Pesan Rahbar

Home » » Dari Defensif Ke Opensif: Pergeseran Makna Jihad Dalam Dunia Islam

Dari Defensif Ke Opensif: Pergeseran Makna Jihad Dalam Dunia Islam

Written By Unknown on Sunday, 25 September 2016 | 19:40:00


Oleh: Abdulaziz Sachedina

Tujuan makalah ini adalah untuk menunjukkan bahwa meskipun kita harus menghindari penafsiran kaum fundamentalis terhadap rumusan hukum Islam klasik, umumnya dalam studi kontemporer mengenai Jihad, kita tidak dapat mengabaikan pencarian informasi sistematis mereka yang digunakan para ekstremis Islam untuk membenarkan kekerasan bahkan pengangkatan senjata untuk melakukan serangan dan penindasan yang dilakukan kekuatan-kekuatan militer Islam dan non-Islam.

Banyak tempat dan kejadian memperlihatkan contoh-contoh ketika kelompok-kelompok ekstremis Islam telah terbentuk dan menyerukan jihad secara diam-diam dan seringkali secara terang-terangan, hal itu telah mengungkapkan dasar rasional untuk dilakukannya kekerasan yang lebih besar melawan musuh ketimbang mengungkapkan bahasa wacana hukum klasik, dan definisi jihad secara modern nampaknya memberi keleluasaan.

Kondisi sebelum penjajahan di dunia Islam telah mempengaruhi pemahaman jihad secara modern, yang kadang-kadang mengartikan jihad sebagai kekerasan tak bermakna yang tidak berhasil mencapai satu pun tujuan tradisi Islam dalam menegakkan sebuah masyarakat adil yang sempurna.

Argumen pokok saya pada makalah ini adalah bahwa, wacana legal- teologis Islam diungkapkan untuk menyoroti pesan-pesan Quran tentang "Islam" (ketundukkan) sebagai satu-satunya agama yang benar di sisi Allah (QS. 3:19) dan satu-satunya agama yang diridhaiAllah (QS. 3:85), dalam konteks masyarakat yang berkedudukan sosial dan politik yang berhasil dan dominan.

Interaksi antara gagasan ekslusif bahwa Islam adalah agama bagi seluruh umat manusia dan negara Islam yang berkuasa, menciptakan bahasa teologis-yuridis yang spesifik, yang mengetengahkan pembenaran normatif untuk memperluas gagasan jihad melampaui batas makna jihad di dalam Quran dari makna jihad defensif menjadi jihad of ensif untuk meluaskan hegemoni wilayah Islam.

Pada makalah ini, saya menggunakan kata "Islam" dalam tiga makna. Dalam studi Barat mengenai Islam, istilah "Islam" secara khusus digunakan dengan makna sebagai sebuah tradisi agama dengan prinsip- prinsip ajaran dasar yang memberikan pandangan otoriter untuk menafsirkan pertentangan-pertentangan dan ketegangan-ketegangan dalam eksistensi manusia.

Saya tetap menggunakan makna ini ketika berurusan dengan sumber-sumber normatif untuk asal pembenaran-pembenaran, juga untuk kriteria "Jihad." Tetapi, saya juga menggunakan istilah "Islam" yang menunjukkan sebuah unsur penting dalam struktur internal nilai-nilai budaya yang menembus disposisi dan praktik-praktik, yang berhubungan dengan "Jihad" di kalangan kaum muslimin pada waktu dan tempat tertentu.

Terakhir, saya menggunakan makna itu untuk menyampaikan sebuah sistem ideologi yang yang berkaitan dengan kekuatan atas nama sebuah otoritas suci yang bertujuan memberikan pembenaran untuk terciptanya negara sebagai suatu alat meningkatkan kebaikan.

Di satu sisi, tiga makna yang meliputi, keyakinan, sikap, praktik-praktik masyarakat menunjukkan berkembangnya hubungan yang rumit di dalam konteks sejarah sosial politik antara ajaran Islam yang otoriter dan determinatif dan munculnya kekuasaan negara yang mengharuskan diterapkannya ajaran-ajaran ini untuk perwujudan sebuah tatanan masyarakat yang ideal.

Tidak dapat disangkal bahwa keyakinan tentang sebuah tatanan masyarakat yang ideal yang baru disebutkan tadi menentukan sebagaimana tatanan tersebut ditentukan oleh cara kaum muslimin menangani pertanyaan
menolak dan menentang penyalahgunaan kekuasaan atau malah menyetujuinya. Hasil akhir dari berjalannya Islam sebagai sebuah agama dan Islam sebagai sebuah sumber kekuasaan juga tercermin di dalam cara masyarakat menanggapi kebutuhan untuk menghadapi rintangan perealisasian visi idealis sebuah konstitusi agama di muka bumi.

Dengan kata lain, gagasan jihad (dalam makna mendasarnya "berjuang" dan "berusaha keras") sebagai sebuah instrumen mewujudkan kesempurnaan Islam dimuka bumi harus berhadapan dengan realitas sosial politik yang menghadang kaum Muslimin ketika menjawab panggilan jihad untuk mengangkat senjata atas nama otoritas yang suci. Sebagaimana agama Yahudi dan Nasrani, Islam memfokuskan perhatiannya pada kebutuhan dan kemampuan moral murni masyarakat secara keseluruhan untuk mewajibkan dirinya berjuang mewujudkan sebuah masyarakat adil yang ideal. Pandangan ini menekankan keterlibatan masyarakat secara aktif dalam menciptakan tatanan masyarakatnya sendiri yang akan mencerminkan ajaran-ajaran moral dan sosial Islam.

Dalam makna ini, Islam, dalam makna sebagai sebuah keyakinan agama, secara inheren berfungsi sebagai sebuah ideologi "aktifis" di dalam sebuah tatanan sosial politik, yang menilai, menyeru para pengikutnya untuk mempertahankan dan menjaganya; atau menghancurkan dan merubah tatanan sosial tersebut. Tetapi, dalam makna ketiga, sebagai sumber penting kekuasaan yang sah, Islam dipahami sebagai sebuah rincian rencana ilahi yang menunggu pelaksanaannya untuk mewujudkan kehendak Allah di muka bumi hingga batas yang paling memungkinkan, dan jika perlu, dilakukan dengan menggunakan kekerasan, yakni, Jihad.

Karena Quran, sumber dasar bagi kesadaran sosial politik umat Islam, memuat perintah diperbolehkannya penggunaan kekerasaan melalui instrumen jihad, hal ini menjawab budaya kesukuan bangsa Arab sebelum Islam, yang telah melembagakan kekuatan militer yang dengannya bergantung keamanan sebuah suku dan bahkan eksistensinya. Keunggulan suku bangsa ditentukan oleh suku yang mampu melindungi rakyat mereka dan mampu menuntut bela atas semua penghinaan, penderitaan, dan kematian melalui kekuatan militer mereka.

Sistem penuntutan keadilan bangsa Semit yang didasarkan pada "hutang nyawa dibayar nyawa" pada kehidupan pasang pasir tidak selalu menjamin bahwa tindak kejahatan tidak dilakukan secara mudah dan tak bertanggung jawab. Bertolak belakang dengan latar belakang ini, penggunaan kekerasan yang sah yang diatur al- Quran hanya memberikan batasan-batasan moral yang sesuai ketika menggunakan kekuatan militer untuk menyelesaikan pertikaian. Pembenaran jihad dengan makna "perang" muncul dalam konteks membela masyarakat dan menghentikan kerusakan tatanan masyarakat sehingga "tidak ada gangguan lagi dan jadilah agama itu hanya untuk Allah" (QS. 2:193).

Ini merupakan langkah-langkah yang dianjurkan untuk menghentikan kerusakan yang menyebar di masyarakat secara keseluruhan dan meluruskan kesalahan-kesalahan kaum lemah di tangan orang-orang yang melakukan perbuatan amoral yang ingin mengalahkan tujuan-tujuan ilahi di muka bumi ini. Penggunaan kekerasan, sejauh Quran terlibat, bersifat defensif dan terbatas pada tindak pelanggaran antar sesama manusia.

Bagi Quran, menekankan strategi defensifnya dalam menangani persoalan pelanggaran yang disebabkan oleh penolakan manusia terhadap Tuhan adalah penting. Kategori jihad menurut Quran yang saya buat dengan makna jihad sebagai jihad yang sangat defensif didasarkan pada tidak adanya keterangan jihad ofensif di dalam Quran, yakni, jihad yang dilakukan untuk mengubah agama seluruh umat manusia menjadi agama Islam.

Bagaimanapun, ketika perkembangan sejarah hubungan antara Islam dan kekuasaan meningkat, para ahli hukum Islam menganggap prinsip Quran yang sangat jelas mengenai perang defensif digugurkan oleh ayat yang dinamakan sebagai "ayat pedang' (QS. 9:5) tentang pernyataan perang terhadap orang-orang kafir, "...bunuhlah mereka di mana saja kaum dapati mereka dan tawanlah mereka, kepunglah mereka, dan tunggulah mereka di tiap-tiap tempat penjagaan."

Mereka menegaskan bahwa perang wajib dilakukan kaum Muslimin, bahkan ketika orang-orang kafir tidak memulai peperangan. Penyesuaian praktik ini dengan praktik historis jihad bukan keputusan para ahli fikih yang umum. Ketika pasukari kaum Muslimin berhasil melakukan penaklukan-penaklukan fenomenal pada abad ke tujuh, para ahli fikih mulai menerapkan istilah jihad pada tindakan militer dan usaha untuk memperluas wilayah Islam melalui perluasan wilayah negara Islam.

Bagaimanapun, Islam tidak berhenti melaksanakan tugas untuk membela diri dari serangan musuh. Quran memberi kemungkinan dilakukannya jihad ofensif ketika Nabi harus berjuang untuk menciptakan tatanan masyarakat yang ideal. Pada bagian ini, jihad menjadi sebuah perjuangan ofensif untuk mewujudkan impian tatanan dunia Islam.

Perlunya jihad ofensif sebagai suatu alat menciptakan tatanan dunia Islam, meningkatkan ketegangan antara toleransi yang dianjurkan dalam persoalan-persoalan berkaitan dengan takdir agama manusia, dan respon aktif yang harus dilakukan terhadap orang-orang kafir yang melakukan penganiayaan terhadap kaum muslimin. Perkembangan kekuatan politik Islam yang memberikan pembenaran dilakukannya perang untuk memperluas wilayah, bergantung pada bagaimana kita menafsirkan ayat Quran yang membahas tentang perang terhadap orang-orang kafir yang mengancam. "tidak ada gangguan lagi dan jadilah agama itu hanya untuk Allah" (QS. 2: 191).


Jihad di Era Modern

Pada sejarah saat ini, seruan jihad terdengar dari para pemuka agama dan juga para pemimpin sekular. Di satu waktu, perang dilakukan untuk melawan serangan atau dominasi eksternal, dan di waktu lain perang dilakukan untuk melawan musuh-musuh internal negara Islam. Penerapan kata jihad untuk perang kemerdekaan nasional atau pemberontakan internal di kalangan negara-negara Islam memunculkan persoalan serius mengenai tidak sesuainya penerapan sanksi agama jihad.

Sejumlah ulama Muslim mempertanyakan rumusan yuridis pramodern tentang jihad dan menyatakan bahwa rumusan tersebut tidak sesuai dengan norma-norma internasional yang mengatur hukum perang. Pada saat yang sama, beberapa ulama Muslim membantah bahwa, anteseden tradisi perang yang adil, yang berkaitan dengan keseimbangan dan diskriminasi di dalam perang, yang kemudian membantu berkembangnya hukum humanitarian, menyatu dalam konsep jihad Islam.

Fokus pembahasan hukum pramodern tentang jihad adalahjus in bello "• artinya berkaitan dengan prinsip-prinsip diskriminasi (tidak adanya kekebalan hukum bagi orang-orang yang terjun ke medan perang) dan penggunaan kekerasan yang proposional dalam perang. Legalitas "• jus ad bellum "• keterlibatan dalam perang dianggap sebagai hal yang tak dapat dipungkiri berdasarkan kecenderungan sejarah yang menunjukkan bahwa jihad adalah perang untuk mempertahankan diri, juga untuk memperluas wilayah. Di pihak lain, fokus para penulis modern, hanyalah jus ad bellum, dengan perhatian yang lebih sedikit pada tindakan perang. Kurangnya perhatian pada jus in bello menimbulkan persoalan serius mengenai etika perang dalam kesesuaian jihad di era modern.

Saat ini jihad sebagai sanksi ilahi yang mengandung arti berperang melawan musuh, memberikan justifikasi dilakukannya perang untuk alasan yang benar-benar bersifat politis tanpa mempedulikan batasan pada cara- cara perang.

Cara-cara yang sangat menekankan kriteria jus ad bellum sehingga meruntuhkan jus in bello, yang membentuk fokus utama pembahasan jihad klasik dan berfungsi untuk menjustifikasi perang sebagai alat memperluas hegemoni umat Islam, telah menjadi pembenaran bahkan atas digunakannya terorisme dan tindak kekerasan individu terhadap orang- orang yang dianggap "musuh."

Istilah jihad, dengan sejarah yang panjang dan kompleks di dalam Islam sebagaimana juga interaksinya dengan kekuatan politik, telah digunakan dan disalahgunakan untuk menjustifikasi kekerasan tak berujung yang telah mengganggu negara-negara di Timur Tengah.

Seringnya penyalahgunaan istilah jihad oleh para pemimpin agama, membuat para pengamat Barat menganggap jihad pada dasarnya adalah "perang suci," dengan akibat bahwa hubungan internasional umat Islam akan terus menerus menjadi pemicu konflik karena, sebagai kewajiban agama memerangi kekuatan kekafiran dan kesombongan (harb al-kufar) yang mengancam, jihad akan terus menentukan hubungan dunia Islam dengan dunia non-Islam. Tetapi jihad juga telah digunakan untuk membicarakan konflik di antara "negara-negara yang bersaudara" dalam "keluarga" (al-bughat), dan tentunya, jihad ini tidak sama dengan jihad dalam berperang melawan non-Muslim.

Tambahan bagi kerumitan istilah ini dan fakta jihad yang beragam di dalam sejarah Islam adalah penafsiran perang antara dunia Islam dan Kristen yang telah terbentuk sebelumnya dan secara historis telah berurat akar, yang terus di anggap penting dalam pemahaman dunia Barat tentang jihad.

Sebagian besar usaha dunia Barat untuk menjelaskan budaya kekerasan di dunia Islam, mengkaitkan budaya ini dengan istilah jihad yang sesuai dengan makna "perang suci" dan hal demikian bagi tujuan politis Islam adalah memperluas "wilayah Islam" (dar al-Islam), yakni, perluasan teritorial yang dilakukan negara Islam, dengan menghapuskan "wacana perang" (dar al-harb), yakni penaklukkan wilayah. Dua frase tersebut, sebagaimana yang dibantah para penulis ini, menyoroti dasar teologis keyakinan agama Islam tentang pembentukan kerajaan Islam yang pada akhirnya harus menaklukkan dan menguasai negara-negara non-Islam.

Penilaian jihad yang demikian adalah ekstrem dan didasarkan pada serangkaian sumber teologis-yuridis yang sempit yang merespon pada sejarah empat belas abad silam yang sebenarnya dan yang dikehendaki. Pengungkapan doktrin secara teologis-yuridis dan isu-isu legal seputar jihad, di samping interpretasi modern yang dibutuhkan oleh perubahan monumental bagi dunia Islam sebagai kolonialisme, dan respon-respon terhadap modernitas dan terhadap dunia barat, mengharuskan kita untuk berhati-hati dalam mengkaitkan warisan masa silam dengan respon-respon umat Islam saat ini terhadap penindasan dan serangan yang dilancarkan oleh umat Islam dan non-Islam.

Meskipun demikian, dengan meningkatnya pengaruh ekstremisme agama selama tiga dekade silam, adalah mungkin bagi kita untuk membicarakan pengaruh sebuah pasal agama dalam menangani pemimpin- pemimpin zalim pada konflik-konflik yang sedang berlangsung di dunia Islam, baik konflik tersebut melibatkan negara-negara Islam atau non-Islam dengan pemimpin zalim yang sedang berkuasa. Para pemimpin ini dianggap sebagai pengikut sistem jahiliyah pra-Islam "• periode yang dianggap tidak bertuhan menurut orang-orang yang ekstrem beragama ini.

Keyakinan yang dapat dieksploitasi untuk membangkitkan konflik tak berujung adalah keyakinan yang mempertahankan superioritas Islam dan menganggap agama Islam sebagai agama yang sempurna dan yang menggugurkan agama-agama pra-Quran seperti Yahudi dan Nasrani. Makna superioritas moral-spiritual ini tidak hanya memicu konflik antaragama, tetapi juga menimbulkan justifikasi-justifikasi agama yang menipu untuk terjadinya saling pengutukan dan memicu konflik hebat dalam hubungan antar keyakinan agama di antara Sunni dan Syiah.


Agama Sempurna yang Akan Menggantikan Semua Agama Lain

Perdebatan seputar peranan gagasan agama yang menimbulkan konflik hebat di seluruh dunia ini masih terus berlangsung. Dalam konteks Islam, pengamatan saya sendiri membuat saya berkesimpulan bahwa agama dan keyakinan beragama merupakan sumber dari banyak aktivisme di dunia Islam. Pada konflik-konflik yang paling kini, seperti di Bosnia dan Chechnya, seruan orang-orang untuk berjihad sering menjadi referensi tentang dunia di mana umat Islam semakin berada di bawah ancaman fisik pemerintahan dan kelompok non-Islam. Anti modernisme sangat terdengar kerasdi dalam seruan beragama.

Hal yang sangat berkaitan dengan diskursus anti-modernitas adalah argumen teologi menentang dunia Barat, khususnya Amerika Serikat. Menurut John Kelsay, "Momentum pemikiran Islam tentang keadilan dan perang mengarah pada sebuah penekanan kepedulian jus ad bellum sebagai otoritas yang benar dan alasan yang tepat, dan akhirnya pada diskusi bagaimana konsepsi alam dan takdir manusia menentukan sebuah kerangka pembahasan perang."

Pentingnya keyakinan beragama dalam menimbulkan konflik di kalangan "ahli kitab" tidak dapat dipandang sebelah mata. Sumber banyak konflik hebat di kalangan umat Islam adalah keyakinan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang akan mendominasi semua agama lain yang ada sebelum Islam. Pembatasan bahwa keselamatan hanya ada di satu agama, menjadikan tidak adanya pluralitas agama dan umat, dan menyebabkan toleransi atas prinsip hidup berdampingan secara damai.

Keyakinan para orang-orang eksklusif menjadikan tidak adanya prinsip hidup berdampingan secara damai di kalangan komunitas yang berbeda keyakinan dan di dalam komunitas itu sendiri. Penegakan Dar al-Taqrib bayna al-Mazahib (Kerukunan di antara Beragam Mazhab Pemikiran) di Kairo, Mesir serta Qum, Iran, memiliki satu tujuan yaitu, untuk memahami perbedaan di antara mazhab pemikiran Islam yang beragam dan menggalang dialog yang berarti antara mazhab Sunni yang mayoritas dan Syiah yang minoritas.

Namun, para ekstremis di kedua pihak menganggap bahwa usaha untuk mendamaikan Syiah dan Sunni tiada lain adalah persetujuan terhadap monopoli salah satu mazhab atas kebenaran beragama. Apabila doktrin para eksklusif ini diterapkan untuk menentukan hubungan antarkeyakinan beragama, hal tersebut berpotensi untuk merusak hubungan yang damai di antara umat yang berbeda keyakinan.

