Pesan Rahbar

Home » » Kehidupan Perjuangan Melaksanakan Syariat Allah

Kehidupan Perjuangan Melaksanakan Syariat Allah

Written By Unknown on Sunday, 25 September 2016 | 18:46:00


Oleh: Abdullah Assegaf

"Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongdan meneguhkan kedudukanmu." (QS. Muhammad: 7)

Ayat di atas secara lahiriah memberikan pengertian adanya hubungan timbal balik antara manusia dengan Allah Swt. Namun pengertian ini akan berlawanan dengan pandangan dunia Islam serta fitrah Allah Swt sebagai yang memiliki sifat ahadiyah (satu tanpa rangkapan) serta wahidiyah (satu tidak berserikat) dan karenanya Dia bebas dari nilai ketergantungan padaapa pun. Setiap ketergantungan pada selain-Nya merusak nilai Ahadiyah dan Wahidiyah pada sesuatu tersebut. Dalam ayat lain dinyatakan: "Wahai manusia kalian ini perlu, butuh, fakir selalu memerlukan pertolongan Allah Swt; bergantung kepada Allah Swt, dan Allah Swt adalah Zat yang mahakaya dan maha terpuji."

Berdasarkan pemahaman aqli (akal) dan naqli (nash) , kita dapat memahami bahwa makna ayat intanshurullah... bukanlah sebuah hubungan timbal balik. Bukan jika manusia menolong Allah Swt maka Allah pasti menolong manusia, melainkan dalam realitas yang ada, dan selalu demikian adanya, hanya Allah Swt sendiri yang menolong manusia. Pengertian lain adalah apabila kalian menolong Allah Swt maka perbuatan menolong ini tidak ditujukan kepada Allah Swt, tetapi ditujukan kepada diri manusia Ada ayat yang senada dangan ayat di atas yang berbunyi (Yukhadi 'unallaha...): "Mereka menipu Allah Swt maka Allah akan menipu mereka."
Tipuan ini ditujukan kepada Allah Swt, melainkan kepada seseorang yang melakukan sebuah kejahatan. Pelaku kejahatan akan berusaha menutupi perbuatannya dari orang lain sehingga dia mempersangkakan diri tidak melakukan kejahtan. Dalam hal ini, dia bukan tidak mengetahui kejahatannya. Dia justru menyadari sepenuhnya akan hal itu.

Bahkan ia berupaya mengemas kejahatan itu sehingga memiliki kesan sebagai sebuah kebaikan. Minimal agar kebatilan itu tidak keluar, tidak nampak selain dirinya. Inilah yang diartikan dengan seseorang yang menipu dirinya. Penisbatan kalimat "menipu diri Dia" dengan menipu manusia itu sendiri, atau menipu manusia samadengan menipu Allah Swt, disebabkan jalaliyah (keagungan) dan jamaliyah (keindahan) Allah Swt bersama manusia.

Keilmuan manusia itu merupakan tajaliyah ilmu Allah Swt; adanya kekuatan pada manusia itu merupakan tajaliyah (pancaran) Allah Swt; adanya kekuatan (iradah) manusia itu merupakan tajaliyah iradah Allah Swt pada manusia, sehingga Rasulullah saw mengatakan: "Berakhlaklah kalian dengan akhlak Allah Swt."

Setiap upaya manusia sebenarnya bersumber pada Allah Swt "• tajaliyah, kesucian dan keindahan Allah Swt. Dalam praktiknya ada beberapa sufi yang terkesan ekstrem dalam mengembangkan tajaliyah Allah Swt pada manusia. Mereka mengungkapkan "saya adalah Tuhan" atau dengan mengungkapkan kalimat "Tuhan itu ada pada saya" sehingga membuat kesalahpahaman di tengah- tengah masyarakat yang kemudian terjadi tindakan syirik, pemurtadan dan lain sebagainya.

Bagaimanapun, manusia memiliki [manifestasi] keagungan Allah Swt. Dia adalah khalifah Allah Swt. Dengan melihat setiap nilai kesucian dan keindahan yang ada pada mereka sendiri, manusia akan kembali kepada Allah Swt, sebagaimana sabda Rasulullah saw: "Barangsiapa mengenal diririya, maka akan mengenal Tuhan-Nya."

Allah Swt tidak memerlukan apa pun. Kalau Allah Swt murka, hal itu bukan disebabkan Allah Swt memerlukan ketaatan. Allah Swt adalah zat yang sempurna, Dia kosong dari kelemahan, kosong dari keburukan. Yang ada pada-Nya hanya keindahan, kekuatan, kebaikan dan kesempurnaan.

Maka Allah Swt terlepas dari kebatilan, keburukan, kekejian (fasad), kesia-sian. Setiap yang tidak berhubungan dengan Allah Swt itu menuju kehancuran, ketiadaan. Murka Allah Swt merupakan sebuah kemestian bukan disebabkan rugi oleh sebuah kebatilan, kemaksiatan. Allah Swt tidak merasa perlu untuk memberi nikmat atau menghukum. Hukuman terjadi karena manusia berpisah dari Allah Swt atau berlepas diri-Nya (Allah Swt) dari mereka. "Sesungguhnya Allah Swt berlepas dari diri orang-orang yang menyekutukan-Nya", khianat terhadap keindahan dan kesucian yang telah ditempatkan oleh Allah Swt pada mereka.


Menjalankan Syariat, Menolong Allah

Sedemikian besar Allah Swt memberikan penghargaan kepada manusia sehingga Allah Swt mengatakan, "Intanshurullah...kalau kalian menolong Allah Swt," menolong bayang-bayang Allah Swt, berarti menjaga jamaliyah Allah Swt yang tergambar dalam ciptaan. Jalaliyah Allah Swt terwujud dalam keperkasaan dan kekuasaan Allah Swt dengan wujud lahir berupa syariat, perintah dan larangan, sunah-sunah-Nya yang berlaku. Berjalannya manusia pada syariat Allah Swt, pada jalaliyah dan jamaliyah Allah Swt berarti menolong Allah Swt, yang pada dasarnya menolong diri kita sendiri.

Kita berjuang mempertahankan hak yang telah ditetapkan oleh syariat pada diri kita, demi jamaliyah yang ada pada diri kita. Sayyidina Ali bin Abi Thalib as dikatakan sebagai politikus ulung karena mampu menghadapi musuh-musuh Allah Swt dengan segala kelicikannya dengan tetap berjalan di dalam hukum (syariat) Islam. Dalam hal ini, politik tiada lain adalah kemampuan kita dalam mengontrol diri. Imam berkata: "Sebuah bangsa akan segera menuju kehancurannya ketika amar makruf nahi munkar sudah tidak ada lagi di sana."
Kontrol terhadap diri dan lingkungan adalah politik.

Politik berarti menegakkan kebenaran, keadilan. Kita tidak akan mampu menegakkan keadilan dengan sebuah kebatilan atau kezaliman. Dalam surah al-Isra 81 Allah berfirman: "Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap."

Kebatilan akan hancur ketika kebenaran itu eksis. Ketika kita ingin memilih langkah untuk menjalankan syariat maka pada saat itu pula fasad, keburukan, pelanggaran terhadap syariat itu hilang pada diri kita. Mengganyang apa-apa yang kita sebut sebagai musuh-musuh keadilan tanpa nilai-nilai keadilan adalah sebuah kezaliman. Bila demikian halnya, Islam itu hanyalah sekadar konsep, bahan diskusi dan seminar. Tidak lebih dari itu Keadilan dalam Islam harus dimulai dari diri kita dengan dengan cara melaksanakan syariat Islam. Imam Ja'far as-Shadiq berkata: "Tidaklah seseorang akan mampu berpolitik sebelum dia berpolitik terhadap diri sendiri."

Dengan demikian, ungkapan intanshurullah... adalah di kala setiap kita, kaum Muslimin, menjadi pelaksana-pelaksana syariat Allah Swt. Wibawa Islam bisa berjalan hanya atas satu hak. Setiap keindahan memiliki konsekuensi tersendiri dan konsekuensi itu terletak pada diri manusia, bukan pada Allah Swt. Ketika kita menceritakan sebuah perjuangan, yang kita ungkap adalah hasil dari yang diperjuangkan. Kita lupa bahwa melangkah pun sebenarnya sudah merupakan keberhasilan. Ketika manusia melaksanakan syariat Allah Swt, maka sebenarnya ia sudah mendapatkan hasil yang jauh lebih dari apa yang ia harapkan.


Kemestian Musibah dan Kenikmatan

Konsekuensi dari orang yang menolong dirinya sendiri, yang Allah Swt istilahkan dengan "menolong Allah Swt," adalah musibah, bala, yang tidak mungkin manusia hindari, sebuah kemestian. Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata: "Dunia ini diselimuti dengan musibah dan bala, tidak mungkin seseorang itu lepas darinya. Muslim atau kafir sekali pun akan dapat musibah."
Masalahnya, bagaimana kita melihat musibah yang di dalamnya ada kenikmatan, dan bagaimana melihat kenikmatan karena di dalamnya terdapat bala.

Bala dan nikmat adalah satu nilai dengan dua wajah berbeda. Contoh: ada seseorang yang punya masalah datang ke tempat kita. Kita tergerak untuk membantu menyelesaikan masalah orang tersebut. Ketika kita mulai bergerak ke luar dari rumah dalam rangka penyelesaian masalah tadi, langkah kita itu sudah merupakan musibah. Seharusnya, tanpa kehadirannya, kita bisa bercengkrama bersama keluarga, tidur, menonton TV. Jadi, setiap langkah kita dalam memberikan dukungan adalah bala. Tetapi, subhanallah, bala itu kita tempuh, dan kita merasakan nikmat saat melaksanakannya, sebagaimana dalam kenikmatan itu di dalamnya terdapat bala, tinggal tergantung bagaimana orang melihatnya.

Dalam musibah terdapat kenikmatan. Suatu ketika, kita memasang jam untuk bangun malam agar bisa menunaikan shalat malam. Ketika jam berbunyi dan kita masih mengantuk, secara refleks kita mematikan jam dan melanjutkan tidur. Adalah kenikmatan bahwa kita bisa melanjutkan tidur. Namun dalam nikmat ini terdapat musibah. Ketika bangun pagi, kita menyesali diri karena tidak shalat malam. Ini adalah musibah. Kondisi sebaliknya, di saat nyenyak tidur, kita terbangun oleh bunyi jam. Kita berhasil melaksanakan shalat malam. Ini musibah. Orang lain dapat tidur malam sementara kita harus bangun malam. Tapi kita mengucap puji syukur karena bisa bermunajat kepada Allah Swt. Ini nikmat. Ketika manusia bernaung kepada kebenaran, bernaung kepada Allah Swt, dia akan mendapat kenikmatan yang benar dan berlindung dari bala yang benar. Firman Allah: "Orang yang berlapang dada itu dengan Islam, cahaya itu akan menjadi jelas, kalau cahaya itu hilang engkau akan nampak."

Bala yang sangat besar membelenggunya, tetapi di dalamnya terdapat kenikmatan, seperti yang dikatakan oleh Imam Ali Zainal Abidin: "Ya Allah, aku bersyukur kepada-Mu, atas nikmat-nikmat yang Engkau limpahkan padaku, sebagaimana aku bersyukur juga kepada-Mu atas musibah-musibah yang Engkau timpakan kepadaku."

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: