyad.
Zainab tidak menjawab. Ubaidullah mengulangi pertanyaannya. Salah seorang pembantu wanita menjawab, “Ia adalah Zainab putri Fatimah binti Rasulullah saw.”
Ubaidullah menoleh ke arah Zainab seraya berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menghinakan dan membasmi kalian, serta telah menunjukkan bahwa apa yang selalu kalian klaim itu tidak lain hanyalah kebohongan belaka.”
Zainab menjawab, “Segala puji bagi Allah telah memuliakan kami yang melalui nabi-Nya dan menyucikan kami dari kekotoran. Tidak akan hina kecuali orang fasik dan tidak akan berbohong kecuali orang durjana. Orang durjana bukanlah kami, tetapi selain kami (yakni Ibn Ziyad yang para pengikutnya). Segala puji hanya bagi Allah.”
“Kamu lihat bagaimana Allah telah memperlakukan keluargamu?,” tanya Ubaidullah.
Zainab menjawab, “Saya tidak melihat kecuali sesuatu yang indah. Mereka telah ditentukan supaya terbunuh, dan mereka menaati dan bergegas menuju tempat akhir peristirahatan mereka. Tidak lama lagi Allah akan mempertemukan kalian dengan mereka (pada hari kiamat), dan mereka akan menuntut pengadilan darimu dan mengajukan pengaduan kepada Allah. Sekarang, lihatlah siapakah akan keluar sebagai pemenang pada hari itu. Semoga ibumu berkabung duka, hai anak Marjanah.”
Mendengar ucapan tegas dan pedas Zaina Kubra as, Ubaidullah naik pitam dan hendak mengambil sebuah keputusan yang buruk. Akan tetapi, salah seorang hadirin yang bernama ‘Amr bin Huraits berkata, “Wahai Amir! Ia hanyalah seorang perempuan, dan tak seorang pun menghukum perempuan lantaran ucapannya.”
Sekali lagi, Ibn Ziyad berkata kepada Zainab Kubra as, “Allah telah menyembuhkan hatiku lantaran telah berhasil membunuh saudaramu Husain dan pasukan yang membangkang.”
Zainab menjawab, “Demi Allah! Engkau telah membunuh permataku. Engkau telah memotong tunasku dan mencabut akarku. Jika tindakan ini merupakan obat bagimu, maka hatimu telah sembuh.”
Ibn Ziyad yang terpesona oleh keindahan ucapan Zainab Kubra itu berkata dengan penuh ejekan, “Wanita ini memang seperti ayahnya, Ali pandai berbicara. Sumpah demi jiwaku! Ayahmu adalah seorang penyair dan pandai bersajak.”
Zainab menimpali, “Untuk apa seorang wanita bersajak? (Kondisi ini bukan waktu yang tepat untuk bersajak).”[1]
Iya. Ubaidullah bin Ziyad berharap Zainab yang sedang sedih berduka itu bisa menyerah, menangis, dan lemah dengan sekali pukulan. Akan tetapi, Zainab yang berhati singa dan mewarisi keberanian dan kejantanan dari ayahnya, Ali as mematahkan ucapan Ibn Ziyad dan memusnahkan kecongkakannya.
Sepanjang sejarah manusia, wanita manakah yang telah kehilangan enam atau tujuh saudara lantaran dibunuh, seorang anaknya gugur syahid, dan sepuluh orang dari keponakan dan anak-anak pamannya dibantai, serta ia bersama saudara-saudara perempuan dan keponakan-keponakannya menjadi tawanan perang, lalu ia masih siap membela haknya dan juga hak para syahid yang telah gugur syahid di jalan saudara dan ayahnya?[2]
Referensi:
1. Al-Luhûf fi Qatlâ Al-Thufûf, Sayid Ibn Thawus, penerbit Maktabah Al-Dawari, Qom, hlm. 68.
2. Sireh-ye Pisywâyân, Mahdi Pisywaei, hlm. 197; Barresi-ye Târikh-e Âsyurâ, Dr. Ayati Birjandi, hlm. 203.
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email