Akibatnya, adalah penting bila dilakukan penyelidikan mendalam tentang gagasan agama sempurna yang mengalahkan semua agama yang lain "• gagasan yang diambil oleh para ekstrimis pada hadis mana pun untuk menghilangkan harkat "manusia lain" yang beragama.

Gagasan bahwa Islam merupakan agama yang sempurna dan agama terakhir berdasarkan garis agama Nabi Ibrahim as bersumber dari Sunnah. Kita mungkin bahkan mengira, gagasan bahwa Islam adalah satu-satunya agama monoteis yang memberi jaminan keselamatan yang pasti di akhirat, merupakan bahasa Quran. Karena Quran sendiri memandang dirinya sebagai sesuatu yang menegaskan bukan mengubah pesan utama agama Ibrahim yang mendahului agama ini secara kronologis. Yang lebih penting lagi, Quran memandang dirinya sebagai wahyu terakhir dalam proses petunjuk Ilahi yang sedang berlangsung sejak bumi didiami oleh manusia-manusia pertama, yakni Adam as dan Hawa as.

Dengan demikian, Quran tidak membahas isu pengguguran atau perubahan agama-agama Ibrahim sebelumnya seperti Nasrani dan Yahudi, dan tidak menganjurkan untuk melakukan kekerasan para pengikut agama ini. Sebaliknya, Quran memberi jaminan keselamatan kepada agama-agama Ibrahim, yang doktirn utamanya dimiliki Islam.

Berkenaan dengan ketegangan yang terus memanas di dalam hubungan antaragama dan sesama umat satu agama di negara-negara seperti Sudan, Pakistan dan Afghanistan, persoalan yang sangat penting tentang cara agama menjawab keragaman respon manusia terhadap dorongan beragama, perlu diangkat ke permukaan. Bagaimana agama-agama menangani orang-orang yang tidak berbagi keselamatan?

Pertanyaan mi juga harus membuat kita meneliti cara-cara di mana ruang publik dinegosiasi dan dikendalikan oleh umat yang agamanya dominan. Selain itu, agama harus mengungkap strategi yang dipakai dalam agama yang berkuasa seperti Islam untuk mengatur hubungan legal-etis dengan kaum minoritas non-Muslim di negaranya dan menjaga hubungan internasional dengan negara luar. Pembenaran jihad secara teologis-yuridis melawan dunia non-Islam diberikan oleh ahli fikih yang berharap bahwa seluruh dunia akan menjadi "negara Islam."

Teais utama saya pada makalah ini adalah bahwa diskursus yuridis-telogis Islam dinyatakan untuk membenarkan pernyataan tentang penaklukan pasukan-pasukan umat Islam bahwa "Islam sebagai satu-satunya agama yang benar di sisi Allah (QS. 3: 19) dan satu-satunya agama yang diridhai Allah Swt (QS. 3:85), memberi perintah yang telah ditentukan Allah untuk melakukan jihad perang dalam konteks masyarakat yang berhasil dan berkuasa secara politis dan sosial.

Interaksi antara gagasan bahwa Islam sebagai agama universal bagi seluruh umat manusia dan dominasi kekuatan politik Islam, menciptakan bahasa hukum tertentu yang memberi pembenaran untuk meluaskan konsep jihad melampaui batas makna jihad di dalam Quran, dari makna jihad defensif menjadi jihad ofensif untuk mewujudkan sebuah tatanan politik Islam yang dominan.

Diskursus hukum Islam di wilayah jihad menjadi sebuah diskursus menyeluruh yang melegitimasi, membenarkan dilakukannya jihad sebagai tugas yang telah ditetapkan ilahi, dengan anjuran untuk memperluas wilayah kekuasaan Islam, meyakinkan para pejuang Muslim tentang pahala yang akan mereka terima di dunia ini dan di dunia yang akan datang karena telah memenuhi kewajibannya untuk berjuang di jalan Allah Swt.

Dan meskipun kita dapat mengamati usaha untuk menghasilkan keseimbangan antara legitimasi konservatif dan aspirasi yang digerakkan oleh semata-mata kesetiaan pada ajaran leluhur atau kecenderungan sebuah budaya hukum, seringkali diskursus ini cenderung didasarkan pada pemahaman yang tidak sempurna atas sebuah realitas atau perubahan keadaan yang memerlukan sebuah respon praktis atau fungsional. Maksud "praktis" di sini adalah kecenderungan untuk menilai apa yang sebenarnya mudah dilakukan, sedangkan maksud "fungsional" di sini adalah sebuah pandangan yang berorientasi pada fungsi potensial menjaga aturan Islam. Contohnya seorang ahli hukum Islam menulis bahwa kondisi kedamaian yang permanen di antara umat Islam dan umat non-Islam mungkin tidak ada, dan umat non-Islam harus diperangi sedikitnya sekali dalam setahun.

Ahli hukum ini mungkin meyakini bahwa hal ini menjelaskan sebuah praktik sebenarnya atau bahwa hal ini menjawab sebuah kepedulian praktis. Tetapi pemahaman ahli hukum yang tidak sempurna akan realitas atau perubahan keaadan mungkin mengungkapkan bahwa, lebih dari yang lain, pernyataan ini secara fitrah merupakan anjuran, yakni, bahwa hal ini menformulasikan apa yang diinginkan. Tetapi, apabila aturan tersebut didasarkan pada penyimpulan sebuah konteks yang menimbulkan sebuah realitas politik dan sosial, maka ini merupakan aturan fungsional untuk mencapai hasil yang spesifik.

Apabila umat non-Islam tidak berperang dengan umat Islam, atau apabila menyerang umat non-Islam sekali setahun tidak akan mengakibatkan perasaan takut dalam diri umat non-Islam, maka aturan tersebut semata-mata merupakan teori yang menanti untuk diterapkan. Di pihak lain, apabila pernyataannya merupakan anjuran moral, maka tanpa mempedulikan konsekuensi akibat-akibatnya, aturan tersebut tetap sah, dan kaum non-Muslim, sebagaimana yang diinginkan pembuat hukum, harus diperangi sedikitnya satu kali dalam setahun.


"Seorang Nabi bagi Seluruh Umat Manusia"

Fatwa yang mengingatkan kaum muslimin tentang kewajiban mereka untuk berjihad di era modern menunjukan pergeseran penting cara aturan klasik berperang memerangi kaum non-Muslim, ditentukan. Ketika diskursus yuridis klasik, mencenninkan bagaimana para ahli hukum Muslim berkeinginan besar untuk memberikan justifikasi untuk berjihad memerangi kaum non-Muslim sebagai bagian dari aktivitas yang telah ditetapkan ilahi untuk menyatukan seluruh umat manusia di bawah kekuasaan Islam, fatwa modern menyeru untuk melakukan pertahanan yang radikal terhadap agresi Barat yang menyerang umat Islam.

Aturan klasik ditegakkan ketika kaum Muslimin berkuasa dan ketika penekanan pada doktrin eksklusif yang dirancang dari ayat Quran, lebih jelas terlihat dalam istilah politik. "Kami tidak mengutus engkau (Wahai Muhammad), melainkan bagi seluruh umat manusia (kaffatu'nnas) dengan membawa berita gembira dan peringatan." (QS. 34:27).

Berdasarkan diskursus yuridis klasik, batasan yang diatur untuk dilakukannya perang kepada umat Islam dan kepada kaum umat non-Islam tidak sama. Apabila umat Islam berperang dengan sesama umat Islam lainnya, maka ada aturan mengikat yang tidak harus diterapkan ketika umat Islam memerangi umat non-Islam.

Apabila Umat Islam saling berperang, tawanan dan orang-orang yang terluka tidak boleh dibunuh. Para tawanan umat Islam tidak boleh dipenggal atau diperbudak. Anak-anak dan wanita tidak boleh secara sengaja dibunuh atau dipenjarakan. Para lelaki Muslim yang dipenjara harus dibebaskan setelah perang atau bahaya perang yang berkelanjutan, berakhir. Lebih-Iebih lagi, strategi pembunuhan secara massal tidak boleh digunakan kecuali sangat diperlukan. Pada dasarnya, umat Islam dilarang untuk saling berperang.

Jika demikian, mereka dianggap telah melakukan dosa besar. Para ahli hukum secara umum berhati-hati terhadap dosa melakukan kecerobohan dan pemberontakan melalui kekerasan menentang penguasa zalim. Adalah penting untuk menekankan bahwa para ahli hukum Islam menggantungkan penanganan pejuang Islam yang berperang pada kesalahan moral orang-orang yang menyebabkan keresahan sosial, tetapi sebagian besar usaha mereka ditekankan pada moralitas perbuatan, bukan moralitas tujuan.

Mengenai persoalan yang berkaitan dengan perang melawan umat non-Islam, legalitasnya tidak dibahas karena doktrin wahyu Islam terakhir dan keuniversalannya bagi seluruh umat manusia dianggap sebagai sebuah pemberian. Para ahli hukum Islam menyerahkan otoritas kepada penguasa uniuk merundingkan hubungan dengan kekuatan-kekuatan negara lain, dengan memperhatikan perlindungan umat Islam dan agama Islam yang ada di bawah kekuasaan mereka.

Bagaimanapun juga, aturan mengenai tindakan perang sangat tidak sama dengan aturan yang diterapkan terhadap para pemberontak muslim yang berperang memerangi penguasa negara Islam yang zalim. Seluruh batasan yang benar yang berlaku pada sesama umat Islam "satu saudara" memerangi umat Islam lainnya, dijelaskan untuk tindakan perang yang dilakukan untuk memerangi umat non-Islam yang kepada mereka para ahli hukum mengkaitkan tingkat kesalahan moral.

Dibandingkan rumusan-rumusan klasik ini, pernyataan jihad di era modern ini tidak hanya membantah justifikasi berperang melawan musuh- musuh dari Barat, tetapi juga menjustifikasi terorisme dan tindak kekerasan yang dilakukan seseorang terhadap musuh, penduduk sipil, atau sebaliknya, di mana pun mereka berada dunia ini.

Dengan demikian, Usamah bin Ladin, pemberontak Saudi, dalam fatwanya tahun 1998 membenarkan tindakan teror terhadap Amerika serikat berdasarkan kebijakan agresi Amerika terhadap Islam secara umum, dan dukungan Amerika dari rejim Arab Saudi yang korup. Ia menganggap jihad sebagai kewajiban individu (fardh 'ayn), yang harus dilakukan oleh semua lelaki Muslim dan bukan semata-mata kewajiban kolektif, di mana, apabila telah dilakukan oleh sejumlah orang yang mencukupi, kewajiban tersebut akan gugur bagi orang lain.

Bin Ladin membantah lebih jauh lagi bahwa terorisme merupakan kewajiban yang sah dan secara moral diharuskan sepanjang kekuatan anti Islam menenteng senjata di negeri-negeri Islam, terutama di tempat-tempat suci Islam. Argumen bahwa terorisme sebagai cara perang yang sah, meyimpang dari aturan klasik yang menganggap etika perang sebagai bagian penting dari jihad.


Kemelut Penafsiran Jihad dalam Islam untuk Perdarnaian Dunia

Saat ini, pantaslah bagi kita untuk membicarakan tentang masalah pencarian keterangan dan penafsiran tentang aturan jihad. Di dunia bernegara ini, dimana hubungan internasional dilakukan tanpa mempertimbangkan kaitan agama (sedikitpun) negara-negara anggotanya, diskursus tentang jihad di kalangan kelompok-kelompok ekstrimis meningkatkan sikap tidak kompromi yang mengakibatkan semua kesempatan negosiasi damai, secara praktis mustahil.

Untuk menjelaskan secara terperinci seriusnya masalah yang diciptakan oleh pencarian informasi tentang aturan jihad masa silam yang selektif dan penafsiran yang dilakukan oleh para pemimpin pergerakan radikal, yang kurang latihan penting dalam mengkontekstualisasi aturan masa lalu untuk menyelidiki keefisienannya di era modern, telah menyebabkan penderitaan tak terkira yang dialami oleh penduduk sipil tak bersalah yang terjebak dalam situasi perang. Para ahli hukum Islam mengikuti prinsip tertentu dalam menyelidiki apakah aturan institusi seperti jihad, yang melegitimasi dan memberi batasan moral tindakan perang, memiliki kaitan di tatanan dunia baru saat ini.

Ada tiga langkah dasar yang harus dilakukan untuk menghasilkan aturan baru mengenai "wacana perang" saat ini:
1. Penyelidikan Ushul, sumber dasar, seperti Quran dan Sunnah yang memberi pernyataan langsung atau tak langsung yang menjelaskan atau mendefinisikan "wacana perang" dan batasan-batasannya;
2. Penyelidikan masalah furu', paradigma, kasus-kasus yang dapat membimbing para ahli hukum untuk menentukan hasil legal-etis kasus saat ini;
3. Penyelidikan masalah mawadhhu'at, objek, atau situasi yang mungkin memiliki kesamaan dengan beragam kasus-kasus paradigma, untuk memahami "situasi-situasi" yang berubah dan ketetapan yang dapat didasarkan padanya untuk menentukan apakah "wacana perang" saat ini dapat dijelaskan dengan cara yang sama seperti masa silam.

Ahkam, aturan, dapat diperoleh hanya setelah ketiga langkah di atas dilakukan dalam penyelidikan untuk menuntun pemberlakuannya saat ini.

Metode tradisional pengambilan keputusan yang baru, telah meningkatkan persoalan fundamental yang berkaitan dengan penentuan konteks "situasi" jihad terhadap pemberontak dari umat Islam dan non-Islam. Pertama-tama, jelaslah bagi para ahli hukum di pusat-pusat tradisional (yang sangat dikritik oleh kaum radikal) bahwa umat Islam tidak bernaung di bawah negara Islam.

Oleh karena itu, istilah legal yang digunakan untuk membagi dunia dalam "dar al-Islam" dan "dar al-harb" tidak lagi ada di era modern.

Penggunaan istilah "dar al-Islam" bagi negara Muslim mana pun secara hukum bermasalah. selain itu ketika terjadi perang Iran-Irak dan perang semenanjung Persia, perang di antara mereka tidak dapat dinyatakan sebagai jihad, karena dalam kedua kasus, penggunaan jihad secara retoris tidak mengandung istilah yang bermakna.

Dengan demikian, aturan klasik dan terminologi yang digunakan dalam klasifikasi jihad terbukti tidak relevan. Perlunya menyelidiki perubahan situasi sebelum menyatakan keputusan legal yang mempengaruhi status negara-negara Islam, sampai sekarang bahkan masih diperdebatkan. Peranan para ahli hukum Islam dalam membenarkan legalitas jihad di dalam "saudara seagama" ditolak aturan masyatakat internasional di mana Islam tidak lagi menjadi faktor penentu dalam menyelesaikan konflik secara damai.

Warisan jihad klasik atau intepretasi jihad kontemporer yang radikal sebagai alat untuk mencapai tujuan politik kelompok ekstremis, terbukti tidak dapat memberikan solusi pada kepedulian terhadap kedamaian di antara masyarakat Islam sendiri di negara Islam.

Prasyarat penyelidikan keadaan rasional individu dalam konteks situasi pada penyelidikan keadaan legal Islam, menjadikannya penting bahwa orang-orang harus terlibat dalam menyatakan kepedulian mereka terhadap semua persoalan yang berkaitan dengan kesejahteraan sosial dan politik mereka. Sesuatu yang absolut dalam syarat ini adalah bahwa keputusan hukum apa pun tidak hanya berlaku bagi umat Islam tetapi juga bagi kaum minoritas non-Islam yang hidup di wilayah Islam sembari mengijinkan orang-orang untuk menjalankan hak mereka dalam memutuskan kesejahteraan umum di masyarakat.

Tetapi, pemberian status minoritas beragama yang dilindungi (ah al-dzimmah) hukum, yang memberi status swatantra yang sah kepada kaum minoritas, diperoleh dari sudut pandang ideologi superioritas masyarakat Islam. Dalam menangani negara-negara Nasrani dan Yahudi, Quran tidak mengakui paham egalitarianisme monoteis.

Di balik konsep ahl al-dzimmah; ada teologi supersesionis ulama Islam di mana bentuk monoteisme satu satunya adalah agama Islam. Selain itu, karena keyakinan agama ini, pengakuan institusi atas persoalan bahwa orang-orang ini adalah komunitas agama yang secara spiritual dan moral rendah, menjadi faktor utama dalam menghancurkan objek-objek dan situasi-situasi yang menyatukan, yang secara perlahan akan mengarah pada terciptanya masyarakat sipil egaliter di dunia Islam.

Perlu ditekankan bahwa mayoritas aturan diskriminasi terhadap umat non-Islam berasal dari keterangan prinsip yuridis bahwa "mencegah sumber penyebab kerusakan cenderung membawa sesuatu yang menguntungkan" (dar' u al-mafasid muqaddam 'ala jalb al-mashalih). Prinsip yuridis ini dan prinsip lain yang sama dirancang untuk mengatur hubungan antar manusia di dalam hukum dan lebih sering diinginkan untuk mengekang hak minoritas untuk dapat berfungsi sebagai warga negara penuh di masyarakat Islam.

Teologi supersesionis, meski demikian, memandang selintas pada keputusan yuridis yang dibuat berkaitan dengan para pengikut agama monoteis lainnya menunjukkan bahwa, para ahli hukum Islam berhasil mengikuti kehendak Quran dalam menegaskan hak-hak individu seluruh pengikut agama Ibrahim berdasarkan kesamaan Tuhan. Dan, meskipun umat Islam memiliki otoritas di dalam masyarakat, hukum dibuat untuk menghormati dan memberi perlindungan kepada kaum minoritas, yang belum pernah terjadi sebelumnya di negara Islam.


Kesimpulan

Saya akan menyimpulkan makalah ini dengan mengatakan bahwa bagian kumpulan yuridis "Kitab al-Jihad" (Kitab Jihad) terus melakukan pengaruh yang besar sesuai dengan cara dunia Islam memahami kaitannya dengan non-Islam "lain."
Kita tidak dapat mengabaikan akibat dari pernyataan agama yang termaktub pada aturan hukum dan pada hadis- hadis secara umum dalam rumusan kebijakan yang mempengaruhi hubungan kaum Muslim dan non-Muslim. "Kitab al-Jihad" dalam hukum Islam mana pun merupakan sebuah kunci pada pemahaman kita tentang cara di mana masyarakat Islam mengaitkan dirinya kepada dunia secara keseluruhan, termasuk kepada kaum minoritas yang ada di dalam wilayahnya. Apabila ada, aturan tersebut merupakan rasionalisasi jihad dalam hukum yang menunjukkan interaksi antara teologi dan politik dalam bentuk yang paling luar.

Dalam analisis saya yang terakhir, mustahil ada pemahaman hubungan Islam-Kristen atau Islam-Yahudi tanpa pemahaman teologi supersesionis yang mencukupi dan pengaruh perlakuan umat Islam terhadap minoritas agamanya. Pengakuan pluralisme agama dalam Islam selalu ditentukan baik oleh pernyataan orang-orang absolut atau relatif bahwa Islam merupakan jalan "satu-satunya" yang diridhai. Dan para ahli hukum Islamlah yang telah membuat penafsiran yang satu atau yang lain berlaku, bergantung pada evaluasi mereka terhadap ancaman yang menimpa Islam dan umatnya.

*. Diterjemahkan oleh Sri Dwi Hastuti dari "From Defensive to Offensive Warfare: The Use and Abuse of Jihad in the Muslim World" dalam www.people.virginia.edu/~aas/
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: