Oleh: Muhammad Legenhausen
Hukum Islam atau syariat memiliki beberapa fungsi, dan fungsi-fungsi tersebut telah mengalami perubahan dari abad ke abad. Bahkan dalam satu kurun waktu tertentu, syariat bisa memainkan berbagai macam peranan bagi komunitas umat Islam yang berbeda-beda.
Di sepanjang abad pertengahan, syariat bukan hanya berfungsi menjelaskan ketentuan-ketentuan dalam ibadah ritual, namun juga undang-undang hukum pidana, hukum dagang, dan menjadi semacam hukum internasional di antara negara-negara Islam. Yurisdiksi hukum perdata Islam seringkali mendapat tantangan dari hukum yang lain: yakni hukum yang ditetapkan oleh para khalifah, amir, dan sultan. Selain para qadi (hakim), yang menetapkan dan menjalankan hukum sesuai dengan syariat, para khalifah juga memiliki ahli-ahli hukum yang mengurusi hal-hal di luar syariat, yang banyak menjatuhkan hukuman dan menetapkan berbagai macam pajak.[1]
Namun demikian, hukum Islam masih tetap memegang peranan utama. Jika penguasa menetapkan hukum yang menyimpang dari syariat, maka mereka akan menghadapi tantangan dari para ulama.
Ketumpangtindihan seperti ini juga terjadi pada hukum Islam dengan hukum-hukum yang lain. Misalnya, biasanya hukum Islam bisa memaklumi berlakunya kebiasaan atau hukum adat dalam masyarakat. Hal inilah yang sering menjadi bahan perdebatan di kalangan ulama, apakah kebiasaan (adat) yang berlaku dalam suatu masyarakat itu bisa dicari rujukannya dengan apa yang pernah berlaku di masa Rasulullah Saw.
Dengan berkurangnya kekuasaan para khalifah dan mulai masuknya kekuatan kolonial ke wilayah-wilayah Islam, juga mulai berdirinya negara-negara Islam gaya baru, pemberlakuan syariat mulai dipersulit. Sebagai akibatnya, umat Islam bereaksi dengan berbagai cara. Sebagian di antara mereka ada yang disebut kalangan modernis.
Salah satunya adalah seorang ahli teologi Mesir yang bemama Muhammad Abduh (w. 1905). Ia menyatakan bahwa hukum Islam perlu ditafsirkan ulang dan direvisi untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern. Kalangan lain memilih untuk menerapkan hukum Islam secara tradisional namun dalam konteks kehidupan negara modern.
Namun demikian, baik kalangan konservatif maupun reformis sepakat untuk menolak penggantian hukum Islam dengan hukum kolonial dan sekuler. Mereka semua yakin bahwa hukum Islam, baik yang sudah dipoles dengan pembaharuan atau yang masih dipertahankan pola tradisionalnya, bisa dan harus diterapkan dalam kehidupan masyarakat Islam modern.
Keyakinan inilah yang menjadi satu- satunya aspek pemersatu gerakan-gerakan Islam yang berkembang pada periode akhir kolonialisme, misalnya yang dipimpin oleh Jamal al-Din al- Afghani (w. 1896), Maulana Maududi (w. 1979), Hasan al-Banna, dan Sayyid Qutb. Keinginan untuk menerapkan syariat Islam ini cukup berhasil mempersatukan umat Islam, sampai-sampai gerakan kebangkitan (revivalisme) yang mereka dengungkan itu, secara sinis disebut sebagai "gerakan fundamentalis" oleh pers Barat.[2]
Kalangan yang tidak sepakat dengan gerakan kebangkitan ini berpendapat bahwa selain dalam hal ibadah ritual, hukum Islam sudah ketinggalan zaman. Hukum Islam bahkan dianggap sebagai sesuatu yang berada di tempat yang salah, yang telah habis masa berlakunya, yang menjadi penghalang bagi kemajuan dan pembangunan. Pandangan itu diterapkan dengan menggebu-gebu dalam pemerintahan Kemal Attaturk di Turki (1923-1938).
Namun demikian, tentu saja hal ini memperoleh tantangan keras dari mereka yang mengaku sebagai pembela Islam. Kalangan yang menentang revivalisme ini lebih menitikberatkan Islam pada dimensi pribadi dan ruhani. Mereka berpandangan bahwa satu-satunya cara penerapan syariat Islam secara tepat dalam masyarakat modern adalah menjadikannya sebagai penjabaran atas ibadah ritual.
Mereka juga berpendapat bahwa hukum internasional harus disahkan di Persatuan Bangsa-Bangsa; hukum dagang harus tunduk pada kebutuhan ekonomi internasional; dan hukum pidana ditetapkan untuk mencerminkan kepekaan moral kelompok-kelompok yang "tercerahkan" seperti Amnesti Internasional, para pencetus deklarasi hak asasi manusia, atau bahkan Uni Pembebasan Warga Sipil Amerika. Pada saat bidang hukum yang lain justru lebih kontroversial.
Hukum Keluarga, misalnya, merupakan cabang dari hukum yang dipersiapkan oleh pihak kolonialis untuk berhadapan dengan yurisprudensi kalangan tradisional muslim (fiqh). Sudah tentu bahwa umat Islam yang menentang gerakan revivalisme tetap akan menjalankan hukum keluarga sesuai dengan syariah.
Apapun pendapat orang tentang isu-isu tersebut di atas, jelas bahwa permasalahan itu adalah yang paling kontroversial dalam komunitas muslim dewasa ini. Dari kontroversi ini muncullah fungsi baru dari syariah, yang melebihi fungsi-fungsinya di masa sebelumnya.
Artinya, konsep yang mendasari seseorang disebut sebagai muslim dan syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi muslim akan dihubungkan dengan pemahamannya dan sikapnya terhadap hukum Islam. Dalam Islam, kedudukan manusia dan tanggung jawabnya pada Tuhan dan manusia yang lain lebih banyak diatur dalam syariat daripada dalam teologi.
Selanjutnya, ada dua pertanyaan penting yang terus menjadi bahan perdebatan, yakni yang berkenaan dengan cakupan dan isi hukum Islam tersebut. Masalah yang berhubungan dengan cakupan adalah bidang mana saja yang menjadi yurisdiksi hukum Islam.
Apakah dikaitkan dengan kepatuhan seseorang dalam menjalankan ibadah ritual, ataukah hukum yang mengatur goal pertanahan, urusan pemerintah, hubungan internasional, atau sistem hukum pidana?
Sedangkan yang berhubungan dengan materi berkenaan dengan apa yang sebenarnya digariskan oleh hukum Islam. Apakah yang dimaksud dengan syariat itu adalah yang disusun oleh para hakim di masa pertengahan, atau penafsiran terhadap hukum Islam yang dilakukan oleh para reformis kontemporer? Yang mana di antara keduanya yang dianggap sebagai yang paling sesuai dengan perintah Allah?
Masalah cakupan dan isi ini seringkali dicampuradukkan, karena hasil penafsiran yang dilakukan oleh para reformis kadang-kadang hanya sedikit berbeda dengan hukum sekuler. Ketika mereka menganjurkan perlunya penerapan hukum Islam, maka pandangan mereka lebih mendekati hukum sipil Eropa dibandingkan dengan apa yang telah disusun oleh para fuqaha. Jika seperti itu pandangan seseorang terhadap hukum Islam, maka perbedaan antara penerapan hukum Islam yang telah diperbaharui dan penggantian hukum Islam dengan hukum sipil Eropa tadi hanya sebatas teori saja.
Tentu saja tidak semua reformasi dalam memahami hukum Islam bisa dianggap sebagai usaha terselubung yang dilakukan untuk menggantikan hukum Islam dengan hukum Eropa. Banyak kritik dilontarkan terhadap penafsiran hukum Islam di masa lalu, bahkan dari kalangan ulama tradisional yang terkemuka. Syahid Baqir al-Shadr ra misalnya, menyarankan beberapa inovasi terhadap pemahaman dalam prinsip-prinsip yurisprudensi Islam (ushul fiqh).
Saran itu sangat berpengaruh di kalangan ahli hukum Syiah, namun beliau sama sekali tidak mau kompromi dengan semua yang berbau Eropa. Imam Khomeini qs juga memperkenalkan beberapa pembaharuan dalam pemahaman terhadap hukum Islam, dan yang paling terkenal adalah yang berkaitan dengan pemerintahan Islam.
Kategorisasi pemikir Islam ke dalam kelompok fundamentalis, modernis, atau kadang-kadang tradisionalis, bisa jadi menyesatkan. Pendekatan yang lebih simpatik terhadap klasifikasi tersebut bisa dihubungkan dengan cakupan hukum Islam yang dianjurkan dan jenis reformasi yang disuarakan. Di Iran, misalnya, di suatu masa ada suatu organisasi yang disebut dengan Anjoman Hujjatiyyah, yang mengajarkan kepatuhan yang ketat terhadap ketentuan hukum-hukum ritual tradisional.
Selain itu, mereka juga memutuskan untuk tidak turut serta dalam urusan politik sampai munculnya Imam kedua belas. Kelompok ini menerapkan hukum Islam dalam cakupan yang begitu terbatas selama masa Kegaiban Besar Imam Zaman. Namun demikian, yang mereka pertahankan nilai tradisionalnya adalah cakupan hukum Islam yang berkaitan dengan aspek-aspek ritual saja, di mana pembaharuan hanya diperlukan dalam porsi kecil.
Beberapa ilmuwan muslim kontemporer berpandangan sama. Mereka menganjurkan penerapan gaya liberal Barat dalam urusan politik di satu sisi, dan kepatuhan terhadap praktik ritual tradisional di sisi yang lain. Bagi yang akan membuat perbandingan dengan pemberontakan kaum Protestan dalam konteks Islam, pasti akan menganjurkan gerakan intelektual seperti itu sebagai pembuka jalan. Muslim yang berpandangan seperti itu bisa disamakan dengan kaum sekuler yang mendominasi dunia Barat.
Di sisi lain, ada orang-orang seperti Dr. Ali Syari'ati yang mengkampanyekan perluasan cakupan hukum Islam, yang berbeda dengan apa yang diajarkan oleh para ulama yang dididik di lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional (hawzah). Pandangan Syari'ati memungkinkan kita untuk melihat hukum Islam dalam cakupan yang komprehensif.
Namun hal ini bisa terjadi setelah hukum itu mengalami reformasi sesuai dengan jenis ideologi yang diperkenalkan oleh Syari'ati, dan yang kemudian membuatnya begitu populer. Jika pernah diformulasikan, maka reformasi ideologis terhadap hukum ini memiliki konsekuensi yang sangat berat.
Hal ini karena Syari'ati tidak sepakat dengan pendekatan tradisional terhadap fiqh, ataupun dengan jenis ketaatan sebagaimana yang bisa ditemukan dalam Mafatih al-Jinan, kitab doa kaum Syiah yang populer itu. Kemudian, jika kita kembali lagi pada Maududi, kita akan menemukan bahwa ia juga mengakui perlunya perluasan terhadap cakupan hukum Islam, walaupun ia akan menafsirkannya sedemikian rupa agar bisa memenuhi syarat berdirinya negara modern yang sebisa mungkin menyerupai kota Madinahnya Rasulullah.
Mereka yang memilih untuk membatasi cakupan hukum Islam tentu saja memberikan alas an atas pendirian mereka itu. Beberapa di antaranya, seperti para anjoman hujjatiyah, dengan alasan teologis menyatakan bahwa Islam tidak bisa memiliki cakupan yang luas selama masa Kegaiban Besar.
Perdebatan tentang hal inilah yang menjadi pokok perhatian karya Imam Khomeini tentang Pemerintahan Islam, yaitu Hukumat Islamiyyah. Syari'ati juga dengan terang-terangan menentang sikap pasif seperti itu. Ia mengibaratkan kelompok itu seperti kaum murjaiyyah, yaitu umat Islam yang menyikapi kesulitan yang melanda umat Islam setelah wafatnya Rasulullah dengan berlama-lama di masjid dan menenggelamkan diri dalam ibadah an sich.
Beberapa sufi palsu mengklaim bahwa urusan politik bisa diabaikan, dan bahwa seseorang yang akan menempuh jalan spiritual harus melepaskan diri dari politik. Berkenaan dengan hal ini, pertama-tama perlu dicatat bahwa justru sikap seperti itu merupakan distorsi terhadap jalan spiritual yang diajarkan Islam, baik yang dikenal sebagai tasawuf atau irfan.
Seorang salik, yang sedang menapaki jalan menuju Allah, hendaknya tidak bersikap abstain terhadap politik, namun menjauhi kekejian dan kerusakan yang begitu mendominasi arena politik dewasa ini. Dan lebih jauh lagi, seorang salik juga tidak selayaknya mengemukakan klaim spiritual apapun untuk memenuhi kepentingan politiknya.
Fungsi dari pemerintah dan segala urusannya harus tunduk pada syariat, sedangkan irfan merupakan jalan spiritual. Seseorang tidak boleh mengemukakan aspirasi politik dengan dalih irfan, demikian pula para arif tidak boleh menyatakan klaim apapun yang berkaitan dengan elemen di luar kerangka Islam dengan dalih mistisisme.
Walaupun tentu saja jika seorang sufi juga merangkap menjadi seorang ahli fiqh, ia bisa saja mengeluarkan keputusan resmi sebagaimana para fuqaha lainnya, namun hat ini harus didasarkan pada perannya dalam bidang fiqh, bukan pada posisi irfannya. Tentu gaia, menurut para "urafa dan sufi yang terkemuka, ketaatan pada syariat merupakan kualifikasi standar yang harus dipenuhi, seperti yang terungkap dalam slogan "Tidak ada tarikat tanpa syariat". Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah dari keduanya.
Semua aspek kehidupan, tak peduli betapa duniawi sifatnya, harus disucikan dengan cara menjadikannya sebagai sarana pengabdian (ibadah) kepada Allah. Jika syariat tidak dimaknai dalam cakupan yang luas, maka konteks proses penyucian diri dalam kehidupan yang dicari oleh para sufi akan hilang.
Kedua, walaupun dengan alasan apapun, jika ada orang yang mengatakan bahwa ia tidak berminat untuk berperan dalam politik, bukan lantas berarti hukum agama tidak memiliki konsekuensi atasnya. Ini bisa diibaratkan seperti jika seseorang memilih untuk tidak menjadi tukang daging, maka bukan berarti hukum agama tidak memiliki konsekuensi atas pekerjaannya itu. Konsekuensi hukum agama atas politik merupakan masalah fiqh, dan harus ditentukan oleh mereka yang berpengalaman dalam bidang itu, yakni para fuqaha.
Argumen yang lain muncul setelah adanya perbedaan pendapat tentang hukum. Karena tidak ada kesepakatan universal tentang interpretasi yang tepat atas hukum, maka timbul perdebatan apakah hukum harus dijalankan oleh badan yang terpilih secara demokratis.
Kesimpulan dari perdebatan ini melenceng dari premis awalnya. Berdebat dengan cara ini akan sama halnya dengan mengklaim bahwa karena tidak ada kesepakatan universal tentang hukum fisika tertentu, maka harus ada lembaga resmi yang menanganinya. Hukum Allah tidak bisa dilembagakan sebagaimana hukum fisika.
Perdebatan yang timbul mengenai hukum Allah itu, sebagaimana yang timbul dalam hukum-hukum fisika, harus diselesaikan melalui penelaahan yang seksama. Hal ini sangat penting, walaupun dalam hukum fisika telaah dilakukan dengan menggunakan bukti-bukti eksperimental dan telaah atas hukum Islam menggunakan bukti-bukti historis dan tekstual, dan ini berarti harus dilakukan oleh para ulama yang dididik khusus dalam bidang itu.
Sayangnya, dewasa ini, bahkan di dunia Islam, banyak orang yang begitu terpesona dengan ilmu pengetahuan Barat sampai-sampai mereka membayangkan bahwa sains yang mereka miliki itu dibangun di atas pondasi kokoh yang ditopang oleh pembuktian-pembuktian eksperimental dan terlepas dari pemikiran yang bersifat filosofis.
Namun demikian, memang hampir tidak ada konsensus berkenaan dengan filsafat pengetahuan, sejak merosotnya kepercayaan orang terhadap positivisme dan mulai munculnya keyakinan bahwa bukti eksperimental bukanlah standar yang cukup untuk mengevaluasi klaim-klaim yang bersifat teoritis. Akan tetapi hal ini tidak selalu berarti bahwa suatu pandangan tertentu sama bagusnya dengan pandangan yang lain. Perbedaan yang timbul di kalangan ahli fisika tentu berlainan dengan yang terjadi di kalangan para mujtahid.
Untuk menyelesaikan perbedaan yang timbul, pada keduanya diperlukan penelitian, analisis, dan argumentasi kritis terhadap semua klaim, penjelasan, dan pemahaman yang muncul. Keterlibatan dalam argumentasi dan penelitian atas hukum Islam inilah sebenarnya yang dimaksud dengan menjadi seorang mujtahid.
Kadang suatu perbandingan dilakukan terhadap klaim-klaim yang ditemukan dalam tradisi hermeunetik Barat dan literatur yang memuat teori-teori tentangnya. Dari sini muncul kesimpulan bahwa setiap teks mempunyai peluang untuk ditafsirkan secara beragam, dan oleh karenanya bacaan al-Quran dan hadis yang diajarkan oleh para ulama hanyalah salah satu penafsiran, yang bisa berarti lain bagi orang lain. Sampai di sini tidak ada kontroversi. Namun dari sini bisa disimpulkan bahwa pemahaman seseorang atas suatu teks al-Quran sama bagusnya dengan pemahaman orang lain.
Oleh karena itu untuk memahami al-Quran diperlukan suatu pendekatan yang demokratis. Kesimpulannya sangat tidak masuk akal. Mungkinkah kita melakukan voting untuk menentukan makna dari ayat-ayat yang kontroversial? Fakta bahwa suatu ayat bisa memiliki banyak makna bukanlah sesuatu yang harus dipelajari berdasarkan teoriteori dalam literatur Barat, karena ciri yang paling menonjol dari ajaran Islam adalah adanya berbagai tingkatan makna yang bisa diterapkan pada masing-masing ayat al-Quran. Fakta bahwa suatu ayat bisa ditafsirkan dengan berbagai makna bukan lantas berarti bahwa ayat tersebut tidak bisa menjadi landasan yang kuat bagi penerapan hukum Islam yang komprehensif.
Kemustahilan gerakan Protestantisme Islam menjadi semakin jelas ketika kita melihat sifat dari Reformasi Protestan dalan ajaran Kristen, dan mencermati perbedaan antara Kristen dan Islam. Kaum Kristen Protestan memprotes klaim yang dikeluarkan oleh gereja bahwa gereja merupakan satu-satunya sarana menuju Tuhan, karena hanya para pendetanya yang bisa melakukan sakramen dengan cara yang benar, agar orang bisa memperoleh pengampunan.
Sebaliknya, kaum Protestan mengklaim bahwa Roh Kudus bisa memberikan ampunan pada siapapun ketika ia dalam keadaan khusyuk. Selain itu mereka menekankan hubungan langsung dengan Tuhan dengan menerjemahkan kitab-kitab suci ke dalam bahasa-bahasa lokal. Luther menentang sikap gereja Katolik yang begitu menekankan pentingnya sakramen dan dan ia juga menyatakan bahwa hanya dengan iman manusia bisa selamat.
Namun demikian, dalam ajaran Islam ulama tidak bisa disamakan dengan pendeta. Otoritas yang mereka miliki bukan berasal dari izin untuk memberikan sakramen, tetapi berasal dari pengetahuan mereka tentang hukum. Dalam Islam, pengampunan tidak diperoleh melalui sakramen, tetapi dengan meyerahkan diri sepenuhnya pada Allah Swt, baik dalam iman maupun dalam perbuatan. Hal ini berulang-ulang disebutkan dalam al-Quran surat al-Ashr:
Demi Masa
Sesungguhnya manusia itu berada dalam kerugian
Kecuali mereka yang beriman dan beramal saleh
Dan saling menasehati dalam kebenaran
Dan saling menasehati dalam kesabaran
Oleh karena itu, alasan terjadinya protes dalam agama Kristen pada zaman Reformasi tidak terdapat dalam Islam. Kaum Protestan menentang otoritas yang dimiliki oleh gereja yang mengklaim bahwa pengampunan yang berasal dari sakramen itu bisa diperoleh mclalui hubungan pribadi antara manusia dengan Tuhan tanpa memerlukan pendeta sebagai perantara.
Di sisi lain, ritus-ritus yang dilakukan oleh umat Islam tidak melibatkan kependetaan macam apapun. Masing-masing individu melakukan ibadah shalat lima waktu, puasa Ramadhan, haji, zakat, dan menjadi saksi tanpa membutuhkan pendeta. Fungsi ulama dalam urusan ibadah dalam urusan agama yang lainnya adalah untuk menentukan aturan hukunmya.
Para ulama menguraikan bagaimana cara melakukan shalat, haji, dan sebagainya. Oleh karena itu, umat Islam yang hendak meniru gerakan kaum Kristen Protestan tidak bisa memaksakan adanya alasan sebagaimana yang ditemukan dalam pemberontakan kaum Protestan itu. Mereka tidak bisa mengatakan bahwa ulama tidak diperlukan oleh manusia dalam hubungannya dengan Allah, atau untuk menjalankan sakramen, karena Islam memiliki orientasi yang lebih dari sekadar hal-hal yang bersifat sakramental.
Tentang kekhusyukan dan pengampunan yang berasal langsung dari Tuhan, kaum Protestan beranggapan bahwa keduanya dapat diperoleh hanya dengan membuat diri mereka "dipenuhi dengan Ruh", sedangkan dalam Islam, para sufi membentuk hierarki sakramental dan disiplin mereka sendiri, agar bisa menyatukan diri dengan Yang Dicinta, yang disebut oleh Ernest Gellner sebagai "reformasi titik balik".[3]
Mungkin ada memang ada semacam gerakan Protestantisme Islam yang dilancarkan terhadap tasawwuf. Misalnya, keberatan Muhammad Iqbal (w. 1938) atas "pemujaan terhadap pir" di anak benua India bisa disetarakan dengan keberatan kaum Kristen Protestan terhadap institusi ke-Paus-an. Namun yang tidak bisa disamakan adalah konsep ketakwaan dan kepatuhan terhadap syariat yang terdapat dalam agama Islam.
Protestantisme yang ada dalam Islam dan Kristen hanya memiliki satu kesamaan. Keduanya sama-sama membatasi cakupan ritual dan memperluas yang sekular. Karena itu, kita harus bertanya mengapa hal ini terjadi dalam Protestantisme Kristen, dan adakah hal-hal tertentu yang bisa diterapkan dalam konteks Islam.
Ada dua alasan penting atas lahirnya sekulerisme setelah Reformasi kaum Protestan, yang satu bersifat teoritis, satunya lagi praktis. Alasan teoritisnya adalah soal penekanan pada keimanan, bukan pada amal. Ketika agama menjadi semakin bersifat pribadi, maka sektor publik akan menjadi sekuler.
Dalam Islam, perpecahan antara sektor personal dan komunal tidak terjadi, karena pentingnya keimanan tidak dilihat sebagai sesuatu yang bersifat berlawanan dengan amal. Ia lebih dilihat sebagai upaya untuk menjaga agar rnanusia tidak keluar dari aturan hukum dengan melakukan perbuatan yang berlebihan, dan hal ini juga diatur oleh hukum. Pendeknya, tidak ada upaya yang diperbolehkan untuk memperlunak konsekuensi hukum dengan mengedepankan keimanan.
Sedangkan alasan praktis munculnya sekulerisme adalah makin berkembangnya sekte-sekte dalam ajaran Protestan. Ketika kekuasaan gereja berkurang, tak satupun figur Protestan yang muncul. Orang-orang dari level lokal sekalipun bisa saja memperoleh kekuasaan politik seperti pada kasus Calvin di Swiss dan Anglican England. Akibat yang segera muncul dari kekosongan kekuasaan ini. adalah perang agama, dan pada umumnya umat Kristen itu menerima sekulerisme liberal setelah peristiwa Reformasi untuk menghindari perang yang berkepanjangan.
Namun inipun tidak bisa disamakan dengan Islam, karena kekuatan hukum yang dimilikinya. Perang yang terjadi di antara umat Islam biasanya terjadi karena perbedaan pendapat tentang siapa yang pantas menjalankan hukum tersebut, bukan pada esensi hukum itu sendiri. Perbedaan pendapat tentang hukum apa yang harus diterapkan relatif kecil.
Pemikiran bahwa cakupan syariat harus dibatasi secara ketat tidak pernah terbayangkan sebelumnya sampai adanya usaha pemerintah Inggris untuk menggantikan hukum Allah dengan hukum kerajaan di negara, negara Islam yang menjadi daerah jajahan mereka. Baik alasan yang bersifat teoritis maupun yang praktis bagi munculnya sekulerisme liberal bisa diterapkan dalam kasus,kasus yang terjadi di dunia Islam, baik Iran, Aljazair, Sudan, atau negara-negara Islam yang lain.
Alasan selanjutnya atas munculnya gelombang kaum Protestan dalam Islam adalah masalah pendidikan para ulama. Ada klaim yang menyatakan bahwa karena para ulama tidak mempelajari ilmu-ilmu alam dan ilmu sosial modern, maka mereka tidak memenuhi syarat untuk memberikan fatwa dalam bidang,bidang khusus seperti pemerintahan atau menetapkan kebijakan ekonomi.
Sekali lagi premis-premis itu tidak memenuhi syarat untuk menarik suatu kesimpulan. Fakta bahwa seorang ulama tidak memperoleh pendidikan dalam bidang ekonomi modern tidak mengurangi sedikitpun nilai ketentuan yang ia nyatakan bahwa riba itu haram.
Di sisi lain, permasalahan seperti apakah sistem perbankan modern di suatu negara tertentu tercemar oleh riba, atau apakah suku bunga itu bisa dianggap riba, dan berbagai permasalahan lainnya itu memang memerlukan pengetahuan ekonomi modern. Situasi ini hampir sama dengan seorang ahli kimia yang mengetahui bahwa ledakan akan terjadi sebagai akibat dari tercampurnya dua bahan kimia tertentu. Jika ia tidak mengetahui apa isi dari dua tabung yang berbeda, maka ia tidak akan bisa menentukan apakah kedua bahan kimia itu aman bila tercampur. Tetapi tidak kemudian berarti bahwa pengetahuannya tentang teori kimia itu kurang.
Aplikasi teori kimia dalam kasus tertentu mungkin memerlukan pembahasan dengan mereka yang memiliki pengetahuan di bidang yang bersangkutan. Sama halnya, mereka yang berusaha menerapkan syariat dalam kehidupan masyarakat muslim modern akan memberikan kepercayaan pada orang-orang yang memiliki pendidikan di bidang,bidang tertentu di mana syariat akan diberlakukan.
Sayangnya, seringkali mereka menganggap para ahli dari Baratlah yang lebih maju, misalnya dalam pengelolaan perbankan dan ekonomi. Oleh karena itu, yang diperlukan agar penerapan syariat bisa berhasil dengan baik adalah kerja sama yang tepat dan erat antara para ahli dan ulama.
Tidak mustahil kalau bahaya yang muncul justru bukannya kekhawatiran media massa Barat dan kaum Protestan Islam, bahwa dengan diterapkannya syariat Islam maka kehidupan komunitas muslim modern akan kembali ke Abad Pertengahan. Bahaya yang lebih nyata adalah bahwa usha untuk menerapkan hukum Islam akan sia-sia hanya karena perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan para teknokrat.
Perdebatan menjadi semakin seru dengan adanya klaim bahwa semua ilmu pengetahuan itu saling berkaitan. Dengan alasan itulah kurangnya pengetahuan sebagian ulama tentang ilmu-ilmu kontemporer akan membuat pengetahuan mereka tentang fiqh menjadi cacat.
Yang sebenarnya menjadi masalah adalah bahwa mereka yang mengeluarkan klaim itu tidak memahami secara benar implikasi dari apa yang mereka nyatakan berkenaan dengan keterkaitan ilmu-ilmu pengetahuan. Karena jika memang semua ilmu pengetahuan itu benar-benar saling berkaitan, maka para ilmuwan sosial juga akan memperoleh kecaman yang sama karena kurang-Nya pengetahuan mereka ten tang ilmu-ilmu Islam tradisional.[4]
Dan memang benar bahwa sebagian dari pemikir Islam pernah menyerukan Islamisasi ilmu-ilmu pengetahuan, yang menurut keyakinan mereka telah tercemari oleh kaum kafir. Doktrin tentang holisme epistemologis, bahwa semua cabang ilmu pengetahuan itu saling berkaitan, sebenarnya tidak sejalan dengan pandangan mereka yang hendak membatasi syariat pada ibadah-ibadah ritual. Jika memang ilmu semua jenis pengetahuan itu benar-benar saling berkaitan, maka tidak ada alasan untuk mempertanyakan relevansi pengetahuan seorang ulama dengan detail-detail shalat yang ia ajarkan.
Salah satu argumen yang paling sering diajukan untuk membatasi cakupan hukum Islam adalah pendapat kalangan rasionalis bahwa Tuhan telah membekali manusia dengan akal agar ia bisa memecahkan permasalahan kehidupannya sendiri. Jika demikian, maka memecahkan semua peroalan kehidupan dalam hal agama itu sendiri merupakan penyimpangan dari kehendak Tuhan.
Sebaliknya, harus dipahami bahwa meyakini bahwa Allah akan memberikan tuntunan dalam bentuk hukum yang diwahyukan pada para nabi-Nya bukanlah berarti penghinaan teerhadap akal. Kepatuhan dan ketaatan pada petunjuk ketuhanan yang berupa hukum yang bersifat suci sama sekali bukan alasan untuk menghilangkan perlunya akal untuk diasah.
Islam tidak seharusnya dilihat sebagai solusi yang sederhana terhadap semua permasalahan dalam hidup, namun sebagai suatu petunjuk bagi pemecahan permasalahan itu. Petunjuk itu menuntun manusia untuk berusaha hidup sesuai dengan perintah Allah, dan dengan sendirinya menimbulkan permasalahan baik yang bersifat praktis maupun intelektual.
Pemahaman terhadap hukum Islam itu sendiri dan bagaimana cara menerapkannya masih membutuhkan peranan akal. Namun demikian, akal yang dikenal dalam Islam bukanlah sekedar kemampuan seperti yang dibahas oleh Hume dan yang mengikutinya dalam filsafat Barat. Dalam Islam, akal dipahami sebagai kemampuan yang dicerahkan oleh sifat ketuhanan, yang sifat asalnya selalu menyesuaikan diri dan patuh pada kehendak Allah.[5]
Di sini, akal itu sendiri tidak bersifat netral. Tentu saja pemahaman kita terhadap akal itu sendiri tergantung pada dari sisi mana kita memandang dan mempergunakannya.
Sekali lagi, isu tentang cakupan dan materi hukum harus dibedakan. Seseorang bisa saja berargumentasi tentang reformasi penerapan syariat dengan alasan bahwa syarat-syarat yang diperlukan untuk menjadi bahan pertimbangan pengambilan keputusan telah terpenuhi. Namun hal ini harus tetap berada di jalur pemikiran kaum revivalis, dan tidak terjerumus pada pemikiran yang akan menolak yurisdiksi hukum Islam di berbagai sektor penting dalam kehidupan umat Islam.
Bagaimanapun sulitnya menerapkan syariat dalam konteks kehidupan modern, sifat komprehensif pada cakupannya merupakan bagian yang sangat penting. Salah satu alasannya adalah sifat dari Islam itu sendiri. Upaya untuk meinajukan agama Islam berarti membawa manusia menuju penyerahan diri secara total kepada Allah.
Pemahaman ten tang kepatuhan total inilah yang membuat umat Islam begitu bersemangat menjalankan perintah Allah yang berupa hukum ketuhanan (syariat). Jika seorang muslim itu bertakwa, maka ia akan berusaha agar semua aspek dalam kehidupannya sesuai dengan kehendak Allah. Mereka yang meremehkan luasnya cakupan hukum Allah ini biasanya beralasan bahwa dalam Islam tidak diatur tentang bidang-bidang seperti olah raga, permesinan, matematika, dan sebagainya.
Namun pada saat hukum Allah itu membuka kesempatan bagi manusia untuk berpikir dan bertindak secara bebas, maka kebebasan itu bukanlah berarti kebebasan mutlak di mana pribadi manusia yang mendominasi. Yang dimaksud adalah kebebasan yang terpandu, kebebasan bagi manusia untuk menemukan jalannya sendiri menuju cahaya ketuhanan.
Kebebasan ini tetap berada dalam jalur aturan syariat. Olah raga harus dilakukan dengan memperhatikan adab-adab Islam, harus fair dan tidak boleh ada unsur perjudian. Sedangkan ilmu mesin dan matematika, oleh hukum dianggap sebagai ilmu yang netral (mubah). Ilmu-ilmu itu harus diterapkan sesuai dengan ketentuan hukum, tanpa penyimpangan atau pelanggaran terhadap hak-hak orang lain.
Salah satu sumber kebingungan dalam bidang ini adalah pemberian label "Islam". Istilah "ilmu Islam" seringkali diartikan sebagai ilmu-ilmu yang berkembang dalam konteks budaya Islam Abad Pertengahan. Namun istilah "tidak Islami" dipergunakan untuk ilmu yang menyimpang dari syariat Islam.
Hal ini bermuara pada timbulnya kesan yang salah, bahwa seolah-olah ada sesuatu yang salah dalam sudut pandang Islam, dengan ilmu yang berkembang di Barat. Mereka yang mempelajari ilmu-ilmu modern ini kemudian cenderung pada pandangan yang menyatakan bahwa bidang yang mereka pelajari berada di luar cakupan syariat, yang hanya terbatas pada soal-soal peribadatan.
Sayangnya, kebingungan ini makin diperumit dengan fakta bahwa kalangan yang ingin mempertahankan karakter ilmu-ilmu tradisional Islam begitu giat mengolah kesan bahwa hanya ilmu-ilmu tradisional itulah yang benar-benar sesuai dengan hukum Islam.
Barangkali salah satu jalan keluar dari kebingungan ini adalah dengan membedakan antara Islam, Iman dan ihsan, penyerahan diri, keimanan, dan kebaikan. Dalam semua proses pencarian yang dilakukan oleh seorang muslim, ketiganya harus selalu diingat. Paling tidak, ia harus memperhatikan bahwa apa yang ia perbuat tidak menyimpang dari hukum yang ditetapkan oleh syariat.
Namun, seorang muslim juga harus menjadi seorang mukmin dan berusaha menjadikan perbuatannya sebagai perwujudan dan keimanannya, dan dengan mewujudkan keimanannya itu ke dalam perbuatan, sehingga ia menjadi seorang muhsin.
Upaya-upaya seperti itu dilakukan pada periode klasik perkembangan ilmu-ilmu Islam. Pada masa itu semua ilmu diintegrasikan ke dalam satu naungan pandangan dunia, sehingga ilmu-ilmu alam, matematika, tata bahasa, agama, dan filsafat bisa bersatu dalam harmoni, dan hasilnya begitu layak dibanggakan. Namun sayang, kredibilitasnya tidak bisa dipertahankan dan cukup banyak tantangan yang muncul sebagai reaksi dari keberhasilan itu.
Dewasa ini, kita hams terlibat dalam berbagai ilmu pengetahuan seperti politik atau ilmu-ilmu alam, yang aspek-aspeknya begitu penuh dengan bias pihak asing, padahal para ilmuwan muslim besar pada periode klasik sudah begitu menguasainya. Namun tidak kemudian berarti bahwa mendalami ilmu-ilmu itu merupakan penyimpangan terhadap syariat, dan tidak pula berarti syariat tidak memiliki yurisdiksi atas ilmu-ilmu itu.
Bahkan jika memang apa yang dilakukan oleh para ilmuwan Islam pada zaman dulu itu sepenuhnya sudah tidak relevan, maka tetap saja para pemikir muslim modern harus berupaya mengekspresikan keimanannya dalam setiap langkah mereka, agar apa yang mereka lakukan menjadi kebaikan, kebenaran, dan keindahan, atau dengan kata lain, ahsan.[6]
Referensi:
1. Lihat Annemarie Schimmel, Dechipering the Signs of God (Albany: SUNY Press, 1994), h. 207-208.
2. Istilah "revivalis" dipopulerkan oleh Ali Abadi, seorang ahli sosiologi Iran yang karyanya tentang Islam dan modernisme ditulis di New York.
3. Ernest Gelner, "Doctor and Saint", dalam Nikkie Keddie, ed., Scholars Saints and Sufis, (Berkeley: University of California Press, 172), h. 307-326; dikutip dalam Schimmel, ibid, h. 212.
4. Saya mengutip pendapat ini dari Dr. Sa'id Zibakalam dari Fakultas Sejarah dan Filsafat Institut Penelitian dan Riset Kebudayaan, Teheran.
5. Lihat Ushul al-Kafi, Buku I, tentang 'aql, di mana penciptaan intelek dan kepatuhannya secara total kepada Allah diuraikan dalam sebuah riwayat yang dinisbahkan kepada para Imam.
6. Tentang ihsân, lihat Sachiko Murata dan William C. Chittick, The Vision of Islam, (New York: Paragon, 1994), 265ff.
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email